Lompat ke isi

Kerajaan Saunggalah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kerajaan Saunggalah adalah kerajaan yang berada di Kabupaten Kuningan sekarang. Lokasi Saunggalah ini diperkirakan kini berada di Kampung Salia, Desa Ciherang, Kecamatan Nusaherang, ada pula yang menunjuk Desa Ciherang di Kecamatan Kadugede, kecamatan tetangga Nusaherang. Disebutkan bahwa Saunggalah adalah nama Ibu kota Kerajaan Kuningan. Nama Kuningan telah lama ada dan dikenal. kerajaan Saunggalah adalah mulai dari tahun 748 – 1346 Masehi[1]

Pertama kali diketahui Kerajaan Kuningan diperintah oleh seorang raja bernama Sang Pandawa atau Sang Wiragati. Raja ini memerintah sejaman dengan masa pemerintahan Sang Wretikandayun di Galuh (612-702 M).

Menurut Carita Parahyangan[2] yang berbahasa dan beraksara Sunda Kuno, riwayat Saunggalah bermula dari Rahyang Kuku alias Sang Seuweukarma alias Rahyang Demunawan. Putra dari Rahyang Sempakwaja penguasa Galunggung. Carita Parahyangan menuturkan bahwa Rahyang Sempakwaja merupakan anak pertama Sang Wretikandayun. Sempakwaja memiliki dua adik, yaitu Rahyang Kedul dan Rahyangtang Mandiminyak atau Suraghana.

Rahyangtang Mandiminyak berputrakan Sang Sena; Sang Sena atau Sanna lalu punya anak bernama Rahyang Sanjaya. Sementara itu, Sang Wretikandayun adalah putra bungsu dari Sang Kandiawan. Ada pun keempat kakak Wretikandayun adalah Rahyangtang Kulikuli, Rahyangtang Surawulan, Rahyangtang Pelesawi, dan Rahyangtang Rawunglangit. Wretikandayun lalu memerintah di Galuh selama 90 tahun. Dari 612 hingga 702 M. Ia kemudian menikah dengan putri Bagawat Resi Makandria, Pwah Bungatak Mangalengale.

Karena Rahyang Sempakwaja dan Rahyang Kedul memiliki kekurangan fisik, yang menjadi raja Kerajaan Galuh selanjutnya adalah Rahyangtang Mandiminyak. Sempakwaja ini bergigi ompong (sempakwaja berarti “bergigi ompong”) lalu menjadi pendeta di Galunggung, bergelar Batara Dangiang Guru. Sedangkan Rahyang Kidul menderita kemir (hernia), maka memilih menjadi pendeta di Mandala Denuh dengan gelar Batara Hyang Buyut di Denuh.

Status Denuh, dalam Fragmen Carita Parahyangan (FCP), setingkat dengan Galunggung, yang langsung bertanggung jawab kepada Tohaan di Sunda. Selain Galunggung dan Denuh, ada sepuluh wilayah lain yang langsung berada dalam wibawa Tohaan di Sunda dan harus mengirim pamwat (upeti) ke Pakuan, yakni: Sanghyang Talaga Warna, Mandala Cidatar, Gegergadung, Windupepet, Galuh Wetan, Mandala Utama Jangkar, Mandala Pucung, Reuma, Lewa, dan Kandangwesi.

Rahyangtang Kuku atau Sang Seuweukarma atau Sang Maniti Saungkalah

[sunting | sunting sumber]

Rahyangtang Kuku lahir di Patapan, demikian diceritakan dalam Fragmen Carita Parahyangan. Gelar Rahyangtang Kuku setelah menjadi “Tohaan di Kuningan” di Arile adalah Sang Seuweukarma, yang juga disebut Demunawan. Pada masa pemerintahannyalah, letak ibu kota Kerajaan berada di Saunggalah atau Saungkalah menurut Nashkah Carita Parahyangan. Lokasi Saunggalah ini diperkirakan kini berada di Kampung Salia, Desa Ciherang, Kecamatan Nusaherang, Kuningan—ada pula yang menunjuk Desa Ciherang di Kec. Kadugede, kecamatan tetangga Nusaherang.

Dalam Carita Parahyangan, dijelaskan wilayah-wilayah yang telah diperangi dan ditaklukkan Rahyangtang Kuku, yakni:

  • Rahyangtang Luda di Puntang
  • Rahyangtang Wulukapeu di Kahuripan
  • Rahyangtang Supremana di Wiru
  • Rahyang Isora di Jawa (Balitar)
  • Sang Ratu Bima di Bali
  • Rahyangtang Gana ratu di Kemir
  • Sang Sriwijaya di Malayu
  • Sang Wisnujaya di Barus
  • Sang Bramasidi di Keling
  • Sang Kandarma di Berawan
  • Sang Mawuluasu di Cimara Upatah
  • Sang Pacadana ratu di Cina.

Keberhasilan Rahyangtang Kuku alias Seuweukarma, yang juga bergelar Sang Maniti Saungkalah, karena keteguhannya dalam mengamalkan ajaran Dangiang Kuning. Melihat keberhasilan penguasa Kuningan itu, Rahyang Sanjaya merasa iri, lalu mengutus patihnya menghadap Rahyangtang Kuku. Sanjaya ingin menyelidiki apakah Rahyangtang Kuku benar-benar diakui oleh rakyat Kuningan sebagai penguasa.

Oleh Rahyangtang Kuku dijelaskan bahwa dirinyalah memang penguasa dan yang diagung-agungkan oleh kawula Kuningan. Menurutnya, tak mungkin Rahyang Sanjaya seperti dirinya, dipuja-puja rakyat, karena Rahyang Sanjaya gemar membunuh sesama saudara. Namun begitu, Rahyangtang Kuku tak ingin mengganggu dan diganggu oleh Sanjaya. Sekembalinya ke Kerajaan Galuh, sang patih melapor pada Rahyang Sanjaya.

Dikatakan olehnya kepada Sanjaya, bahwa Rahyangtang Kuku adalah seorang yang gemar bertapa, menguasai Sanghyang Darma dan Sanghyang Siksa, mematuhi ajaran Sang Rumuhun (ajaran leluhur?). Dikatakan oleh Aki Patih, bahwa seyogianya antara Rahyang Sanjaya dan Rahyangtang Kuku terjalin kerjasama dan saling menghormati, karena keduanya sama-sama keturunan dewata.

Atas saran patihnya pula, Rahyang Sanjaya pergi menaklukkan wilayah-wilayah lain sebagai bukti bahwa dirinya pun mampu menguasai ajaran-ajaran yang dikuasai oleh Rahyangtang Kuku. Carita Parahyangan memberitakan bahwa Sanjaya berhasil mengalahkan Mananggul, Kahuripan, Balitar, Malayu, Kadul, Bali, Kemir, Keling, Barus, dan Cina. Di antara tempat-tempat taklukan ini, terdapat sejumlah wilayah yang telah ditaklukkan Rahyangtang Kuku sebelumnya.

Beberapa lama kemudian, Rahyangtang Kuku menemui Sanjaya di Galuh, membicarakan soal pembagian wilayah. Karena Sanjaya juga tak ingin berseteru dengan saudaranya itu, maka ia berkata: “Kini kita tetapkan: tanah bagian Dangiang Guru di tengah; bagian Rahyang Isora ti timur, sampai ke utara Paraga dan Cilotiran; dari barat Tarum hingga barat adalah wilayah Tohaan di Sunda.” Dalam perjanjian tersebut telah terjadi pegeseran status: Galunggung menjadi setingkat dengan wilayah Tohaan di Sunda. Untuk memastikan hal ini diperlukan penelitian khusus tentunya, jadi takkan dibahas di sini.

Setelah pembagian dipetakan oleh Sanjaya, Rahyangtang Kuku kembali ke Arile, tak lama kemudian meninggal dalam usia yang telah sepuh. Ada pun Sanjaya menasehati anaknya, Rahyang Panaraban alias Rahyang Tamperan: “Jangan ikut agamaku (Bhairawa), karena itu aku ditakuti orang banyak.” Setelah menjadi raja Kerajaan Galuh selama 9 tahun, Sanjaya digantikan oleh Tamperan.

Berbicara mengenai keberadaan Saunggalah, ada sebuah naskah Sunda Kuno lain yang memuat nama Saunggalah, yakni Bujangga Manik yang ditulis pada awal abad ke-16. Dikisahkan, ketika tokoh Bujangga Manik pulang dari timur (alas Jawa) hendak ke barat, dirinya tiba di Hujung Galuh, “berjalan ke Geger Gadung, aku menyeberangi Sungai Ciwulan, berjalan terus aku ke baratlaut. Sesampai ke Saung Galah, lalu pergi dari sana, Saung Galah telah kutelusuri, Gunung Galunggung kulewati, Panggarangan sudah kulewati, melalui Pada Beunghar, Pamipiran di belakangku. Melewati Timbang Jaya, tiba ke Gunung Cikuray, kuberjalan menurun di sana, datang ke Mandala Puntang….”

Bila memperhatikan rute Bujangga Manik dari timur ke barat di atas, jelas bahwa lokasi Saunggalah berada di antara Sungai Ciwulan (kini Sungai Cibulan atau Cikembulan) dengan Gunung Galunggung, dan berada di utara Geger Gadung (kini Sela Gadung).

Rakeyan Darmasiksa Penguasa Saunggalah

[sunting | sunting sumber]

Rakeyan Darmasiksa sendiri yang meminta dirinya ditempatkan di Saunggalah kepada Batara Dangiang Guru (padahal jarak masa hidup kedua tokoh tersebut bertautan lima abad). Letak Saunggalah sendiri diceritakan berada di “selatan Gegergadung, Geger Handiwung, Pasir Taritih yang bermuara di Cipager Jampang.”

Dikisahkan Rakeyan Darmasiksa bertakhta di Saunggalah selama 12 tahun. Setelah itu, ia pindah ke Pakuan, bertakhta di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, dan memerintah selama 110 tahun di Pakuan Pajajaran.

Memeh angkat ka Pakwa(n) ngadegkeun premana di Saunggalah ku Rak[y]ean Darmasiksa. Ti inya angkat sabumi ka Pakwan. Datang ka Pakwan mangadeg di kadaton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. ….Kacarita Rak[y]ean Darmasiksa heubeul siya ngadeg di Pakwan saratus sapuluh tahun. Heubeul siya adeg ratu di Pakwan Pajajaran, pun.

Kata-kata “ngadegkeun premana di Saunggalah”, bisa diartikan sebagai “mendirikan tempat istimewa di Saunggalah”. Apakah ini berarti bahwa oleh Rakeyan Darmasiksa Saunggalah dijadikan ibu kota? Atau ia hanya mendirikan semacam tempat kabuyutan, yang oleh Carita Parahyangan disebut Sanghyang Binajapanti? Bila benar yang terakhir, maka status Saunggalah tidak pernah menjadi ibu kota, melainkan tetap begitu adanya sejak masa Rahyangtang Kuku—berada dalam wilayah Galunggung.

Ayah Rakeyan Darmasiksa sendiri menurut naskah Wangsakerta adalah Prabu Dharmakusumah (1157-1175), seorang raja Sunda yang berkedudukan di Kawali, atau Sang Lumahing Winduraja (Yang Didarmakan di Winduraja) menurut Fragmen Carita Parahyangan. Menurut naskah Wangsakerta, Rakeyan Darmasiksa memerintah di Saunggalah karena menggantikan mertuanya yang merupakan penguasa Saunggalah, karena ia menikah dengan putri Saunggalah.

Prabuguru Darmasiksa, Menurut pendapat lain, pertama bertahta beberapa tahun di Saunggalah I (Kuningan), kemudian diserahkan kepada putranya Prabu Purana/ Premana, Kuningan dan pindah ke Saunggalah II (Mangunreja/ Sukapura), Tasikmalaya, sekarang di kecamatan Mangunreja, Tasikmalaya di kaki Gunung Galunggung.[3] Selanjutnya tahta Saunggalah II diserahkan kepada putranya yang lain, yaitu Prabu Ragasuci. Dan Prabuguru memerintah Kerajaan Sunda Galuh dari Pakuan, Bogor.[4]

Ketika Darmasiksa memerintah di Pakuan Pajajaran, Saunggalah diberikan kepada putranya yang bernama Ragasuci (Fragmen Carita Parahyanga menyebutnya Rajaputra). Sebagai penguasa Saunggalah, Ragasuci dijuluki Rahyantang Saunggalah (1175-1298). Ia memperistri Dara Puspa, putri seorang raja Melayu. Pada tahun 1298 M, Ragasuci diangkat menjadi Raja Sunda menggantikan ayahnya (1298-1304). Kedudukannya di Saunggalah digantikan putranya bernama Citraganda. Pada masa Citraganda, menurut naskah Wangsakerta, Pakuan untuk kesekian kalinya menjadi ibu kota Kerajaan Sunda

Poesponegoro (2008: 384-385) menafsirkan bahwa sosok Darmasiksa tak lain adalah tokoh Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabhuwana Mandaleswaranindhita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, penguasa “Prahajyan Sunda”. Nama terakhir ini tertulis dalam Prasasti Sanghyang Tapak yang ditemukan di Kampung Pangcalikan dan Bantarmuncang di tepi Sungai Citatih, Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat, berasal dari 952 Saka atau 1030 M, berbahasa dan berhuruf Jawa Kuno.[5]

Identifikasi tersebut dilakukan atas dasar sejumlah petunjuk bahwa kedua tokoh tersebut penganut Hindu Waisnawa atau Wisnu. Carita Parahyangan memberitakan, bahwa Sang Rakeyan Darmasiksa merupakan titisan Sanghyang Wisnu, yang membangun Sanghyang Binajapanti. Begitu pula rupanya Sri Jayabhupati, sama-sama penganut Hindu Wisnu, terlihat dari gelarnya: Wisnumurti Haro Gowardhana.

Selain itu, alasan Poesponegoro menyamakan kedua tokoh tersebut adalah karena keduanya pernah melakukan peresmian kawasan keagamaan. Rakeyan Darmasiksa, membangun Sanghyang Binajapanti, yakni panti atau kabuyutan yang diperuntukkan bagi sang rama (sesepuh masyarakat), sang resi (kaum agamawan), sang disri (peramal), sang tarahan (pelaut) di Parahyangan.

Maka dari itu, raja ini sangat lama memerintah—150 tahun, sebagaimana lazimnya raja-raja Sunda yang panjang umur dan lama masa berkuasanya—karena mempraktikkan jati Sunda, mengimani Sanghyang Darma, serta mengamalkan Sanghyang Siksa.

Raja-raja di Kerajaan Saunggalah

[sunting | sunting sumber]

Menurut Ali Sasramidjaya, penulis buku "Data Kala Sejarah Kerajaan – Kerajaan di Jawa Barat" disebutkan bahwa kala berdirinya kerajaan Saunggalah adalah mulai dari tahun 645 – 1262 Caka = 617 tahun candra, atau dalam hitungan Masehi mulai dari tahun 748 – 1346 Masehi. jadi keberadaan kerajaan ini, berdiri selama 598 tahun. Berikut ini ada para penguasa kerajaan Saunggalah:[1]

  1. Sang Demunawan. Berkuasa mulai tahun 645 – 696 Caka (748 – 797 Masehi): 51 tahun. Penobatan di Saunggalah. Sang Demunawan berusia lebih kuran 77-128 tahun. Ia bergelar Seuweukarma, Rahyangtang Kuku, Sang Resiguru Demunawan. Permaisuri Dewi Sangkari, putri Sang Pandawa alias Wiragati, raja Kuningan. Berputra (1) Tambakwesi (0-51th)(2) Tambakbaya, kelak menjadi ahli menulis pada lontar, diantarnya hal sejarah. Selama pemerintahannya terjadi peristiwa pada tahun 645 C (748 M), Sang Pandawa alias Sang Wiragati, raja Kuningan, turun tahta dan menjadi resiguru di Mandala Layuwatang, mandala bekas pertapaan Rajaresi Dewaraja Sura Liman Sakti raja Kendan II. Setelah Pandawa turun tahta, Sempakwaja mendirikan kerajaan Saunggalah, mendirikan istana di Saunggalah dan mengangkat putranya, Demunawan sebagai Prabunya di bekas kerajaan Kuningan.
  2. Sang Demunawan ialah putra ke 2 Rababu dan Sempakwaja. Ia Wafat pada tahun 696 Caka (797 Masehi.) Demunawan wafat dalam usia 128 tahun. Dengan demikian, diperkirakan Sang Demunawan lahir pada tahun 568 Caka.
  3. Sang Tambakwesi raja ke-2 Kerajaan Saunggalah. Mulai berkuasa tahun 696 – 747 Caka (797 – 847 Masehi): 51 tahun. Penobatannya di Saunggalah 2.Ia berusia 51-102 tahun. Nama Permaisuri tidak diketahui. Berputra Sang Kretamanggala
  4. Sang Kretamanggala naik tahta menjadi raja ke-3 Kerajaan Saunggalah. Mulai berkuasa pada tahun 747 (847 Masehi). Penobatannya di Saunggalah 3. Nama permaisuri tidak diketahui. Berputra (1) Déwi Kencanawangi, bersuami Sang Manarah atau Ciung Wanara (2) Déwi Kencanasari, bersuami Sang Banga.

Garis waktu

[sunting | sunting sumber]

Templat:Kerajaan Sunda

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b "Kerajaan Saunggalah". Artshangkala (dalam bahasa Inggris). 2009-07-19. Diakses tanggal 2018-04-05. 
  2. ^ Noorduyn, J dan A. Teeuw. 2009. Tiga Pesona Sunda Kuna. Terjemahan oleh Hawe Setiawan. Jakarta: Pustaka Jaya.
  3. ^ https://artshangkala.wordpress.com/2009/09/23/amanat-galunggung-prabuguru-darmasiksa-leluhur-sunda/ diakses 28 Nopember 2018
  4. ^ http://id.rodovid.org/wk/Orang:330115/ diakses 28 Nopember 2018
  5. ^ Poesponegoro, Marwati Djoenoed dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka.

Lihat juga

[sunting | sunting sumber]