Lompat ke isi

Kerajaan Sanggau

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kerajaan Sanggau

كرجاان سڠاو
1310–1960
Bendera Kerajaan Sanggau )
Bendera
{{{coat_alt}}}
Lambang
Ibu kotaLabai Lawai, Mengkiang, Sanggau
Bahasa yang umum digunakanBahasa Melayu (resmi), Dayak, Arab
Agama
Islam
PemerintahanMonarki
Sri Paduka Tuanku Yang Mulia 
• 1658-1690
Sultan Awaludin Kusuma Negara
• 1860-1876
Gusti Thahir II
• 2009-Sekarang
Gusti Arman dari Sanggau
Sejarah 
• Didirikan
1310
1616
1815
1825
1930
1960
Didahului oleh
Digantikan oleh
Sriwijaya
Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kerajaan Sanggau ( Bahasa Sanggau dengan Aksara Arab Melayu (Jawi): كرجاان سڠاو ) adalah sebuah kerajaan yang berkelanjutan dari Kerajaan Labai Lawai kepemimpinan Dara Nante pada era Sriwijaya dan kemudian berada di Mengkiang (kota lama) pada awal abad ke-15. Nama "Sanggau" sendiri diambil dari kata Sangga yang mana nama ini diambil karena kerajaan menjadi institusi penyangga baik dari segi ekonomi maupun pertahanan. Selain itu, masyarakat setempat juga menyebutkan daerah ini sebagai "Sangau" Karena masyarakat pada masa itu lazim menggunakan tulisan dengan huruf Arab-Melayu pada kegiatan sehari-hari baik itu secara Administrasi Pemerintahan maupun dalam surat menyurat, adapun nama Sanggau dalam penulisan bahasa Arab-Melayu adalah "سڠاو".

Masa Awal Kerajaan Sanggau

[sunting | sunting sumber]

Dalam perjalanan menyusuri Sungai Sekayam dan bertemu Babai Cinga atau Babaci,[1] Dara Nante kemudian memutuskan untuk balik dan kembali ke Kerajaannya Namun, ditengah perjalanan, tepatnya disebuah tempat yang dikenal dengan nama Labai Lawai, rombongan Dara Nante menghentikan perjalanannya dan membangun suatu kerajaan kecil ditempat itu, yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Sanggau.[2] Rombongan Dara Nante sendiri sebelumnya pernah singgah di Labai Lawai dalam perjalanan pertama mereka ketika mencari Babai Cinga.[2]

Hingga kini, di Labai Lawai masih dapat ditemukan situs sejarah peninggalan Kerajaan Sanggau, yakni berupa batu~batu keramat yang dinamakan Batu Dara Nante dan Batu Babai Cinga.[2] Batu-batu itu menancap ditanah dan ditutup kain kuning berbentuk segi empat dengan ketinggian sekitar 1 meter.[2] Hingga saat ini, warga setempat masih melakukan ritual adat yang rutin diadakan setiap tahun tersebut dengan memberikan sesaji untuk batu-batu yang disucikan tersebut.[2]

Keturunan Kerajaan Sanggau dimasa sekarang meyakini bahwa kerajaan leluhur mereka itu didirikan pertama kali pada tanggal 7 April 1310 M, yaitu ketika Dara Nante dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Sanggau yang pertama. Untuk itu, maka pada tanggal 26 Juli 2009, perwakilan tiga etnis yang terdapat di Sanggau, yaitu Melayu, Dayak, dan tionghoa, menyepakati bahwa setiap tanggal 7 April diperingati sebagai hari jadi Kota Sanggau, dan sudah mendapatkan persetujuan pemerintah.

Kerajaan Sanggau mengalami masa-masa sulit ketika Dara Nante menitipkan pucuk pimpinan Kerajaan Sanggau kepada orang kepercayaannya yang bernama Dakkudak.[3] Namun, Dakkudak ternyata tidak mampu menjalankan amanat Dara Nante dengan semestinya.[3] Berbagai perkara tidak dapat diselesaikannya dengan baik.[3] Akibat kondisi yang kian terjepit dan tidak menguntungkan, Dakkudak kemudian memilih angkat kaki dari Kerajaan Sanggau dan pergi menuju ke daerah Semboja dan Segarong.[3] Kepergian Dakkudak membuat roda pemerintahan Kerajaan Sanggau tersendat.[3] Kelanjutan riwayat Kerajaan Sanggau setelah era pemerintahan Dakkudak belum diketahui dengan pasti, tetapi, pada tahun 1521 M, seorang perempuan yang masih memiliki garis keturunan dengan Dara Nante, bernama Dayang Mas Ratna (1521-1565 M), dinobatkan sebagai penguasa Sanggau.[3] Kebijakan pertama Dayang Mas Ratna setelah bertahta adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Labai Lawai ke Mengkiang, sebuah tempat yang terletak di muara Sungai Sekayam.[3] Dalam menjalankan pemerintahannya, Dayang Mas Ratna dibantu oleh suaminya yang bernama Abang Abdurrahman, keturunan Kyai Kerang dari Banten.[4] Pemimpin Kerajaan Sanggau pengganti Dayang Mas Ratna masih seorang perempuan, bernama Dayang Puasa yang kemudian bergelar Nyai Sura (1565-1614 M).[4] Dalam menjalankan pemerintahan Kerajaan Sanggau, Dayang Puasa dibantu oleh suaminya yang bernama Abang Awal, seorang keturunan penguasa Kerajaan Embau di Kapuas Hulu.[4] Selain itu, masih pada era pemerintahan Nyai Sura, Kerajaan Sanggau telah menjalin hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Sintang yang saat itu dipimpin oleh Raja Juhair atau Jubair.[4] Jadi, dalam hal ini sebenarnya masih ada hubungan darah antara raja-raja Kerajaan Sanggau dengan raja-raja Kerajaan Sintang.[4]

Pada Masa Kesultanan

[sunting | sunting sumber]

Selanjutnya, Sanggau dipimpin oleh seorang Sultan bernama Abang Gani dengan gelar Sultan Awaludin Kusumanegara (1614-1637 M). Pada era ini, Kesultanan Sanggau mempersiapkan Ibu kota baru Kesultanan yang akan dipindahkan dari Mengkiang ke daerah Kota Sanggau sekarang. beberapa proyek pembangunan penunjang pun dibangun seperti Rumah Besar, Rumah Penghulu, Pelabuhan, Pasar Benteng, dan yang lainnya. sehingga kota baru tersebut dikenal sebagai daerah penyangga Kesultanan yang ada di Mengkiang dan dalam kepenulisan administrasi Pemerintahan resmi nama Sanggau ditulis dalam huruf Arab-Melayu dengan dialek setempat yaitu "سڠاو" (dibaca Sangau). Berbagai kebijakan populis pun diterapkan agar pembangunan kota baru tersebut didukung oleh rakyat, sehingga dalam jangka dua tahun proyek pemindahan Ibu kota Kesultanan yang baru telah rampung.

Pada tahun 1616, Sultan Awaludin Kusuma Negara resmi memindahkan pusat pemerintahan dari Mengkiang ke Kota Sanggau. Pada tahun yang sama pula, kesultanan Sanggau menerima utusan dari Kapitan China yang meminta izin membangun suatu perkampungan untuk berdagang di daerah Sanggau. Sebagai tanda tunduk kepada Hukum dan Qanun serta sekaligus meminta perlindungan kepada Kesultanan Sanggau, kapitan ini menyerahkan sebilah Pedang yang bernama "Pedang Nancam" kepada Sultan Sanggau agar mereka bisa bermukim dan berdagang secara aman di Negeri Sanggau.

Dalam kasus lain, Kesultanan Sanggau juga terlibat perkara dengan Kerajaan Tanjungpura. Kasus ini bermula dari perkawinan puteri Sanggau, bernama Dayang Seri Gemala, dengan seorang penguasa dari Kerajaan Matan. Namun, beberapa tahun setelah perkawinan itu, terdengar kabar bahwa Raja Matan telah menikah lagi. Oleh karena itu, pihak Kesultanan Sanggau bermaksud untuk menjemput Dayang Seri Gemala dari Kerajaan Matan. Kesultanan Sanggau dan Kerajaan Matan hampir melakukan perang terbuka di Sungai Kapuas, tetapi melalui berbagai perundingan antara Kerajaan Matan dan Kesultanan Sanggau, akhirnya Dayang Seri Gemala berhasil dipulangkan kembali ke Sanggau secara damai. Warga Sanggau menyambut kepulangan sang puteri dengan suka-cita.[3]

Setelah Raja Abang Gani wafat pada tahun 1637 M, tampuk pemerintahan Kesultanan Sanggau diserahkan kepada putra mahkota yang bemama Abang Basun Pangeran Mangkubumi Pakunegara dengan gelar Sultan Pakunegara (1637- 1658 M). Pemerintahan Abang Basun mendapat dukungan penuh dari saudaranya, bernama Abang Abon dengan gelar Pangeran Sumabaya, dan sepupunya yang bernama Abang Guneng.[5] Abang Basun meneruskan kebijakan ayahandanya dalam membangun Kota Sanggau sebagai Penyangga Ekonomi baru bagi Kesultanan.

Penerus pemerintahan Kesultanan Sanggau setelah Abang Basun adalah Abang Bungsu (Uju) yang bertahta sejak tahun 1658 hingga 1690 M.[3] Abang Bungsu adalah anak lelaki Abang Basun dari istri ketiga yang berasal dari Tanah Silat, Kabupaten Kapuas Hulu.[3] Karena kedua istri Abang Basun yang lain tidak bisa memberikan anak laki-laki.[3] Abang Bungsu dinobatkan sebagai Sultan Sanggau dengan gelar Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara.[3] Sultan Mohammad Jamaluddin pernah berkunjung ke Kesultanan Cirebon di Jawa Barat.[3] Sultan Mohammad Jamaluddin membawa pulang oleh-oleh berupa tiga buah meriam yang diberi nama Bujang Juling, Dara Kuning, dan Dara Hijau.[3] Pada tahun 1690 M Sultan Mohammad Jamaluddin mangkat.[5] Tahta Kesultanan Sanggau dijabat oleh anak sulungnya, bernama Abang Muhammad Zainudin dan Abang Akhmad Kamarudin sebagai Perdana Menteri. Pada suatu hari, Sultan Mohammad Jamaludin sebelum meninggal, memberikan wasiat kepada kedua anaknya agar kelak memimpin Kesultanan Sanggau secara bersama-sama dengan cara bergantian.

Setelah wafatnya Sultan Mohammad Jamaludin, Kesultanan Sanggau menjadi kosong karena kelalaian para Sesepuh dan Wali Negeri Kesultanan Sanggau yang belum melakukan penobatan Sultan yang baru. Maka sebagai Putera Mahkota, Abang Muhammad Zainudin berkali-kali datang menghadap para Sesepuh dan wali Negeri agar segera melakukan penobatan dirinya, agar tak terjadi kekosongan roda pemerintahan di Kesultanan Sanggau. Awalnya, permintaan itu tidak ditanggapi karena para Sesepuh dan Wali Negeri menilai bahwa pada masa itu masih dalam suasana berkabung, tetapi karena Abang Muhammad Zainudin setiap hari selalu mendatangi para Sesepuh dan Wali Negeri untuk membicarakan penobatan dirinya, hal inilah yang menyebabkan dirinya mendapatkan julukan Abang Sebilang Hari. Namun pada akhimya, para Sesepuh dan Wali Negeri mempertimbangkan dengan bijaksana persoalan masa depan dan keamanan Kesultanan, maka penobatan pun segera dilaksanakan.

Pada tahun 1690 M, Abang Muhammad Zainudin dinobatkan menjadi Sultan Sanggau dengan gelar Sultan Zainuddin Surya Negara (1690-1722 M). Dalam mengelola pemerintahan, Sultan Zainudin dibantu oleh adiknya yang bernama Abang Akhmad Kamarudin. Kedua putera almarhum Sultan Mohammad Jamaluddin ini saling bekerja sama untuk memajukan Kesultanan Sanggau.[5] Sultan Zainudin berperan sebagai Sultan, sedangkan Abang Akhmad Kamaruddin sebagai Perdana Menteri. Pada tahun 1722 Sultan Zainudin wafat dan digantikan oleh adiknya Abang Akhmad Kamaruddin yang bergelar Sultan Kamaruddin Paku Negara (1722-1741).

Pemerintahan selanjutnya sebenarnya adalah keturunan dari Sultan Zainudin, tetapi dikarenakan Putera Mahkota belum cukup umur maka Abang Tabrani yang merupakan paman dari (Gusti Mohammad Taher I), maka Abang Tabrani dijadikan sebagai Wali agar tidak dari daerah darat. Pada masa ini, terjalin hubungan akrab antara Kesultanan Sanggau dengan Kerajaan Mempawah. Hal ini dibuktikan dengan pemberian sebuah meriam yang dinamakan “Segentar Alam" kepada Kesultanan Sanggau dari Sultan Kadriah Pontianak.[5] Sebagai hadiah balasan, Abang Tabrani Pangeran Ratu Surya Negara mengirimkan balok-balok kayu belian. Setelah Pangeran Ratu Surya Negara wafat pada tahun 1762 M, tahta Kesultanan Sanggau kembali beralih ke Istana Kuta yang dijabat oleh Sultan Mohammad Thahir I Surya Negara (1762-1785 M).[3]

Di daerah pesisir Kalimantan Barat terjadi perselisihan antara Kerajaan Landak dan Kesultanan Banten karena ketika dalam tahun 1772, Raja Landak menyampaikan keberatan kepada sekutunya Sultan Banten (Bentam) atas pendirian Kerajaan Pontianak oleh Syarif Abdurrahman.[6] Dalam surat kepada Sultan Banten, Raja Landak menyatakan keberatan atas pendirian Kerajaan Pontianak oleh Syarif Abdurrahman, karena perkampungan Pontianak di muara (kuala) Sungai Landak yang dijadikan Syarif Abdurrahman sebagai pusat Kerajaan adalah kawasan perkampungan penduduk yang berada di bawah Kerajaan Landak. Oleh sebab itu, Raja Landak meminta bantuan Sultan Banten untuk tidak mengakui Syarif Abdurraham yang telah mengangkat dirinya sebagai Sultan Pontianak dengan gelar Al-qadri, serta membantu Kerajaan Landak mengusir Syarif Abdurrahman dari perkampungan Pontianak[6] hal inipun berdampak terhadap aktivitas Ekonomi dan Politik bagi Kesultanan Sanggau.

Pada masa ini Kesultanan Sanggau dipimpin oleh Abang Usman yang bergelar Sultan Usman Paku Negara (1785-1812).[3] Kesultanan Sanggau juga sudah mulai bergesekan dengan Kesultanan Pontianak, sehingga Sultan Usman Paku Negara, melakukan perkawinan politik, yaitu mengawinkan putrinya yang bernama Ratu Godok dengan dengan Raja dari Sekadau untuk memperkuat posisi Sanggau.[3] Setelah Sultan Usman Paku Negara, tampuk kekuasaan Kerajaan Sanggau beralih kepada Sultan Mohammad Ali I (1812-1823) dari Istana Kuta.[7]

Pada bulan Maret 1813, Raffles telah mengutus John Hunt sebagai wakil politik dan perdagangan di Pontianak. Melalui John Hunt, Raffles menyampai permintaan bantuan kepada Sultan Pontianak untuk memungut upeti dari orang-orang Cina yang diberi perlindungan oleh Inggeris, serta meminta bantuan melawan Sambas. Dengan arahan Raffles banyak barang-barang keperluan di Kerajaan Sambas terpaksa harus diimpor melalui pelabuhan Pontianak, sehingga peranan pelabuhan Sambas dalam perdagangan menjadi semakin merosot sebagai akibat embargo yang dilakukan Inggeris atas perintah Raffles. Raffles memperkuat kedudukannya di Kerajaan Pontianak agar dapat menguasai seluruh pantai Barat Kalimantan. Dalam sebuah surat kepada Sultan Pontianak, Raffles menulis ”Saya meminta tuan yang terhormat dapat memberikan kepada saya tanah untuk disewa dan sebagian cukai pelabuhan yang dipungut dari kapal-kapal Eropah. Dan untuk perlindungan saya akan menempatkan duapuluh empat tentara dengan bendera Inggeris di Pontianak,” tulis Raffles.[6]

Setelah mendapat informasi dari Sultan Pontanak tentang kekuatan Kerajaan Sambas, kemudian Raffles memerintahkan penyerangan kedua ke Kerajaan Sambas dengan jumlah tentara yang lebih banyak daripada penyerangan pertama yang gagal. Satu pasukan darat yang dipimpin Kolonel James Watson dari Resimen 14 telah mendarat di kuala Sungai Sambas pada 23 Juni 1813 bersamaan dengan kapal angkatan laut Inggeris dari Malaka. Sepucuk surat pun dikirim oleh Kolonel Watson kepada Sultan Sambas yang menuntut penyerahan Pangeran Anom, tetapi tidak mendapat tanggapan dari Sultan. Sekumpulan pasukan Inggeris yang telah dipisahkan dari awal keberangkatan mendarat di pantai yang tidak dijaga pasukan Kerajaan Sambas. Mereka menyerang dari belakang pasukan yang dipimpin Pangeran Anom. Menurut surat Kolonel Watson tertanggal 3 Juli 1813 kepada Raffles, pasukan Inggeris telah berhasil menduduki pelabuhan Sambas dan kawasan perkebunan sekitarnya, serta membunuh seratus lima puluh orang musuh. Namun, Pangeran Anom berhasil melarikan diri ke daerah pedalaman berlindung di perkampungan penduduk pribumi Dayak. Penguasa Kesultanan Kadriah Pontianak saat itu berambisi melakukan sejumlah ekspansi untuk memperluas wilayahnya.[8]

Kesultanan Sambas merupakan sekutu dan mitra dagang dari Kesultanan Sanggau, hal ini menyebabkan Kesultanan Sanggau semakin waspada dengan pergerakan Politik dan Militer dari Kesultanan Pontianak. Sultan Mohammad Ali I tak ingin Sanggau akan bernasib sama seperti Kesultanan Sambas akibat penyerangan militer oleh Inggris dan Kesultanan Pontianak Inggris, maka Sanggau mempersiapkan diri dengan membangun kekuatan di Tayan. Perang terbuka pun tak terelakkan, perang di Sungai Kapuas Tayan antara aliansi Kerajaan Sanggau dan Tayan melawan pasukan dari Kesultanan Pontianak, disini Pasukan Aliansi Sanggau dan Tayan dipukul mundur, sehingga memberikan kesempatan kepada pasukan Pontianak untuk membangun Benteng di Jambu Barzah, pada hari berikutnya pasukan dari Pontianak melanjutkan ekspansi Militernya menuju Sanggau namun di benteng pancur aji pasukan Pontianak mampu dipukul mundur ke Benteng Jambu Barzah, pasukan dari Pontianak berhasil dihadang agar tak memasuki kota Sanggau.

Ekspansi militer yang kedua oleh Kesultanan Pontianak membuat Kesultanan Sanggau kewalahan. Ini disebabkan Sultan dari Pontianak meminta bantuan militer Inggris yang ada di Riau. Dalam pertempuran antara Sanggau melawan Pontianak-Inggris inipun mengakibatkan Sanggau sempat diduduki beberapa bulan, sehingga Sultan Muhammad Ali I Surya Negara terpaksa melarikan diri kedaerah setawar dan membangun kembali pasukannya. setelah Belanda kembali ke Riau, Sultan Syarief Abdurrahman bertahan beberapa saat di Sanggau. Sultan Mohammad Ali I Surya Negara menunggu pada saat seperti ini agar bisa merebut Sanggau kembali dari Sultan Pontianak tersebut. Pasukan Pontianak dan Sultan Syarief merasa terdesak dan melarikan diri untuk kembali pulang ke Pontianak, tetapi di Benteng Pancur Aji pasukan militer Sanggau telah menunggu dan menembakkan meriam ke arah kapal Sultan Pontianak. Salah satu meriam yang merupakan Pusaka Kesultanan Sanggau, yaitu Lela Bujang Melaka mengenai kapal lancang kuning Sultan Syarief tepat di periuknya. Maka tak heran bila pertempuran Sanggau dan Pontianak sangat di ingat oleh masyarakat Sanggau sehingga adanya syair dan pantun yang berbunyi.

Batang Said Belilit-Lilit

Melilit-Lilit di Rumah Kuta

Sultan Syarief Mudik Bebalik

Takut Ditemak Lela Bujang Melaka

Setelah Sanggau kembali aman, Sanggau berusaha kembali untuk membangun sistem ekonomi dan militer secara baik agar dikemudian hari dapat memberikan kedamaian kepada Rakyat Negeri. Era pemerintahan Sultan Mohammad Ali I Surya Negara berakhir pada tahun 1823 dan digantikan oleh wakil dari Dinasty Paku Negara yakni Sultan Ayub Paku Negara, yang memimpin Kersultanan Sanggau sampai tahun 1828.[7] Pada masa pemerintahannya, Sultan Ayub menggagas pembangunan Masjid Jami' Syuhada yang diperkirakan berdiri pada tahun 1825[7] .Saudara Sultan Ayub, benama Abang Angkan, naik tahta menjadi Sultan Sanggau dengan gelar Sultan Mohammad Kusuma Negara.[3] Penobatan Abang Angkan yang notabene masih berasal dari Dinasty Paku Negara itu disebabkan karena calon sultan dari Dinasty Surya Negara (Gusti Muhammad Tahir II) masih kecil dan belum cukup umur untuk memimpin Kesultanan Sanggau.[3] Selain itu, kondisi Politik dan kawasan Kalimantan Barat masih tidak terlalu aman karena dibayangi tentang perang besar di Sanggau pada masa Sultan Mohammad Ali I.

Setelah Abang Angkan wafat pada tahun 1860, giliran wakil dari keluarga Surya Negara yang naik tahta, yakni Sultan Mohammad Thahir II (1860-1876).[3] Sultan Mohammad Thahir II pernah merumuskan batas-batas wilayah hukum antara Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Brunei.[3] Namun, tanda batas yang telah dibuat Sultan Mohammad Thahir II tersebut kini belum dapat dilacak dan ditemukan.[3] Pada era pemerintahan Sultan Mohammad Thahir II, wilayah Kesultanan Sanggau didatangi bangsa Belanda. Pada awalnya, kedatangan Belanda disambut dengan baik oleh rakyat dan keluarga Kesultanan Sanggau.[7] Belanda memanfaatkan sambutan baik ini dengan memohon untuk diizinkan menetap di Sanggau.[7] Permintaan Belanda ini dikabulkan oleh Sultan Mohammad Thahir II.[7] Dengan demikian, Belanda mulai menanamkan pengaruhnya di wilayah Kesultanan Sanggau.[7] Sultan Mohammad Thahir II wafat pada tanggal 23 Maret 1876.[7]

Pada Masa Kerajaan

[sunting | sunting sumber]
Istana Surya Negara

Kedudukannya sebagai Sultan Sanggau digantikan oleh Ade Sulaiman (dari Istana Laut) yang bergelar Panembahan Haji Sulaiman Kusuma Negara (1876-1908).[7] Sejak saat inilah roda pemerintahan di Sanggau mulai dipengaruhi oleh hegemoni Belanda, termasuk perubahan status Kesultanan Sanggau yang pada awalnya sebagai Negara yang merdeka dan berdault berubah menjadi sebuah Kerajaan dengan gelar Panembahan. Tak sampai disitu, Belanda juga mencampuri urusan Kerajaan Sanggau dalam hal mengangkat, memecat, dan menggantikan kedudukan seorang Raja dengan cara tipu serta muslihat yang licik yang disamarkan dalam perjanjian diantara pihak Kerajaan Sanggau dengan Belanda.[7] Pada tahun 1877, misalnya, dilakukan penandatanganan surat kontrak mengenai penyewaan tanah Kerajaan Sanggau oleh Belanda, yang ditandatangani oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.W. van Lansberge (1875-1881) serta pihak Kerajaan Sanggau yang diwakili oleh Raja Sanggau, Panembahan Muhammad Saleh (Mangkubumi), Pangeran Ratu Gudong Becara (Raja di Semerangkai), Pangeran Mas Paduka Putera (Raja di Balai Karangan), dan Pangeran Adi Ningrat selaku Menteri Kesultanan Sanggau).[7] Dalam perjanjian itu, ditetapkan bahwa Tanjung Sekayam disewakan kepada Belanda.[7]

Hal ini lah yang membuat Pangeran Haji Gusti Ahmad Putra Negara sangat anti penjajah, dirinya yang merupakan anak dari Sultan Muhammad Taher II merasa hal yang telah dilakukan Belanda terhadap Negerinya sudah sangat tidak bisa dikompromikan lagi, karena dirinya tahu bahwa hal ini tentu akan merugikan Rakyat karena isi dari perjanjian yang disodorkan oleh Belanda banyak menguntungkan posisi Belanda dan merugikan posisi Kerajaan serta rakyat Negeri. Dirinya mempersiapkan rencana untuk menghilangkan pengaruh Belanda sekaligus mengusir Belanda agar tak mencampuri urusan Kerajaan Sanggau kembali, tetapi rencana ini tercium oleh Belanda sehingga dirinya dibuang ke Jawa Barat. Tepatnya di daerah Purwakarta dari tahun 1876 hingga 1890. Dari petikan keputusan Gubernemen General Hindia Nederland Nomor 27, H Gusti Ahmad Putra Negara itu dilarang tinggal di Lanschap Purwakarta.[9]

Panembahan H Suleman Paku Negara didampingi Pangeran H Muhamad Ali Mangku Negara bersegel tarich 1293 H serta Raden Mas Prabu dan Raden Surya Dirdja serta penghulu agama H Mas Temenggung Nata Igama. Dalam kontrak tersebut telah ditetapkan gaji raja sebesar F.2.400 (dua ribu empat ratus gulden). Politik kontrak tersebut terdiri dari 27 pasal serta beberapa pasal tambahan serta perwatasan (batas) kerajaan Sanggau dengan kerajaan lainnya.[9]

Setelah Panembahan Suleman meninggal semestinya yang naik takhta yakni Pangeran H Muhamad Ali II Suria Negara. Namun, Pangeran Dipati Ibnu Almahrum Panembahan Haji Suleman Paku Negara tidak mau menyerahkan takhta. Terjadilah campur tangan dari Gubernement Hindi Nederland untuk menunjuk pengganti dan Pangeran Dipati dibuang ke Jawa. Gubernement Belanda mengangkat Panembahan H Muhamad Ali II Suria Negara pada tahun 1908 hingga 1915 dengan segel bertarih 1328 H yang mangkubuminya H Ade Muhamad Said Paku Negara, adik Panembahan H Suleman Paku Negara karena Pangeran Dipati telah dibuang ke Jawa.

Setelah Panembahan Muhamad Ali II Suria Negara meninggal, diangkatlah H Ade Muhamad Said Paku Negara dari tahun 1915 hingga 1921, dengan mangkubuminya Pangeran Muhamad Tahir III Suria Negara. Kemudian Panembahan Haji Muhamad Said Paku Negara minta pensiun dan diperkenankan oleh Gubernemen Belanda. Karena telah berhasil masuk ke dalam setiap kebijakan pemerintahan Kerajaan Sanggau kemudian menobatkan Panembahan Thahir III Surya Negara (dari Istana Kuta) menjadi pemimpin Kerajaan Sanggau yang selanjutnya.[5] Kekuasaan Panembahan Thahir III Surya Negara bertahan hingga tahun 1941 dan digantikan oleh Ade Mohammad Arif Paku Negara dari pihak keluarga Istana Beringin.[5]

Pada Masa Penjajahan

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1942, Belanda menyerah kepada Jepang.[5] Sejak itulah masa pendudukan Jepang di Indonesia, termasuk di wilayah Kesultanan Sanggau, dimulai.[5] Era kekuasaan Ade Mohammad Arif Paku Negara hanya bertahan selama satu tahun karena pada tahun 1942 dia ditangkap dan kemudian dibunuh oleh tentara Jepang.[5] Sepeninggal Ade Mohammad Arief, atas campur-tangan pemerintah pendudukan Jepang, Ade Marhaban Saleh diangkat sebagai pemangku adat Kerajaan Sanggau.[5] Ade Marhaban Saleh sejatinya juga berasal dari pihak Istana Beringin.[3] Namun, kondisi ini menjadi hal yang bisa dimaklumi karena adanya tekanan dari pihak pemerintah militer Jepang.[3] Ade Marhaban Saleh digantikan oleh Panembahan Gusti Ali Akbar dari Dinasty Surya Negara, pada tahun 1944.[3] Panembahan Gusti Ali Akbar mengemban mandat sebagai pemangku adat Kerajaan Sanggau pada saat- saat terakhir pendudukan Jepang di Indonesia.[3] Tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada pasukan Sekutu.[3] Tiga hari kemudian, Indonesia menyatakan kemerdekaannya.[3]

Pada awal Abad 20

[sunting | sunting sumber]

Namun, pada bulan September 1945, Belanda yang menjadi bagian dari pemenang Perang Dunia ke-2, datang ke wilayah Indonesia dan bermaksud berkuasa lagi, termasuk berkeinginan untuk kembali menanamkan pengaruhnya di Kerajaan Sanggau.[3] Oleh karena itu, Belanda kemudian mengirim utusannya yang bemama Riekerk untuk menempati posisi sebagai Asisten Residen diwilayah Sanggau.[3] Riekerk, yang datang ke Sanggau bersama pasukan militer bersenjata lengkap, kemudian menurunkan Panembahan Gusti Ali Akbar dan mengangkat Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara sebagai penggantinya.[3] Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara. Tahta Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara bertahan hingga Sanggau diubah menjadi daerah swapraja. Dengan demikian, maka Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara merupakan Raja Sanggau yang terakhir (Basilius, dalam Pontianak Pos, 3 Oktober 2004). Pada tanggal 2 Mei 1960 dilakukan serah terima pemerintahan Swapraja Sanggau kepada M. Th. Dzaman selaku Kepala Daerah Swatantra tingkat II Sanggau.

Sejak saat inilah riwayat Kerajaan Sanggau mengalami kemandegan seiring perubahan statusnya menjadi ibu kota Kabupaten Sanggau di Provinsi Kalimantan Barat. Setelah mati suri selama kurang lebih 49 tahun lamanya, akhimya pada tanggal 26 Juli 2009, dimulailah kebangkitan Kerajaan Sanggau, meski tidak lagi memiliki kewenangan dalam hal politik dan bersifat adat semata[10] Pada tanggal tersebut, Pangeran Ratu H. Gusti Arman Surya Negara dinobatkan sebagai Raja Sanggau[10] Acara agung itu dihadiri oleh beberapa tokoh, seperti Sultan Iskandar Machmud Badarudin dari Kesultanan Palembang Darussalam, Pangeran Ratu Gusti Suryansyah dari Keraton Ismahayana Landak, dan Bupati Sanggau Ir. H. Setiman H. Sudin.[10] penggunaan gelar Pangeran (Pangeran Ratu dan Pangeran Agung) sendiri digunakan sebagai gelar tertinggi Kerajaan Sanggau pasca Kemerdekaan Republik Indonesia, karena para Sesepuh dan Wali Negeri (yang memiliki tugas menobatkan, menurunkan, dan menasihati Raja) menilai Sanggau merupakan wilayah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tak boleh ada matahari kembar dalam suatu Negara serta tak ada Negara didalam sebuah Negara.

Urutan para pemegang tampuk pemerintahan di Kerajaan/Kesultanan Sanggau yang berhasil ditemukan dari buku karya J.U.Lontaan yang berjudul Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat" dan tulisan bertajuk "Kesultanan Sanggau" karya A. Roffi Faturrahman, et.aI. (tt) yang terhimpun dalam buku Istana- istana di Kalimantan Barat adalah sebagai berikut:[3]

  1. Dara Nante (1310 M).
  2. Dakkudak.
  3. Dayang Mas Ratna (1485-1528 M).
  4. Dayang Puasa atau Nyai Sura (1528-1569 M).
  5. Abang Awal atau Abang Terka atau Abang Gani Pangeran Adipati bergelar Sultan Awaludin atau Sultan Gani Kusumanegara (1569-1614 M).
  6. Abang Basun Pangeran Mangkubumi Sultan Basun Pakunegara (1614-1658 M).
  7. Abang Bungsu (Uju) bergelar Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara Al-Haj (1658-1690 M).
  8. Pangeran Ratu Abang Mohammad Zainuddin bergelar Sultan Zainuddin Surya Negara Al-Haj (1690-1722 M).
  9. Pangeran Adipati Abang Kamaruddin bergelar Sultan Akhmad Kamaruddin (1722-1741 M).
  10. Abang Tabrani bergelar Pangeran Ratu Surya Negara (1741-1762 M).[11]
  11. Gusti Mohammad Thahir bergelar Sultan Thahir I Surya Negara Al-Haj (1762-1785 M).
  12. Abang Usman bergelar Sultan Usman Paku Negara (1785-1812).
  13. Gusti Mohammad Ali bergelar Sultan Mohammad Ali I Surya Negara Al-Haj (1812-1823).
  14. Abang Mohammad Ayub bergelar Sultan Ayub Paku Negara (1812-1828).
  15. Abang Angkan bergelar Sultan Mohammad Kusuma Negara (1812-1860).
  16. Gusti Mohammad Thahir bergelar Sultan Thahir II Al-Haj (1860-1876).
  17. Ade Sulaiman bergelar Sri Paduka Yang Mulia Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara (1876-1908).
  18. Gusti Mohammad Ali bergelar Sri Paduka Yang Mulia Panembahan Mohammad Ali II Surya Negara Al-Haj (1808-1915).
  19. Ade Mohammad Said bergelar Panembahan Mohammad Said Paku Negara (1915-1921).
  20. Gusti Mohammad Thahir bergelar Sri Paduka Yang Mulia Gusti Mohammad Thahir III Surya Negara Al-Haj (1921-1941).[12]
  21. Gusti Mohammad Arif (1941-1942).
  22. Ade Marhaban Saleh (1942-1944).
  23. Panembahan Gusti Ali Akbar (1944-1945).
  24. Gusti Mohammad Taufik bergelar Paduka Yang Mulia Gusti Thaufik Surya Negara Al-Haj (1945-1960).
  25. Sri Paduka Yang Mulia Pangeran Ratu Gusti Arman Surya Negara Al-Haj (2009).

Sistem Pemerintahan

[sunting | sunting sumber]

Sistem pemerintahan Kerajaan Sanggau sejak masa awal atau ketika didirikan pertama kali oleh Dara Nante pada tahun 1310 masih berdasarkan aturan dan hukum-hukum adat setempat.[5] Pejabat sementara pengganti Dara Nante, yakni Dakkudak, ternyata tidak dapat mengelola pemerintahan Kerajaan Sanggau dengan baik.[5] Dakkudak tidak mampu menjalankan undang-undang adat dengan semestinya.[5] Ketidak mampuan ini membuat Dakkudak memilih pergi meninggalkan Kerajaan Sanggau.[5] Pengganti Dakkudak adalah keturunan Dara Nante yang bernama Dayang Mas Ratna (1485-1528 M).[5] Sejak masa inilah tampuk pemerintahan Kerajaan Sanggau mulai diampu oleh orang-orang yang mempunyai tali keturunan berdasarkan garis darah.[5] Dalam menjalankan pemerintahan, Dayang Mas Ratna dibantu oleh suaminya yang bemama Nurul Kamal.[5] Hal yang sama juga berlaku pada masa pemerintahan Dayang Puasa atau Nyai Tua yang berperan meneruskan kekuasaan Dayang Mas Ratna.[5] Pengelolaan pemerintahan Kerajaan Sanggau pada Dayang Puasa juga dibantu oleh sang suami yang bernama Abang Awal.[5]

pada masa Sultan Zainudin, terjadi perubahan dalam aturan suksesi Kesultanan Sanggau.[10] Mulai saat itu, pucuk kepemimpinan Kesultanan Sanggau dijabat secara bergantian oleh keturunan Sultan Zainuddin dan Sultan Akhmad Kamaruddin keduanya adalah putera dan Sultan Sanggau sebelumnya, yakni Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara (1658-1690 M).[10] Selain itu, kedua belah pihak juga menempati istana yang berbeda, yakni Rumah Kuta untuk pihak keturunan Sultan Zainuddin,dan Rumah Laut (daerah laut) untuk pihak keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin.[10] Suksesi kepemimpinan yang bergantian seperti ini terus berlangsung hingga Kesultanan Sanggau melebur dan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan sedikit pengecualian yang disebabkan hal-hal tertentu, misalnya calon Sultan/Raja masih berusia belum dewasa atau kondisi politik saat itu.[10]

Sistem pemerintahan Kesultanan Sanggau mempunyai undang-undang yang didasarkan atas hukum adat dan hukum Islam.[7] Akan tetapi, ketika Belanda mulai menanamkan pengaruhnya di Kesultanan Sanggu, segala kebijakan yang dirumuskan Kesultanan Sanggau harus mendapat persetujuan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda.[7] Selain itu, Kesultanan Sanggau juga memiliki lembaga Mahkamah Syariah atau Raad Agama.[7] Lembaga ini dipimpin oleh Haji Muhammad Yusuf bergelar Pangeran Tumenggung Suria Igama dan Ade Ahmaden Baduwi bergelar Raden Penghulu Suria Igama.[13] Pembentukan Raad Agama ini sebenamya merupakan taktik Belanda untuk turut campur dalam persoalan-persoalan agama (Islam) yang sebelumnya menjadi wewenang penuh Sultan Sanggau.[7] Pada tanggal 30 Oktober 1932, dilakukan penyempumaan hukum adat yang berlaku di Kesultanan Sanggau.[7] Hukum adat yang sebelumnya berjumlah 34 pasal ditambah menjadi 70 pasal.[7] Dalam hukum baru tersebut dikatakan bahwa segala urusan agama tidak hanya diputuskan oleh Sultan Sanggau, tetapi juga harus dilakukan oleh Raad Agama.[13] Urusan-urusan yang ditangani oleh Raad Agama antara lain: nikah, talak, rujuk, waris, wasiat, penetapan bulan Ramadhan, fardlu kifayah, pengangkatan imam dan khatib, dan bilal masjid.[13]

Belanda memang berupaya mengendalikan sistem pemerintahan Kesultanan Sanggau.[3] Hal yang paling jelas adalah ketika terjadi suksesi kepemimpinan kesultanan di mana Belanda sangat berpengaruh dalam hal ini.[3] Belanda, misalnya, menobatkan Panembahan Gusti Mohammad Ali Surya Negara (1808-1915), sebagai pengganti Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara (1876-1908).[3] Orang-orang yang menolak pengangkatan itu, salah satunya adalah Pangeran Dipati Ibnu, dibuang ke Jawa oleh Belanda.[3] Campur-tangan Belanda dalam proses pengangkatan pemangku adat Sanggau terus terjadi sampai tahun 1941.[3] Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda terhadap Republik Indonesia pada tahun 1949, maka kedudukan Kesultanan Sanggau secara politik sudah tidak berlaku lagi karena Sanggau bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berubahbentuk menjadi swapraja.[3] Sejak tanggal 2 Mei 1960, riwayat Kesultanan Sanggau berubah status menjadi ibu kota Kabupaten Sanggau yang termasuk ke dalam wilayah Provinsi Kalimantan Barat.[3] Setelah mati suri selama kurang lebih 49 tahun lamanya, akhimya pada tanggal 26 Juli 2009, dimulailah kebangkitan Kesultanan Sanggau, meski tidak lagi memiliki kewenangan dalam hal politik dan bersifat adat semata[10] Pada tanggal tersebut, Pangeran Ratu H. Gusti Arman Surya Negara dinobatkan sebagai Sultan Sanggau.[10]

Wilayah Kekuasaan

[sunting | sunting sumber]

Sejak pertama kali didirikan oleh Dara Nante pada tahun 1310, Kerajaan/Kesultanan Sanggau telah mengalami perpindahan pusat pemerintahan selama beberapa kali dengan masing-masing daerah kekuasaannya.[3] Pertama kali didirikan, pusat Kerajaan Sanggau berada di Labai Lawai di dekat Sungai Sekayam.[3] Kemudian, pada era pemerintahan Dayang Mas Ratna 1521-1565, keturunan Dara Nante, pusat pemerintahan Kerajaan Sanggau dipindahkan dari Labai Lawai ke Mengkiang di muara Sungai Sekayam.[3] Pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Sanggau di Mengkiang bertahan hingga masa kekuasaan Abang Gani Sultan Awaludin Kusuma Negara yang bertahta (1614-1637 M).[3] Sultan Awaludin memindahkan pusat pemerintahan dari Mengkiang ke tempat yang sekarang menjelma menjadi Kota Sanggau.[3]

Pada masa pemerintahan Sultan Mohammad Thahir II (1860-1876), telah dirumuskan batas-batas wilayah hukum antara Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Brunei.[3] Namun, tanda batas yang telah dibuat tersebut kini belum dapat dilacak lagi.[3] Selain itu, Kesultanan Sanggau juga memiliki beberapa wilayah pendudukan.[7] Pada masing-masing dari daerah taklukan Kesultanan Sanggau tersebut ditempatkan seorang pejabat yang ditunjuk oleh Sultan Sanggau.[7] Daerah-daerah yang disebutkan sebagai bagian dari wilayah pendudukan Kesultanan Sanggau tersebut di antaranya adalah Sungkong, Balai Karangan, dan beberapa Wilayah Utara Sanggau atau daerah Hulu Sungai Sekayam.[7] Secara umum, wilayah Kerajaan/Kesultanan Sanggau tidak jauh berbeda dengan wilayah Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, pada masa sekarang.[10] Hal tersebut terlihat ketika pembentukan Kabupaten Sanggau yang mengacu kepada wilayah Swapraja Sanggau, sementara Swapraja Sanggau merupakan kelanjutan dan Kerajaan/Kesultanan Sanggau dahulu.[10] Kabupaten Sanggau merupakan salah satu daerah yang terletak di tengah-tengah dan berada di bagian utara Kalimantan Barat.[10] Sebelah utara Sanggau berbatasan dengan Serawak (Malaysia), sebelah selatan dengan Kabupaten Ketapang, sebelah barat dengan Kabupaten Landak, dan sebelah timur dengan Kabupaten Sintang dan Kabupaten Sekadau.[10]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Abang Ishar, Sejarah Kesultanan Melayu Sanggau
  2. ^ a b c d e "Batu Keramat Daranante dan Babai Cingak", dalam Harian Berkat, 31 Mei 2009.
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq ar as at J.U. Lontaan, 1975. Sejarah-hukum adat dan adat istiadat Kalimantan-Barat. Kalbar: Pemda Tingkat I Kalimantan Barat.</ref kerajaan sanggau Diarsipkan 2015-04-02 di Wayback Machine. diakses 29 Maret 2015
  4. ^ a b c d e Syahzaman & Hasanuddin, 2003. “Sintang dalam lintasan sejarah". Pontianak: Romeo Grafika.
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s A. Roffi Faturrahman, et.al., tt. “Kesultanan Sanggau", dalam Istana-istana di Kalimantan Barat. Pontianak: Inventarisasi Istana di Kalimantan Barat.
  6. ^ a b c http://www.kalbariana.web.id/kontroversi-lanun-di-laut-pantai-barat-kalimantan-1/
  7. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u Basilius, "Pusat pemerintahan dipindahkan di Kampung Kantuk; Melihat perkembangan Sanggau dari masa ke masa (S)", dalam Pontianak Pos, 28 September 2004.
  8. ^ Hasanuddin, 2000. Pontianak, 1771-1900: Suatu tinjauan sejarah sosial ekonomi. Pontianak: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak.
  9. ^ a b http://www.kalbariana.web.id/tak-patuhi-belanda-putra-raja-diasingkan-menelusuri-keberadaan-istana-kerajaan-di-kalbar-80/
  10. ^ a b c d e f g h i j k l m Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama melayu online
  11. ^ (Indonesia)Tomi (2014). Pasak Negeri Kapuas 1616-1822. Indonesia: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN 602961357X. ISBN 9786029613575
  12. ^ (Indonesia)Dr. Abang Ishar AY, M.Sc. Sejarah Kesultanan Melayu Sanggau. Indonesia: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN 6024330715. ISBN 9786024330712
  13. ^ a b c Basilius, "Pembaharuan pemerintahan kerajaan terus dilakukan; Melihat perkembangan Sanggau dari masa ke masa (8)", dalam Pontianak Pos, 1 Oktober 2004.

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]