Lompat ke isi

Perang Aceh: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Dirga udara (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: halaman dengan galat kutipan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Dirga udara (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 47: Baris 47:
Kampanye ini menimbulkan kontroversi di Belanda karena foto-foto dan laporan mengenai jumlah korban tewas dilaporkan. Pemberontakan berdarah yang terisolasi terus berlanjut hingga akhir tahun 1914<ref name="Ibrahim133"/> dan bentuk perlawanan Aceh yang tidak terlalu kejam terus berlanjut hingga [[Perang Dunia II]] dan [[Pendudukan Jepang di Hindia Belanda|pendudukan Jepang]].
Kampanye ini menimbulkan kontroversi di Belanda karena foto-foto dan laporan mengenai jumlah korban tewas dilaporkan. Pemberontakan berdarah yang terisolasi terus berlanjut hingga akhir tahun 1914<ref name="Ibrahim133"/> dan bentuk perlawanan Aceh yang tidak terlalu kejam terus berlanjut hingga [[Perang Dunia II]] dan [[Pendudukan Jepang di Hindia Belanda|pendudukan Jepang]].


== Latar belakang ==
== Latar Belakang ==
Hampir sepanjang abad ke-19, kemerdekaan Aceh telah dijamin oleh [[Perjanjian Inggris-Belanda tahun 1824]]. Selama tahun 1820-an, Aceh menjadi kekuatan politik dan komersial regional, memasok separuh lada dunia, sehingga meningkatkan pendapatan dan pengaruh raja-raja feodal setempat.<ref name="Ricklefs143">Ricklefs (1993), hal. 143</ref> Meningkatnya permintaan lada di Eropa dan Amerika menyebabkan serangkaian pertikaian diplomatik antara Inggris, Prancis, dan Amerika. Pada masa pemerintahan Sultan [[Alauddin Ibrahim Mansur Syah]] (1838–1870), [[Kesultanan Aceh]] membawa raja-raja daerah di bawah kendalinya dan memperluas wilayah kekuasaannya ke pantai timur.<ref name="Ricklefs143"/> Namun, tren ke arah selatan ini berbenturan dengan ekspansi kolonialisme Belanda ke arah utara di [[Sumatera]].<ref name="Ricklefs143"/>
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Luitenant-generaal J.B. van Heutsz met zijn staf tijdens de aanval op Bateë-iliëk TMnr 10018875.jpg|jmpl|kiri|[[Van Heutsz]] sedang memperhatikan pasukannya dalam penyerangan ke Batee Iliek.]]


Setelah pembukaan [[Terusan Suez]] pada tahun 1869 dan perubahan rute pelayaran, Inggris dan Belanda menandatangani [[Perjanjian Inggris-Belanda tahun 1870–71|Perjanjian Inggris-Belanda di Sumatra]] yang mengakhiri klaim teritorial Inggris atas Sumatra , memberikan kebebasan kepada Belanda dalam lingkup pengaruhnya di [[Asia Tenggara Maritim]] sambil memberikan mereka tanggung jawab untuk memberantas pembajakan.<ref name="Ibrahim132"/> Sebagai imbalannya, Inggris memperoleh kendali atas [[Emas Belanda Pantai]] di Afrika dan persamaan hak komersial di [[Kesultanan Siak Sri Indrapura|Siak]].<ref name="Ricklefs144">Ricklefs (2001), hal. 144</ref> Ambisi teritorial Belanda di Aceh dipicu oleh keinginan untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya, terutama [[lada hitam]] dan minyak bumi, serta menghilangkan negara pribumi yang independen. Belanda juga berusaha untuk mengusir kekuatan kolonial saingannya yang mempunyai ambisi di [[Asia Tenggara]], khususnya Inggris dan Perancis.<ref name="Vickers10">Vickers (2005), hal. 10</ref>
Akibat dari Perjanjian Siak 1858, [[Ismail dari Siak|Sultan Ismail]] menyerahkan wilayah [[Deli]], [[Kabupaten Langkat|Langkat]], [[Kabupaten Asahan|Asahan]] dan [[Serdang]] kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak [[Sultan Iskandar Muda]], berada di bawah kekuasaan Aceh. Belanda melanggar perjanjian Siak, maka berakhirlah [[perjanjian London tahun 1824]]. Isi perjanjian London adalah Belanda dan [[Britania Raya]] membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang [[Singapura]]. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh. Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung Britania.<ref>{{Cite book|url=https://books.google.co.id/books?id=drAuk8TSVkgC&pg=PA26&lpg=PA26&dq=Perjanjian+Siak+1858&source=bl&ots=3arbFpu1mi&sig=ACfU3U326Aq7BDGXf-dlEwn7xbSTYVeXIg&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwiX4K2A_ojqAhWIA3IKHSyXDm8Q6AEwEXoECAwQAQ#v=onepage&q=Perjanjian%20Siak%201858&f=false|title=Asal mula konflik Aceh: dari perebutan pantai Timur Sumatra hingga akhir kerajaan Aceh abad ke-19|last=Reid|first=Anthony|date=2005|publisher=Yayasan Obor Indonesia|isbn=978-979-461-534-8|language=id}}</ref><ref>{{Cite web|url=https://www.merdeka.com/pendidikan/sejarah-perebutan-beberapa-daerah-kesultanan-aceh-oleh-belanda.html|title=Sejarah perebutan beberapa daerah Kesultanan Aceh oleh Belanda|website=merdeka.com|language=en|access-date=2020-06-17}}</ref>

Dengan dibukanya [[Terusan Suez]] oleh [[Ferdinand de Lesseps]] menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan. Ditandatanganinya [[Perjanjian London (1871)|Perjanjian London 1871]] antara Inggris dan Belanda, yang isinya, [[Britania]] memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di [[Selat Malaka]]. Belanda mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada [[Britania]].

Akibat perjanjian Sumatra 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul [[Amerika Serikat]], [[Kerajaan Italia (1861-1946)|Kerajaan Italia]] dan [[Kesultanan Usmaniyah]] di [[Singapura]]. Aceh juga mengirimkan utusan ke [[Turki Usmani]] pada tahun [[1871]]. Akibat upaya diplomatik Aceh tersebut, Belanda menjadikannya sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia [[Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen]] dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.


== Periode ==
== Periode ==

Revisi per 14 Juni 2024 15.17

Perang Aceh

Penggambaran seniman tentang Pertempuran Samalanga pada tahun 1878
Tanggal1873–1904
LokasiKesultanan Aceh (sekarang Aceh, Indonesia)
Hasil

Kemenangan Belanda

Perubahan
wilayah
Aceh dianeksasi ke dalam Hindia Belanda
Pihak terlibat

 Belanda

Kesultanan Aceh

Tokoh dan pemimpin

J.H.R. Köhler 
Jan van Swieten
J.L.J.H Pel 
K. van der Heijden (WIA)
H. Demmeni (DOW)
J.J.K. De Moulin 
J.B. van Heutsz[1]
J.C. van der Wijck[1]
Gotfried van Daalen[1]

George Frederik Willem Borel

Sultan Mahmud Syah[3]
Alauddin Muhammad Da'ud Syah II Menyerah[4]
Tuanku Hasyim Banta Muda
Teuku Umar [5]
Cut Nyak Dhien[6]
Teungku Chik di Tiro
Cut Nyak Meutia 

Panglima Polem Menyerah
Kekuatan
3.000 tentara (Ekspedisi Aceh Pertama)[3]
13.000 (Ekspedisi Aceh Kedua)[3]
12.000 tentara KNIL Eropa (1903)[2]
23.000 prajurit KNIL Indonesia[2]
10.000–100.000 pasukan[7]
Korban
37.000 orang terbunuh (termasuk karena kolera)[2] 60.000–70.000 orang terbunuh (termasuk akibat kolera)[2]
10.000 pengungsi[2]

Perang Aceh (bahasa Indonesia: Perang Aceh), juga dikenal sebagai Perang Belanda atau Perang Kafir (1873–1904), adalah konflik militer bersenjata antara Kesultanan Aceh dan Kerajaan Belanda yang dipicu oleh diskusi antara perwakilan Aceh dan Amerika Serikat di Singapura pada masa awal tahun 1873.[8] Perang tersebut merupakan bagian dari serangkaian konflik di akhir abad ke-19 yang mengkonsolidasikan pemerintahan Belanda atas Indonesia modern.

Kampanye ini menimbulkan kontroversi di Belanda karena foto-foto dan laporan mengenai jumlah korban tewas dilaporkan. Pemberontakan berdarah yang terisolasi terus berlanjut hingga akhir tahun 1914[1] dan bentuk perlawanan Aceh yang tidak terlalu kejam terus berlanjut hingga Perang Dunia II dan pendudukan Jepang.

Latar Belakang

Hampir sepanjang abad ke-19, kemerdekaan Aceh telah dijamin oleh Perjanjian Inggris-Belanda tahun 1824. Selama tahun 1820-an, Aceh menjadi kekuatan politik dan komersial regional, memasok separuh lada dunia, sehingga meningkatkan pendapatan dan pengaruh raja-raja feodal setempat.[9] Meningkatnya permintaan lada di Eropa dan Amerika menyebabkan serangkaian pertikaian diplomatik antara Inggris, Prancis, dan Amerika. Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Ibrahim Mansur Syah (1838–1870), Kesultanan Aceh membawa raja-raja daerah di bawah kendalinya dan memperluas wilayah kekuasaannya ke pantai timur.[9] Namun, tren ke arah selatan ini berbenturan dengan ekspansi kolonialisme Belanda ke arah utara di Sumatera.[9]

Setelah pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869 dan perubahan rute pelayaran, Inggris dan Belanda menandatangani Perjanjian Inggris-Belanda di Sumatra yang mengakhiri klaim teritorial Inggris atas Sumatra , memberikan kebebasan kepada Belanda dalam lingkup pengaruhnya di Asia Tenggara Maritim sambil memberikan mereka tanggung jawab untuk memberantas pembajakan.[3] Sebagai imbalannya, Inggris memperoleh kendali atas Emas Belanda Pantai di Afrika dan persamaan hak komersial di Siak.[7] Ambisi teritorial Belanda di Aceh dipicu oleh keinginan untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya, terutama lada hitam dan minyak bumi, serta menghilangkan negara pribumi yang independen. Belanda juga berusaha untuk mengusir kekuatan kolonial saingannya yang mempunyai ambisi di Asia Tenggara, khususnya Inggris dan Perancis.[10]

Periode

Perang Samalanga pertama pada tanggal 26 Agustus 1877. Panglima besar Belanda, Mayor Jenderal Karel van der Heijden kembali ke pasukannya setelah mendapatkan perawatan pada matanya yang tertembak

Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, di mana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu'uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa wilayah lain.

Perang Aceh Kedua (1874-1880). Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten. Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. Pada 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indrapuri. Perang pertama dan kedua ini adalah perang total dan frontal, di mana pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain.

Perang ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah. Di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1903. Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.

Perang keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.[11]

1910-1915 akhir dari perang besar, akan tetapi perlawanan sporadis rakyat Aceh masih berlanjut hingga 1942 di beberapa tempat yang dilakukan oleh sekelompok pejuang.

Siasat Snouck Hurgronje

Christiaan Snouck Hurgronje pada tahun 1930.

Untuk mengalahkan pertahanan dan perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga ahli Dr. Christiaan Snouck Hurgronje yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De Acehers). Dalam buku itu disebutkan strategi bagaimana untuk menaklukkan Aceh.

Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus van Heutsz adalah, supaya golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) dengan pengikutnya dikesampingkan dahulu. Tetap menyerang terus dan menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.

Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronje diterima oleh Van Heutz yang menjadi Gubernur militer dan sipil di Aceh (1898-1904). Kemudian Dr Snouck Hurgronje diangkat sebagai penasihatnya.

Taktik perang

Divisi Marsose pertama pada tahun 1892, Kapten Notten dan Letnan Nolthenius beserta komandan brigade

Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, di mana dibentuk pasukan maréchaussée yang dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macan yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.

Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Teungku Putroe (1902). Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polim dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polim, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polim meletakkan senjata dan menyerah ke Lhokseumawe pada Desember 1903. Setelah Panglima Polim menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polim.

Tentara Melayu di bawah komando Belanda di Sumatra.

Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di bawah pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) di mana 2.922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan.

Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, di mana akhirnya Cut Nya Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang.

Surat perjanjian tanda menyerah

Sultan Muhammad Daud Syah ketika menyerahkan diri pada Belanda pada tahun 20 Januari 1903

Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek (korte verklaring, Traktat Pendek) tentang penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah. Di mana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda, Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri, berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. Perjanjian pendek ini menggantikan perjanjian-perjanjian terdahulu yang rumit dan panjang dengan para pemimpin setempat.

Walau demikian, wilayah Aceh tetap tidak bisa dikuasai Belanda seluruhnya, dikarenakan pada saat itu tetap saja terjadi perlawanan terhadap Belanda meskipun dilakukan oleh sekelompok orang (masyarakat). Hal ini berlanjut sampai Belanda enyah dari Nusantara dan diganti kedatangan penjajah baru yakni Jepang (Nippon).

Tanggapan

  • Ketika perang kolonial Belanda di Aceh hampir memasuki seperempat abad, Letnan Kolonel infantri purnawirawan G.B. Hooijer yang pernah bertugas di Aceh menulis dalam ikhtisar umum bukunya De Krijgsgeschiedenis van Nederlansch Indië van 1811 tot 1894, jilid III (terakhir, setebal 480 halaman), tahun 1895, pada halaman 5 sebagai berikut:
Tidak ada pasukan Diponegoro atau Sentot, baik orang-orang Padri yang fanatik maupun rombongan orang-orang Bali atau massa berkuda orang-orang Bone, seperti yang pernah diperagakan oleh para pejuang Aceh yang begitu berani dan tak takut mati menghadapi serangan, yang begitu besar menaruh kepercayaan pada diri sendiri, yang sedemikian gigih menerima nasibnya, yang cinta kemerdekaan, yang bersikap sedemikian fanatik seolah-olah mereka dilahirkan untuk menjadi gerilyawan bangsanya. Oleh sebab itu perang Belanda di Aceh akan tetap menjadi sumber pelajaran bagi pasukan kita. Dan karena itu pula saya menganggap tepat sekali jika jilid III atau terakhir sejarah perang (Belanda di Hindia Belanda) itu seluruhnya saya peruntukkan guna menguraikan peperangan di Aceh.[12]
  • Namun dari semua pemimpin peperangan kita yang pernah bertempur di setiap pelosok kepulauan kita ini, kita mendengar bahwa tidak ada satu bangsa yang begitu gagah berani dan fanatik dalam peperangan kecuali bangsa Aceh; wanita-wanitanya pun mempunyai keberanian dan kerelaan berkorban yang jauh melebihi wanita-wanita lain.[13]

Referensi

  1. ^ a b c d e Ibrahim, Alfian. "Aceh and the Perang Sabil." Indonesian Heritage: Early Modern History. Vol. 3, ed. Anthony Reid, Sian Jay and T. Durairajoo. Singapore: Editions Didier Millet, 2001. p. 132–133
  2. ^ a b c d e f Vickers (2005), p. 13
  3. ^ a b c d Ibrahim (2001), p. 132
  4. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Ricklefs145
  5. ^ Anthony Reid (2005), p. 336
  6. ^ Anthony Reid (2005), p. 352
  7. ^ a b Ricklefs (2001), hal. 144
  8. ^ Ricklefs (2001), p. 185–88
  9. ^ a b c Ricklefs (1993), hal. 143
  10. ^ Vickers (2005), hal. 10
  11. ^ Frans (2019-04-24). "Selling the Aceh War". www.militairespectator.nl (dalam bahasa Belanda). Diakses tanggal 2020-06-17. 
  12. ^ Zentgraaf, H.C. 1983. Aceh. Jakarta: Penerbit Beuna. (terjemahan oleh Aboe Bakar)
  13. ^ Idem hal. 63

Lihat pula