Lompat ke isi

Sidratul Muntaha: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
k PranalaLuar
Soufiyouns (bicara | kontrib)
+ {{Authority control}}
 
(37 revisi perantara oleh 20 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{Ensiklopedia Islam|Muhammad}}
'''Sidratulmuntaha''' atau '''Sidrat al-Muntahā''' ([[bahasa Arab]]:<big><big> سدرة المنتهى‎</big></big>) adalah sebuah [[pohon]] [[bidara]] yang menandai akhir dari [[langit]]/[[Surga]] ke tujuh, sebuah batas di mana [[makhluk]] tidak dapat melewatinya, menurut kepercayaan [[Islam]]. Dalam kepercayaan ajaran lain ada pula semacam kisah tentang ''Sidrat al-Muntahā'', yang disebut sebagai "Pohon Kehidupan".
'''Sidratul Muntaha''' ({{Lang-ar|سدرة المنتهى|Sidrat al-Muntahā}}<big><big></big></big>) adalah sebuah [[pohon]] [[bidara]] (''sidr'') yang menandai akhir dari [[langit]]/[[Surga]] ketujuh, yang menandai batas tempat [[makhluk]] tidak dapat melewatinya, menurut agama [[Islam]]. Dalam kepercayaan ajaran lain ada pula semacam kisah yang mirip dengan ''Sidratul Muntahā'', yang disebut sebagai "[[Pohon kehidupan|Pohon Kehidupan]]".


Pada tanggal 27 Rajab selama [[Isra Mikraj]], hanya [[Muhammad]] yang bisa memasuki ''Sidrat al-Muntaha'' dan dalam perjalanan tersebut, Muhammad ditemani oleh [[Malaikat]] [[Jibril]], di mana [[Allah]] memberikan perintah untuk [[Salat lima waktu|Salat 5 waktu]]. Dalam Agama [[Baha'i]] ''Sidrat al-Muntahā'' biasa disebut dengan "''Sadratu'l-Muntahá''" adalah sebuah kiasan untuk penjelmaan [[Tuhan]].
Dalam peristiwa [[Isra Mikraj]], hanya nabi Islam, [[Muhammad]], yang bisa memasuki ''Sidratul Muntaha'' dan dalam perjalanan tersebut, Muhammad didampingi [[malaikat]] [[Jibril]], dan [[Allah]] memberikan perintah kepada umat Islam untuk mendirikan [[Salat lima waktu|salat 5 waktu]].<ref>El-Sayed El-Aswad. ''[https://books.google.com/books?id=5CAJwXmjt3cC Religion and Folk Cosmology: Scenarios of the Visible and Invisible in Rural Egypt]''. Praeger/Greenwood. United States: 2002. p. 84. {{ISBN|0-89789-924-5}}</ref>


Dalam agama [[Baháʼí]] ''Sidrat al-Muntahā'' biasa disebut dengan "''Sadratu'l-Muntahá''" adalah sebuah kiasan untuk penjelmaan [[Tuhan]].
== Etimologi ==
''Sidrat al-Muntahā'' berasal dari kata ''sidrah'' dan ''muntaha''. ''Sidrah'' adalah pohon Bidara, sedangkan ''muntaha'' berarti tempat berkesudahan, sebagaimana kata ini dipakai dalam ayat berikut:
{{cquote|''Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasanya kepada Tuhanmulah '''kesudahan''' (segala sesuatu). (An-Najm, 53:41-42)}}


== Etimologi dan wujud ==
Dengan demikian, secara bahasa Sidratulmuntaha berarti pohon Bidara tempat berkesudahan. Disebut demikian karena tempat ini tidak bisa dilewati lebih jauh lagi oleh manusia dan merupakan tempat diputuskannya segala urusan yang naik dari dunia di bawahnya maupun segala perkara yang turun dari atasnya. Istilah ini disebutkan sekali dalam Al-Qur'an, yaitu pada ayat:
''Sidrat al-Muntahā'' berasal dari kata ''sidrah'' dan ''muntaha''. ''Sidrah'' adalah "pohon bidara", sedangkan ''muntaha'' berarti "tempat berkesudahan" atau "puncak", sebagaimana kata ini dipakai dalam ayat berikut:
{{cquote|''...(yaitu) di '''Sidratil Muntaha'''. (An-Najm, 53:14)}}


{{Quote|Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasanya kepada Tuhanmulah '''kesudahan''' (segala sesuatu).|{{cite quran|53|41-42|style=inline}}}}
Menurut [[cendikiawan Muslim|cendekiawan Muslim]] dinamakan ''Sidratulmuntaha'' (secara harfiah Pohon Puncak) karena ilmu [[malaikat]] hanya sampai di sini, dan tidak ada yang mampu melewati pohon tersebut. Kemudian semua ketetapan Allah yang turun, pangkalnya dari pohon tersebut, dan semua yang naik ujungnya ada di pohon itu pula.<ref>[[Ibnu Abbas]] dan para ahli tafsir mengatakan: "Dinamakan sidratul muntaha (pohon puncak), karena ilmu malaikat puncaknya sampai disini. Tidak ada yang bisa melewatinya, kecuali rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa dinamakan sidratul muntaha karena semua ketetapan Allah yang turun, pangkalnya dari sana dan semua yang naik, ujungnya ada di sana." (Ta’liqat ‘ala Shahih Muslim, Muhamad Fuad Abdul Baqi, 1/145).</ref>


Dengan demikian, secara bahasa Sidratulmuntaha berarti "bidara yang berkesudahan". Disebut demikian karena tempat ini tidak bisa dilewati lebih jauh lagi oleh manusia dan merupakan tempat diputuskannya segala urusan yang naik dari dunia di bawahnya maupun segala perkara yang turun dari atasnya. Istilah ini disebutkan sekali dalam Al-Qur'an, yaitu pada ayat:
== Wujud Sidratulmuntaha ==

Sidratulmuntaha digambarkan sebagai Pohon Bidara yang sangat besar, tumbuh mulai Langit Keenam hingga Langit Ketujuh. Dedaunannya sebesar telinga gajah dan buah-buahannya seperti bejana atau kendi dari daerah Hajar.<ref>Hadis dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Aku melihat Shidratul-Muntaha di langit ke tujuh. Buahnya seperti kendi daerah Hajar, dan daunnya seperti telinga gajah. Dari akarnya keluar dua sungai luar dan dua sungai dalam. Kemudian aku bertanya, “Wahai Jibril, apakah keduanya ini?” Dia menjawab, “Adapun dua yang dalam itu ada di surga sedangkan dua yang di luar itu adalah Nil dan Eufrat. (HR. Bukhari 3207)</ref><ref>Dari Anas bin Malik, dari Malik bin Sha'sha'ah, dari Nabi {{SAW}}. Diapun menyebutkan hadits Mi'raj, dan di dalamnya: "Kemudian aku dinaikkan ke Sidratul Muntaha". Lalu Nabi {{SAW}} mengisahkan: "Bahwasanya daunnya seperti telinga gajah dan bahwa buahnya seperti bejana batu". Hadits telah dikeluarkan dalam ash-Shahihain dari hadits Ibnu Abi Arubah. Hadits riwayat al-Baihaqi (1304). Asal hadits ini ada pada riwayat al-Bukhari (3207) dan Muslim (164).</ref>
{{Quote|yaitu di '''Sidratulmuntaha'''|{{cite quran|53|14|style=inline}}}}

Menurut [[cendikiawan Muslim|ulama]] dinamakan ''Sidratulmuntaha'' (secara harfiah Pohon Puncak) karena ilmu [[malaikat]] hanya sampai di sini, dan tidak ada yang mampu melewati pohon tersebut. Kemudian semua ketetapan Allah yang turun, pangkalnya dari pohon tersebut, dan semua yang naik ujungnya ada di pohon itu pula.<ref>[[Ibnu Abbas]] dan para ahli tafsir mengatakan: "Dinamakan sidratul muntaha (pohon puncak), karena ilmu malaikat puncaknya sampai disini. Tidak ada yang bisa melewatinya, kecuali rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa dinamakan sidratul muntaha karena semua ketetapan Allah yang turun, pangkalnya dari sana dan semua yang naik, ujungnya ada di sana." (Ta’liqat ‘ala Shahih Muslim, Muhamad Fuad Abdul Baqi, 1/145).</ref>

Sidratulmuntaha digambarkan sebagai bidara yang sangat besar, tumbuh mulai Langit Keenam hingga Langit Ketujuh. Dedaunannya sebesar telinga gajah dan buah-buahannya seperti bejana atau kendi dari daerah Hajar.<ref>Hadis dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Aku melihat Shidratul-Muntaha di langit ke tujuh. Buahnya seperti kendi daerah Hajar, dan daunnya seperti telinga gajah. Dari akarnya keluar dua sungai luar dan dua sungai dalam. Kemudian aku bertanya, “Wahai Jibril, apakah keduanya ini?” Dia menjawab, “Adapun dua yang dalam itu ada di surga sedangkan dua yang di luar itu adalah Nil dan Eufrat. (HR. Bukhari 3207)</ref><ref>Dari Anas bin Malik, dari Malik bin Sha'sha'ah, dari Nabi {{SAW}}. Diapun menyebutkan hadits Mi'raj, dan di dalamnya: "Kemudian aku dinaikkan ke Sidratul Muntaha". Lalu Nabi {{SAW}} mengisahkan: "Bahwasanya daunnya seperti telinga gajah dan bahwa buahnya seperti bejana batu". Hadits telah dikeluarkan dalam ash-Shahihain dari hadits Ibnu Abi Arubah. Hadits riwayat al-Baihaqi (1304). Asal hadits ini ada pada riwayat al-Bukhari (3207) dan Muslim (164).</ref>


Menurut Kitab ''As-Suluk'', ''Sidrat al-Muntahā'' adalah sebuah pohon yang terdapat di bawah [[arasy]], pohon tersebut memiliki daun yang sama banyaknya dengan sejumlah makhluk ciptaan Allah.<ref>Kabil Akbar katanya: “Allah SWT telah menciptakan sebuah pohon di bawah Arsy yang mana daunnya sama banyak dengan bilangan makhluk yang Allah ciptakan. Jika seseorang itu telah diputuskan ajalnya, maka umurnya tinggal 40 hari dari hari yang diputuskan. Maka jatuhlah daun itu kepada Malaikat Maut, tahulah bahwa dia telah diperintahkan untuk mencabut nyawa orang yang tertulis pada daun tersebut.</ref>
Menurut Kitab ''As-Suluk'', ''Sidrat al-Muntahā'' adalah sebuah pohon yang terdapat di bawah [[arasy]], pohon tersebut memiliki daun yang sama banyaknya dengan sejumlah makhluk ciptaan Allah.<ref>Kabil Akbar katanya: “Allah SWT telah menciptakan sebuah pohon di bawah Arsy yang mana daunnya sama banyak dengan bilangan makhluk yang Allah ciptakan. Jika seseorang itu telah diputuskan ajalnya, maka umurnya tinggal 40 hari dari hari yang diputuskan. Maka jatuhlah daun itu kepada Malaikat Maut, tahulah bahwa dia telah diperintahkan untuk mencabut nyawa orang yang tertulis pada daun tersebut.</ref>


Allah berfirman dalam [[surah An-Najm]] 16:
Allah berfirman dalam surah An-Najm 16, {{cquote|''Ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya (an-Najm, 53: 16)}} Dikatakan bahwa yang menyelimutinya adalah [[permadani]] yang terbuat dari [[emas]].


{{Quote|Ketika Sidratulmuntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya|{{cite quran|53|16|style=inline}}}}
Jika Allah memutuskan sesuatu, maka "bersemilah" Sidratulmuntaha sehingga diliputi oleh sesuatu, yang menurut penafsiran Ibnu Mas'ud {{Ra}} adalah "permadani emas". Deskripsi tentang Sidratulmuntaha dalam hadis-hadis tentang Isra Mikraj tersebut menurut sebagian ulama hanyalah berupa gambaran (metafora) sebatas yang dapat diungkapkan kata-kata.


Dikatakan bahwa yang menyelimutinya adalah [[permadani]] yang terbuat dari [[emas]].
== Peristiwa di Sidratulmuntaha ==

Jika Allah memutuskan sesuatu, maka "bersemilah" Sidratulmuntaha sehingga diliputi oleh sesuatu, yang menurut penafsiran [[Abdullah bin Mas'ud|Ibnu Mas'ud]] adalah "permadani emas". Deskripsi tentang Sidratulmuntaha dalam hadis-hadis tentang Isra Mikraj tersebut menurut sebagian ulama hanyalah berupa gambaran (metafora) sebatas yang dapat diungkapkan kata-kata.

== Peristiwa di Sidratul Muntaha ==
Ketika Mikraj, di sini Muhammad melihat banyak hal, seperti:
Ketika Mikraj, di sini Muhammad melihat banyak hal, seperti:
=== Melihat Bentuk Asli Jibril ===
=== Bentuk Jibril ===
Dikatakan bahwa Muhammad telah melihat wujud asli dari Malaikat Jibril yang memiliki sayap sebanyak 600 sayap.<ref>Asy-Syaibani berkata: Aku menanyai Zirr bin Hubaisy tentang firman Allah {maka jadilah dia dekat dua ujung busur panah atau lebih dekat (an-Najm, 53: 9)}. Dia menjawab: "Telah mengabariku Ibnu Mas'ud bahwasanya Nabi telah melihat (bentuk asli) Jibril. Ia memiliki enam ratus sayap." Hadits riwayat [[Imam Muslim|Muslim]] (174), Kitab Iman, Bab tentang Penyebutan Sidratul Muntaha.</ref>
Dikatakan bahwa Muhammad telah melihat wujud asli dari Malaikat Jibril yang memiliki sayap sebanyak 600 sayap.<ref>Asy-Syaibani berkata: Aku menanyai Zirr bin Hubaisy tentang firman Allah {maka jadilah dia dekat dua ujung busur panah atau lebih dekat (an-Najm, 53: 9)}. Dia menjawab: "Telah mengabariku Ibnu Mas'ud bahwasanya Nabi telah melihat (bentuk asli) Jibril. Ia memiliki enam ratus sayap." Hadits riwayat [[Imam Muslim|Muslim]] (174), Kitab Iman, Bab tentang Penyebutan Sidratul Muntaha.</ref>
{{cquote|''...dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (An-Najm 53:13)}}


{{Quote|...dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain,|{{cite quran|53|13|style=inline}}}}
=== Melihat Cahaya Tuhan ===

=== Melihat Allah ===
Dikatakan pula bahwa Muhammad telah melihat Allah yang berupa [[cahaya]] atau hanya tertutup dengan cahaya.<ref>Dari Abu Dzar, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah: "Apakah paduka melihat Tuhan paduka?". Ia menjawab: "Hanya cahaya. Bagaimana mungkin aku dapat melihat Allah?" Hadits riwayat [[Imam Muslim|Muslim]] (178.1), Kitab al-Iman, Bab Tentang Sabdanya "Bahwasanya aku melihat-Nya sebagai cahaya" dan Tentang Sabdanya "Aku telah melihat cahaya".</ref><ref>Dari Abdullah bin Syaqiq, ia telah bersabda: Aku bertanya kepada Abu Dzar: "Seandainya aku melihat Rasulullah, pasti aku akan menanyainya." Lantas dia berkata: "Tentang sesuatu apa?" Aku akan menanyainya: "Apakah baginda melihat Tuhan baginda?" Abu Dzar berkata: "Aku telah menanyainya, kemudian dia jawab: 'Aku telah melihat cahaya'." Hadits riwayat [[Imam Muslim|Muslim]] (178.2), Kitab al-Iman, Bab Tentang Sabdanya "Bahwasanya aku melihat-Nya sebagai cahaya" dan Tentang Sabdanya "Aku telah melihat cahaya".</ref><ref>''Syarh Nawawi tahqiq Khalil Ma'mun Syiha'' III/15 no.442 dan juga no. 443</ref>
Dikatakan pula bahwa Muhammad telah melihat Allah yang berupa [[cahaya]] atau hanya tertutup dengan cahaya.<ref>Dari Abu Dzar, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah: "Apakah paduka melihat Tuhan paduka?". Ia menjawab: "Hanya cahaya. Bagaimana mungkin aku dapat melihat Allah?" Hadits riwayat [[Imam Muslim|Muslim]] (178.1), Kitab al-Iman, Bab Tentang Sabdanya "Bahwasanya aku melihat-Nya sebagai cahaya" dan Tentang Sabdanya "Aku telah melihat cahaya".</ref><ref>Dari Abdullah bin Syaqiq, ia telah bersabda: Aku bertanya kepada Abu Dzar: "Seandainya aku melihat Rasulullah, pasti aku akan menanyainya." Lantas dia berkata: "Tentang sesuatu apa?" Aku akan menanyainya: "Apakah baginda melihat Tuhan baginda?" Abu Dzar berkata: "Aku telah menanyainya, kemudian dia jawab: 'Aku telah melihat cahaya'." Hadits riwayat [[Imam Muslim|Muslim]] (178.2), Kitab al-Iman, Bab Tentang Sabdanya "Bahwasanya aku melihat-Nya sebagai cahaya" dan Tentang Sabdanya "Aku telah melihat cahaya".</ref><ref>''Syarh Nawawi tahqiq Khalil Ma'mun Syiha'' III/15 no.442 dan juga no. 443</ref>


Untuk hal ini terdapat beda pendapat di kalangan ulama, apakah Nabi Muhammad pernah melihat Tuhannya? Jika pernah apakah dia melihat-Nya dengan mata kepala atau mata hati? Masing-masing memiliki argumennya sendiri-sendiri. Di antara yang berpendapat bahwa dia pernah melihat-Nya dengan mata hati antara lain al-Baihaqi, al-Hafizh [[Ibnu Katsir]] dalam Tafsirnya, dan [[Syaikh al-Albani|Syekh al-Albani]] dalam tahkiknya terhadap ''[[Syarah]] Aqidah ath-Thahawiyah''. Salah satu argumentasi mereka adalah hadits yang telah dikutip di atas. Jadi, menurut riwayat yang sahih, yang Nabi Muhammad lihat hanyalah cahaya yang menghalangi antara dirinya dengan Allah.
Untuk hal ini terdapat beda pendapat di kalangan ulama. Tokoh yang menganggap Muhammad pernah melihat-Nya dengan mata hati antara lain al-Baihaqi, [[Ibnu Katsir]], dalam tahkiknya terhadap menurut hadis-hadis sahih.


=== Mendapatkan Perintah Salat ===
=== Perintah salat ===
Di Sidratulmuntaha ini Nabi [[Muhammad]] mendapatkan perintah [[salat lima waktu]]. Perintah melaksanakan salat tersebut pada awalnya adalah 50 kali setiap harinya. Akan tetapi, karena pertimbangan dan saran Nabi Musa serta permohonan Nabi Muhammad sendiri, serta kasih dan sayang Allah, jumlahnya menjadi hanya 5 kali saja. Di antara hadis mengenai hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud.<ref>
Di Sidratulmuntaha ini [[Muhammad]] mendapatkan perintah [[salat lima waktu]]. Awalnya diperintahkan 50 waktu setiap hari. Akan tetapi, karena pertimbangan dan saran [[Musa (tokoh Al-Qur'an)|Musa]] serta permohonan Muhammad sendiri, serta kasih dan sayang Allah, akhirnya dipangkas menjadi 5 kali saja. Di antara hadis mengenai hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud.<ref>
Dari Ibnu Abbas, ia telah berkata: "Nabi kalian diperintah lima puluh kali salat (sehari semalam), kemudian dia meminta keringanan Tuhan kalian agar menjadikannya lima kali salat." Hadits riwayat Ibnu Majah (1400) dengan redaksi di atas, dan Ahmad (2884). Menurut [[Muhammad Nashiruddin Al-Albani|al-Albani]], hadits ini hasan lighairih.</ref>
Dari Ibnu Abbas, ia telah berkata: "Nabi kalian diperintah lima puluh kali salat (sehari semalam), kemudian dia meminta keringanan Tuhan kalian agar menjadikannya lima kali salat." Hadits riwayat Ibnu Majah (1400) dengan redaksi di atas, dan Ahmad (2884). Menurut [[Muhammad Nashiruddin Al-Albani|al-Albani]], hadits ini hasan lighairih.</ref>


Dari Abdullah (bin Mas'ud), ia telah berkata: "Ketika Rasulullah diisrakan, dia berakhir di Sidratulmuntaha (yang bermula) di langit keenam. Ke sanalah berakhir apa-apa yang naik dari bumi, lalu diputuskan di sana. Dan ke sana berakhir apa-apa yang turun dari atasnya, lalu diputuskan di sana."
{{Quote|Dari Abdullah (bin Mas'ud), ia berkata: "Ketika Rasulullah di-''isra''-kan, dia berakhir di Sidratulmuntaha (yang bermula) di langit keenam. Ke sanalah berakhir apa-apa yang naik dari bumi, lalu diputuskan di sana. Dan ke sana berakhir apa-apa yang turun dari atasnya, lalu diputuskan di sana." Ia berkata: "Kemudian Rasulullah diberi tiga hal: Diberi salat lima waktu dan diberi penutup [[Surah Al-Baqarah]] serta diampuni dosa-dosa besar bagi siapa pun dari umatnya yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun".|Hadis riwayat [[Imam Muslim|Muslim]] (173) dengan redaksi di atas, at-Tirmidzi (3276), an-Nasai (451), dan Ahmad (3656 dan 4001).}}


== Penggunaan dalam logo ==
Ia berkata: "Kemudian Rasulullah diberi tiga hal: Diberi salat lima waktu dan diberi penutup Surah Al-Baqarah serta diampuni dosa-dosa besar bagi siapapun dari umatnya yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun".<ref>HR [[Imam Muslim|Muslim]] (173) dengan redaksi di atas, at-Tirmidzi (3276), an-Nasai (451), dan Ahmad (3656 & 4001).</ref>
Pohon bidara juga menjadi logo dari beberapa organisasi, misalnya [[Qatar Foundation]]: "Pohon Sidr, yang sangat kuat dan tangguh di lingkungan yang paling keras, menjadi simbol ketekunan dan kesuburan di seantero dunia Arab. Seberapa pentingnya pohon yang mulia ini? Dengan akarnya yang menghunjam ke bumi dan cabang-cabangnya menjulur ke atas, melambangkan solidaritas dan tekad; itu mengingatkan kita bahwa tujuan hidup kita di dunia ini tidak boleh bertentangan dengan tujuan akhir hidup kita di akhirat." Pohon ''[[Ziziphus spina-christi]]'' merepresentasikan simbolisme ini.<ref>{{cite web|author=Sheikha Moza bint Nasser, Qatar Foundation Chairperson|date=13 October 2003|title=The Sidra Tree Story|url=http://www.qf.org.qa/about|website=Qatar Foundation - About}}</ref>


== Lihat Pula ==
== Lihat pula ==
* [[Arasy]]
* [[Arasy]]
* [[Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW|Isra Mikraj Nabi Muhammad saw.]]
* [[Isra Mikraj]]
* [[Pohon Kehidupan]]
* [[Pohon kehidupan|Pohon Kehidupan]]


== Rujukan ==
== Rujukan ==
Baris 51: Baris 61:
* {{id}} [http://media.isnet.org/isnet/Djamal/isra2.html Sidratul Muntaha dalam Isra dan Mi'raj]
* {{id}} [http://media.isnet.org/isnet/Djamal/isra2.html Sidratul Muntaha dalam Isra dan Mi'raj]


{{Nama orang dan tempat yang disebutkan dalam Al-Qur'an}}
[[Kategori:Islam]]
{{Authority control}}

[[Kategori:Kata dan frasa Arab]]
[[Kategori:Eskatologi Islam]]
[[Kategori:Istilah Islam]]
[[Kategori:Istilah Bahá'í]]
[[Kategori:Pohon dalam Islam]]

Revisi terkini sejak 11 Juli 2024 10.55

Sidratul Muntaha (bahasa Arab: سدرة المنتهى, translit. Sidrat al-Muntahā) adalah sebuah pohon bidara (sidr) yang menandai akhir dari langit/Surga ketujuh, yang menandai batas tempat makhluk tidak dapat melewatinya, menurut agama Islam. Dalam kepercayaan ajaran lain ada pula semacam kisah yang mirip dengan Sidratul Muntahā, yang disebut sebagai "Pohon Kehidupan".

Dalam peristiwa Isra Mikraj, hanya nabi Islam, Muhammad, yang bisa memasuki Sidratul Muntaha dan dalam perjalanan tersebut, Muhammad didampingi malaikat Jibril, dan Allah memberikan perintah kepada umat Islam untuk mendirikan salat 5 waktu.[1]

Dalam agama Baháʼí Sidrat al-Muntahā biasa disebut dengan "Sadratu'l-Muntahá" adalah sebuah kiasan untuk penjelmaan Tuhan.

Etimologi dan wujud

[sunting | sunting sumber]

Sidrat al-Muntahā berasal dari kata sidrah dan muntaha. Sidrah adalah "pohon bidara", sedangkan muntaha berarti "tempat berkesudahan" atau "puncak", sebagaimana kata ini dipakai dalam ayat berikut:

Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu).

Dengan demikian, secara bahasa Sidratulmuntaha berarti "bidara yang berkesudahan". Disebut demikian karena tempat ini tidak bisa dilewati lebih jauh lagi oleh manusia dan merupakan tempat diputuskannya segala urusan yang naik dari dunia di bawahnya maupun segala perkara yang turun dari atasnya. Istilah ini disebutkan sekali dalam Al-Qur'an, yaitu pada ayat:

yaitu di Sidratulmuntaha

Menurut ulama dinamakan Sidratulmuntaha (secara harfiah Pohon Puncak) karena ilmu malaikat hanya sampai di sini, dan tidak ada yang mampu melewati pohon tersebut. Kemudian semua ketetapan Allah yang turun, pangkalnya dari pohon tersebut, dan semua yang naik ujungnya ada di pohon itu pula.[2]

Sidratulmuntaha digambarkan sebagai bidara yang sangat besar, tumbuh mulai Langit Keenam hingga Langit Ketujuh. Dedaunannya sebesar telinga gajah dan buah-buahannya seperti bejana atau kendi dari daerah Hajar.[3][4]

Menurut Kitab As-Suluk, Sidrat al-Muntahā adalah sebuah pohon yang terdapat di bawah arasy, pohon tersebut memiliki daun yang sama banyaknya dengan sejumlah makhluk ciptaan Allah.[5]

Allah berfirman dalam surah An-Najm 16:

Ketika Sidratulmuntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya

Dikatakan bahwa yang menyelimutinya adalah permadani yang terbuat dari emas.

Jika Allah memutuskan sesuatu, maka "bersemilah" Sidratulmuntaha sehingga diliputi oleh sesuatu, yang menurut penafsiran Ibnu Mas'ud adalah "permadani emas". Deskripsi tentang Sidratulmuntaha dalam hadis-hadis tentang Isra Mikraj tersebut menurut sebagian ulama hanyalah berupa gambaran (metafora) sebatas yang dapat diungkapkan kata-kata.

Peristiwa di Sidratul Muntaha

[sunting | sunting sumber]

Ketika Mikraj, di sini Muhammad melihat banyak hal, seperti:

Bentuk Jibril

[sunting | sunting sumber]

Dikatakan bahwa Muhammad telah melihat wujud asli dari Malaikat Jibril yang memiliki sayap sebanyak 600 sayap.[6]

...dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain,

Melihat Allah

[sunting | sunting sumber]

Dikatakan pula bahwa Muhammad telah melihat Allah yang berupa cahaya atau hanya tertutup dengan cahaya.[7][8][9]

Untuk hal ini terdapat beda pendapat di kalangan ulama. Tokoh yang menganggap Muhammad pernah melihat-Nya dengan mata hati antara lain al-Baihaqi, Ibnu Katsir, dalam tahkiknya terhadap menurut hadis-hadis sahih.

Perintah salat

[sunting | sunting sumber]

Di Sidratulmuntaha ini Muhammad mendapatkan perintah salat lima waktu. Awalnya diperintahkan 50 waktu setiap hari. Akan tetapi, karena pertimbangan dan saran Musa serta permohonan Muhammad sendiri, serta kasih dan sayang Allah, akhirnya dipangkas menjadi 5 kali saja. Di antara hadis mengenai hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud.[10]

Dari Abdullah (bin Mas'ud), ia berkata: "Ketika Rasulullah di-isra-kan, dia berakhir di Sidratulmuntaha (yang bermula) di langit keenam. Ke sanalah berakhir apa-apa yang naik dari bumi, lalu diputuskan di sana. Dan ke sana berakhir apa-apa yang turun dari atasnya, lalu diputuskan di sana." Ia berkata: "Kemudian Rasulullah diberi tiga hal: Diberi salat lima waktu dan diberi penutup Surah Al-Baqarah serta diampuni dosa-dosa besar bagi siapa pun dari umatnya yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun".

— Hadis riwayat Muslim (173) dengan redaksi di atas, at-Tirmidzi (3276), an-Nasai (451), dan Ahmad (3656 dan 4001).
[sunting | sunting sumber]

Pohon bidara juga menjadi logo dari beberapa organisasi, misalnya Qatar Foundation: "Pohon Sidr, yang sangat kuat dan tangguh di lingkungan yang paling keras, menjadi simbol ketekunan dan kesuburan di seantero dunia Arab. Seberapa pentingnya pohon yang mulia ini? Dengan akarnya yang menghunjam ke bumi dan cabang-cabangnya menjulur ke atas, melambangkan solidaritas dan tekad; itu mengingatkan kita bahwa tujuan hidup kita di dunia ini tidak boleh bertentangan dengan tujuan akhir hidup kita di akhirat." Pohon Ziziphus spina-christi merepresentasikan simbolisme ini.[11]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ El-Sayed El-Aswad. Religion and Folk Cosmology: Scenarios of the Visible and Invisible in Rural Egypt. Praeger/Greenwood. United States: 2002. p. 84. ISBN 0-89789-924-5
  2. ^ Ibnu Abbas dan para ahli tafsir mengatakan: "Dinamakan sidratul muntaha (pohon puncak), karena ilmu malaikat puncaknya sampai disini. Tidak ada yang bisa melewatinya, kecuali rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa dinamakan sidratul muntaha karena semua ketetapan Allah yang turun, pangkalnya dari sana dan semua yang naik, ujungnya ada di sana." (Ta’liqat ‘ala Shahih Muslim, Muhamad Fuad Abdul Baqi, 1/145).
  3. ^ Hadis dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Aku melihat Shidratul-Muntaha di langit ke tujuh. Buahnya seperti kendi daerah Hajar, dan daunnya seperti telinga gajah. Dari akarnya keluar dua sungai luar dan dua sungai dalam. Kemudian aku bertanya, “Wahai Jibril, apakah keduanya ini?” Dia menjawab, “Adapun dua yang dalam itu ada di surga sedangkan dua yang di luar itu adalah Nil dan Eufrat. (HR. Bukhari 3207)
  4. ^ Dari Anas bin Malik, dari Malik bin Sha'sha'ah, dari Nabi ﷺ. Diapun menyebutkan hadits Mi'raj, dan di dalamnya: "Kemudian aku dinaikkan ke Sidratul Muntaha". Lalu Nabi ﷺ mengisahkan: "Bahwasanya daunnya seperti telinga gajah dan bahwa buahnya seperti bejana batu". Hadits telah dikeluarkan dalam ash-Shahihain dari hadits Ibnu Abi Arubah. Hadits riwayat al-Baihaqi (1304). Asal hadits ini ada pada riwayat al-Bukhari (3207) dan Muslim (164).
  5. ^ Kabil Akbar katanya: “Allah SWT telah menciptakan sebuah pohon di bawah Arsy yang mana daunnya sama banyak dengan bilangan makhluk yang Allah ciptakan. Jika seseorang itu telah diputuskan ajalnya, maka umurnya tinggal 40 hari dari hari yang diputuskan. Maka jatuhlah daun itu kepada Malaikat Maut, tahulah bahwa dia telah diperintahkan untuk mencabut nyawa orang yang tertulis pada daun tersebut.
  6. ^ Asy-Syaibani berkata: Aku menanyai Zirr bin Hubaisy tentang firman Allah {maka jadilah dia dekat dua ujung busur panah atau lebih dekat (an-Najm, 53: 9)}. Dia menjawab: "Telah mengabariku Ibnu Mas'ud bahwasanya Nabi telah melihat (bentuk asli) Jibril. Ia memiliki enam ratus sayap." Hadits riwayat Muslim (174), Kitab Iman, Bab tentang Penyebutan Sidratul Muntaha.
  7. ^ Dari Abu Dzar, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah: "Apakah paduka melihat Tuhan paduka?". Ia menjawab: "Hanya cahaya. Bagaimana mungkin aku dapat melihat Allah?" Hadits riwayat Muslim (178.1), Kitab al-Iman, Bab Tentang Sabdanya "Bahwasanya aku melihat-Nya sebagai cahaya" dan Tentang Sabdanya "Aku telah melihat cahaya".
  8. ^ Dari Abdullah bin Syaqiq, ia telah bersabda: Aku bertanya kepada Abu Dzar: "Seandainya aku melihat Rasulullah, pasti aku akan menanyainya." Lantas dia berkata: "Tentang sesuatu apa?" Aku akan menanyainya: "Apakah baginda melihat Tuhan baginda?" Abu Dzar berkata: "Aku telah menanyainya, kemudian dia jawab: 'Aku telah melihat cahaya'." Hadits riwayat Muslim (178.2), Kitab al-Iman, Bab Tentang Sabdanya "Bahwasanya aku melihat-Nya sebagai cahaya" dan Tentang Sabdanya "Aku telah melihat cahaya".
  9. ^ Syarh Nawawi tahqiq Khalil Ma'mun Syiha III/15 no.442 dan juga no. 443
  10. ^ Dari Ibnu Abbas, ia telah berkata: "Nabi kalian diperintah lima puluh kali salat (sehari semalam), kemudian dia meminta keringanan Tuhan kalian agar menjadikannya lima kali salat." Hadits riwayat Ibnu Majah (1400) dengan redaksi di atas, dan Ahmad (2884). Menurut al-Albani, hadits ini hasan lighairih.
  11. ^ Sheikha Moza bint Nasser, Qatar Foundation Chairperson (13 October 2003). "The Sidra Tree Story". Qatar Foundation - About. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]