Lompat ke isi

Perang Aceh: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Dirga udara (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Dirga udara (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 72: Baris 72:


Intervensi Belanda di Aceh memakan korban jiwa ribuan tentara dan sangat menguras pengeluaran keuangan pemerintah kolonial. Pada tanggal 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial menyatakan perang telah berakhir dan membentuk pemerintahan sipil, namun terus mengeluarkan banyak uang untuk mempertahankan kendali atas wilayah yang didudukinya. Dalam upaya untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat Aceh setempat, Belanda membangun kembali [[Masjid Raya Baiturrahman]] atau Masjid Agung di Banda Aceh sebagai tanda rekonsiliasi.<ref name="Ibrahim132"/>
Intervensi Belanda di Aceh memakan korban jiwa ribuan tentara dan sangat menguras pengeluaran keuangan pemerintah kolonial. Pada tanggal 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial menyatakan perang telah berakhir dan membentuk pemerintahan sipil, namun terus mengeluarkan banyak uang untuk mempertahankan kendali atas wilayah yang didudukinya. Dalam upaya untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat Aceh setempat, Belanda membangun kembali [[Masjid Raya Baiturrahman]] atau Masjid Agung di Banda Aceh sebagai tanda rekonsiliasi.<ref name="Ibrahim132"/>

===Perang suci===
Perang dimulai lagi pada tahun 1883, ketika kapal Inggris Nisero terdampar di Aceh, di daerah yang pengaruh Belandanya kecil. Seorang pemimpin setempat meminta tebusan dari Belanda dan Inggris, dan di bawah tekanan Inggris, Belanda terpaksa berusaha membebaskan para pelaut tersebut. Setelah upaya Belanda yang gagal untuk menyelamatkan para sandera, dimana pemimpin setempat [[Teuku Umar]] dimintai bantuan tetapi dia menolak, Belanda bersama Inggris menyerbu wilayah tersebut. Sultan menyerahkan para sandera, dan menerima sejumlah besar uang tunai sebagai imbalannya.<ref name="Reid186-88">Anthony Reid (2005), hal. 186–88</ref>

Menteri Peperangan Belanda [[August Willem Philip Weitzel]] kembali mendeklarasikan perang terbuka terhadap Aceh, dan peperangan terus berlanjut tanpa membuahkan hasil seperti sebelumnya. Menghadapi musuh yang memiliki teknologi lebih unggul, masyarakat Aceh melakukan [[perang gerilya]], khususnya perangkap dan penyergapan. Pasukan Belanda membalas dengan memusnahkan seluruh desa dan membunuh tahanan dan warga sipil.<ref>Vickers (2005), hal. 11</ref> Pada tahun 1884, Belanda membalas dengan menarik seluruh pasukan mereka di Aceh ke garis pertahanan di sekitar Banda Aceh .<ref name="Ibrahim132"/> Belanda kini juga mencoba merekrut para pemimpin lokal: Umar yang disebutkan di atas dibeli dengan uang tunai, [[opium]], dan senjata. Umar mendapat gelar Panglima Prang Besar (Panglima Perang Besar).

[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Groepsportret van de marechaussee met overste Van Daalen bij de vermoorde inwoners van de versterkte kampong Koeto Reh TMnr 60009090.jpg|left|thumb|Perebutan Benteng Kuta Reh di Alasland pada tanggal 14 Juni 1904, menimbulkan ratusan korban jiwa pada masyarakat adat, foto oleh [[H.M. Neeb]]]]

Umar malah menyebut dirinya ''Teuku Djohan Pahlawan'' (Johan yang Pahlawan). Pada tanggal 1 Januari 1894 Umar bahkan mendapat bantuan Belanda untuk membangun pasukan. Namun, dua tahun kemudian Umar malah menyerang Belanda dengan pasukan barunya, bukannya membantu Belanda dalam menundukkan Aceh bagian dalam. Hal ini tercatat dalam sejarah Belanda dengan sebutan “Het verraad van Teukoe Oemar” (Pengkhianatan [[Teuku Umar]]). Sejak pertengahan tahun 1880-an, kepemimpinan militer Aceh didominasi oleh [[ulama]] agama, termasuk [[Teungku Chik di Tiro]] (Muhamma Saman), yang menyebarkan konsep "[[perang agama|perang suci]] melalui khotbah dan teks yang dikenal dengan hikayat atau dongeng puitis. Pejuang Aceh memandang diri mereka sebagai martir agama yang melawan "penjajah kafir".<ref name="Ibrahim133"/> Pada tahap ini, Perang Aceh digunakan sebagai simbol perlawanan umat Islam terhadap imperialisme Barat.<ref name="Vickers13"/ >

Pada tahun 1892 dan 1893 Aceh tetap merdeka meskipun ada upaya Belanda. Mayor [[J. B. van Heutsz]], seorang pemimpin militer kolonial, kemudian menulis serangkaian artikel tentang Aceh. Ia didukung oleh Dr. [[Christiaan Snouck Hurgronje]] dari [[Universitas Leiden|Universitas Leiden]], yang saat itu merupakan pakar Islam terkemuka di Belanda. Hurgronje berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh dan mengumpulkan [[intelijen (pengumpulan informasi)|intelijen]] yang berharga bagi pemerintah Belanda mengenai kegiatan [[haji]] [[peziarah]] Indonesia.<ref name=" Vickers13"/> Karyanya tetap menjadi rahasia resmi selama bertahun-tahun. Dalam analisis Hurgronje mengenai masyarakat Aceh, ia meremehkan peran Sultan dan berpendapat bahwa perhatian harus diberikan kepada pemimpin dan bangsawan turun-temurun, Ulee Balang, yang menurutnya dapat dipercaya sebagai administrator lokal. Namun, menurutnya, para pemimpin agama di Aceh, yaitu para ulama, tidak dapat dipercaya atau dibujuk untuk bekerja sama, dan harus dihancurkan. Sebagai bagian dari kebijakan memecah belah dan menaklukkan, Hurgronje mendesak para pemimpin Belanda untuk memperluas jurang pemisah yang ada antara bangsawan Aceh dan para pemimpin agama.<ref name="Vickers13"/>

Hurgronje adalah sahabat [[Mufti Besar]] Arab [[Batavia, Hindia Belanda|Batavia]], [[Habib Usman bin Yahya]], yang mengeluarkan fatwa untuk mendukung perang Belanda melawan Aceh.

Pada tahun 1894, penghulu atau hakim [[Hasan Mustafa]] juga membantu menghentikan pertempuran dengan mengeluarkan fatwa yang memerintahkan umat Islam untuk tunduk kepada pemerintah kolonial Belanda.<ref>Mufti Ali, "A Study of Hasan Mustafa's 'Fatwa: 'It Is Incumbent upon the Indonesian Muslims to be Loyal to the Dutch East Indies Government,'" ''Journal of the Pakistan Historical Society,'' April 2004, Vol. 52 Issue 2, pp 91–122</ref>


== Siasat Snouck Hurgronje ==
== Siasat Snouck Hurgronje ==

Revisi per 14 Juni 2024 15.36

Perang Aceh

Penggambaran seniman tentang Pertempuran Samalanga pada tahun 1878
Tanggal1873–1904
LokasiKesultanan Aceh (sekarang Aceh, Indonesia)
Hasil

Kemenangan Belanda

Perubahan
wilayah
Aceh dianeksasi ke dalam Hindia Belanda
Pihak terlibat

 Belanda

Kesultanan Aceh

Tokoh dan pemimpin

J.H.R. Köhler 
Jan van Swieten
J.L.J.H Pel 
K. van der Heijden (WIA)
H. Demmeni (DOW)
J.J.K. De Moulin 
J.B. van Heutsz[1]
J.C. van der Wijck[1]
Gotfried van Daalen[1]

George Frederik Willem Borel

Sultan Mahmud Syah[3]
Alauddin Muhammad Da'ud Syah II Menyerah[4]
Tuanku Hasyim Banta Muda
Teuku Umar [5]
Cut Nyak Dhien[6]
Teungku Chik di Tiro
Cut Nyak Meutia 

Panglima Polem Menyerah
Kekuatan
3.000 tentara (Ekspedisi Aceh Pertama)[3]
13.000 (Ekspedisi Aceh Kedua)[3]
12.000 tentara KNIL Eropa (1903)[2]
23.000 prajurit KNIL Indonesia[2]
10.000–100.000 pasukan[7]
Korban
37.000 orang terbunuh (termasuk karena kolera)[2] 60.000–70.000 orang terbunuh (termasuk akibat kolera)[2]
10.000 pengungsi[2]

Perang Aceh (bahasa Indonesia: Perang Aceh), juga dikenal sebagai Perang Belanda atau Perang Kafir (1873–1904), adalah konflik militer bersenjata antara Kesultanan Aceh dan Kerajaan Belanda yang dipicu oleh diskusi antara perwakilan Aceh dan Amerika Serikat di Singapura pada masa awal tahun 1873.[8] Perang tersebut merupakan bagian dari serangkaian konflik di akhir abad ke-19 yang mengkonsolidasikan pemerintahan Belanda atas Indonesia modern.

Kampanye ini menimbulkan kontroversi di Belanda karena foto-foto dan laporan mengenai jumlah korban tewas dilaporkan. Pemberontakan berdarah yang terisolasi terus berlanjut hingga akhir tahun 1914[1] dan bentuk perlawanan Aceh yang tidak terlalu kejam terus berlanjut hingga Perang Dunia II dan pendudukan Jepang.

Latar Belakang

Hampir sepanjang abad ke-19, kemerdekaan Aceh telah dijamin oleh Perjanjian Inggris-Belanda tahun 1824. Selama tahun 1820-an, Aceh menjadi kekuatan politik dan komersial regional, memasok separuh lada dunia, sehingga meningkatkan pendapatan dan pengaruh raja-raja feodal setempat.[9] Meningkatnya permintaan lada di Eropa dan Amerika menyebabkan serangkaian pertikaian diplomatik antara Inggris, Prancis, dan Amerika. Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Ibrahim Mansur Syah (1838–1870), Kesultanan Aceh membawa raja-raja daerah di bawah kendalinya dan memperluas wilayah kekuasaannya ke pantai timur.[9] Namun, tren ke arah selatan ini berbenturan dengan ekspansi kolonialisme Belanda ke arah utara di Sumatera.[9]

Setelah pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869 dan perubahan rute pelayaran, Inggris dan Belanda menandatangani Perjanjian Inggris-Belanda di Sumatra yang mengakhiri klaim teritorial Inggris atas Sumatra , memberikan kebebasan kepada Belanda dalam lingkup pengaruhnya di Asia Tenggara Maritim sambil memberikan mereka tanggung jawab untuk memberantas pembajakan.[3] Sebagai imbalannya, Inggris memperoleh kendali atas Emas Belanda Pantai di Afrika dan persamaan hak komersial di Siak.[7] Ambisi teritorial Belanda di Aceh dipicu oleh keinginan untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya, terutama lada hitam dan minyak bumi, serta menghilangkan negara pribumi yang independen. Belanda juga berusaha untuk mengusir kekuatan kolonial saingannya yang mempunyai ambisi di Asia Tenggara, khususnya Inggris dan Perancis.[10]

Operasi tempur

Strategi

Belanda mencoba beberapa strategi selama perang; satu serangan cepat pada tahun 1873 gagal, yang kemudian menyebabkan mereka melakukan blokade laut, upaya rekonsiliasi, konsentrasi dalam barisan benteng, dan akhirnya penahanan pasif. Semua ini tidak banyak membuahkan hasil. Biaya operasinya mencapai 15 hingga 20 juta gulden per tahun, yang hampir membuat pemerintah kolonial bangkrut.[11]

Serangan Belanda pertama

Pada tahun 1873, negosiasi terjadi di Singapura antara perwakilan Kesultanan Aceh dan Konsul Amerika setempat mengenai potensi perjanjian bilateral.[7] Belanda melihat hal ini sebagai pelanggaran terhadap perjanjian sebelumnya dengan Inggris pada tahun 1871 dan menggunakan ini sebagai kesempatan untuk mencaplok Aceh secara militer.[1] Ekspedisi di bawah pimpinan Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler diutus pada tanggal 26 Maret 1873, yang membombardir ibu kota Banda Aceh dan mampu menduduki sebagian besar wilayah pesisir pada bulan April.[7] Itu niat Belanda untuk menyerang dan merebut istana Sultan, yang juga akan berujung pada pendudukan seluruh negeri. Sultan meminta dan mungkin menerima bantuan militer dari Italia dan Inggris di Singapura. Bagaimanapun, tentara Aceh dengan cepat dimodernisasi dan diperbesar dengan jumlah berkisar antara 10.000 hingga 100.000.[7] Karena meremehkan kemampuan militer orang Aceh, Belanda membuat beberapa kesalahan taktis dan mengalami kerugian termasuk kematian Köhler dan 80 tentara.[7] Kekalahan ini menggerogoti moral dan gengsi Belanda.[3]

Setelah memutuskan mundur, Belanda memberlakukan blokade laut terhadap Aceh.[12][13] Dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Aceh, Sultan Mahmud meminta bantuan langsung kepada negara-negara Barat dan Turki, namun tidak membuahkan hasil. Meskipun Konsul Amerika bersimpati, pemerintah Amerika tetap netral. Karena lemahnya posisinya di kancah politik internasional, Kesultanan Utsmaniyah tidak berdaya dan Inggris menolak campur tangan karena hubungannya dengan Belanda. Hanya Perancis yang bersedia menanggapi permohonan Mahmud.[4]

Serangan Belanda kedua

Tentara Melayu di bawah komando Belanda di Sumatera.

Pada bulan November 1873, ekspedisi kedua yang terdiri dari 13.000 tentara dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten dikirim ke Aceh.[8] Invasi tersebut bertepatan dengan wabah kolera yang menewaskan ribuan orang di kedua sisi.[4] Pada bulan Januari 1874, kondisi yang memburuk memaksa Sultan Mahmud Syah dan para pengikutnya meninggalkan Banda Aceh dan mundur ke pedalaman. Sementara itu, pasukan Belanda menduduki ibu kota dan merebut “dalam” (istana sultan) yang secara simbolis penting, membuat Belanda percaya bahwa mereka telah menang. Penjajah Belanda kemudian membubarkan Kesultanan Aceh dan mendeklarasikan Aceh sebagai bagian dari wilayah Hindia Belanda.[4]

Sepeninggal Mahmud karena kolera, masyarakat Aceh memproklamasikan cucu muda Alauddin Ibrahim Mansur Syah, bernama Tuanku Muhammad Daud, sebagai Alauddin Muhammad Da'ud Syah II (memerintah 1874–1903) dan meneruskan perjuangannya di wilayah perbukitan dan hutan selama sepuluh tahun, dengan banyak korban jiwa di kedua belah pihak.[4] Sekitar tahun 1880 strategi Belanda berubah, dan alih-alih melanjutkan perang, mereka kini berkonsentrasi mempertahankan wilayah yang sudah mereka kuasai, yang sebagian besar terbatas pada ibu kota (Banda Aceh modern),[3] dan kota pelabuhan Ulee Lheue. Blokade laut Belanda berhasil memaksa uleebelang atau pemimpin sekuler untuk menandatangani perjanjian yang memperluas kendali Belanda di sepanjang wilayah pesisir.[14] Namun, uleebelang kemudian menggunakan pendapatan mereka yang baru diperoleh kembali untuk membiayai kekuatan perlawanan Aceh.

Intervensi Belanda di Aceh memakan korban jiwa ribuan tentara dan sangat menguras pengeluaran keuangan pemerintah kolonial. Pada tanggal 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial menyatakan perang telah berakhir dan membentuk pemerintahan sipil, namun terus mengeluarkan banyak uang untuk mempertahankan kendali atas wilayah yang didudukinya. Dalam upaya untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat Aceh setempat, Belanda membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman atau Masjid Agung di Banda Aceh sebagai tanda rekonsiliasi.[3]

Perang suci

Perang dimulai lagi pada tahun 1883, ketika kapal Inggris Nisero terdampar di Aceh, di daerah yang pengaruh Belandanya kecil. Seorang pemimpin setempat meminta tebusan dari Belanda dan Inggris, dan di bawah tekanan Inggris, Belanda terpaksa berusaha membebaskan para pelaut tersebut. Setelah upaya Belanda yang gagal untuk menyelamatkan para sandera, dimana pemimpin setempat Teuku Umar dimintai bantuan tetapi dia menolak, Belanda bersama Inggris menyerbu wilayah tersebut. Sultan menyerahkan para sandera, dan menerima sejumlah besar uang tunai sebagai imbalannya.[15]

Menteri Peperangan Belanda August Willem Philip Weitzel kembali mendeklarasikan perang terbuka terhadap Aceh, dan peperangan terus berlanjut tanpa membuahkan hasil seperti sebelumnya. Menghadapi musuh yang memiliki teknologi lebih unggul, masyarakat Aceh melakukan perang gerilya, khususnya perangkap dan penyergapan. Pasukan Belanda membalas dengan memusnahkan seluruh desa dan membunuh tahanan dan warga sipil.[16] Pada tahun 1884, Belanda membalas dengan menarik seluruh pasukan mereka di Aceh ke garis pertahanan di sekitar Banda Aceh .[3] Belanda kini juga mencoba merekrut para pemimpin lokal: Umar yang disebutkan di atas dibeli dengan uang tunai, opium, dan senjata. Umar mendapat gelar Panglima Prang Besar (Panglima Perang Besar).

Perebutan Benteng Kuta Reh di Alasland pada tanggal 14 Juni 1904, menimbulkan ratusan korban jiwa pada masyarakat adat, foto oleh H.M. Neeb

Umar malah menyebut dirinya Teuku Djohan Pahlawan (Johan yang Pahlawan). Pada tanggal 1 Januari 1894 Umar bahkan mendapat bantuan Belanda untuk membangun pasukan. Namun, dua tahun kemudian Umar malah menyerang Belanda dengan pasukan barunya, bukannya membantu Belanda dalam menundukkan Aceh bagian dalam. Hal ini tercatat dalam sejarah Belanda dengan sebutan “Het verraad van Teukoe Oemar” (Pengkhianatan Teuku Umar). Sejak pertengahan tahun 1880-an, kepemimpinan militer Aceh didominasi oleh ulama agama, termasuk Teungku Chik di Tiro (Muhamma Saman), yang menyebarkan konsep "perang suci melalui khotbah dan teks yang dikenal dengan hikayat atau dongeng puitis. Pejuang Aceh memandang diri mereka sebagai martir agama yang melawan "penjajah kafir".[1] Pada tahap ini, Perang Aceh digunakan sebagai simbol perlawanan umat Islam terhadap imperialisme Barat.Kesalahan pengutipan: Tag <ref> harus ditutup oleh </ref>

Siasat Snouck Hurgronje

Christiaan Snouck Hurgronje pada tahun 1930.

Untuk mengalahkan pertahanan dan perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga ahli Dr. Christiaan Snouck Hurgronje yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De Acehers). Dalam buku itu disebutkan strategi bagaimana untuk menaklukkan Aceh.

Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus van Heutsz adalah, supaya golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) dengan pengikutnya dikesampingkan dahulu. Tetap menyerang terus dan menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.

Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronje diterima oleh Van Heutz yang menjadi Gubernur militer dan sipil di Aceh (1898-1904). Kemudian Dr Snouck Hurgronje diangkat sebagai penasihatnya.

Taktik perang

Divisi Marsose pertama pada tahun 1892, Kapten Notten dan Letnan Nolthenius beserta komandan brigade

Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, di mana dibentuk pasukan maréchaussée yang dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macan yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.

Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Teungku Putroe (1902). Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polim dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polim, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polim meletakkan senjata dan menyerah ke Lhokseumawe pada Desember 1903. Setelah Panglima Polim menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polim.

Tentara Melayu di bawah komando Belanda di Sumatra.

Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di bawah pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) di mana 2.922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan.

Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, di mana akhirnya Cut Nya Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang.

Surat perjanjian tanda menyerah

Sultan Muhammad Daud Syah ketika menyerahkan diri pada Belanda pada tahun 20 Januari 1903

Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek (korte verklaring, Traktat Pendek) tentang penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah. Di mana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda, Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri, berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. Perjanjian pendek ini menggantikan perjanjian-perjanjian terdahulu yang rumit dan panjang dengan para pemimpin setempat.

Walau demikian, wilayah Aceh tetap tidak bisa dikuasai Belanda seluruhnya, dikarenakan pada saat itu tetap saja terjadi perlawanan terhadap Belanda meskipun dilakukan oleh sekelompok orang (masyarakat). Hal ini berlanjut sampai Belanda enyah dari Nusantara dan diganti kedatangan penjajah baru yakni Jepang (Nippon).

Tanggapan

  • Ketika perang kolonial Belanda di Aceh hampir memasuki seperempat abad, Letnan Kolonel infantri purnawirawan G.B. Hooijer yang pernah bertugas di Aceh menulis dalam ikhtisar umum bukunya De Krijgsgeschiedenis van Nederlansch Indië van 1811 tot 1894, jilid III (terakhir, setebal 480 halaman), tahun 1895, pada halaman 5 sebagai berikut:
Tidak ada pasukan Diponegoro atau Sentot, baik orang-orang Padri yang fanatik maupun rombongan orang-orang Bali atau massa berkuda orang-orang Bone, seperti yang pernah diperagakan oleh para pejuang Aceh yang begitu berani dan tak takut mati menghadapi serangan, yang begitu besar menaruh kepercayaan pada diri sendiri, yang sedemikian gigih menerima nasibnya, yang cinta kemerdekaan, yang bersikap sedemikian fanatik seolah-olah mereka dilahirkan untuk menjadi gerilyawan bangsanya. Oleh sebab itu perang Belanda di Aceh akan tetap menjadi sumber pelajaran bagi pasukan kita. Dan karena itu pula saya menganggap tepat sekali jika jilid III atau terakhir sejarah perang (Belanda di Hindia Belanda) itu seluruhnya saya peruntukkan guna menguraikan peperangan di Aceh.[17]
  • Namun dari semua pemimpin peperangan kita yang pernah bertempur di setiap pelosok kepulauan kita ini, kita mendengar bahwa tidak ada satu bangsa yang begitu gagah berani dan fanatik dalam peperangan kecuali bangsa Aceh; wanita-wanitanya pun mempunyai keberanian dan kerelaan berkorban yang jauh melebihi wanita-wanita lain.[18]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g Ibrahim, Alfian. "Aceh and the Perang Sabil." Indonesian Heritage: Early Modern History. Vol. 3, ed. Anthony Reid, Sian Jay and T. Durairajoo. Singapore: Editions Didier Millet, 2001. p. 132–133
  2. ^ a b c d e f Vickers (2005), p. 13
  3. ^ a b c d e f g h Ibrahim (2001), p. 132
  4. ^ a b c d e Ricklefs (1993), p. 145
  5. ^ Anthony Reid (2005), p. 336
  6. ^ Anthony Reid (2005), p. 352
  7. ^ a b c d e f Ricklefs (2001), hal. 144
  8. ^ a b Ricklefs (2001), p. 185–88
  9. ^ a b c Ricklefs (1993), hal. 143
  10. ^ Vickers (2005), hal. 10
  11. ^ E.H. Kossmann, The Low Countries 1780–1940 (1978) pp 400–401
  12. ^ Fink (2023), p. 484.
  13. ^ Raven (1988), p. 85.
  14. ^ Fink (2023), hal. 484-486.
  15. ^ Anthony Reid (2005), hal. 186–88
  16. ^ Vickers (2005), hal. 11
  17. ^ Zentgraaf, H.C. 1983. Aceh. Jakarta: Penerbit Beuna. (terjemahan oleh Aboe Bakar)
  18. ^ Idem hal. 63

Lihat pula