Lompat ke isi

Perang Aceh: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Dirga udara (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Dirga udara (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: halaman dengan galat kutipan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 1: Baris 1:
{{For|Pemberontakan 1976–2005|Pemberontakan di Aceh}}
{{For|Pemberontakan 1976–2005|Pemberontakan di Aceh}}
{{Infobox Military Conflict
{{Infobox military conflict
| conflict = Perang Aceh (1873–1904)
| conflict = Perang Aceh
| image = Samalanga 1878.jpg
| date = 1873–1904
| image_size = 300px
| image = [[Berkas:Generaal Kohler sneuvelt in de Mesigit.jpg|250px]]
| caption = Panglima besar angkatan perang Belanda, Jenderal J.H.R. Kohler tewas ditembak oleh penembak jitu Aceh pada tahun 1873
| caption = Penggambaran seniman tentang Pertempuran [[Samalanga]] pada tahun 1878
| date = 1873–1904
| place =[[Kesultanan Aceh]] dan Wilayah perlindungan [[Kesultanan Aceh]]
| place = [[Kesultanan Aceh]] (sekarang [[Aceh]], [[Indonesia]])
| result = Kemenangan Belanda
| result = Kemenangan Belanda<br />
* [[Sultan Muhammad Daud Syah|Sultan Aceh]] menyerah dan [[Kesultanan Aceh]] dibubarkan
* Belanda menguasai Aceh
* Pembubaran [[Kesultanan Aceh]]
*Pemberlakuan kekuasaan Belanda atas [[Aceh]]
* Kekuasaan [[Uleebalang]] dipulihkan
| territory = Aceh dianeksasi ke dalam [[Hindia Belanda]]
* Dibentuknya [[Karesidenan]] Aceh beserta daerah taklukannya (Atjeh en Onderhoorigheden).
| combatant1 = {{NED}}
| territory = Wilayah [[Aceh]] menjadi bagian dari [[Hindia Belanda]]
| combatant1 = {{flag|Belanda}}
*[[Tentara Kerajaan Hindia Belanda]]
* [[Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger|Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL)]]
*[[Angkatan Laut Kerajaan Belanda]]
| combatant2 = {{negara|Kesultanan Aceh}} [[Kesultanan Aceh]]
| combatant2 = {{flagicon image|Flag of the Aceh Sultanate.png}} [[Kesultanan Aceh]]
*[[ulama]] Islam<ref name="Ibrahim133"/><ref name="Vickers13"/>
* Ulama Islam
| commander1 = {{flagicon|Belanda}} [[Johan Harmen Rudolf Köhler|Johan Köhler]]{{KIA}}
| commander1 =
{{flagdeco|Netherlands}} [[Johan Harmen Rudolf Köhler|J.H.R. Köhler]]{{KIA}}<br />
<br>{{flagicon|Belanda}} [[Jan van Swieten]]
{{flagdeco|Netherlands}} [[Jan van Swieten]]<br />
<br>{{flagicon|Belanda}} [[Johannes Ludovicius Jakobus Hubertus Pel|Johannes Pel]]{{KIA}}
{{flagdeco|Netherlands}} [[Johannes Ludovicius Jakobus Hubertus Pel|J.L.J.H Pel]]{{KIA}}<br />
<br>{{flagicon|Belanda}} [[Karel van der Heijden]]{{WIA}}
{{flagdeco|Netherlands}} [[Karel van der Heijden|K. van der Heijden]]{{WIA}}<br />
<br>{{flagicon|Belanda}} [[Henry Demmeni]]{{DOW}}
{{flagdeco|Netherlands}} [[Henry Demmeni|H. Demmeni]]{{DOW}}<br />
<br>{{flagicon|Belanda}} [[Jan Jacob Karel de Moulin]]{{KIA}}
{{flagdeco|Netherlands}} [[Jan Jacob Karel de Moulin|J.J.K. De Moulin]]{{KIA}}<br />
{{flagdeco|Netherlands}} [[J.B. van Heutsz]]<ref name="Ibrahim133">Ibrahim, Alfian. "Aceh and the Perang Sabil." ''Indonesian Heritage: Early Modern History''. Vol. 3, ed. [[Anthony Reid (academic)|Anthony Reid]], Sian Jay and T. Durairajoo. Singapore: Editions Didier Millet, 2001. p. 132–133</ref><br />
<br>{{flagicon|Belanda}} [[G.C.E. van Daalen (1863-1930)|Gotfried van Daalen]]
<br>{{flagicon|Belanda}} [[Johan Cornelis van der Wijck]]
{{flagdeco|Netherlands}} [[Johan Cornelis van der Wijck|J.C. van der Wijck]]<ref name="Ibrahim133"/><br />
{{flagdeco|Netherlands}} [[Gotfried Coenraad Ernst van Daalen|Gotfried van Daalen]]<ref name="Ibrahim133"/><br />
{{flagicon|Belanda}} [[Johannes Benedictus van Heutsz]]
{{flagdeco|Netherlands}} [[George Frederik Willem Borel]]
| commander2 = {{negara|Kesultanan Aceh}} [[Sultan Mahmud Syah]] {{KIA}}
| commander2 =
<br>{{negara|Kesultanan Aceh}} [[Sultan Muhammad Daud Syah]]{{surrendered}}
{{flagicon image|Flag of the Aceh Sultanate.png}} [[Alauddin Mahmud Syah II|Sultan Mahmud Syah]]<ref name="Ibrahim132">Ibrahim (2001), p. 132</ref><br />
<br>{{negara|Kesultanan Aceh}} [[Habib Abdurrahman Az-Zahir]]{{surrendered}}
{{flagicon image|Flag of the Aceh Sultanate.png}} [[Alauddin Muhammad Da'ud Syah II]]{{surrendered}}<ref name="Ricklefs145"/><br />
<br>{{negara|Kesultanan Aceh}} [[Panglima Polem]]
{{flagicon image|Flag of the Aceh Sultanate.png}} [[Tuanku Hasyim Banta Muda]]<br />
{{surrendered}}
{{flagicon image|Flag of the Aceh Sultanate.png}} [[Teuku Umar]]{{KIA}}<ref name="Reid336">Anthony Reid (2005), p. 336</ref><br />
<br>{{negara|Kesultanan Aceh}} [[Teungku Chik di Tiro]]{{KIA|Peracunan}}
{{flagicon image|Flag of the Aceh Sultanate.png}} [[Cut Nyak Dhien]]<ref name="Reid352">Anthony Reid (2005), p. 352</ref><br /> {{flagicon image|Flag of the Aceh Sultanate.png}} [[Teungku Chik di Tiro]]{{assassinated}}<br />
<br>{{negara|Kesultanan Aceh}} [[Teuku Umar]]{{KIA}}
<br>{{negara|Kesultanan Aceh}} [[Cut Nyak Dhien]]
{{flagicon image|Flag of the Aceh Sultanate.png}} [[Cut Nyak Meutia]]{{KIA}}<br />
<br>{{negara|Kesultanan Aceh}} [[Cut Meutia]]{{KIA}}
{{flagicon image|Flag of the Aceh Sultanate.png}} [[Panglima Polem]]{{surrendered}}
| strength1 = 3.000 tentara (Ekspedisi Aceh Pertama)<ref name="Ibrahim132"/><br />13.000 (Ekspedisi Aceh Kedua)<ref name="Ibrahim132"/><br />12.000 tentara KNIL Eropa (1903)<ref name= "Vickers13"/><br />23.000 prajurit KNIL Indonesia<ref name="Vickers13"/>
<br>{{negara|Kesultanan Aceh}} [[Teuku Ben Mahmud]]
| strength2 = 10.000–100.000 pasukan<ref name="Ricklefs144"/>
{{surrendered}}
| casualties1 = 37.000 orang terbunuh (termasuk karena kolera)<ref name="Vickers13">Vickers (2005), p. 13</ref>
<br>{{negara|Kesultanan Aceh}} [[Teungku Fakinah]]
| casualties2 = 60.000–70.000 orang terbunuh (termasuk akibat kolera)<ref name="Vickers13"/><br />10.000 pengungsi<ref name="Vickers13"/>
{{negara|Kesultanan Aceh}} [[Pocut Meuligoe]]
| campaignbox =
| strength1 = 3,000 (Ekspedisi Pertama)<br />13,000 (Ekspedisi Kedua)<br />12,000 KNIL dari Eropa (1903)<br />23,000 KNIL Pribumi
| strength2 = 10,000-100,000 pasukan Aceh
| casualties1 = 37,000 terbunuh (termasuk kolera)<ref>Vickers (2005), p. 13</ref>
| casualties2 = 60,000–70,000 terbunuh (termasuk kolera)<br>10,000 mengungsi<ref>Vickers (2005), p. 13</ref>
}}
}}
{{Sejarah Indonesia}}


'''Perang Aceh''' ({{lang-id|Perang Aceh}}), juga dikenal sebagai '''Perang Belanda''' atau '''Perang Kafir''' (1873–1904), adalah konflik militer bersenjata antara [[Kesultanan Aceh]] dan [[Kerajaan Belanda]] yang dipicu oleh diskusi antara perwakilan Aceh dan Amerika Serikat di [[Singapura di Negeri-Negeri Selat|Singapura]] pada masa awal tahun 1873.<ref name="Ricklefs185-88">Ricklefs (2001), p. 185–88</ref> Perang tersebut merupakan bagian dari serangkaian konflik di akhir abad ke-19 yang mengkonsolidasikan [[Hindia Belanda|pemerintahan Belanda]] atas [[Indonesia]] modern.
'''Perang Aceh''' ({{lang-id|Perang Aceh}}), juga dikenal sebagai '''Perang Belanda''' atau '''Perang Kafir''' (1873–1904), adalah konflik militer bersenjata antara [[Kesultanan Aceh]] dan [[Kerajaan Belanda]] yang dipicu oleh diskusi antara perwakilan Aceh dan Amerika Serikat di [[Singapura di Negeri-Negeri Selat|Singapura]] pada masa awal tahun 1873.<ref name="Ricklefs185-88">Ricklefs (2001), p. 185–88</ref> Perang tersebut merupakan bagian dari serangkaian konflik di akhir abad ke-19 yang mengkonsolidasikan [[Hindia Belanda|pemerintahan Belanda]] atas [[Indonesia]] modern.

Revisi per 14 Juni 2024 14.23

Perang Aceh

Penggambaran seniman tentang Pertempuran Samalanga pada tahun 1878
Tanggal1873–1904
LokasiKesultanan Aceh (sekarang Aceh, Indonesia)
Hasil

Kemenangan Belanda

Perubahan
wilayah
Aceh dianeksasi ke dalam Hindia Belanda
Pihak terlibat

 Belanda

Kesultanan Aceh

Tokoh dan pemimpin

J.H.R. Köhler 
Jan van Swieten
J.L.J.H Pel 
K. van der Heijden (WIA)
H. Demmeni (DOW)
J.J.K. De Moulin 
J.B. van Heutsz[1]
J.C. van der Wijck[1]
Gotfried van Daalen[1]

George Frederik Willem Borel

Sultan Mahmud Syah[3]
Alauddin Muhammad Da'ud Syah II Menyerah[4]
Tuanku Hasyim Banta Muda
Teuku Umar [5]
Cut Nyak Dhien[6]
Teungku Chik di Tiro
Cut Nyak Meutia 

Panglima Polem Menyerah
Kekuatan
3.000 tentara (Ekspedisi Aceh Pertama)[3]
13.000 (Ekspedisi Aceh Kedua)[3]
12.000 tentara KNIL Eropa (1903)[2]
23.000 prajurit KNIL Indonesia[2]
10.000–100.000 pasukan[7]
Korban
37.000 orang terbunuh (termasuk karena kolera)[2] 60.000–70.000 orang terbunuh (termasuk akibat kolera)[2]
10.000 pengungsi[2]

Perang Aceh (bahasa Indonesia: Perang Aceh), juga dikenal sebagai Perang Belanda atau Perang Kafir (1873–1904), adalah konflik militer bersenjata antara Kesultanan Aceh dan Kerajaan Belanda yang dipicu oleh diskusi antara perwakilan Aceh dan Amerika Serikat di Singapura pada masa awal tahun 1873.[8] Perang tersebut merupakan bagian dari serangkaian konflik di akhir abad ke-19 yang mengkonsolidasikan pemerintahan Belanda atas Indonesia modern.

Kampanye ini menimbulkan kontroversi di Belanda karena foto-foto dan laporan mengenai jumlah korban tewas dilaporkan. Pemberontakan berdarah yang terisolasi terus berlanjut hingga akhir tahun 1914[1] dan bentuk perlawanan Aceh yang tidak terlalu kejam terus berlanjut hingga Perang Dunia II dan pendudukan Jepang.

Latar belakang

Van Heutsz sedang memperhatikan pasukannya dalam penyerangan ke Batee Iliek.

Akibat dari Perjanjian Siak 1858, Sultan Ismail menyerahkan wilayah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh. Belanda melanggar perjanjian Siak, maka berakhirlah perjanjian London tahun 1824. Isi perjanjian London adalah Belanda dan Britania Raya membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh. Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung Britania.[9][10]

Dengan dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan. Ditandatanganinya Perjanjian London 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Britania memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Belanda mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Britania.

Akibat perjanjian Sumatra 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia dan Kesultanan Usmaniyah di Singapura. Aceh juga mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871. Akibat upaya diplomatik Aceh tersebut, Belanda menjadikannya sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.

Periode

Perang Samalanga pertama pada tanggal 26 Agustus 1877. Panglima besar Belanda, Mayor Jenderal Karel van der Heijden kembali ke pasukannya setelah mendapatkan perawatan pada matanya yang tertembak

Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, di mana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu'uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa wilayah lain.

Perang Aceh Kedua (1874-1880). Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten. Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. Pada 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indrapuri. Perang pertama dan kedua ini adalah perang total dan frontal, di mana pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain.

Perang ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah. Di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1903. Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.

Perang keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.[11]

1910-1915 akhir dari perang besar, akan tetapi perlawanan sporadis rakyat Aceh masih berlanjut hingga 1942 di beberapa tempat yang dilakukan oleh sekelompok pejuang.

Siasat Snouck Hurgronje

Christiaan Snouck Hurgronje pada tahun 1930.

Untuk mengalahkan pertahanan dan perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga ahli Dr. Christiaan Snouck Hurgronje yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De Acehers). Dalam buku itu disebutkan strategi bagaimana untuk menaklukkan Aceh.

Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus van Heutsz adalah, supaya golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) dengan pengikutnya dikesampingkan dahulu. Tetap menyerang terus dan menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.

Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronje diterima oleh Van Heutz yang menjadi Gubernur militer dan sipil di Aceh (1898-1904). Kemudian Dr Snouck Hurgronje diangkat sebagai penasihatnya.

Taktik perang

Divisi Marsose pertama pada tahun 1892, Kapten Notten dan Letnan Nolthenius beserta komandan brigade

Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, di mana dibentuk pasukan maréchaussée yang dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macan yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.

Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Teungku Putroe (1902). Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polim dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polim, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polim meletakkan senjata dan menyerah ke Lhokseumawe pada Desember 1903. Setelah Panglima Polim menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polim.

Tentara Melayu di bawah komando Belanda di Sumatra.

Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di bawah pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) di mana 2.922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan.

Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, di mana akhirnya Cut Nya Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang.

Surat perjanjian tanda menyerah

Sultan Muhammad Daud Syah ketika menyerahkan diri pada Belanda pada tahun 20 Januari 1903

Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek (korte verklaring, Traktat Pendek) tentang penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah. Di mana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda, Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri, berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. Perjanjian pendek ini menggantikan perjanjian-perjanjian terdahulu yang rumit dan panjang dengan para pemimpin setempat.

Walau demikian, wilayah Aceh tetap tidak bisa dikuasai Belanda seluruhnya, dikarenakan pada saat itu tetap saja terjadi perlawanan terhadap Belanda meskipun dilakukan oleh sekelompok orang (masyarakat). Hal ini berlanjut sampai Belanda enyah dari Nusantara dan diganti kedatangan penjajah baru yakni Jepang (Nippon).

Tanggapan

  • Ketika perang kolonial Belanda di Aceh hampir memasuki seperempat abad, Letnan Kolonel infantri purnawirawan G.B. Hooijer yang pernah bertugas di Aceh menulis dalam ikhtisar umum bukunya De Krijgsgeschiedenis van Nederlansch Indië van 1811 tot 1894, jilid III (terakhir, setebal 480 halaman), tahun 1895, pada halaman 5 sebagai berikut:
Tidak ada pasukan Diponegoro atau Sentot, baik orang-orang Padri yang fanatik maupun rombongan orang-orang Bali atau massa berkuda orang-orang Bone, seperti yang pernah diperagakan oleh para pejuang Aceh yang begitu berani dan tak takut mati menghadapi serangan, yang begitu besar menaruh kepercayaan pada diri sendiri, yang sedemikian gigih menerima nasibnya, yang cinta kemerdekaan, yang bersikap sedemikian fanatik seolah-olah mereka dilahirkan untuk menjadi gerilyawan bangsanya. Oleh sebab itu perang Belanda di Aceh akan tetap menjadi sumber pelajaran bagi pasukan kita. Dan karena itu pula saya menganggap tepat sekali jika jilid III atau terakhir sejarah perang (Belanda di Hindia Belanda) itu seluruhnya saya peruntukkan guna menguraikan peperangan di Aceh.[12]
  • Namun dari semua pemimpin peperangan kita yang pernah bertempur di setiap pelosok kepulauan kita ini, kita mendengar bahwa tidak ada satu bangsa yang begitu gagah berani dan fanatik dalam peperangan kecuali bangsa Aceh; wanita-wanitanya pun mempunyai keberanian dan kerelaan berkorban yang jauh melebihi wanita-wanita lain.[13]

Referensi

  1. ^ a b c d e Ibrahim, Alfian. "Aceh and the Perang Sabil." Indonesian Heritage: Early Modern History. Vol. 3, ed. Anthony Reid, Sian Jay and T. Durairajoo. Singapore: Editions Didier Millet, 2001. p. 132–133
  2. ^ a b c d e f Vickers (2005), p. 13
  3. ^ a b c Ibrahim (2001), p. 132
  4. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Ricklefs145
  5. ^ Anthony Reid (2005), p. 336
  6. ^ Anthony Reid (2005), p. 352
  7. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Ricklefs144
  8. ^ Ricklefs (2001), p. 185–88
  9. ^ Reid, Anthony (2005). Asal mula konflik Aceh: dari perebutan pantai Timur Sumatra hingga akhir kerajaan Aceh abad ke-19. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-534-8. 
  10. ^ "Sejarah perebutan beberapa daerah Kesultanan Aceh oleh Belanda". merdeka.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-06-17. 
  11. ^ Frans (2019-04-24). "Selling the Aceh War". www.militairespectator.nl (dalam bahasa Belanda). Diakses tanggal 2020-06-17. 
  12. ^ Zentgraaf, H.C. 1983. Aceh. Jakarta: Penerbit Beuna. (terjemahan oleh Aboe Bakar)
  13. ^ Idem hal. 63

Lihat pula