Lompat ke isi

Kesultanan Banten: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Relly Komaruzaman (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor mengosongkan halaman [ * ]
Baris 36: Baris 36:
Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun [[1813]] setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintanannya, para Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di [[Hindia Belanda]].
Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun [[1813]] setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintanannya, para Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di [[Hindia Belanda]].


== Pembentukan awal ==
== ==
[[Berkas:Banten-city-Java-1724.jpg|thumb|250px|left|''De Stad Bantam'', lukisan cukilan lempeng logam (engraving) karya François Valentijn, Amsterdam, 1726<ref>From Valentijn, ''Beschrijving van Groot Djava, ofte Java Major,'' Amsterdam, 1796. Ludwig Bachhofer, ''India Antiqua'' (1947:280) notes that Valentijn had been in Banten in 1694.</ref> ]]
Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan [[Banten Girang]] merupakan bagian dari [[Kerajaan Sunda]]. Kedatangan pasukan [[Kerajaan Demak]] di bawah pimpinan [[Maulana Hasanuddin dari Banten|Maulana Hasanuddin]] ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah [[Islam]]. Kemudian dipicu oleh adanya [[Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal|kerjasama Sunda-Portugal]] dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir [[Portugal]] dari [[Melaka]] tahun [[1513]]. Atas perintah [[Trenggana]], bersama dengan [[Fatahillah]] melakukan penyerangan dan penaklukkan [[Jakarta|Pelabuhan Kelapa]] sekitar tahun [[1527]], yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.<ref>''Sejarah Cirebon'', PT. Balai Pustaka.</ref>

Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di [[Lampung]]. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja ''Malangkabu'' (Minangkabau, [[Kerajaan Inderapura]]), [[Munawar Syah dari Inderapura|Sultan Munawar Syah]] dan dianugerahi [[keris]] oleh raja tersebut.<ref>Titik Pudjiastuti, (2000), ''Sadjarah Banten: suntingan teks dan terjemahan disertai tinjauan aksara dan amanat''.</ref>

Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya [[Trenggana]],<ref>Fernão Mendes Pinto, Rebecca Catz, (1989), ''The travels of Mendes Pinto'', University of Chicago Press, ISBN 0-226-66951-3.</ref> Banten yang sebelumnya [[vazal]] dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. [[Maulana Yusuf dari Banten|Maulana Yusuf]] anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570<ref>Hasan Muarif Ambary, Jacques Dumarçay, (1990), ''The Sultanate of Banten'', Gramedia Book Pub. Division, ISBN 979-403-922-5.</ref> melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan [[Pakuan Pajajaran]] tahun [[1579]]. Kemudian ia digantikan anaknya [[Maulana Muhammad dari Banten|Maulana Muhammad]], yang mencoba menguasai [[Palembang]] tahun [[1596]] sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di [[nusantara]], namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut.<ref>Keat Gin Ooi, (2004), ''Southeast Asia: a historical encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor'', Volume 1, ABC-CLIO, ISBN 1-57607-770-5.</ref>

Pada masa [[Pangeran Ratu dari Banten|Pangeran Ratu]] anak dari [[Maulana Muhammad dari Banten|Maulana Muhammad]], ia menjadi [[raja]] pertama di [[Pulau Jawa]] yang mengambil gelar "[[Sultan]]" pada tahun [[1638]] dengan nama [[Bahasa Arab|Arab]] ''Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir''. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu, salah satu diketahui surat Sultan Banten kepada [[Raja Inggris]], [[James I]] tahun 1605 dan tahun 1629 kepada [[Charles I dari Inggris|Charles I]].<ref name="Titik"/>

== Puncak kejayaan ==
Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan [[perdagangan]] dalam menopang perekonomiannya. [[Monopoli]] atas perdagangan [[lada]] di Lampung, menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai [[pedagang]] perantara dan Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu.<ref>Heriyanti Ongkodharma Untoro, (2007), ''Kapitalisme pribumi awal kesultanan Banten, 1522-1684: kajian arkeologi-ekonomi'', Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, ISBN 979-8184-85-8.</ref> Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang [[Inggris]], [[Denmark]] dan [[Tionghoa]], Banten berdagang dengan [[Persia]], [[India]], [[Siam]], [[Vietnam]], [[Filipina]], [[Cina]] dan [[Jepang]].<ref>Yoneo Ishii, (1998), ''The junk trade from Southeast Asia: translations from the Tôsen fusetsu-gaki, 1674-1723'', Institute of Southeast Asian Studies, ISBN 981-230-022-8.</ref>

Masa [[Sultan Ageng Tirtayasa]] (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten.<ref>Nana Supriatna, ''Sejarah'', PT Grafindo Media Pratama, ISBN 979-758-601-4.</ref> Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh [[Eropa]], serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten.<ref name="Ambary">Hasan Muarif Ambary, Jacques Dumarçay, (1990), ''The Sultanate of Banten'', Gramedia Book Pub. Division, ISBN 979-403-922-5.</ref> Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke ''Sukadana'' atau [[Kerajaan Tanjungpura]] ([[Kalimantan Barat]] sekarang) dan menaklukkannya tahun [[1661]].<ref name="Ota"/> Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan [[blokade]] atas kapal-kapal dagang menuju Banten.<ref name="Ambary"/>

== Perang saudara ==
Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya [[Sultan Haji]]. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh ''[[Vereenigde Oostindische Compagnie]]'' (VOC) yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau [[Abu Nashar Abdul Qahar dari Banten|Sultan Abu Nashar Abdul Qahar]] juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui [[Raja Inggris]] di London tahun [[1682]] untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan.<ref name="Titik"/> Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan ''Tirtayasa'', namun pada [[28 Desember]] [[1682]] kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain [[Pangeran Purbaya]] dan [[Syekh Yusuf]] dari [[Makasar]] mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada [[14 Maret]] [[1683]] Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di Batavia.

Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada [[5 Mei]] [[1683]], VOC mengirim [[Untung Surapati]] yang berpangkat ''[[letnan]]'' beserta pasukan [[Bali]]nya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada [[14 Desember]] [[1683]] mereka berhasil menawan Syekh Yusuf.<ref>Azyumardi Azra, (2004), ''The origins of Islamic reformism in Southeast Asia: networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulamā' in the seventeenth and eighteenth centuries'', University of Hawaii Press, ISBN 0-8248-2848-8.</ref> Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi pertikaian di antara mereka, puncaknya pada [[28 Januari]] [[1684]], pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada [[7 Februari]] [[1684]] sampai di Batavia.<ref>Ann Kumar, (1976), ''Surapati: man and legend : a study of three Babad traditions'', Brill Archive, ISBN 90-04-04364-0.</ref>

== Penurunan ==
Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan kompensasi kepada VOC di antaranya pada [[12 Maret]] [[1682]], wilayah Lampung diserahkan kepada [[VOC]], seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di [[Batavia]] yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal [[22 Agustus]] [[1682]] yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.<ref>Amir Hendarsah, ''Cerita Kerajaan Nusantara'', Great! Publisher, ISBN 602-8696-14-5.</ref> Selain itu berdasarkan perjanjian tanggal [[17 April]] [[1684]], Sultan Haji juga mesti mengganti kerugian akibat perang tersebut kepada VOC.<ref>Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1992), Sejarah nasional Indonesia: Jaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-409-8</ref>

Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat persetujuan dari [[Daftar Penguasa Hindia Belanda|Gubernur Jendral Hindia Belanda]] di [[Batavia]]. [[Abu Fadhl Muhammad Yahya dari Banten|Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya]] diangkat mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar tiga tahun, selanjutnya digantikan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan gelar [[Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin dari Banten|Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin]] dan kemudian dikenal juga dengan gelar ''Kang Sinuhun ing Nagari Banten''.

Perang saudara yang berlangsung di Banten meninggalkan ketidakstabilan pemerintahan masa berikutnya. Konfik antara keturunan penguasa Banten<ref>Atsushi Ota, ''Banten Rebellion, 1750-1752: Factors behind the Mass Participation'', Modern Asian Studies (2003), 37: 613-651, DOI: 10.1017/S0026749X03003044.</ref> maupun gejolak ketidakpuasan masyarakat Banten, atas ikut campurnya VOC dalam urusan Banten. Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa akhir pemerintahan [[Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin dari Banten|Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin]], di antaranya perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa. Akibat konflik yang berkepanjangan Sultan Banten kembali meminta bantuan VOC dalam meredam beberapa perlawanan rakyatnya sehingga sejak [[1752]] Banten telah menjadi vassal dari VOC.<ref name="Ota">Atsushi Ota, (2006), ''Changes of regime and social dynamics in West Java: society, state, and the outer world of Banten, 1750-1830'', BRILL, ISBN 90-04-15091-9.</ref>


== Penghapusan kesultanan ==
== Penghapusan kesultanan ==
Baris 93: Baris 68:
Dalam meletakan dasar pembangunan [[ekonomi]] Banten, selain di bidang [[perdagangan]] untuk daerah pesisir, pada kawasan pedalaman pembukaan [[sawah]] mulai diperkenalkan. Asumsi ini berkembang karena pada waktu itu di beberapa kawasan pedalaman seperti [[Lebak]], perekonomian masyarakatnya ditopang oleh kegiatan [[perladangan]], sebagaimana penafsiran dari naskah ''[[sanghyang siksakanda ng karesian]]'' yang menceritakan adanya istilah ''pahuma'' (peladang), ''panggerek'' ([[pemburu]]) dan ''panyadap'' (penyadap). Ketiga istilah ini jelas lebih kepada sistem ladang, begitu juga dengan nama peralatanya seperti ''[[kujang]]'', ''patik'', ''baliung'', ''kored'' dan ''sadap''.
Dalam meletakan dasar pembangunan [[ekonomi]] Banten, selain di bidang [[perdagangan]] untuk daerah pesisir, pada kawasan pedalaman pembukaan [[sawah]] mulai diperkenalkan. Asumsi ini berkembang karena pada waktu itu di beberapa kawasan pedalaman seperti [[Lebak]], perekonomian masyarakatnya ditopang oleh kegiatan [[perladangan]], sebagaimana penafsiran dari naskah ''[[sanghyang siksakanda ng karesian]]'' yang menceritakan adanya istilah ''pahuma'' (peladang), ''panggerek'' ([[pemburu]]) dan ''panyadap'' (penyadap). Ketiga istilah ini jelas lebih kepada sistem ladang, begitu juga dengan nama peralatanya seperti ''[[kujang]]'', ''patik'', ''baliung'', ''kored'' dan ''sadap''.


Pada masa Sultan Ageng antara 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan besar dilakukan untuk mengembangkan [[pertanian]]. Antara 30 dan 40 km kanal baru dibangun dengan menggunakan tenaga sebanyak 16 000 orang. Di sepanjang [[kanal]] tersebut, antara 30 dan 40 000 ribu hektare sawah baru dan ribuan hektare perkebunan [[kelapa]] ditanam. 30 000-an [[petani]] ditempatkan di atas tanah tersebut, termasuk orang [[Bugis]] dan [[Makasar]]. [[Perkebunan]] [[tebu]], yang didatangkan [[saudagar]] Cina pada tahun 1620-an, dikembangkan. Di bawah Sultan Ageng, perkembangan penduduk Banten meningkat signifikan.<ref name="Ota"/>
Pada masa Sultan Ageng antara 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan besar dilakukan untuk mengembangkan [[pertanian]]. Antara 30 dan 40 km kanal baru dibangun dengan menggunakan tenaga sebanyak 16 000 orang. Di sepanjang [[kanal]] tersebut, antara 30 dan 40 000 ribu hektare sawah baru dan ribuan hektare perkebunan [[kelapa]] ditanam. 30 000-an [[petani]] ditempatkan di atas tanah tersebut, termasuk orang [[Bugis]] dan [[Makasar]]. [[Perkebunan]] [[tebu]], yang didatangkan [[saudagar]] Cina pada tahun 1620-an, dikembangkan. Di bawah Sultan Ageng, perkembangan penduduk Banten meningkat signifikan.<ref name="Ota">Atsushi Ota, (2006), ''Changes of regime and social dynamics in West Java: society, state, and the outer world of Banten, 1750-1830'', BRILL, ISBN 90-04-15091-9.</ref>


Tak dapat dipungkiri sampai pada tahun [[1678]], Banten telah menjadi kota [[metropolitan]], dengan jumlah penduduk dan kekayaan yang dimilikinya menjadikan Banten sebagai salah satu kota terbesar di dunia pada masa tersebut.<ref name="Guillot">Claude Guillot, ''Banten in 1678'', Indonesia, Volume 57 (1994), 89-114.</ref>
Tak dapat dipungkiri sampai pada tahun [[1678]], Banten telah menjadi kota [[metropolitan]], dengan jumlah penduduk dan kekayaan yang dimilikinya menjadikan Banten sebagai salah satu kota terbesar di dunia pada masa tersebut.<ref name="Guillot">Claude Guillot, ''Banten in 1678'', Indonesia, Volume 57 (1994), 89-114.</ref>

Revisi per 6 Februari 2015 09.54

Kesultanan Banten

Kasultanan Banten
1527–1813
Bendera Banten
Bendera
Wilayah Banten pada masa Maulana Hasanuddin, yang menguasai Selat Sunda pada kedua sisinya
Wilayah Banten pada masa Maulana Hasanuddin, yang menguasai Selat Sunda pada kedua sisinya
Ibu kotaSurosowan, Kota Intan
Bahasa yang umum digunakanSunda, Jawa, Melayu, Arab,[1]
Agama
Islam
PemerintahanKesultanan
Sultan 
• 1552–1570 ¹
Maulana Hasanuddin
• 1651–1683
Ageng Tirtayasa
Sejarah 
• Serangan atas Kerajaan Sunda
1527
• Aneksasi oleh Hindia Belanda
1813
Didahului oleh
Digantikan oleh
[[Kerajaan Sunda]]
[[Kerajaan Demak]]
[[Hindia Belanda]]
¹ (1527-1552 sebagai bawahan Demak)
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kesultanan Banten adalah sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan.

Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati[2] berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.

Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintanannya, para Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.

Penghapusan kesultanan

Reruntuhan Kraton Sultan pada tahun 1859 (gambar oleh C. Buddingh dari Geschiedenis van Nederlandsch Indië atau "Sejarah Hindia Belanda")
Reruntuhan Kraton Kaibon, bekas istana kediaman Ibu Suri Sultan Banten, pada tahun 1933

Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris.[3] Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin kemudian diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda.[4]

Kesultanan Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris.[5] Pada tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa turun tahta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.

Agama

Lukisan litograf Masjid Agung Banten pada kurun 1882-1889.

Berdasarkan data arkeologis, masa awal masyarakat Banten dipengaruhi oleh beberapa kerajaan yang membawa keyakinan Hindu-Budha, seperti Tarumanagara, Sriwijaya dan Kerajaan Sunda.

Dalam Babad Banten menceritakan bagaimana Sunan Gunung Jati bersama Maulana Hasanuddin, melakukan penyebaran agama Islam secara intensif kepada penguasa Banten Girang beserta penduduknya. Beberapa cerita mistis juga mengiringi proses islamisasi di Banten, termasuk ketika pada masa Maulana Yusuf mulai menyebarkan dakwah kepada penduduk pedalaman Sunda, yang ditandai dengan penaklukan Pakuan Pajajaran.

Islam menjadi pilar pendirian Kesultanan Banten, Sultan Banten dirujuk memiliki silsilah sampai kepada Nabi Muhammad, dan menempatkan para ulama memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakatnya, seiring itu tarekat maupun tasawuf juga berkembang di Banten. Sementara budaya masyarakat menyerap Islam sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Beberapa tradisi yang ada dipengaruhi oleh perkembangan Islam di masyarakat, seperti terlihat pada kesenian bela diri Debus.

Kadi memainkan peranan penting dalam pemerintahan Kesultanan Banten, selain bertanggungjawab dalam penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama, juga dalam penegakan hukum Islam seperti hudud.[6]

Toleransi umat beragama di Banten, berkembang dengan baik. Walau didominasi oleh muslim, namun komunitas tertentu diperkenankan membangun sarana peribadatan mereka, di mana sekitar tahun 1673 telah berdiri beberapa klenteng pada kawasan sekitar pelabuhan Banten.

Kependudukan

Kemajuan Kesultanan Banten ditopang oleh jumlah penduduk yang banyak serta multi-etnis. Mulai dari Jawa, Sunda dan Melayu. Sementara kelompok etnis nusantara lain dengan jumlah signifikan antara lain Makasar, Bugis dan Bali.

Dari beberapa sumber Eropa disebutkan sekitar tahun 1672, di Banten diperkirakan terdapat antara 100 000 sampai 200 000 orang lelaki yang siap untuk berperang, sumber lain menyebutkan, bahwa di Banten dapat direkrut sebanyak 10 000 orang yang siap memanggul senjata. Namun dari sumber yang paling dapat diandalkan, pada Dagh Register-(16.1.1673) menyebutkan dari sensus yang dilakukan VOC pada tahun 1673, diperkirakan penduduk di kota Banten yang mampu menggunakan tombak atau senapan berjumlah sekita 55 000 orang. Jika keseluruhan penduduk dihitung, apa pun kewarganegaraan mereka, diperkirakan berjumlah sekitar 150 000 penduduk, termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia.[7]

Sekitar tahun 1676 ribuan masyarakat Cina mencari suaka dan bekerja di Banten. Gelombang migrasi ini akibat berkecamuknya perang di Fujian serta pada kawasan Cina Selatan lainnya. Masyarakat ini umumnya membangun pemukiman sekitar pinggiran pantai dan sungai serta memiliki proporsi jumlah yang signifikan dibandingkan masyarakat India dan Arab. Sementara di Banten beberapa kelompok masyarakat Eropa seperti Inggris, Belanda, Perancis, Denmark dan Portugal juga telah membangun pemondokan dan gudang di sekitar Ci Banten.

Perekonomian

Dalam meletakan dasar pembangunan ekonomi Banten, selain di bidang perdagangan untuk daerah pesisir, pada kawasan pedalaman pembukaan sawah mulai diperkenalkan. Asumsi ini berkembang karena pada waktu itu di beberapa kawasan pedalaman seperti Lebak, perekonomian masyarakatnya ditopang oleh kegiatan perladangan, sebagaimana penafsiran dari naskah sanghyang siksakanda ng karesian yang menceritakan adanya istilah pahuma (peladang), panggerek (pemburu) dan panyadap (penyadap). Ketiga istilah ini jelas lebih kepada sistem ladang, begitu juga dengan nama peralatanya seperti kujang, patik, baliung, kored dan sadap.

Pada masa Sultan Ageng antara 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan besar dilakukan untuk mengembangkan pertanian. Antara 30 dan 40 km kanal baru dibangun dengan menggunakan tenaga sebanyak 16 000 orang. Di sepanjang kanal tersebut, antara 30 dan 40 000 ribu hektare sawah baru dan ribuan hektare perkebunan kelapa ditanam. 30 000-an petani ditempatkan di atas tanah tersebut, termasuk orang Bugis dan Makasar. Perkebunan tebu, yang didatangkan saudagar Cina pada tahun 1620-an, dikembangkan. Di bawah Sultan Ageng, perkembangan penduduk Banten meningkat signifikan.[8]

Tak dapat dipungkiri sampai pada tahun 1678, Banten telah menjadi kota metropolitan, dengan jumlah penduduk dan kekayaan yang dimilikinya menjadikan Banten sebagai salah satu kota terbesar di dunia pada masa tersebut.[7]

Pemerintahan

Bendera Kesultanan Banten, versi pelat Jepang tahun 1876.

Setelah Banten muncul sebagai kerajaan yang mandiri, penguasanya menggunakan gelar Sultan, sementara dalam lingkaran istana terdapat gelar Pangeran Ratu, Pangeran Adipati, Pangeran Gusti, dan Pangeran Anom yang disandang oleh para pewaris. Pada pemerintahan Banten terdapat seseorang dengan gelar Mangkubumi, Kadi, Patih serta Syahbandar yang memiliki peran dalam administrasi pemerintahan. Sementara pada masyarakat Banten terdapat kelompok bangsawan yang digelari dengan tubagus (Ratu Bagus), ratu atau sayyid, dan golongan khusus lainya yang mendapat kedudukan istimewa adalah terdiri atas kaum ulama, pamong praja, serta kaum jawara.

Pusat pemerintahan Banten berada antara dua buah sungai yaitu Ci Banten dan Ci Karangantu. Di kawasan tersebut dahulunya juga didirikan pasar, alun-alun dan Istana Surosowan yang dikelilingi oleh tembok beserta parit, sementara disebelah utara dari istana dibangun Masjid Agung Banten dengan menara berbentuk mercusuar yang kemungkinan dahulunya juga berfungsi sebagai menara pengawas untuk melihat kedatangan kapal di Banten.

Berdasarkan Sejarah Banten, lokasi pasar utama di Banten berada antara Masjid Agung Banten dan Ci Banten, dan dikenal dengan nama Kapalembangan. Sementara pada kawasan alun-alun terdapat paseban yang digunakan oleh Sultan Banten sebagai tempat untuk menyampaikan maklumat kepada rakyatnya. Secara keseluruhan rancangan kota Banten berbentuk segi empat yang dpengaruhi oleh konsep Hindu-Budha atau representasi yang dikenal dengan nama mandala.[8] Selain itu pada kawasan kota terdapat beberapa kampung yang mewakili etnis tertentu, seperti Kampung Pekojan (Persia) dan Kampung Pecinan.

Kesultanan Banten telah menerapkan cukai atas kapal-kapal yang singah ke Banten, pemungutan cukai ini dilakukan oleh Syahbandar yang berada di kawasan yang dinamakan Pabean. Salah seorang syahbandar yang terkenal pada masa Sultan Ageng bernama Syahbandar Kaytsu.

Daftar penguasa Banten

Warisan sejarah

Setelah dihapuskannya Kesultanan Banten, wilayah Banten menjadi bagian dari kawasan kolonialisasi. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, tahun 1817 Banten dijadikan keresidenan, dan sejak tahun 1926 wilayah tersebut menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat. Kejayaan masa lalu Kesultanan Banten menginspirasikan masyarakatnya untuk menjadikan kawasan Banten kembali menjadi satu kawasan otonomi, reformasi pemerintahan Indonesia berperan mendorong kawasan Banten sebagai provinsi tersendiri yang kemudian ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000.

Selain itu masyarakat Banten telah menjadi satu kumpulan etnik tersendiri yang diwarnai oleh perpaduan antar-etnis yang pernah ada pada masa kejayaan Kesultanan Banten, dan keberagaman ini pernah menjadikan masyarakat Banten sebagai salah satu kekuatan yang dominan di Nusantara.

Referensi

  1. ^ Titik Pudjiastuti, (2007), Perang, dagang, persahabatan: surat-surat Sultan Banten, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-650-8.
  2. ^ Uka Tjandrasasmita, (2009), Arkeologi Islam Nusantara, Kepustakaan Populer Gramedia, ISBN 979-9102-12-X.
  3. ^ Ekspedisi Anjer-Panaroekan, Laporan Jurnalistik Kompas. Penerbit Buku Kompas, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta Indonesia. 2008 November. hlm. 1–2. ISBN 978-979-709-391-4. 
  4. ^ Sartono Kartodirdjo, (1966), The peasants' revolt of Banten in 1888: Its conditions, course and sequel. A case study of social movements in Indonesia, Martinus Nijhoff.
  5. ^ R. B. Cribb, A. Kahin, (2004), Historical dictionary of Indonesia, Scarecrow Press, ISBN 0-8108-4935-6.
  6. ^ Euis Nurlaelawati, (2010), Modernization, tradition and identity: the Kompilasi hukum Islam and legal practice in the Indonesian religious courts, Amsterdam University Press, ISBN 90-8964-088-6.
  7. ^ a b Claude Guillot, Banten in 1678, Indonesia, Volume 57 (1994), 89-114.
  8. ^ a b Atsushi Ota, (2006), Changes of regime and social dynamics in West Java: society, state, and the outer world of Banten, 1750-1830, BRILL, ISBN 90-04-15091-9.

Bacaan lanjutan

Pranala luar