Kerajaan Kadiri
Artikel ini sudah memiliki daftar referensi, bacaan terkait, atau pranala luar, tetapi sumbernya belum jelas karena belum menyertakan kutipan pada kalimat. |
Karājāan Pañjalu Kaḍiri | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1019–1222 | |||||||||
Kerajaan Janggala dan Panjalu, kemudian bersatu menjadi Kerajaan Kadiri | |||||||||
Status | Kerajaan | ||||||||
Ibu kota | Watan Mas (1019-1031) Kahuripan (1032-1036) Madander (1037-1041) Dahanapura (1042-1222) | ||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Jawa Kuno (utama), Kawi (alternatif), Sanskerta | ||||||||
Agama | Hinduisme, Buddhisme, Animisme | ||||||||
Pemerintahan | Monarki | ||||||||
Maharaja | |||||||||
• 1019-1042 | Airlangga | ||||||||
• 1042-1051 | Sri Samarawijaya | ||||||||
• 1051-1112 | Sri Jitendrakara | ||||||||
• 1112-1135 | Sri Bameswara | ||||||||
• 1135-1159 | Jayabaya | ||||||||
• 1159-1171 | Sri Sarweswara | ||||||||
• 1171-1181 | Sri Aryeswara | ||||||||
• 1181-1182 | Sri Gandra | ||||||||
• 1182-1194 | Kameswara | ||||||||
• 1194-1222 | Kertajaya | ||||||||
• 1292-1293 | Jayakatwang | ||||||||
Sejarah | |||||||||
• Didirikan | 1019 | ||||||||
• Dibagi oleh Airlangga | 1042 | ||||||||
1135 | |||||||||
• Kakawin Bhāratayuddha selesai ditulis | 1157 | ||||||||
• Runtuh oleh Pemberontakan Ken Arok | 1222 | ||||||||
Mata uang | Koin emas dan perak | ||||||||
| |||||||||
Sekarang bagian dari | Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Madura, Bali
Indonesia | ||||||||
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Kerajaan Kadiri atau Kediri (Aksara Jawa :ꦥꦁꦗꦭꦸ ꦏꦣꦶꦫꦶ ) disebut juga sebagai Panjalu adalah sebuah kerajaan Hindu-Buddha yang terdapat di Jawa Timur, Indonesia, antara tahun 1019-1222 M. Dan merupakan salah satu kerajaan hasil pembelahan yang juga didirikan Airlangga. Kerajaan ini dipimpin oleh wangsa Isyana dan berpusat di Dahanapura, adalah nama kota kuno di masa lalu yang sekarang menjadi bagian dari kota Kediri.
Etimologi
Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum peristiwa pembelahan kerajaan oleh Airlangga. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042. Hal ini sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang, bahwa saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan telah berpindah ke Dahanapura dan menyebut Airlangga sebagai raja Daha atau kerajaan Daha.
... 15. Sigra datang pwa sirêng sagara Rupěk, mantas ta sira ngkana, Sang Yogîswara Mpu Baradah. Tan lingěn pwa sirêng (h)ěnu lampah Sang Mahamuni ambramaga. Sigra datang ta sirêng nagarêng Daha, panggih ta sirâtmajanira Sang Maharaja Erlanggya sědang tinangkil...
... 15. Segera tiba di Sagara Rupek, beliau menyeberang di sana, Sang Pendeta Baradah. Tidak diceritakan perjalanan Sang Pendeta di jalan sangat cepat jalannya. Beliau segera tiba di kerajaan Daha, bertemu dengan putranya Sang Maharaja Erlangga yang sedang dihadap...
— (Lontar Calon Arang).
Pembagian wilayah kerajaan Airlangga
Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya saling bersaing memperebutkan takhta. Putri mahkota yang sebenarnya bernama Sanggramawijaya Tunggadewi telah lebih dulu mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan memilih untuk menjalani kehidupan suci sebagai pertapa dengan bergelar Dewi Kili Suci, sehingga menimbulkan perebutan kekuasaan antara kedua putra Airlangga yang lain, yaitu Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan.
Menurut Kakawin Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan oleh Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.[1]
... 1. Nahan tatwanikaɳ kamal/ widita deniɳ sampradaya sthiti, mwaɳ çri pañjalunatha riɳ daha te- (122a) wekniɳ yawabhumy/ apalih, çri airlanghya sirandani ryyasihiran/ panak/ ri saɳ rwa prabhu, ...
Setelah turun takhta, Airlangga menjalani hidup sebagai pertapa sampai meninggal sekitar tahun 1049. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.... 1. Demikian sejarah Kamal menurut tutur yang dipercaya, Dan Sri Nata Panjalu di Daha, waktu bumi Jawa dibelah, Karena cinta raja Airlangga kepada dua puteranya, ...
— (Kakawin Nagarakretagama, Pupuh 68).
Nama Panjalu
Pada mulanya, nama Pañjalu pembacaan yang tepat sesuai aksara Pangjalu memang lebih sering dipakai daripada nama Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Panjalu. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Tiongkok berjudul Ling wai tai ta (1178).
Terdapat tiga jenis tanah yang akan digunakan oleh masyarakat di masa lalu saat akan membangun sebuah tempat atau pemukiman, pertama adalah tanah Anupa sebagai tanah subur serta dekat dengan sumber mata air berbagai macam biji-bijian jika ditanam akan tumbuh dengan baik. Kedua adalah tanah Sadarana, tanah yang di sebagian wilayahnya subur dan sebagian yang lainnya kurang subur, selanjutnya yang ketiga adalah Janggala yang merupakan tanah yang kurang subur atau hutan belantara.
Pangjalu berasal dari kata Jalu yang memiliki arti Jantan atau Pria, selanjutnya diberi unsur kata Pang yang adalah Pe, merupakan tambahan sehingga menjadi kalimat Pe-jantan dalam konteks kewilayahan istilah pejantan tersebut bermakna wilayah yang subur serta berdikari atau mandiri. Istilah Kadiri merupakan sinonim kata atau persamaan dari Pangjalu yang bermakna kemandirian. Kasus tersebut mirip dengan nama Majapahit dengan Wilwatikta, dimana wilwa adalah buah maja dan tikta adalah pahit.
Nama Kadiri
Nama "Kadiri" atau "Kediri" juga berasal dari kata bahasa Sansekerta, khadri, yang berarti pacé atau mengkudu (Morinda citrifolia). Batang kulit kayu pohon ini menghasilkan zat perwarna ungu kecokelatan yang digunakan dalam pembuatan batik, sementara buahnya dipercaya memiliki khasiat pengobatan. Asal-usul kata yang dipandang lebih tepat adalah berasal dari kata "kadiri" dalam Bahasa Jawa kuno yang berarti bisa berdiri sendiri, mandiri, berdiri tegak, berkepribadian, atau berswasembada.
Meninjau dari beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja Panjalu dapat dilihat frasa yang tertera pada prasasti Ceker dari tahun 1107 Saka (1185 M) yang menyebutkan:
(9b) "...śrī mahārāja mantuk śīma nira ring bhūmi kaḍiri..."
(Brandes 1913:171)
Terjemahan inskripsi: (Sri Maharaja telah kembali kesimanya, atau harapannya di Bhumi Kadiri...")
dalam prasasti Kamulan yang berangka tahun 1116 Saka (1194 M) menyebutkan:
"...tatkāla ni n kentar sangke kaḍatwan ring katang-katang deni nkin malṛ yatik kaprabhun śrī mahārāja siniwi riŋ bhūmi kaḍiri..."
(Brandes 1913:173)
Terjemahan inskripsi: (ketika meninggalkan istananya yang berada di Katang-katang sehingga tetap dapat menjalankan pemerintahan sebagai Sri Maharaja yang bertahta di Bhumi Kadiri...")
Latar belakang
Runtuhnya kerajaan Medang
Raja kerajaan Medang yang terakhir bernama Dharmawangsa Teguh, saingan berat kedatuan Sriwijaya. Pada tahun 1016 M, Raja Wurawari dari Lwaram sekitar Cepu, Blora (sekutu Sriwijaya) menyerang Istana Wwatan, ibu kota kerajaan Medang, yang tengah mengadakan pesta pernikahan Airlangga dengan putri dari raja Dharmawangsa Teguh, Dharmawangsa Teguh sendiri tewas dalam serangan tersebut sedangkan keponakannya yang bernama Airlangga bersama dengan putri Dharmawangsa berhasil lolos ditemani pembantunya Mpu Narotama.
Airlangga adalah putra pasangan Mahendradatta (saudari Dharmawangsa Teguh) dengan Udayana raja dari kerajaan Bedahulu, Bali. ia lolos bersama putri Dharmawangsa ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Sejak saat itu Airlangga menjalani kehidupan sebagai pertapa di hutan pegunungan (Vana giri) sekarang Wonogiri, selanjutnya menuju Sendang Made, Kudu, Jombang.
Pada saat pelarian dan dalam masa pertapaannya, setelah tiga tahun hidup didalam hutan pada tahun 1019, Airlangga didatangi utusan rakyat beserta para senopati yang masih setia, meminta agar dirinya mendirikan dan membangkitkan kembali sisa-sisa kejayaan kerajaan Medang. Atas dukungan dari para pendeta dan kaum Brahmana ia kemudian membangun sebuah Ibukota baru yang bernama Watan Mas.
15. Kemudian dalam tahun penting yaitu 941 tahun saka, tanggal 13 paro terang, bulan magha, pada hari kamis menghadaplah para abdi dan para Brahmana terpandang kepada raja di raja Erlangga, menunduk hormat disertai harapan tulus. Mereka dengan penuh ketulusan mengajukan permohonan kepadanya: “perintahlah negara ini sampai batas-batas yang paling jauh ! ...”
(Prasasti Pucangan) (1041 M)
Ibu kota baru bernama Watan Mas terletak di dekat sekitar Gunung Penanggungan. Pada mulanya wilayah kerajaan yang diperintah Airlangga hanya meliputi daerah Gunung Penanggungan dan sekitarnya, karena banyak daerah-daerah bawahan Kerajaan Medang yang membebaskan diri setelah keruntuhannya. Baru setelah kedatuan Sriwijaya dikalahkan Rajendra Coladewa, raja Colamandala dari kerajaan Chola, India di tahun 1023, Airlangga bisa dengan leluasa membangun kembali kejayaan wangsa Isyana.
Sejak tahun 1025, peperangan demi peperangan dijalani Airlangga. Satu demi satu kerajaan-kerajaan di Jawa Timur dapat ditaklukkannya. Namun pada tahun 1031 Airlangga kehilangan kota Watan Mas karena diserang oleh raja wanita yang kuat bagai raksasa. Raja wanita itu adalah Ratu Dyah Tulodong, yang merupakan salah satu raja kerajaan Lodoyong (sekarang wilayah Tulungagung, Jawa Timur). Dyah Tulodong digambarkan sebagai ratu yang memiliki kekuatan luar biasa. Salah satu peristiwa sejarah penting adalah pertempuran antara bala tentara Raja Airlangga yang berhasil dikalahkan oleh Dyah Tulodong. Pertempuran tersebut terjadi lantaran Dyah Tulodong berusaha membendung ekspansi Airlangga yang waktu itu sudah menguasai wilayah-wilayah di sekitar kerajaan Lodoyong. Bahkan di beberapa riwayat, diceritakan pasukan khusus yang dibawa Ratu Dyah Tulodong merupakan prajurit-prajurit wanita pilihan, pasukan ini bahkan berhasil memukul mundur pasukan Airlangga dari pusat kota kerajaannya "Watan Mas" di dekat Gunung Penanggungan hingga ke Patakan (Sambeng, Lamongan, Jawa Timur).
Tetapi satu tahun kemudian di penghujung tahun 1032, dari arah utara, pasukan Airlangga bergerak ke selatan menuju Lodoyong. Dyah Tulodong berhasil dikalahkan oleh Airlangga lewat pertempuran sengit. Tidak lama kemudian Raja Wurawari pun dapat dihancurkannya, sekaligus membalaskan dendam keluarga Airlangga dan wangsa Isyana. Sejak saat itu wilayah kerajaan Airlangga mencakup hampir seluruh Jawa Timur.
Tahun 1032, Airlangga kemudian membangun ibu kota baru bernama Kahuripan yang berpusat di daerah Kabupaten Sidoarjo sekarang.
Pada tahun 1042, berdasarkan prasasti Pamwatan dan Serat Calon Arang, di akhir masa pemerintahannya, Airlangga kemudian memindahkan ibukotanya ke Daha.
Perkembangan kerajaan
Masa-masa awal kerajaan Kadiri setelah peristiwa pembelahan tidak banyak diketahui. Prasasti Turun Hyang (1044) yang diterbitkan kerajaan Janggala hanya memberitakan adanya perang saudara antara kedua kerajaan sepeninggal raja Airlangga, sejarah kerajaan Kadiri mulai diketahui dengan adanya Prasasti Banjaran dan Prasasti Mataji. Setelah raja Sri Jitendrakara diketahui terdapat raja bernama Sri Bameswara berdasarkan Prasasti Karanggayam. Selanjutnya dalam Prasasti Hantang raja yang memerintah sudah berganti Sri Jayabhaya. Panjalu di bawah pemerintahan Sri Jayabhaya berhasil menaklukkan kerajaan Janggala dengan semboyannya yang terkenal dalam prasasti Ngantang (1135), yaitu Pangjalu Jayati, yang berarti Kadiri Menang.
Pada masa pemerintahan Sri Jayabhaya inilah, kerajaan Kadiri mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh kedatuan Sriwijaya di Sumatra. Hal ini diperkuat kronik Tiongkok berjudul Ling wai tai ta karya Chou Ku-fei tahun 1178, bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain Tiongkok secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra. Saat itu yang berkuasa di jazirah Arab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa ada Panjalu, sedangkan Sumatra dikuasai Sriwijaya.[2] Pada prasasti Talan tahun 1136, raja Jayabhaya menganugerahkan desa Talan sebagai sima karena telah menyimpan prasasti ripta (lontar) dari masa leluhurnya wangsa Isyana yaitu Airlangga lontar tersebut disalin ke prasasti batu dan diberi tambahan anugerah lain oleh raja Jayabhaya. Prabu Jayabhaya sendiri mengklaim bahwa raja Airlangga adalah nenek moyangnya.
Penemuan Situs Tondowongso awal tahun 2007 diyakini sebagai peninggalan kerajaan Panjalu juga bersama dengan Situs Adan-Adan yang memiliki bermacam temuan benda-benda bersejarah seperti batuan fondasi candi, makara, sistem pertirtaan (pengairan) diduga embung, pecahan keramik dan beberapa arca peninggalan era Kerajaan Panjalu dan Tumapel yang terletak di Desa Adan-adan, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut.
Catatan Kronik Tiongkok
Menurut sumber berita Tiongkok, pekerjaan utama orang Panjalu berkisar pada pertanian (bercocok tanam padi), peternakan (sapi, babi hutan, unggas), dan perdagangan rempah-rempah. Daha, ibu kota Kerajaan Panjalu, terletak di pedalaman, dekat lembah sungai Brantas yang subur. Dari masa pemerintahan raja sebelumnya Airlangga, Panjalu mewarisi sistem irigasi, termasuk bendungan Waringin Sapta. Perekonomian Panjalu sebagian dimonetisasi, dengan koin perak yang dikeluarkan oleh istana.
Pada periode-periode selanjutnya, perekonomian Kadiri tumbuh dengan lebih bertumpu pada perdagangan, khususnya perdagangan rempah-rempah. Hal ini dihasilkan dari pengembangan angkatan laut Panjalu, memberi mereka kesempatan untuk mengontrol jalur perdagangan rempah-rempah ke pulau-pulau timur. Panjalu mengumpulkan rempah-rempah dari anak sungai di Kalimantan bagian selatan dan Kepulauan Maluku. Orang India dan Asia Tenggara kemudian mengangkut rempah-rempah ke pasar Mediterania dan Tiongkok melalui Rute Rempah-rempah yang menghubungkan rantai pelabuhan dari Samudra Hindia ke Cina selatan.
Pertanian, peternakan, dan perdagangan berkembang pesat dan mendapat perhatian penuh dari pemerintah. Dia melaporkan bahwa peternakan ulat sutera untuk memproduksi pakaian sutra dan katun telah diadopsi oleh orang Jawa pada waktu itu. Tidak ada hukuman fisik (penjara atau penyiksaan) bagi para penjahat. Sebaliknya, orang yang melakukan perbuatan melawan hukum terpaksa membayar denda berupa emas, kecuali pencuri dan perampok yang dieksekusi mati.
Dalam adat perkawinan, keluarga mempelai wanita menerima mas kawin berupa emas dari mempelai pria. Alih-alih mengembangkan pengobatan medis, masyarakat Panjalu mengandalkan doa kepada dewa dan Buddha. Pada bulan ke-5 tahun ini, festival air dirayakan dengan orang-orang yang bepergian dengan perahu di sepanjang sungai untuk merayakannya. Pada bulan ke-10, festival lain diadakan di pegunungan. Orang-orang akan berkumpul di sana untuk bersenang-senang dan memainkan musik dengan instrumen seperti seruling, gendang, dan gambang kayu (bentuk gamelan kuno).
Hubungan dengan kekuatan regional
Kerajaan Panjalu yang berkuasa di Jawa bersama dengan Kedatuan Sriwijaya yang berbasis di Sumatera sepanjang abad ke 12 hingga ke-13, tampaknya telah mempertahankan hubungan perdagangan dengan Tiongkok dan sampai batas tertentu dengan India. Catatan Cina mengidentifikasi kerajaan ini sebagai Tsao-wa atau Chao-wa (Jawa), sejumlah catatan Tiongkok menandakan bahwa penjelajah dan pedagang Cina sering mengunjungi kerajaan ini. Hubungan dengan India adalah hubungan budaya, karena sejumlah Rakawi (penyair atau sarjana) Jawa menulis literatur yang diilhami oleh mitologi, kepercayaan, dan epos Hindu seperti Mahabharata dan Ramayana.
Pada abad ke-11, hegemoni Sriwijaya di kepulauan Indonesia mulai menurun, ditandai dengan invasi Rajendra Chola dari Kerajaan Chola ke Semenanjung Malaya dan Sumatera. Melemahnya hegemoni Sriwijaya telah memungkinkan terbentuknya kerajaan-kerajaan regional, seperti Panjalu, yang berbasis pertanian daripada perdagangan. Belakangan Kerajaan Kadiri berhasil menguasai jalur perdagangan rempah-rempah ke Maluku.
Menurut berita Cina, dan kitab Ling-wai-tai-ta diterangkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari orang-orang memakai kain sampai di bawah lutut. Rambutnya diurai. Rumah-rumah mereka bersih dan teratur, lantainya ubin yang berwarna kuning dan hijau. Raja mengenakan pakaian sutra, sepatu kulit dan perhiasan emas berukir. Rambutnya disanggul tinggi-tinggi di atas kepala. Setiap hari, dia akan menerima pejabat negara, dan menjalankan kerajaannya, di atas takhta persegi. Setelah pertemuan, pejabat negara akan membungkuk tiga kali kepada raja. Jika raja bepergian ke luar istana, raja naik gajah atau kereta yang diiringi oleh 500 sampai 700 tentara dan pejabat, sementara rakyatnya, orang-orang Panjalu, bersujud saat raja lewat. Tiga pangeran ditunjuk sebagai asisten raja. Ada pejabat bergelar simajie dan luojielian (rakryan). Mereka mengelola urusan negara bersama-sama seperti menteri utama di pusat, tetapi tidak memiliki gaji tetap, dihadiahi hasil bumi asli dan barang-barang lainnya. Di bawah mereka ada tiga ratus atau lebih juru tulis yang didelegasikan administrasi kota, perbendaharaan negara, lumbung, dan tentara. Para komandan militer dibayar dua puluh tael emas setahun. Tentara memiliki 30.000 tentara yang juga dibayar dengan jumlah emas yang bervariasi setiap tahun. Adat di negeri ini adalah melangsungkan akad nikah tanpa menggunakan mak comblang. Pihak keluarga laki-laki cukup memberikan hadiah berupa emas kepada keluarga pihak perempuan untuk dinikahkan. Mereka tidak menetapkan hukuman untuk sebagian besar kejahatan. Pihak yang bersalah hanya menebus dirinya dengan membayar denda dalam bentuk emas yang besarnya tergantung dari keseriusan kejahatannya. Hanya perampokan yang dihukum mati.
Ada banyak monyet di pegunungan, dan mereka tidak takut pada manusia. Saat orang memanggil mereka dengan suara "xiao, xiao" (yaitu, bersiul), mereka langsung keluar. Saat buah-buahan dilemparkan ke mereka, monyet terbesar keluar lebih dulu. Penduduk setempat menyebutnya Raja Kera. Setelah selesai makan, monyet lainnya memakan apa yang ditinggalkannya. Di negeri ini terdapat kebun bambu tempat diadakannya sabung ayam dan adu babi hutan. Rumah mereka megah dan dihiasi dengan emas dan batu giok. Pedagang yang berkunjung ditempatkan di wisma tamu. Makanan mereka kaya dan memperhatikan kebersihan. Penduduk setempat membuat rambut mereka terurai dan tidak terikat; pakaian mereka dililitkan di dada dan sampai ke lutut. Saat sakit, mereka tidak minum obat tetapi hanya berdoa kepada dewa dan Buddha. Orang-orang telah memberikan nama tetapi bukan nama keluarga (marga). Mereka terburu nafsu dan suka berperang dan memiliki permusuhan jangka panjang dengan Sanfoqi (Sriwijaya); kedua negara sering saling menyerang. [3]
Masih menurut Zhou Ku-fei bahwa Kerajaan Panjalu kekuasaannya sangat luas dan kaya raya, menurutnya di dunia saat itu ada 3 kerajaan kaya; Kekhalifahan Abbasiyah yang berkuasa di Arab, Kerajaan Panjalu yang menguasai Bagian Timur Nusantara dan Sriwijaya yang menguasai bagian barat Nusantara.
Chau Ju-Kua, seorang pegawai resmi Dinasti Song menuliskan dalam bukunya Zhu-fan-zhi, menggambarkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara ada dua kerajaan yang kuat dan kaya: Sriwijaya dan Jawa (Panjalu). Di Jawa ia menemukan bahwa orang-orang menganut dua agama: Buddha dan agama Brahmana (Hindu). Orang Jawa adalah pemberani dan pemarah, mereka berani untuk melawan. Waktu luangnya dipergunakan untuk mengadu binatang, hiburan favoritnya adalah sabung ayam dan adu babi. Mata uangnya dibuat dari campuran tembaga, perak, dan timah. Buku Chu-fan-chi menyebut bahwa maharaja jawa mempunyai wilayah jajahan: Pai-hua-yuan (Pacitan), Ma-tung (Medang), Ta-pen (Tumapel, Malang), Hi-ning (Dieng), Jung-ya-lu (Hujung Galuh, sekarang Surabaya), Tung-ki (Jenggi, Papua Barat), Ta-kang (Sumba), Huang-ma-chu (Papua), Ma-li (Bali), Kulun (Gurun, mungkin Gorong atau Sorong di Papua Barat atau Nusa Tenggara), Tan-jung-wu-lo (Tanjungpura di Borneo), Ti-wu (Timor), Pingya-i (Banggai di Sulawesi), dan Wu-nu-ku (Maluku).
Mengenai Sriwijaya, Chou-Ju-Kua melaporkan bahwa Kien-pi (Kampe, di Sumatera bagian utara) dengan pemberontakan bersenjatanya telah membebaskan diri dari pengaruh Sriwijaya, dan menobatkan raja mereka sendiri. Nasib yang sama menimpa beberapa koloni Sriwijaya di Semenanjung Malaya yang membebaskan diri dari dominasi Sriwijaya. Namun Sriwijaya masih negara terkuat dan terkaya di bagian barat Nusantara. Koloni Sriwijaya adalah: Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Trengganu), Ling-ya-ssi-kia (Langkasuka), Kilan-tan (Kelantan), Fo-lo-an, Ji-lo-t' ing (Jelutong), Ts'ien-mai (?), Pa-t'a (Paka), Tan-ma-ling (Tambralinga, Ligor atau Nakhon Si Thammarat), Kia-lo-hi (Grahi, bahasa Melayu bagian utara semenanjung), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-t'o (Sunda), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), dan Si-lan. Menurut sumber ini, pada awal abad ke-13 Sriwijaya masih menguasai Sumatera, Semenanjung Malaya, dan Jawa bagian barat (Sunda).
Mengenai Sunda, buku itu merinci bahwa pelabuhan Sunda (Sunda Kelapa) sangat bagus dan letaknya strategis, dan lada dari Sunda termasuk yang kualitas terbaik. Orang-orang bekerja di pertanian; rumah mereka dibangun di atas tiang kayu (rumah panggung). Namun negara itu penuh dengan perampok dan pencuri.
Keruntuhan
Kerajaan Panjalu-Kadiri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya, dan dikisahkan dalam Kitab Pararaton dan Kakawin Nagarakretagama.
Pada tahun 1222 Kertajaya sedang berselisih melawan kaum brahmana. Kemudian para Brahmana meminta perlindungan kepada Ken Arok akuwu Tumapel. Kebetulan Ken Arok juga bercita-cita memerdekakan Tumapel yang merupakan daerah bawahan Kadiri.
Puncak peperangan antara Kadiri dan Tumapel terjadi dekat Desa Ganter (Genter), di wilayah timur Kadiri. Tatkala pasukan Ken Angrok berhasil menghancurkan pasukan Kertajaya. Dengan demikian, berakhirlah masa Kerajaan Kadiri, yang sejak saat itu kemudian menjadi bawahan Tumapel atau Singhasari.
Setelah Ken Arok mengalahkan Kertajaya, Kadiri menjadi suatu wilayah di bawah kekuasaan Tumapel. Ken Arok mengangkat Jayasabha, putra Kertajaya sebagai bupati Kadiri. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya yang bernama Sastrajaya. Pada tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya, yaitu Jayakatwang.
Pada tahun 1292, Jayakatwang memberontak terhadap Singhasari yang dipimpin oleh Kertanagara, karena dendam masa lalu dimana leluhurnya Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok. Setelah berhasil membunuh Kertanagara, Jayakatwang membangun kembali Kerajaan leluhurnya Kadiri, namun hanya bertahan satu tahun dikarenakan serangan gabungan yang dilancarkan oleh pasukan Mongol dan pasukan menantu Kertanagara, Dyah Wijaya.
Daftar raja-raja
Penguasa Panjalu-Kadiri
Masa pemerintahan | Sri/Maharaja | Prasasti dan berita |
---|---|---|
1019-1042 | Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawiramottunggadewa (Airlangga) |
Kakawin Nagarakretagama (1365), Serat Calon Arang. |
1042-1051 | Sri Samarawijaya Dharmasuparnawahana Teguh Uttunggadewa (Sri Samarawijaya) |
Disebutkan dalam prasasti Pucangan (1041). Adalah raja kerajaan Kadiri setelah peristiwa pembagian kerajaan oleh Airlangga kepada kedua putranya. |
1051-1112 | Sri Jitendra Kara Wuryyawiryya Parakrama Bhakta (Sri Jitendrakara) |
Disebutkan dalam prasasti Mataji (1051). |
1112-1135 | Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Bameswara Sakalabhuwana Tustikarana Sarwaniwariwirya Parakrama Digjaya Uttunggadewa (Sri Bameswara) |
prasasti Pandlegan I (1117), prasasti Panumbangan, prasasti Geneng (1128), prasasti Tangkilan (1130), prasasti Besole (1132), prasasti Pagiliran (1134), prasasti Bameswara (1135), prasasti Karanggayam. |
1135-1159 | Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa (Jayabaya) |
Disebutkan dalam prasasti Hantang (1135), Jepun (1144) dan Talan (1136). Janggala ditaklukkan dan bersatu kembali dengan Panjalu. |
1159-1171 | Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Sarweswara Janardanawatara Wijaya Agrajasama Singhadani Waryawirya Parakrama Digjaya Uttunggadewa (Sri Sarweswara) |
Disebutkan dalam prasasti Kahyunan dan Padlegan II (1159). |
1171-1181 | Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara Madhusudanawatara Arijamuka Sakalabhuwanaritiniwiryya Parakrama Uttunggadewa (Sri Aryeswara) |
Disebutkan dalam prasasti Waleri dan Angin (1171). |
1181-1182 | Sri Maharaja Koncaryadipa Handabhuwanapadalaka Parakrama Anindita Digjaya Uttunggadewa Sri Gandra (Sri Gandra) |
Disebutkan dalam prasasti Jaring. |
1182-1194 | Sri Maharaja Rake Sirikan Sri Kameswara Sakalabhuwanatustikarana Sarwaniwaryyawiryya Parakrama Digjaya Uttunggadewa (Kameswara) |
Disebutkan dalam prasasti Semanding (1182) dan prasasti Ceker (1185). |
1194-1222 | Paduka Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa (Kertajaya) |
Disebutkan dalam prasasti Sapu Angin (1190), prasasti Galunggung (1194), prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Biri, prasasti Lawadan (1205), Kakawin Nagarakretagama (1365), Gugur tahun 1144 Saka (1222). |
Pemberontakan Jayakatwang dari Gelang-gelang atau Gegelang yang menghidupkan kembali dinasti kedua Kadiri yang berumur pendek. | ||
1292-1293 | Sri Jayakatwang (Jayakatwang) |
Disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama (1365). |
Warisan Budaya
Candi
- Candi Gununggangsir, terletak di Beji, Kabupaten Pasuruan.
- Candi Penataran, Candi termegah dan terluas di Jawa Timur ini terletak di lereng barat daya Gunung Kelud, di sebelah utara Blitar, diperkirakan dibangun pada masa Raja Srengga dari Kerajaan Kadiri
- Candi Watutulis di daerah Watutulis, Prambon, Sidoarjo.
Karya Sastra
- Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan oleh Mpu Panuluh.
- Kakawin Lubdhaka dan Kakawin Wrettasañcaya adalah karya Mpu Tanakung.
- Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkachasraya ditulis oleh Mpu Panuluh.
- Kakawin Smaradahana ditulis oleh Mpu Dharmaja.
- Kakawin Sumanasantaka ditulis oleh Mpu Monaguna.
- Kakawin Kresnayana ditulis oleh Mpu Triguna.
Prasasti
- Prasasti Cane (1021 M).
- Prasasti Baru (1030 M).
- Prasasti Terep (1032 M).
- Prasasti Kusambyan (1037 M), Kudu, Jombang.
- Prasasti Kamalagyan (1037 M), Tropodo, Kabupaten Sidoarjo
- Prasasti Pucangan (1042 M), terletak di lereng barat gunung Penanggungan, Kabupaten Mojokerto.
- Prasasti Pasar Legi (1043 M), Ngimbang, Lamongan.
- Prasasti Lemah Abang, Ngimbang, Lamongan.
- Prasasti Purwokerto, Ngimbang, Lamongan.
- Prasasti Drujugurit, Ngimbang, Lamongan.
- Prasasti Wotan, Ngimbang, Lamongan.
- Prasasti Sendang Gede, Ngimbang, Lamongan.
- Prasasti Sendangrejo, Ngimbang, Lamongan.
- Prasasti Sumbersari, Sambeng, Lamongan.
- Prasasti Sumbersari II, Sambeng, Lamongan.
- Prasasti lawan, Sambeng, Lamongan.
Situs
- Gua Selomangleng, terletak di Mojoroto, Kediri.
- Petirtaan Belahan, terletak di lereng timur Gunung Penanggungan, Kabupaten Pasuruan.
- Sendang Made, terletak di Kudu, Jombang.
Lihat pula
Daftar pustaka
- H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
- Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
- Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
Didahului oleh: Medang |
Kerajaan Hindu-Buddha 1019 - 1222 |
Diteruskan oleh: Tumapel |