Lompat ke isi

Era Demokrasi Liberal (1950–1959)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Era 1950-1959 adalah era di mana Presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi UUDS Republik Indonesia 1950. Periode ini berlangsung mulai dari 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959.

Latar Belakang

Pada masa orde lama, sistem pemerintahan di Indonesia mengalami beberapa peralihan. Indonesia pernah menerapkan sistem pemerintahan presidensial, parlementer, demokrasi liberal, dan sistem pemerintahan demokrasi terpimpin. Berikut penjelasan sistem pemerintahan masa Ir. Soekarno:

Masa Pemerintahan Pasca Kemerdekaan (1945-1950)

Pada tahun 1945-1950, terjadi perubahan sistem pemerintahan dari presidensial menjadi parlementer. Dimana dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai badan eksekutif dan merangkap sekaligus sebagai badan legislatif.

Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno ini juga terjadi penyimpangan UUD 1945. Berikut Penyimpangan UUD 1945 yang terjadi pada masa orde lama:

Fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) berubah, dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang merupakan wewenang MPR.

Salah satu hasil dari KMB adalah terbentuknya negara Republik Indonesia Serikat. Pembentukan negara federal yang diprakasai oleh Belanda untuk melemahkan integrasi Indonesia sebagai negara kesatuan ternyata tidak mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia. Banyak negara bagian yang menyatakan ingin kembali ke negara kesatuan.

Pada 15 Agustus 1950, Perdana Menteri Kabinet RIS Mohammad Hatta, kemudia menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno. Selanjutnya, pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi negara kesatuan.

Maka, dimulailah usaha-usaha untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan yang telah susah payah diperjuangkan. Masa revolusi fisik atau masa perjuangan harus segera ditinggalkan. Gangguan keamanan yang selama ini banyak menyita perhatian, waktu, dan dana negara harus segera digantikan dengan langkah-langkah konkret. Hal ini agar perbaikan berbagai bidang, seperti sistem poltik dan pemerintahan, perekonomian, pertahanan, dan keamanan negara.

Setelah berakhirnya pemerintahan RIS pada 1950, pemerintahan Republik Indonesia masih melanjutkan model demokrasi parlementer yang liberal. Kabinet dipimpin oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab kepada parlemen. Presiden hanya berkedudukan sebagai kepala negara.

Pada kurun waktu 1950 sampai 1959, kembali terjadi silih berganti kabinet. Kabinet jatuh bangun karena munculnya mosi tidak percaya dari partai relawan. DIsamping itu, terjadi perdebatan dalam konstituante yang sering menimbulkan konflik berkepanjangan.

Pada tahun 1950, Perdana Menteri Kabinet RIS, Mohammad Hatta, kemudian menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno. Selanjutnya, pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi negara kesatuan.

Salah satunya adalah Presiden Soekarno membubarkan parlemen sekaligus menyatakan kembali UUD 1945. Pemerintah kemudian membentuk lembaga-lembaga MPRS dalam demokrasi terpimpin yang menerapkan sistem politik keseimbangan. Pada masa ini Soekarno merencanakan konsep pentingnya persatuan antara kaum nasionalis, agama dan komunis.

Konstituante

Pada tahun 1955, Indonesia baru melaksanakan pemilihan umum nasional yang pertama. Pada bulan September, rakyat memilih wakil untuk DPR, dan pada bulan Desember pemilih kembali memilih wakil-wakil yang lebih banyak lagi yang akan bekerja di sebuah institusi yang dikenal dengan Konstituante.

Konstituante, setelah dipilih pada tahun 1955, mulai bersidang pada bulan November 1956 di Bandung, ibukota Jawa Barat. Perdebatan, permusyawaratan, dan penulisan draf-draf undang-undang dasar berlangsung selama dua setengah tahun. Perdebatan isu dasar negara (terutama antara golongan yang mendukung Islam sebagai dasar negara dan golongan yang mendukung Pancasila) terjadi sangat sengit. Walaupun para pimpinan Konstituante merasa sudah lebih dari 90% materi undang-undang dasar telah disepakati, dan walaupun ada beberapa tokoh partai politik Islam yang merasa siap berkompromi, Konstituante tidak sempat menyelesaikan tugasnya.

Konstituante diberikan tugas untuk membuat undang-undang dasar yang baru sesuai amanat UUDS 1950. Pada 1950, UUDS (Undang-Undang Sementara) diberlakukan di bawah pemerintahan Soekarno. ini berdampak pada penerapan model demokrasi parlementer murni (Demokrasi Liberal). Tetapi, Demokrasi Liberal yang didukung oleh banyak partai seperti, MASYUMI dan PNI) justru mengarah kepada munculnya ketidakstabilan politik. Pada 1959, munculnya Demokrasi Terpimpin dengan kabinet yang semuanya dipimpin oleh Ir. Soekarno.

Sampai tahun 1959 badan ini belum juga bisa membuat konstitusi baru. Maka Presiden Soekarno menyampaikan konsepsi tentang Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil pemilu yang berisi ide untuk kembali pada UUD 1945. UUDS 1950 ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi ini dinamakan “sementara”, karena hanya bersifat sementara, menunggu terpilihnya Konstituante hasil pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru. Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih Konstituante secara demokratis, namun Konstituante gagal membentuk konstitusi baru sampai berlarut-larut. Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959, yang antara lain berisi kembali berlakunya UUD 1945.

Kabinet-kabinet di Indonesia Pada Masa Demokrasi Liberal

Pada masa ini terjadi banyak pergantian kabinet diakibatkan situasi politik yang tidak stabil. Tercatat ada 7 kabinet pada masa ini. Kabinet jatuh bangun karena munculnya mosi tidak percaya dari partai lawan. Di samping itu, terjadi perdebatan dalam Konstituante yang sering menimbulkan konflik berkepanjangan.

Kabinet Natsir (Masyumi) (6 September 1950 - 21 Maret 1951)

Program kerja kabinet Natsir:

  1. Mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih Dewan Konstituante
  2. Menyempurnakan susunan pemerintahan dan membentuk kelengkapan negara
  3. Menggiatkan usaha mencapai keamanan dan ketenteraman
  4. Meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat
  5. Menyempurnakan organisasi angkatan perang
  6. Memperjuangkan penyelesaian soal Irian Barat

Hasil:

  1. Berlangsungnya perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat

Kendala atau masalah yang dihadapi:

  1. Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu (kegagalan)
  2. Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS

Berakhirnya kekuasaan kabinet:

Belum sampai program tersebut terlaksana, kabinet ini sudah jatuh pada 21 Maret 1951 dalam usia 6.5 bulan.

Jatuhnya kabinet ini karena adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 tahun 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen sehingga Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.

Susunan Kabinet Natsir:

  1. Perdana Menteri : Mohammad Natsir (Partai Masyumi)
  2. Wakil Perdana Menteri : Hamengkubuwono IX (Non Partai)
  3. Menteri Luar negeri : Mohammad Roem (Partai masyumi)
  4. Menteri Dalam Negeri : Assaat (Non Partai)
  5. Menteri Kehakiman : Wongsonegoro (Partai PIR)
  6. Menteri Keamanan Rakyat : Abdul Halim (Non Partai)
  7. Menteri Keuangan : Syafruddin Prawiranegara (Partai Masyumi)
  8. Menteri Penerangan : M.A. Pellaupessy (Faksi Demokratik)
  9. Menteri Pertanian : Tandiono Manu (Partai Sosialis Indonesia)
  10. Menteri Perdagangan : Sumitro Joyohadikusumo (Partai Sosialis Indonesia)
  11. Menteri Sosial : F.S. Haryadi (Partai Katolik)
  12. Menteri Pekerjaan Umum : Herman Johannes (PIR)
  13. Menteri Kesehatan : Johannes Leimena (Partai Kristen Indonesia)
  14. Menteri Perhubungan : Djuanda Kartawidjaja (Non Partai)
  15. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan : Bahder Djohan (Non Partai)
  16. Menteri Agama : Wahid Hasyim (Partai Masyumi)
  17. Menteri Negara : Harsono Tjokroaminoto (PSII)
  18. Menteri Tenaga Kerja : Panji Suroso (Partai Parindra)

Dalam program Kabinet Natsir, kemudian diterapkan Program Benteng yang didasari oleh gagasan pentingnya mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Program Benteng resmi berjalan selama tiga tahun (1950-1953) dengan tiga kabinet berbeda (Natsir, Sukiman, dan Wilopo).

Kabinet Sukiman-Suwirjo (Masyumi) (26 April 1951 - 3 April 1952)

Berkas:Kabinet sukiman suwirjo.jpg
Kabinet Sukiman Suwirjo

Kabinet ini merupakan kabinet kedua setelah penghapusan RIS (Republik Indonesia Serikat). Kabinet ini bertugas pada masa bakti 27 April 1951 hingga 3 April 1952 Kabinet ini telah didemosioner sejak 23 Februari 1952.

Kabinet ini merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI.

Masyumi adalah organisasi yang dibentuk Jepang dalam upaya mereka untuk mengendalikan umat islam di Indonesia. Tujuan partai ini adalah untuk menegakkan kedaulatan negara dan agama islam.

Properti kabinet:

  • Perdana Menteri : Sukiman Wirjosandjojo
  • Wakil Perdana Menteri : Suwirjo
  • Menteri Luar Negeri : Achmad Subardjo
  • Menteri Dalam Negeri : Iskak Tjokroadisurjo
  • Menteri Pertahanan : Sewaka
  • Menteri Kehakiman : Mohammad Yamin
  • Menteri Penerangan : Arnold Mononutu
  • Menteri Keuangan : Jusuf Wibisono
  • Menteri Pertanian : Suwarto
  • Menteri Perindustrian dan Perdagangan : Sujono Hadinoto
  • Menteri Perhubungan : Djuanda Kartawidjaja
  • Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga : Ukar Bratakusumah
  • Menteri Perburuhan : Iskandar Tedjasukmana
  • Menteri Sosial : Sjamsuddin
  • Menteri Pendidikan dan Kebudayaan : Wongsonegoro
  • Menteri Kepercayaan kepada Tuhan : Wahid Hasjim
  • Menteri Kesehatan : J.Leimena
  • Menteri Negara : A. Pellaupessy (urusan umum), Pandji Suroso (urusan pegawai), dan Gondokuspmp (urusan agraria)

Catatan:

  • Sewaka ditunjuk pada 9 Mei 1951 setelah Sumitro Kolopaking tidak menerima penunjukan.
  • Yamin mengundurkan diri 14 Juni 1951 dan A. Pellaupessy bagi sementara merangkap Menteri Kehakiman. Pada 20 November 1951, posisi Menteri Kehakiman diserahkan kepada Mohammad Nasrun.
  • Sujono Hadinoto ditukarkan Wilopo pada Juli 1951.
  • Ukar Bratakusumah merangkap Menteri Perhubungan sementara sewaktu Djuanda tidak kekurangan di luar negeri.
  • Diangkatkan pada 20 November 1951, Gondokusomo meninggal pada tanggal 6 Maret 1952.[1]


Program kerja kabinet Sukiman:

  1. Menjalankan tindakan-tindakan yang tegas sebagai negara hukum untuk menjamin keamanan dan ketenteraman serta menyempurnakan organisasi alat-alat kekuasaan negara
  2. Membuat dan melaksanakan rencana kemakmuran nasional dalam jangka pendek untuk meningkatkan kehidupan sosial dan perekonomian rakyat serta memperbaharui hukum agraria sesuai dengan kepentingan petani
  3. Mempercepat usaha penempatan mantan pejuang dalam lapangan pembangunan
  4. Mempercepat dan menyelesaikan persiapan pemilihan umum untuk membentuk dewan konstituante dan menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu yang singkat serta mempercepat terlaksananya otonomi daerah
  5. Menyiapkan undang-undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama (collective arbeidsovereenkomst), penetapan upah minimum, dan penyelesaian pertikaian perburuhan
  6. Menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif serta menuju perdamaian dunia, menyelenggarakan hubungan antara Indonesia dengan Belanda yang sebelumnya berdasarkan asas unie-statuut menjadi hubungan berdasarkan perjanjian internasional biasa, mempercepat peninjauan kembali persetujuan hasil Konferensi Meja Bundar, serta meniadakan perjanjian-perjanjian yang pada kenyataannya merugikan rakyat dan negara
  7. Memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia dalam waktu sesingkat-singkatnya

Hasil dari program kerja ini tidak terlalu berarti sebab programnya melanjutkan program Natsir, hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti awalnya program menggiatkan usaha keamanan dan ketenteraman namun selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketentraman.

Adapun beberapa kendala atau masalah yang dihadapi, diantaranya:

  1. adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Soebadjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cockran mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika Serikat kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA) . Dimana di dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan untuk memperhatikan kepentingan Amerika.
  2. adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
  3. masalah Irian Barat belum juga teratasi
  4. hubungan Sukirman dengan militer kurang baik, ditunjukkan dengan kurang tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi.

Kabinet Sukiman tidak mampu bertahan lama dan jatuh pada bulan Februari 1952. Penyebab jatuhnya kabinet ini disebabkan oleh adanya kegagalan dalam pertukaran nota keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad Soebardjo dan Duta Besar AS Merle Cochran. Kesepakatan bantuan ekonomi dan militer dari AS kepada Indonesia didasarkan pada ikatan Mutual Security Act (MSA). DI dalam MSA, terdapat pembatasan terhadap kebebasan politik luar negeri yang bebas aktif. Indonesia diwajibkan lebih memperhatikan Amerika sehingga tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negeri yang bebas aktif dan dianggap lebih condong ke blok Barat. Di samping itu, penyebab lainnya adalah semakin merebaknya korupsi di kalangan birokrat dan gagalnya Kabinet Sukiman dalam menyelesaikan masalah Irian Barat.

Kabinet Wilopo (PNI) (3 April 1952 - 3 Juni 1953)

Program kerja kabinet Wilopo:

  1. Mempersiapkan dan melaksanakan pemilihan umum
  2. Berupaya untuk mengembalikan Irian Barat agar kembali menjadi wilayah Republik Indonesia
  3. Meningkatkan keamanan dan kesejahteraan
  4. Memperbarui bidang pendidikan dan pengajaran
  5. Melaksanakan politik luar negeri bebas aktif

Susunan Kabinet:

  • Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri: Mr. Wilopo (PNI)
  • Wakil Perdana Menteri: Prawoto Mangkusasmito (Masyumi)
  • Menteri Dalam Negeri: Mr. Moh. Roem (Masyumi)
  • Menteri Pertahanan: Sri Sultan Hamengku Bowono IX
  • Menteri Kehakiman: Mr. Lukman Wiriadinata (PSI)
  • Menteri Penerangan: Mr. Arnold Mononutu (PNI)
  • Menteri Keuangan: Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo (PSI)
  • Menteri Petanian: Moh. Sardjan (Masyumi)
  • Menteri Perekonomian: Mr. Sumanang (PNI)
  • Menteri Perhubungan: Ir. Djuanda
  • Menteri Pekerjaan Umum: Ir. Suwarta (partai Katolik)
  • Menteri Perburuhan: Ir. Iskandar Tedjasukmana (partai Buruh)
  • Menteri Sosial: Anwar Tjokroaminoto (PSII)
  • Menteri Pendidikan & Kebudayaan: Prof. Dr. Bader Djohan
  • Menteri Agama: K.H Faqih Usman (Masyumi)
  • Menteri Kesehatan: Dr. Johanes Leimena (Parkindo)
  • Menteri Urusan Pegawai Negeri: R.P. Suroso (Parindra)
  • Menteri Urusan Umum: M.A. Pallaupessy (Demokrat)

Kabinet Wilopo banyak mengalami kesulitan, yaitu sebagai berikut:

  1. Mengatasi gerakan separatisme yang terjadi di berbagai daerah
  2. Penekanan Presiden Soekarno yang dilakukan oleh sejumlah perwira Angkatan Darat pada tanggal 17 Oktober 1952 agar parlemen dibubarkan
  3. Kejadian Tangjung Morawa yang terjadi di Sumatra Utara. Peristiwa Tanjung Morawa terjadi akibat persetujuan pemerintah sesuai dengan KMB agar memberikan izin kepada pengusaha asing agar dapat mengusahakan tanah perkebunan di Indonesia lagi. Tanah ini sebelumnya digarap oleh para pertani karena bertahun tahun telah ditinggalkan oleh pemiliknya pada saat Kabinet Sukiman. Saat itu juga Mr. Iskaq Cokroadisuryo selaku menteri dalam negeri memberikan persetujuan agar tanah Deli dikembalikan. Tanah tersebut berhasil dikembalikan saat masa Kebinet Wilopo. Kemudian pada tanggal 16 Maret 1953, pihak polisi mengusir penggarap sawah yang tidak mempunyai izin. Akibat pengusiran tersebut, banyak terjadi bentrokan bersenjata yang menewaskan 5 orang petani. Peristiwa bentrokan itu mendapatkan sorotan yang tajam dari pihak parlemen maupun pers. Hal inilah yang tentunya menjadi penyebab jatuhnya kabinet wilopo. Akibatnya Kabinet Wilopo memperoleh mosi tidak percaya dari Sidik Kertapati dari Serikat Tani Indonesia atau Sakti. Lalu Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden pada tanggal 2 Juni 1953.

Kabinet Wilopo harus mengakhiri masa tugas karena tidak berhasil menyelesaikan masalah peristiwa 17 oktober 1952. Peristiwa itu dipicu oleh adanya gerakan yang diprakarsai oleh sejumlah perwira angkatan darat yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah. Mereka menghendaki agar Presiden Sukarno membubarkan parlemen.

Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Koalisi PNI dan NU) (31 Juli 1953 - 12 Agustus 1955)

Program kerja Kabinet Ali Sastroamidjojo I yang disebut juga Ali-Wongsonegoro:

  1. Menumpas pemberontakan DI/TII di berbagai daerah
  2. Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta melaksanakan pemilihan umum
  3. Memperjuangkan kembalinya Irian Barat kepada RI
  4. Menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika
  5. Pelaksanaan politik bebas - aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB
  6. Penyelesaian pertikaian politik

Pada masa kabinet Ali-Wongsonegoro, gangguan keamanan makin meningkat, antara lain munculnya pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Daud Beureuh Aceh, dan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. Meskipun dihinggapi berbagai kesulitan, kabinet Ali-Wongsonegoro berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika. Oleh karena itu, kabinet Ali-Wongsonegoro ikut terangkat namanya. Selain berhasil menyelenggarakan Konfereni Asia Afrika, pada masa ini juga terjadi persiapan pemilu untuk memilih anggota parlemen yang akan diselenggarakan pada 29 September 1955. Kabinet Ali-Wongsonegoro akhirnya jatuh pada bulan Juli 1955 dalam usia 2 tahun (usia terpanjang). Penyebab jatuhnya kabinet Ali-Wongsonegoro adalah perselisihan pendapat antara TNI-AD dan pemerintah tentang tata cara pengangkatan Kepala Staf TNI-AD.

Pada masa pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo I, diselenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 18-25 April 1955. Konferensi ini dihadiri 29 negara Asia dan Afrika yang kemudian membawa pengaruh penting bagi terbentuknya solidaritas dan perjuangan kemerdekaan dari bangsa-bangsa Asia-Afrika. Pemilihan umum pertama yang diselenggarakan pada 1955 juga merupakan rancangan kabinet ini, tetapi pelaksanaannya kemudian dilanjutkan oleh kabinet berikutnya.

Menteri pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo :

  1. K.H Zaenul Arifin, sebagai wakil perdana menteri
  2. Iwa Kusuma Sumantri, sebagai Menteri Pertahanan
  3. K.H Masjkur, sebagai Menteri Agama

Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi) (12 Agustus 1955 - 3 Maret 1956)

Program kerja Kabinet Burhanuddin:

  1. Mengembalikan kewibawaan moral pemerintah, dalam hal ini kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat
  2. Akan dilaksanakan pemilihan umum, desentralisasi, memecahkan masalah inflasi, dan pemberantasan korupsi
  3. Perjuangan mengembalikan Irian Barat

Susunan Kabinet

No Jabatan Nama Menteri Partai Politik
1 Perdana Menteri Burhanuddin Harahap Masjumi
Wakil Perdana Menteri R. Djanu Ismadi PIR-Hazairin
Harsono Tjokroaminoto

(sampai dengan 18 Januari 1956)

PSII
2 Menteri Luar Negeri Ide Anak Agung Gde Agung Demokrat
3 Menteri Dalam Negeri R. Sunarjo

(sampai dengan 19 Januari 1956)

NU
Pandji Suroso

(ad-interim, sejak 19 Januari 1956)

Parindra
4 Menteri Pertahanan Burhanuddin Harahap Masjumi
5 Menteri Kehakiman Lukman Wiriadinata PSI
6 Menteri Penerangan Sjamsuddin Sutan Makmur Independen
7 Menteri Keuangan Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo PSI
8 Menteri Perdagangan IJ Kasimo PKRI
9 Menteri Pertanian Mohammad Sardjan Masjumi
10 Menteri Perhubungan Frits Laoh PRN
Menteri Muda Perhubungan Asraruddin Buruh
11 Menteri Pekerjaan Umum Pandji Suroso

(sejak 26 Agustus 1955)

Parindra
12 Menteri Perburuhan Iskandar Tedjasukmana Buruh
13 Menteri Sosial Sudibjo

(sampai dengan 18 Januari 1956)

PSII
Sutomo

(ad-interim, sejak 18 Januari 1956)

PRI
14 Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Prof. Ir. R.M. Suwandi

(sejak 26 Agustus 1955)

Parindra
15 Menteri Agama K.H. Muhammad Ilyas

(sampai dengan 19 Januari 1956)

NU
Mohammad Sardjan

(ad-interim, sejak 19 Januari 1956)

Masjumi
16 Menteri Kesehatan dr. J. Leimena Parkindo
17 Menteri Agraria Gunawan PRN
18 Menteri Negara Abdul Halim Masjumi
Sutomo (Urusan Bekas Pejuang) PRI
Drs. Gumala Adjaib Nur PIR

Alasan Keruntuhan Kabinet :

Presiden Soekarno sebenarnya kurang merestui kabinet ini karena yang menunjuk Burhanuddin Harahap sebagai kepala pemerintahan kabinet ini adalah Wakil Presiden Moh. Hatta, jadi setelah hasil pemungutan suara dan pembagian kursi di DPR diumumkan maka pada tanggal 2 Maret 1956 pukul 10.00 siang, Kabinet Burhanuddin Harahap mengundurkan diri, sekaligus menyerahkan mandatnya kepada Presiden untuk dibentuk kabinet baru berdasarkan hasil pemilihan umum.

Kabinet ini jatuh tidak dikarenakan keretakan di dalam tubuh kabinet, juga bukan karena dijatuhkan oleh kelompok oposisi yang mencetuskan mosi tidak percaya dari parlemen, tetapi merasa tugasnya sudah selesai. Kabinet terus bekerja sebagai Kabinet Domissioner selama 20 hari yaitu sampai terbentuknya kabinet baru yakni Kabinet Ali – Rum – Idham yang dilantik tanggal 24 Maret 1956 dan serah terima dengan Kabinet Burhanuddin Harahap tanggal 26 Maret 1956. Setelah itu Eks Perdana Menteri ataupun Menteri lagi sampai kini dalam kabinet mana pun juga dan dimana pun juga.

Prestasi dan Keberhasilan :

  • Mengadakan perbaikan ekonomi, termasuk di dalamnya keberhasilan pengendalian harga dengan menjaga agar tidak terjadi inflasi dan sebagainya. Dalam masalah ekonomi, kabinet ini telah berhasil cukup baik. Dapat dikatakan bahwa kehidupan rakyat semasa kabinet ini cukup makmur karena harga-harga barang kebutuhan pokok tidak melonjak naik akibat inflasi.
  • Berhasil menyelenggarakan pemilihan umum untuk anggota-anggota DPR.
  • Berhasil mengembalikan wibawa pemerintah Republik Indonesia di mata pihak Angkatan Darat.

Kelemahan Kabinet:

Kabinet ini merupakan kabinet koalisi. Sebenarnya kabinet ini masih berjalan baik, hanya presiden kurang merestui kabinet ini, karena yang menunjuk Burhanuddin Harahap sebagai formatir kabinet adalah drs. Muh. Hatta.

Kekuatan Kabinet :

Perbaikan ekonomi, termasuk di dalamnya keberhasilan pengendalian harga, menjaga agar jangan terjadi inflasi dan sebagainya. Dapat dikatakan kehidupan rakyat semasa kabinet cukup makmur, harga barang tidak melonjak naik akibat inflasi. Berhasil menyelenggarakan pemilihan umum pertama tahun 1955.

Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap, dilaksanakan pemilihan umum pertama di Indonesia. Kabinet ini menyerahkan mandatnya setelah DPR hasil pemilihan umum terbentuk pada bulan Maret 1956.

Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Koalisi PNI, Masyumi, dan NU) (20 Maret 1956 - 4 Maret 1957)

Program kerja Kabinet Ali Sastroamidjojo II ini disebut rencana pembangunan 5 tahun yang memuat program jangka panjang, sebagai berikut :

  1. Menyelesaikan pembatasan hasil KMB
  2. Menyelesaikan masalah Irian Barat
  3. Pembentukan provinsi Irian Barat
  4. Menjalankan politik luar negeri bebas aktif
  5. Pembentukan daerah - daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota- anggota DPRD
  6. Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai
  7. Menyehatkan keseimbangan keuangan negara
  8. Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional

Program pokoknya adalah :

  1. Pembatalan KMB
  2. Pemulihan keamanan dan ketertiban
  3. Melaksanakan keputusan KAA

Hasil Kerja Kabinet Ali Sastroamidjojo II :

  1. Mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment, hasilnya adalah pembatalan seluruh perjanjian KMB.

Kabinet Ali Sastroamidjojo II ini pun tidak berumur lebih dari satu tahun dan akhirnya digantikan oleh Kabinet Juanda karena mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada Presiden. Kabinet ini jatuh karena Badan Konstituante tidak bisa membuat UUD yang baru pengganti UUDS sehingga presiden mengeluarkan dekritnya tanggal 5 Juli 1959 dan mengumumkan berlakunya Demokrasi Terpimpin.

Kabinet Djuanda (9 April 1957 - 5 Juli 1959)

Susunan Kabinet

No Jabatan Nama Menteri
1 Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja
Wakil Perdana Menteri Hardi
Idham Chalid
J. Leimena

(sejak 29 April 1957)

2 Menteri Luar Negeri Subandrio
3 Menteri Dalam Negeri Sanusi Hardjadinata
4 Menteri Pertahanan Djuanda
5 Menteri Kehakiman G.A. Maengkom
6 Menteri Penerangan Soedibjo
7 Menteri Keuangan Sutikno Slamet
8 Menteri Pertanian Sadjarwo
9 Menteri Perdagangan Prof. Drs. Soenardjo

(sampai dengan 25 Juni 1958)

Rachmat Muljomiseno

(sejak 25 Juni 1958)

10 Menteri Perindustrian F.J. Inkiriwang
11 Menteri Perhubungan Sukardan
12 Menteri Pelayaran Mohammad Nazir
13 Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Pangeran Mohammad Nur
14 Menteri Perburuhan Samjono
15 Menteri Sosial J. Leimena

(sampai dengan 24 Mei 1957)

Muljadi Djojomartono

(sejak 25 Mei 1957)

16 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prijono
17 Menteri Agama Muhammad Ilyas
18 Menteri Kesehatan Azis Saleh
19 Menteri Agraria R. Sunarjo
20 Menteri Urusan Pengerahan Tenaga Rakyat untuk Pembangunan A.M. Hanafi

(sampai dengan 25 Juni 1958)

21 Menteri Negara Urusan Veteran Chaerul Saleh
22 Menteri Negara Urusan Hubungan Antar Daerah F.L. Tobing

(sampai dengan 25 Juni 1958)

23 Menteri Negara Suprajogi

(Urusan Stabilitasi Ekonomi)

(sejak 25 Juni 1958)

Muhammad Wahib Wahab

(Urusan Kerjasama Sipil-Militer)

(sejak 25 Juni 1958)

Dr. F.L. Tobing

(Urusan Transmigrasi)

(sejak 25 Juni 1958)

A.M. Hanafi

(sejak 25 Juni 1958)

Prof. Mr. H. Moh. Yamin

(sejak 25 Juni 1958)

Program kerja Kabinet Djuanda atau juga disebut Kabinet Karya memiliki 5 program yang disebut Pancakarya yaitu:

  1. Membentuk Dewan Nasional
  2. Normalisasi keadaan RI
  3. Melanjutkan pembatalan KMB
  4. Memperjuangkan Irian Barat kembali ke RI
  5. Mempercepat pembangunan

Kebijakan Ekonomi

Pemerintah Indonesia harus menghadapi banyak masalah terkait dengan masalah keamanan dan pertahanan negara. Masalah tersebut di antaranya adalah kemelut yang terjadi di tubuh Angkatan Darat seperti upaya-upaya memecah integrasi bangsa dan sejumlah permasalahan ekonomi negara. Permasalahan yang muncul ini tidak lepas dari beberapa hal berikut.

  1. Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda yang diumumkan pada 27 Desember 1949, bangsa Indonesia dinyatakan menanggung beban ekonomi dan keuangan yang cukup besar seperti yang diputuskan dalam Konferensi Meja Bundar.
  2. Ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh jatuh bangunnya kabinet berdampak pada ketidakberlanjutan program sehingga pemerintah harus mengeluarkan anggaran untuk mengatasi biaya operasional pertahanan dan keamanan negara.

Permasalahan lain yang harus dihadapi adalah ekspor Indonesia yang hanya bergantung pada hasil perkebunan dan angka pertumbuhan penduduk semakin meningkat dengan tajam. Sumitro Djojohadikusumo, ahli ekonomi Indonesia berhasil merancang gerakan Benteng sebagai salah satu usaha untuk memperbaiki perekonomian negara. Tercetusnya Gerakan Benteng didasari atas gagasan penting untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.

Gagasan Sumitro kemudian ditetapkan dalam program Kabinet Natsir Pada bulan April 1950 dengan nama Program Benteng. Program Benteng tahap 1 resmi dijalankan selama 3 tahun (1950-1953) dengan 3 kabinet berbeda (Natsir, Sukiman, dan Wilopo). Selama 3 tahun, lebih dari 700-an bidang usaha bumiputera memperoleh bantuan kredit dari program ini. Akan tetapi, hal yang diharapkan dari program ini tidak sepenuhnya tercapai, bahkan banyak pula yang membebani keuangan negara. Ada banyak faktor yang menyebabkan kegagalan program ini, salah satunya mentalitas para pengusaha bumiputera yang konsumtif, besarnya keinginan untuk memperoleh keuntungan secara cepat, dan menikmati kemewahan.

Sebenarnya pemberian kredit impor yang diberikan kepada para pengusaha bumiputera dimaksudkan untuk memicu pertumbuhan perekonomian nasional. Akan tetapi, kebijakan ini ternyata tidak mampu meruntuhkan dominasi para pengusaha asing. Oligopoli yang dibangun oleh para pengusaha dari perusahaan Inggris, Belanda, dan Tiongkok yang pandai memanfaatkan peluang ternyata tetap menguasai pasar.

Program Benteng tahap 2 dimulai pada masa Kabinet Ali pertama. Program Benteng tahap 2 merancang pemberian kredit dan lisensi pada pengusaha swasta nasional bumiputera agar dapat bersaing dengan para pengusaha non bumiputera. Jika pada awal tahun 1943 para importir pribumi hanya menerima 37,9% dari total ekspor impor, maka mereka telah menerima 80% sampai 90% pada masa Kabinet Ali. Total dari 700 perusahaan yang menerima bantuan menjadi 4000-5000 perusahaan.

Program Benteng gagal karena salah sasaran. Banyak perusahaan bumiputera yang menjual lisensi impor yang diberikan oleh pemerintah kepada para pengusaha non bumiputera. Hal ini menimbulkan istilah perusahaan "Alibaba". Sebutan "Ali" merepresentasikan bumiputera sedangkan "Baba" merepresentasikan non bumiputera. Bantuan kredit dan pemberian kemudahan dalam menerima lisensi impor kemudian dinilai tidak efektif. Padahal pemerintah telah menambah beban keuangannya sehingga menjadi salah satu sumber defisit. Selain itu, Program Benteng diterapkan ketika industri Indonesia masih lemah dan tingginya persaingan politik program ini dimanfaatkan oleh sebagian partai politik untuk memperoleh dukungan.

Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) berintikan Masyumi dan PSI dengan Mohammad Natsir sebagai perdana menteri. Kebijakan-kebijakan Natsir yang mengutamakan pembangunan perekonomian negara dianggap telah mengabaikan masalah kedaulatan Papua oleh partai oposisi. Soekarno pun menyetujui bahwa masalah kedaulatan Papua (yang melalui perundingan tidak mengalami kemajuan) tidak boleh disepelekan. Kondisi ini membuat Natsir bersikeras agar Soekarno membatasi dirinya dalam peran presiden yang hanya sebagai lambang saja. Puncaknya, Natsir menyerahkan jabatannya yang kemudian digantikan oleh Sukiman pada April 1951.

Jatuhnya Kabinet Sukiman disebabkan oleh adanya kegagalan dalam pertukaran nota keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad Soebardjo dan Duta Besar AS Merle Cochran. Kesepakatan bantuan ekonomi dan militer dari AS kepada Indonesia didasarkan pada ikatan Mutual Security Act (MSA) yang di dalamnya terdapat pembatasan terhadap kebebasan politik luar negeri yang bebas aktif. Indonesia diwajibkan lebih memperhatikan AS sehingga tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negeri yang bebas aktif dan dianggap lebih condong ke blok Barat. Selain itu, penyebab lainnya adalah semakin meluasnya korupsi di kalangan birokrat dan gagalnya Kabinet Sukiman dalam menyelesaikan masalah Irian Barat.

Lain halnya dengan Kabinet Ali I (kabinet koalisi antara PNI dan NU), kabinet ini jatuh karena tidak dapat menyelesaikan kemelut yang ada di tubuh Angkatan Darat dan pemberontakan DI/TII yang berkobar di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Selain itu, ada pula konflik antara PNI dan NU yang mengakibatkan NU menarik semua menterinya yang duduk di kabinet.

Jatuh bangunnya kabinet dalam waktu yang singkat menimbulkan ketidakstabilan politik yang mengakibatkan program-program kabinet tidak berjalan dengan baik. Kondisi ini yang kemudian membuat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.    

Dekret Presiden 5 Juli 1959

Kata dekrit berasal dari bahasa Latin decemere yang berarti mengakhiri atau memutuskan. Kata dekrit, kemudian digunakan untuk menunjukkan adanya perintah dari kepala negara atau kepala pemerintahan untuk mengakhiri atau memutuskan sesuatu yang terkait dengan sistem pemerintahan yang berjalan. Dekrit yang dikeluarkan Presiden Soekarno berisi:

  1. Pembubaran Konstituante hasil Pemilu 1955;
  2. Pemberlakuan kembali UUD 1945 menggantikan UUDS 1950;
  3. Pembentukan MPRS yang terdiri dari para anggota DPR  ditambah dengan para utusan daerah dan golongan.

Beberapa alasan mengapa Presiden Soekarno harus mengeluarkan dekrit adalah sebagai berikut.

  1. Kegagalan Konstituante untuk membuat UUD baru meskipun sudah berkali-kali bersidang. Padahal, UUD sangat dibutuhkan sebagai pedoman hukum yang penting dalam melaksanakan pemerintahan.
  2. Situasi politik dan ketidakstabilan keamanan dalam negara semakin memburuk.
  3. Konflik antarpartai yang terus-menerus terjadi sangat mengganggu stabilitas nasional.
  4. Para politisi partai yang saling berbeda pendapat sering bersikap membenarkan segala cara agar tujuan kelompok/partai tercapai.
  5. UUDS 1950 yang menerapkan Demokrasi Liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia.
  6. Sejumlah pemberontakan yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia semakin mengarah kepada gerakan separatis.

Sisi positif dari adanya dekrit ini:

  1. Memberikan pedoman yang jelas bagi kelangsungan negara melalui perintah untuk kembali ke UUD 1945;
  2. Menyelamatkan negara dari disintegrasi dan krisis politik yang berkepanjangan;
  3. Memprakarsai pembentukan lembaga-lembaga tinggi negara (MPRS dan DPAS) yang selama masa Demokrasi Liberal tertunda pembentukannya.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan Presiden Soekarno ialah dekrit yang mengakhiri masa parlementer. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin.

Referensi