Perang agama Eropa
Perang agama Eropa adalah serangkaian perang agama yang berkecamuk di Eropa dari tahun 1524 sampai 1648, menyusul Reformasi Protestan di kawasan tengah, barat, dan utara benua Eropa. Perang agama Eropa diakhiri dengan Perjanjian Damai Westfalen yang mengakui keberadaan tiga mazhab agama Kristen di wilayah Kekaisaran Romawi Suci, yaitu Katolik, Lutheran, dan Kalvinis.
Perang agama Eropa sangat dipengaruhi perubahan sezaman di bidang agama, serta pertikaian dan persaingan yang ditimbulkan perubahan tersebut. Meskipun demikian, pihak-pihak yang terlibat tidak sepenuhnya dapat dipilah berdasarkan agamanya, dan tidak pula saling berseberangan semata-mata lantaran berbeda agama.
Perang
Perang agama Eropa mencakup:
- Perang-perang yang berkaitan langsung dengan Reformasi Protestan pada dasawarsa 1520-an sampai 1540-an:
- Perang Rakyat Jelata Jerman (1524–1525)
- Perang Kappel di Konfederasi Swiss Lama (1529–1531)
- Perang Schmalkaldis (1546–1547) di Kekaisaran Romawi Suci
- Perang Delapan Puluh Tahun (1568–1648) di Negeri-Negeri Dataran Rendah
- Perang Agama Prancis (1562–1598)
- Perang Tiga Puluh Tahun (1618–1648), melibatkan Kekaisaran Romawi Suci yang mencakup Austria Habsburg dan Bohemia, Prancis, Denmark, dan Swedia
- Perang Tiga Kerajaan (1639–1651), melibatkan Inggris, Skotlandia, dan Irlandia
Meskipun beberapa perang yang terkemudian seperti Perang Sembilan Tahun (1688–1697) juga memperjuangkan perkara-perkara agama dalam beberapa pertempuran, perang-perang itu pada dasarnya timbul karena alasan-alasan politik, dan koalisi-koalisi yang terbentuk pun bersifat lintas agama. Motivasi-motivasi yang murni politik dan aliansi-aliansi lintas agama terdapat pula dalam banyak perang yang terdahulu.
Kekaisaran Romawi Suci
Wilayah kedaulatan Kekaisaran Romawi Suci, yang meliputi wilayah negara Jerman saat ini dan negeri-negeri di sekitarnya, merupakan wilayah yang paling terdampak perang agama. Kekaisaran ini adalah sekumpulan praja semimerdeka yang bertuan kepada seorang kaisar terpilih; selepas abad ke-14, yang menjadi kaisar biasanya adalah bangsawan dari wangsa Habsburg. Wangsa Habsburg di Austria saja sudah merupakan sebuah kekuatan mandiri yang besar di Eropa, karena berdaulat atas kira-kira delapan juta kawula di wilayah Jerman, Austria, Bohemia, dan Hungaria sekarang ini. Selain wilayah kedaulatan wangsa Habsburg, Kekaisaran Romawi Suci juga membawahi pusat-pusat kekuatan daerah, seperti Bayern, Elektorat Sachsen, Markgrafiat Brandenburg, Elektorat Pfalz, Landgrafiat Hesse, Keuskupan Agung Trier, dan Württemberg. Sejumlah besar kadipaten kecil merdeka, kota kekaisaran swapraja, biara keabasan, keuskupan, dan daerah-daerah perdikan kecil wangsa-wangsa berdaulat berada di dalam wilayah kedaulatan negara kekaisaran ini.
Mazhab Lutheran, semenjak kemunculannya di Wittenberg pada tahun 1519, disambut baik di Jerman, demikian pula di Bohemia yang merupakan bekas wilayah sebaran mazhab Husite. Dakwah Martin Luther dan sekian banyak pengikutnya meningkatkan ketegangan di seluruh Eropa. Di Jerman Utara, Luther bersiasat mencari dukungan pembesar-pembesar praja setempat bagi usahanya untuk mengambil alih dan mereka-ulang Gereja agar sehaluan dengan mazhab Lutheran. Elektor Sachsen, Landgraf Hesse, dan pembesar-pembesar praja lain di Jerman Utara tidak saja melindungi Luther dari ancaman bahaya akibat maklumat pencabutan perlindungan hukum yang dikeluarkan oleh Kaisar Romawi Suci, Karl V, tetapi juga menggunakan kuasa praja untuk mendukung penerapan tata peribadatan mazhab Lutheran di wilayah mereka. Harta-benda Gereja disita, dan peribadatan Katolik dilarang di kebanyakan wilayah yang mengadopsi Reformasi Lutheran. Percikan-percikan konflik politik yang kian merebak dalam wilayah Kekaisaran pun tak ayal lagi mengobarkan peperangan.
Kaum radikal
Kekerasan berskala besar yang pertama disulut oleh para pengikut Luther yang lebih radikal. Kaum radikal ini bercita-cita memperluas karya reformasi menyeluruh atas Gereja menjadi karya reformasi menyeluruh atas masyarakat umum. Cita-cita inilah yang tidak mendapat persetujuan dari para pembesar pendukung Luther. Perang Rakyat Jelata Jerman pada 1524/1525 adalah pemberontakan rakyat yang terhasut ajaran-ajaran para pegiat reformasi yang radikal. Perang ini terdiri atas serangkai pemberontakan ekonomi dan agama yang dilakukan oleh rakyat jelata, warga kota, dan kaum ningrat. Sebagian besar konflik terjadi di kawasan selatan, barat, dan tengah dari wilayah negara Jerman modern, tetapi juga melibatkan daerah-daerah negara tetangga di Swiss dan Austria sekarang ini. Pada puncaknya, di musim semi dan musim panas 1525, perang ini melibatkan sekitar 300.000 pemberontak dari kalangan rakyat jelata. Menurut taksiran semasa, korban tewas mencapai 100.000 jiwa. Perang ini merupakan pemberontakan rakyat yang paling besar dan yang paling luas persebarannya di Eropa sebelum Revolusi Prancis pada 1789.
Karena gagasan-gagasan politiknya yang revolusioner, para pegiat reformasi yang radikal seperti Thomas Müntzer diusir dari kota-kota Lutheran di Jerman Utara pada permulaan era 1520-an. Mereka menyingkir ke daerah pedesaan Bohemia, Jerman Selatan, dan Swiss untuk melanjutkan dakwah ajaran-ajaran agama dan politik revolusionernya. Bermula sebagai gerakan perlawanan terhadap penindasan feodal, pemberontakan rakyat jelata berkobar menjadi perang melawan segala bentuk kewenangan, dan menjadi suatu upaya paksa untuk membentuk sebuah persemakmuran Kristen ideal yang menjamin kesetaraan dan kebersamaan mutlak dalam hak kepemilikan harta benda. Pihak pemberontak mengalami kekalahan telak di Frankenhausen pada 15 Mei 1525, disusul eksekusi mati atas diri Müntzer dan ribuan pemberontak dari kalangan rakyat jelata. Martin Luther menolak tuntutan para pemberontak dan menjunjung tinggi hak para pembesar praja-praja Jerman untuk memberantas pemberontakan. Sikap ini mengakibatkan ajaran-ajaran Luther ditolak banyak orang dari kalangan rakyat jelata Jerman, terutama di kawasan selatan.
Selepas Perang Rakyat Jelata, muncul upaya kedua yang lebih gigih untuk mendirikan sebuah teokrasi di Münster, Westfalen (1532–1535). Sekelompok warga kota terkemuka, termasuk pendeta Lutheran Bernd Rothmann, Jan Matthijs, dan Jan Beukelszoon (Jan van Leiden) tanpa harus bersusah payah berhasil merebut kendali atas kota Münster pada 5 Januari 1534. Matthijs meyakini bahwa Münster adalah "Yerusalem yang baru", dan melakukan persiapan-persiapan tidak saja untuk mempertahankan yang sudah berhasil direbut, tetapi juga untuk menaklukkan dunia dengan berpangkal tolak dari Münster.
Dengan mengaku-aku sebagai pewaris Daud, Jan van Leiden pun dinobatkan sebagai raja. Ia melegalisasi poligami dan menikahi enam belas perempuan, salah satunya kelak ia jatuhi hukuman penggal di pasar. Hak milik bersama atas harta benda juga diterapkan. Setelah bersikeras bertahan menghadapi pengepungan, kota Münster akhirnya dapat dikuasai pihak penyerang pada 24 Juni 1535, dan Leiden serta beberapa pengikut setianya dieksekusi mati di pasar.
Perang Schmalkaldis
Selepas Sidang Umum Augsburg pada 1530, Kaisar menitahkan agar seluruh inovasi keagamaan yang tidak diotorisasi oleh Sidang Umum harus dihentikan mulai 15 April 1531. Pihak-pihak yang tidak mematuhi titah ini akan dihadapkan ke Mahkamah Kekaisaran. Sebagai tanggapan, para pembesar Lutheran, yang telah menerapkan tata peribadatan Protestan di gereja-gereja praja mereka, berkumpul di kota Schmalkalden pada Desember 1530. Di kota ini mereka bersepakat untuk bersatu membentuk Liga Schmalkaldis (bahasa Jerman: Schmalkaldischer Bund), sebuah aliansi yang dirancang untuk melindungi anggota-anggotanya dari jerat hukum Kekaisaran. Anggota-anggota liga pada akhirnya menghendaki agar Liga Schmalkaldis menggantikan Kekaisaran Romawi Suci, dan oleh karena itu setiap praja anggota liga diwajibkan untuk mengerahkan 10.000 infantri dan 2.000 kavaleri demi keamanan bersama. Pada 1532, Kaisar, yang tertekan oleh permasalahan luar negeri, memutuskan untuk mengalah dan menawarkan "Perjanjian Damai Nuremberg", yang menangguhkan seluruh tindakan hukum atas praja-praja Protestan sampai ada keputusan dari Konsili Umum Gereja. Moratorium ini berhasil mempertahankan perdamaian di praja-praja Jerman selama lebih dari satu dasawarsa, namun selama itu pula mazhab Protestan semakin kokoh berakar dan semakin luas menyebar. Perdamaian berakhir dengan Perang Schmalkaldis (bahasa Jerman: Schmalkaldischer Krieg), konflik singkat dari 1546 sampai 1547 antara bala tentara Kaisar Karl V dan bala tentara para pembesar praja anggota Liga Schmalkaldis. Konflik ini berakhir dengan kemenangan di pihak Katolik, sehingga Kaisar dapat memaksakan pemberlakuan Interim Augsburg, suatu kompromi yang mengizinkan tata ibadat yang sedikit dimodifikasi. Interim Augsburg diharapkan dapat terus diberlakukan sampai Konsili Umum Gereja mengeluarkan keputusannya, akan tetapi berbagai unsur Protestan menolak interim ini, dan perang Schmalkaldis kedua pun meletus pada 1552.
Perjanjian Damai Augsburg (1555), ditandatangani oleh Karl V, Kaisar Romawi Suci, mengukuhkan keputusan Sidang Umum Speyer tahun 1526 dan mengakhiri kekerasan antara kaum Lutheran dan Katolik di Jerman. Perjanjian ini berisi pernyataan bahwa:
- Pembesar-pembesar praja Jerman boleh menentukan agama (Lutheran atau Katolik) yang dianut di praja kekuasaannya menurut hati nurani masing-masing. Para kawula dari masing-masing praja harus mengikuti agama pembesar praja (prinsip cuius regio, eius religio).
- Kaum Lutheran yang tinggal di wilayah praja gerejawi (wilayah yang dikuasai seorang uskup) boleh tetap menjalankan agamanya.
- Kaum Lutheran boleh tetap menguasai wilayah yang telah direbutnya dari Gereja Katolik semenjak Perjanjian Damai Passau pada 1552.
- Para wali Gereja Katolik (uskup) yang telah beralih ke mazhab Lutheran wajib melepas wilayah kekuasaannya.
Ketegangan-ketegangan antaragama masih tetap tinggi sepanjang paruh kedua abad ke-16. Perjanjian Damai Augsburg mulai dilanggar ketika beberapa uskup yang sudah beralih ke mazhab Protestan menolak untuk melepas wilayah keuskupannya. Perang Köln yang berlangsung sejak 1582 sampai 1583 terjadi karena uskup agung pangeran kota itu tidak bersedia turun takhta sekalipun telah menjadi pengikut mazhab Kalvinis. Ketegangan-ketegangan antaragama juga meletus menjadi tindak kekerasan di kota swapraja Donauwörth di Jerman pada 1606, tatkala warga mayoritas Lutheran menghalang-halangi arak-arakan keagamaan yang diselenggarakan oleh warga Katolik sehingga menyulut kerusuhan. Peristiwa ini memaksa Adipati Maximilian dari Bayern untuk turun tangan membela umat Katolik.
Pada akhir abad ke-16, sebagian besar praja-praja di sepanjang Rhein dan di kawasan selatan Jerman tetap Katolik, sementara kaum Lutheran mendominasi kawasan utara, dan kaum Kalvinis mendominasi kawasan barat Jerman Tengah, Swiss, dan Belanda. Praja-praja Kalvinis membentuk Liga Serikat Injili pada 1608.
Perang Tiga Puluh Tahun
Pada 1617, Jerman benar-benar sudah terpecah-belah, dan sudah nyata bagi semua orang bahwa Matthias, Kaisar Romawi Suci merangkap Raja Bohemia, akan mangkat tanpa ahli waris. Oleh karena itu wilayah-wilayah kekuasaannya diwariskan kepada kerabat laki-laki terdekatnya, yakni sepupunya Ferdinand dari Steiermark. Ferdinand, yang dididik para Jesuit, adalah seorang penganut Katolik yang taat. Penolakan terhadap pengangkatan Ferdinand sebagai Putra Mahkota, terutama oleh Bohemia yang bermazhab Husit, memicu terjadinya Perang Tiga Puluh Tahun pada 1618 ketika wakil-wakil Ferdinand didefenestrasi di Praha.
Perang Tiga Puluh Tahun berkobar antara 1618 sampai 1648, terutama di wilayah yang kini termasuk negara Jerman, dan melibatkan sebagian besar dari kekuatan-kekuatan utama di Eropa. Bermula sebagai sebuah konflik agama antara kaum Protestan dan Katolik di Kekaisaran Romawi Suci, perang ini perlahan-lahan membesar menjadi sebuah perang umum yang melibatkan sebagian besar Eropa, dengan alasan-alasan yang tidak melulu berkaitan dengan agama. Perang ini menandai kesinambungan persaingan Prancis-Habsburg dalam memperebutkan kedudukan sebagai penguasa terkuat di Eropa, dan kelak menjadi penyebab timbulnya perang antara Prancis dan Spanyol. Intervensi militer yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan dari luar seperti Denmark dan Swedia yang memihak kaum Protestan membuat perang semakin berlarut-larut dan semakin mengharu biru. Pada tahap-tahap akhir perang ini, Prancis yang Katolik juga ikut melakukan intervensi militer dengan berpihak pada kaum Protestan akibat kekhawatirannya terhadap peningkatan kekuatan Habsburg.
Dampak besar Perang Tiga Puluh Tahun, yang banyak memanfaatkan pasukan-pasukan angkatan darat bayaran, adalah kehancuran di seluruh wilayah yang dijarah habis-habisan oleh prajurit-prajurit pencari nafkah itu. Sejumlah bencana kelaparan dan wabah penyakit beruntun-runtun mendera populasi praja-praja Jerman, dan pada taraf yang lebih rendah juga menimpa Negeri-Negeri Dataran Rendah dan Italia, serta mempailitkan banyak negara yang terlibat. Perang ini berakhir dengan Traktat Münster, sebagian dari keseluruhan isi Perjanjian Damai Westfalen.
Sepanjang perang, populasi Jerman susut 30% secara rata-rata. Di wilayah Brandenburg, populasi susut sampai 50%, sementara di beberapa daerah dua pertiga dari seluruh populasi tewas akibat perang. Populasi wilayah-wilayah Ceko berkurang sepertiga. Angkatan Darat Swedia saja menghancurkan 2.000 puri, 18.000 desa, dan 1.500 kota di Jerman, yakni sepertiga dari seluruh kota di Jerman. Kerusakan parah juga menimpa biara-biara, gereja-gereja, dan lembaga-lembaga keagamaan lainnya. Perang ini terbukti menjadi malapetaka bagi "Kekaisaran Romawi Suci" bangsa Jerman. Jerman kehilangan populasi serta wilayah, dan semenjak itu terpecah-pecah menjadi ratusan praja semimerdeka yang lemah. Pamor kekaisaran pun surut ke Austria dan wilayah-wilayah kekuasaan wangsa Habsburg. Belanda dan Swiss menyatakan kemerdekaannya. Perjanjian Damai Westfalen melembagakan perpecahan Katolik, Lutheran, serta Kalvinis di Jerman. Rakyat Jerman pun harus beralih iman atau berpindah ke wilayah-wilayah yang dipimpin penguasa seiman.
Negeri-Negeri Dataran Rendah
Negeri-Negeri Dataran Rendah memiliki riwayat khusus seputar konflik agama yang berpangkal pada gerakan reformasi Kalvinis di era 1530-an. Konflik-konflik ini kelak dikenal sebagai Pemberontakan Belanda atau Perang Delapan Puluh Tahun. Berdasarkan hukum waris wangsa-wangsa Eropa, Seluruh negeri Belanda (meliputi Belanda dan Belgia sekarang ini) merupakan wilayah kekuasaan raja-raja Spanyol. Akibat terhasut oleh dakwah-dakwah Kalvinis yang agresif di dalam dan di sekitar kota-kota niaga yang makmur di kawasan selatan Belanda, protes-protes terencana yang anti-Katolik muncul semakin sering dan dengan kekerasan yang semakin meningkat. Pada 1566, sebuah liga beranggotakan sekitar 400 bangsawan tinggi yang memendam ketidakpuasan terhadap pemerintahan Spanyol, mengajukan petisi kepada Gubernur Spanyol Margarita dari Parma, untuk menangguhkan aksi penghakiman atas kaum Kalvinis.
Pada awal Agustus 1566, pecah kerusuhan di gedung Gereja Hondschoote di Flandria (Prancis Utara sekarang ini).[1] Warta tentang insiden yang relatif kecil ini menyebar ke utara dan menimbulkan Beeldenstorm, gerakan ikonoklastis kaum Kalvinis, yang menyerbu gedung-gedung Gereja dan gedung-gedung keagamaan lainnya untuk menista dan merusak patung-patung dan gambar-gambar orang kudus Katolik di seluruh negeri Belanda. Bagi kaum Kalvinis, patung-patung ini adalah unsur dari penyembahan berhala. Jumlah para perusak-citra tampaknya relatif kecil. Limm (1989) mencatat bahwa "hanya ada segelintir kasus yang melibatkan 200 orang dalam setiap peristiwa" sekalipun di provinsi-provinsi utara, tempat peristiwa-peristiwa ikonoklastis dihadiri oleh kerumunan besar masyarakat. Sementara itu di provinsi-provinsi selatan, menurutnya ada suatu kelompok yang relatif kecil namun terorganisasi bergerak menjelajahi kawasan itu. Spaans (1999) berpendapat bahwa ikoklasme sebenarnya direkayasa oleh para elit lokal demi kepentingan politik[2] Pada umumnya para penguasa lokal tidak turun tangan meredam aksi vandalisme itu. Aksi-aksi ikonoklasme membuat kaum bangsawan terpecah menjadi dua kubu, yakni Willem van Oranje bersama bangsawan-bangsawan tinggi di kubu pendukung, dan bangsawan-bangsawan lain, teristimewa Hendrik van Brederode, di kubu penentang para pelaku aksi ikonoklastis.
Pada 1568, Willem pulang untuk berupaya menyingkirkan Adipati Alba yang sangat dibenci rakyat dari Brussel. Suatu upaya terkoordinasi dilakukan oleh kaum Protestan untuk menguasai Belanda dari keempat penjuru wilayah negeri itu, dengan bala tentara angkatan darat yang dipimpin oleh saudara-saudara Willem yang menyerbu dari wilayah Jerman dan bala tentara orang-orang Prancis Huguenot yang menyerbu dari selatan. Pertempuran Dalheim dekat Roermond pecah pada 23 April 1568 dan dimenangkan oleh kubu Spanyol, tetapi Pertempuran Heiligerlee yang pecah pada 23 Mei 1568 berakhir dengan kemenangan di pihak bala tentara pemberontak. Meskipun demikian, perang pemberontakan ini berakhir dengan kegagalan karena Willem kehabisan dana untuk membayar upah para prajurit dan sekutu-sekutunya dihancurkan oleh Adipati Alba.
Dalam upayanya untuk mempertahankan kekuasaan Katolik atas Negeri-Negeri Dataran Rendah, Spanyol mengalami kesulitan karena sementara berperang pula melawan Imperium Utsmaniyah di kawasan Mediterania. Meskipun demikian, pada 1570 Spanyol berhasil memberantas sebagian besar aksi pemberontakan di seluruh negeri Belanda. Akan tetapi pada 1 April 1572, para penyerbu Kalvinis Belanda, yang terkenal dengan julukan Pengemis-Pengemis Laut, bertolak dari tempat berlindung mereka di Inggris, dan di luar dugaan berhasil merebut kota Brielle yang nyaris tak berpertahanan di kawasan utara negeri Belanda. Sebagian besar kota-kota penting di provinsi Holandia dan Selandia langsung memaklumkan kesetiaannya kepada para pemberontak, kecuali Amsterdam dan Middelburg yang tetap setia kepada kubu Katolik sampai direbut pada 1578. Willem van Oranje yang didaulat menjadi pemimpin pemberontakan, memasuki negeri Belanda dengan bala tentara berkekuatan 20.000 prajurit darat beserta pasukan-pasukan pendukung dari kaum Huguenot Prancis.
Perpecahan
Pemberontakan baru ini menimbulkan perpecahan di antara orang-orang Belanda. Di satu pihak ada kaum minoritas Kalvinis militan yang ingin terus memerangi Raja Katolik Felipe II, dan menjadikan seluruh warga negeri Belanda sebagai pengikut mazhab Kalvinis. Di lain pihak ada segolongan kecil umat Katolik yang ingin tetap setia kepada Tuan Tanah (bahasa Belanda: landvoogd) dan pemerintah di bawahnya yang didukung Spanyol. Di antara kedua pihak ini ada mayoritas warga negara beragama Katolik yang tidak berpihak, tetapi juga menghendaki hak-hak istimewa Belanda dipulihkan dan bala tentara bayaran Spanyol disingkirkan. Alba digantikan pada 1573 oleh Luis de Requesens dan suatu kebijakan baru yang moderat dicoba untuk diterapkan. Meskipun demikian, ketidakmampuan Spanyol untuk membayar upah prajurit-prajurit bayaran dalam angkatan daratnya menimbulkan aksi-aksi dahagi, dan pada November 1576 pasukan-pasukan prajurit bayaran menjarah-rayah Antwerpen sehingga merenggut 8.000 korban jiwa. Peristiwa yang terkenal dengan julukan "Murka Spanyol" ini semakin membulatkan tekad rakyat di tujuh belas provinsi untuk bangkit memberontak. Willem van Oranje yang memanfaatkan situasi anarki itu untuk memperluas kekuasaannya atas hampir seluruh wilayah Belanda dalam aliansi dengan Dewan Negara, memasuki kota Brussel pada September 1577.
Pada 6 Januari 1579, karena digusarkan oleh perilaku berlebihan kaum Kalvinis di Oudenarde, Kortrijk, Brugge dan Ieper, serta penyebaran mazhab Kalvinis secara agresif yang terus-menerus berlangsung di praja-praja utara, beberapa praja di selatan menandatangani Perjanjian Uni Arras (Atrecht), memaklumkan kesetiaan mereka pada Raja Spanyol. Sebagai tanggapan, Willem mempersatukan praja-praja utara, yakni Holandia, Selandia, Utrecht, Gelre, dan Provinsi Groningen dalam Perjanjian Uni Utrecht pada 23 Januari 1579. Beberapa kota di selatan seperti Brugge, Gent, Brussel, dan Antwerpen bergabung dengan Uni Utrecht, dan dengan demikian ketujuh belas provinsi pun terbagi-bagi ke dalam dua kubu yang saling berseteru.
Pada tahun-tahun berikutnya, Gubernur Spanyol yang baru, Alexander Farnese (Adipati Parma), menaklukkan kembali sebagian besar wilayah Flandria dan Brabant, serta sebagian besar wilayah provinsi-provinsi timur laut. Agama Katolik Roma dipulihkan di sebagian besar kawasan ini. Pada 1585, Antwerpen—kota terbesar di wilayah Negeri-Negeri Dataran Rendah kala itu—jatuh ke tangan Alexander Farnese, sehingga mengakibatkan sekitar setengah dari populasinya melarikan diri ke utara (lihat pula Kejatuhan Antwerpen).
Negeri Belanda terpecah menjadi wilayah utara yang merdeka dan wilayah selatan yang tetap tunduk pada kekuasaan Spanyol. Karena pemerintahan golongan separatis yang didominasi kaum Kalvinis berjalan nyaris tanpa jeda, sebagian besar populasi provinsi-provinsi utara beralih keyakinan menjadi penganut agama Protestan sepanjang beberapa dasawarsa kemudian. Wilayah selatan, di bawah pemerintahan Spanyol, tetap menjadi benteng pertahanan Katolik; sebagian besar kawulanya yang beragama Protestan melarikan diri ke utara. Spanyol menempatkan bala tentara dalam jumlah besar di wilayah selatan, sehingga sewaktu-waktu dapat pula dikerahkan untuk melawan Prancis. Setelah keadaan damai berjalan beberapa waktu, perang kembali meletus pada 1622, dan akhirnya usai pada 30 Januari 1648, dengan penandatanganan Traktat Münster antara Spanyol dan negeri Belanda merdeka. Traktat ini merupakan bagian dari keseluruhan Perjanjian Damai Westfalen tingkat Eropa yang juga mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun.
Konfederasi Swiss
Pada 1529, di bawah pimpinan Huldrych Zwingli, kanton dan kota Protestant Zürich bersepakat dengan kanton-kanton Protestan lainnya untuk membentuk aliansi pertahanan Christliches Burgrecht, yang juga mencakup kota Konstanz dan kota Straßburg. Menanggapi perkembangan ini, kanton-kanton Katolik pun membentuk aliansi dengan Ferdinand dari Austria.
Setelah beberapa kali terjadi insiden kecil-kecilan dan aksi saling provokasi, seorang imam Katolik dieksekusi mati di Thurgau pada Mei 1528, dan pendeta Protestan J. Keyser dibakar hidup-hidup di Schwyz pada 1529. Peristiwa terakhir yang memicu konflik besar-besaran adalah pelantikan seorang pamong praja yang beragama Katolik di Baden. Zürich pun memaklumkan perang pada 8 Juni (Perang Kappel I), menduduki Thurgau dan wilayah Biara Sankt Gallen dan berbaris menuju Kappel di perbatasan dengan Zug. Perang terbuka dapat dihindari melalui kesepakatan damai (Erster Landfriede) yang tidak begitu menguntungkan pihak Katolik karena harus menuruti hasil kesepakatan untuk membubarkan aliansi dengan wangsa Habsburg Austria. Ketegangan antarkubu pada dasarnya belum reda, dan kembali berkobar dalam Perang Kappel II, dua tahun kemudian.
Pada 11 Oktober 1531, kanton-kanton Katolik berhasil menang telak atas bala tentara Zürich dalam Pertempuran Kappel. Pasukan-pasukan Zürich tidak banyak mendapat dukungan dari aliansi kanton-kanton Protestan, dan Huldrych Zwingli tewas di medan pertempuran bersama dua puluh empat pendeta lain.
Sesudah dikalahkan, prajurit-prajurit Zürich kembali berhimpun dan berusaha menduduki Zugerberg. Beberapa diantaranya berkemah di Bukit Gubel, tak jauh dari Menzingen. Sepasukan kecil prajurit dari Ägeri menyerbu perkemahan itu, dan bala tentara Zürich yang patah semangat akibat penyerbuan itu pun terpaksa mundur, sehingga kaum Protestan terpaksa menandatangani kesepakatan damai yang tidak menguntungkan pihaknya. Swiss terpecah-belah menjadi selang-seling kanton-kanton Protestan dan Katolik. Kaum Protestan umumnya mendominasi kota-kota besar, sementara umat Katolik lebih banyak menguasai daerah pedesaan.
Pada 1656, ketegangan antara kubu Protestan dan kubu Katolik kembali memanas dan menyulut Perang Villmergen I. Kubu Katolik menjadi pemenang dan dapat mempertahankan dominasi politiknya.
Perang Toggenburg yang meletus pada 1712 adalah sebuah konflik antara kanton-kanton Katolik dan kanton-kanton Protestan. Berdasarkan Perjanjian Damai Aarau bertarikh 11 Agustus 1712 dan Perjanjian Damai Baden bertarikh 16 Juni 1718, perang ini berakhir dengan lenyapnya hegemoni Katolik.
Perang Sonderbund pada 1847 juga terjadi akibat perbedaan agama.
Prancis
Sejak 1532, Raja François I dan Raja Henri II (sejak 1551) telah melakukan intervensi politik dan militer guna membantu para pembesar praja Jerman yang beragama Protestan melawan wangsa Habsburg. Meskipun demikian, dua-duanya dengan gigih memberantas setiap upaya penyebaran gagasan-gagasan Lutheran di wilayah Prancis. Arus masuk para pendakwah Kalvinis secara terencana dari Jenewa dan tempat-tempat lain sepanjang era 1550-an, berhasil membentuk ratusan jemaat Kalvinis bawah tanah di Prancis.
Era 1560-an
Dalam pola yang kelak diikuti pula di Belanda dan Skotlandia, gerakan dakwah Kalvinis bawah tanah serta pembentukan aliansi-aliansi antara para penganut baru dan kaum bangsawan dengan segera menimbulkan aksi perebutan kekuasaan politik dan agama secara langsung. Angan-angan untuk menguasai properti Gereja dan lahan-lahan biara yang begitu banyak telah mendorong kaum bangsawan di banyak wilayah Eropa untuk mendukung gerakan Reformasi yang "terpimpin". Selain itu kaum Kalvinis juga mendakwahkan ajaran baru bahwasanya para pemuka masyarakat bertanggung jawab untuk menggulingkan penguasa yang "tidak bertuhan" (yakni penguasa yang tidak mendukung mazhab Kalvinis). Pada Maret 1560 terjadi peristiwa "konspirasi Amboise" atau "huru-hara Amboise", yakni upaya sekelompok bangsawan pembelot untuk menculik Raja Prancis yang masih remaja, François II, dan menyingkirkan wangsa Guise yang beragama Katolik. Rencana mereka bocor dan berhasil digagalkan. Aksi berskala besar pertama kaum Protestan untuk merusak gambar-gambar dan patung-patung di dalam gedung-gedung Gereja Katolik terjadi di Rouen dan La Rochelle pada 1560. Pada tahun berikutnya, aksi-aksi penyerangan itu meluas ke lebih dari 20 kota besar dan kecil, dan kelak memicu aksi pembantaian dan huru-hara yang dilakukan oleh warga Katolik di Sens, Cahors, Carcassonne, Tours, dan di kota-kota lain.[3]
Pada Desember 1560, François II mangkat dan Catharina de' Medici naik takhta sebagai wali putranya, Raja Charles IX. Meskipun beragama Katolik, ia bersedia untuk berunding dengan wangsa Bourbon yang tergolong kaum Huguenot. Oleh karena itu ia mendukung toleransi beragama dengan mengeluarkan Maklumat Saint-Germain (Januari 1562) yang mengizinkan kaum Huguenot untuk beribadah secara terbuka di luar kota dan secara tertutup di dalam kota. Akan tetapi pada 1 Maret, sekelompok kawula wangsa Guise menyerang upacara peribadatan ilegal kaum Kalvinis di Wassy-sur-Blaise, Provinsi Champagne. Perseteruan yang timbul membuat maklumat itu dibatalkan.
Peristiwa ini menyulut Perang Pertama. Wangsa Bourbon, dengan dukungan Inggris, di bawah pimpinan Louis I de Bourbon, Pangeran Condé bersama Laksamana de Coligny mulai merebut kota-kota stategis di sepanjang Sungai Loire dan menempatkan garnisun di kota-kota itu. Pertempuran Dreux dan Pertempuran Orléans adalah pertempuran-pertempuran besar pertama dalam Perang Pertama. Pada Februari 1563, François, Adipati de Guise terbunuh di Orléans, dan Catherina yang mulai khawatir perang akan berlarut-larut akhirnya memprakarsai gencatan senjata dan mengeluarkan Maklumat Amboise (1563), yang sekali lagi menjamin toleransi beragama secara terkendali atas peribadatan Protestan.
Meskipun demikian, baik umat Katolik maupun kaum Protestan pada umumnya tidak merasa puas. Suhu politik sedang meningkat di negeri-negeri jiran, sementara kerusuhan agama semakin dahsyat berkobar di negeri Belanda. Kaum Huguenot berusaha mendapatkan dukungan pemerintah Prancis untuk melakukan intervensi terhadap kedatangan bala tentara Spanyol di negeri Belanda. Karena usaha mereka menemui jalan buntu, pasukan-pasukan Protestan pun mencoba namun gagal untuk menangkap dan mengendalikan Raja Charles IX di Meaux pada 1567. Peristiwa ini kembali memicu perseteruan (Perang Kedua) yang diakhiri dengan kesepakatan gencatan senjata yang lagi-lagi tidak memuaskan kedua belah pihak, yakni Perjanjian Damai Longjumeau (Maret 1568).
Pada bulan September tahun itu, perang kembali meletus (Perang Ketiga). Catherina dan Charles kali ini memutuskan untuk beraliansi dengan wangsa Guise. Bala tentara Huguenot dipimpin oleh Louis I de Bourbon, Pangeran Condé dibantu kekuatan tempur dari kawasan tenggara Prancis dan serombongan milisi Protestan dari Jerman—termasuk 14.000 reiter bayaran di bawah pimpinan Adipati Zweibrücken yang berpaham Kalvinis.[4] Setelah Adipati Zweibrücken tewas dalam pertempuran, ia digantikan oleh Tumenggung Mansfeld dan Willem van Oranje beserta saudara-saudaranya, Lodewijk dan Hendrik, dari negeri Belanda. Sebagian besar dana perang kaum Huguenot berasal dari sumbangan Elizabeth I, Ratu Inggris. Umat Katolik dipimpin oleh Adipati d'Anjou (kelak naik takhta menjadi Raja Henri III) dibantu pasukan-pasukan dari Spanyol, negara-negara Kepausan, dan Kadipaten Agung Toscana.[5]
Bala tentara Protestan melakukan pengepungan atas sejumlah kota di daerah Poitou dan Saintonge (guna melindungi La Rochelle), dan kemudian juga di Angoulême dan Cognac. Dalam Pertempuran Jarnac pada 16 Maret 1569, Pangeran Condé tewas, sehingga Laksamana de Coligny terpaksa mengambil alih kepemimpinan atas bala tentara Protestan. Laksamana de Coligny menarik mundur bala tentara Protestan ke kawasan barat daya kemudian bergabung dengan Gabriel de Montgommery, dan pada musim semi 1570 mereka menjarah kota Toulouse, memintas melalui kawasan selatan Prancis dan bergerak menelusuri Lembah Sungai Rhône menuju La Charité-sur-Loire. Utang kerajaan yang semakin mengkhawatirkan dan keinginan Charles IX untuk mencari solusi damai[6] mendorong terbitnya Perjanjian Damai Saint-Germain-en-Laye pada 8 Agustus 1570, yang sekali lagi memberikan lebih banyak konsesi kepada kaum Huguenot. Pada 1572, peningkatan ketegangan antara umat Katolik Paris dan bala tentara Protestan yang datang guna menghadiri upacara pernikahan Henri de Navarre dengan saudari Raja, Marguerite de Valois, berpuncak pada peristiwa pembantaian di Hari Santo Bartolomeus. Peristiwa ini menyulut Perang Keempat pada 1572 dan Perang Kelima pada 1573-1576.
Henri III
Henri d'Anjou dinobatkan menjadi Henri III, Raja Prancis pada 1575 di Reims, tetapi perseteruan—Perang Kelima—telah kembali berkobar.
Henri III terjebak pada posisi yang sulit, berusaha mempertahankan kekuasaan kerajaan dari ancaman para panglima perang yang menolak untuk berkompromi. Pada 1576, Sang Raja menandatangani Maklumat Beaulieu, yang menganugerahkan sejumlah konsesi kecil kepada kaum Kalvinis, tetapi Perang Keenam yang berlangsung singkat meletus pada 1577. Henri I, Adipati de Guise, membentuk Liga Katolik guna melindungi kepentingan umat Katolik di Prancis. Perseteruan berikutnya—Perang Ketujuh (1579–1580)—berakhir imbang dengan dengan penandatanganan Traktat Fleix.
Kesepakatan yang rapuh itu berakhir pada 1584, ketika adik laki-laki bungsu sekaligus ahli waris presumtif Raja Prancis, François, Adipati d'Anjou, mangkat. Karena Henri III tidak berputra, maka berdasarkan ketentuan Hukum Sali, pewaris takhta Prancis berikutnya adalah Pangeran Henri de Navarre yang berpaham Kalvinis. Di bawah tekanan dari Adipati de Guise, Henri III terpaksa mengeluarkan sebuah maklumat yang menghapuskan mazhab Protestan dan mencabut hak waris Henri de Navarre atas takhta Prancis.
Pada Desember 1584, Traktat Joinville ditandatangani oleh Adipati de Guise atas nama Liga Katolik dan Felipe II dari Spanyol yang berjanji akan menyumbangkan dana tahunan yang cukup besar kepada Liga Katolik. Situasi memburuk menjadi Perang Kedelapan (1585–1589). Henri de Navarre sekali lagi meminta bantuan dari para penguasa praja Jerman dan Elizabeth I, Ratu Inggris. Sementara itu, umat Katolik Paris yang bersatu-padu di bawah pengaruh Panitia Enam Belas merasa tidak puas terhadap Henri III dan kegagalannya mengalahkan kaum Kalvinis. Pada 12 Mei 1588, pecah pemberontakan rakyat yang membarikade jalan-jalan kota Paris, dan Henri III pun melarikan diri dari kota itu. Panitia Enam Belas mengambil alih pemerintahan dan mengelu-elukan kedatangan Adipati de Guise ke Paris. Adipati de Guise kemudian menawarkan suatu penyelesaian akhir berupa penunjukkan seorang ahli waris boneka dan mendesak diadakannya sidang Majelis Perwakilan Segenap Lapisan Rakyat, yang akan diselenggarakan di kota Blois.
Raja Henri memutuskan untuk menyerang lebih dahulu. Pada 23 Desember 1588, di Château de Blois, Henri de Guise dan saudaranya, Kardinal de Guise, dipancing memasuki perangkap dan dibunuh. Adipati de Guise adalah tokoh yang sangat dikagumi rakyat Prancis, sehingga pembunuhan atas dirinya mengakibatkan Liga Katolik memaklumkan perang terbuka melawan Raja Henri. Parlemen Paris menyusun dakwaan kriminal atas Raja Henri, yang telah menyatukan kekuatan tempur dengan sepupunya, Henri de Navarre, untuk menghadapi Liga Katolik.
Charles de Lorraine, Adipati Mayenne mengambil alih kepemimpinan atas Liga Katolik, dan para pewarta Liga Katolik mulai mencetak selebaran-selebaran anti-royalis dengan menggunakan berbagai nama samaran, sementara Sorbonne mengeluarkan pernyataan bahwa pemakzulan Henri III adalah tindakan yang adil dan perlu. Pada Juli 1589, di kamp kerajaan di Saint-Cloud, seorang rahib bernama Jacques Clément menghadap Sang Raja dan menusukkan sebilah pisau panjang ke limpanya. Clément langsung dieksekusi di tempat, membawa mati informasi mengenai orang, jika memang ada, yang telah menyuruhnya. Dalam keadaan sekarat, Henri III memanggil Henri de Navarre, dan memohon kepadanya demi kepentingan tadbir negara, agar bersedia menjadi penganut agama Katolik, serta memperingatkannya akan peperangan brutal yang bakal meletus jika ia menolak. Sesuai dengan ketentuan Hukum Sali, ia menjadikan Henri sebagai ahli warisnya.
Henri IV
Pada 1589 Henri de Navarre yang telah menjadi Henri IV, Raja Prancis, menguasai kawasan selatan dan barat, sementara Liga Katolik menguasai kawasan utara dan timur wilayah Prancis. Tampuk kepemimpinan Liga Katolik kala itu dipegang oleh Adipati de Mayenne, yang telah ditunjuk menjadi Letnan Jenderal Kerajaan (kepala negara ad interim). Ia bersama pasukan-pasukannya menguasai sebagian besar daerah pedesaan di Normandie. Akan tetapi pada September 1589, Henri menimpakan kekalahan telak atas Adipati de Mayenne dalam Pertempuran Arques. Bala tentara Henri merambah seluruh daerah Normandie, merebut kota demi kota selama musim dingin.
Sang Raja sadar bahwa ia harus merebut Paris jika ingin memerintah atas seluruh Prancis. Akan tetapi hal itu bukanlah perkara yang mudah. Para pewarta dan pendukung Liga Katolik terus-menerus menyiarkan kisah-kisah penyiksaan keji terhadap para padri dan awam Katolik di Inggris yang telah menjadi sebuah negara Protestan (lihat Empat Puluh Martir Inggris dan Wales). Warga kota Paris pun bersiap-sedia untuk berperang sampai titik darah penghabisan ketimbang menjadi kawula seorang raja Kalvinis. Raja Henri sekali lagi keluar sebagai pemenang dalam pertempuran Ivry yang terjadi pada 14 Maret 1590, dan bala tentaranya segera bergegas mengepung Paris, akan tetapi pengepungan dapat dibuyarkan oleh warga Paris dengan dukungan Spanyol. Sadar akan kebenaran yang terkandung dalam wasiat mendiang pendahulunya, bahwa mustahil seorang raja Protestan mampu berjaya di kota Paris yang Katolik, Henri konon melontarkan ucapannya yang termasyhur, Paris vaut bien une messe (Paris memang sepadan dengan satu misa). Ia diterima secara resmi menjadi anggota Gereja Katolik Roma pada 1593 dan dimahkotai di Chartres pada 1594.
Sejumlah anggota Liga Katolik ingin terus berperang, tetapi jumlah umat Katolik yang berbalik mendukung raja setelah berpindah keyakinan semakin lama semakin besar sehingga golongan yang bersikeras untuk tetap melawan raja akhirnya tidak berdaya. Spanyol menarik mundur pasukannya dari Prancis selepas penandatanganan Perjanjian Damai Vervins. Henri dihadapkan pada tugas untuk membangun kembali kerajaan yang hancur berkeping-keping dan jatuh miskin, serta mempersatukan kembali seluruh Prancis di bawah satu pemerintahan tunggal. Peperangan berakhir dengan dikeluarkannya Maklumat Nantes oleh Henri IV dari Prancis, yang memberi toleransi beragama sampai taraf tertentu kepada kaum Protestan.
Sekalipun selalu diperintah oleh raja Katolik, Prancis telah berperan besar mendukung kaum Protestan di Jerman dan negeri Belanda untuk melawan saingannya, wangsa Habsburg. Kurun waktu perang-perang agama di Prancis secara efektif meredupkan pamor Prancis sebagai sebuah kekuatan besar di Eropa, sehingga memberi peluang bagi pasukan-pasukan Katolik di Kekaisaran Romawi Suci untuk kembali merapatkan barisan dan memulihkan kekuatan tempurnya.
Britania Raya dan Irlandia
Reformasi Protestan masuk ke Inggris dan Irlandia ketika Raja Henry VIII dari Inggris memutuskan hubungan dengan Gereja Katolik pada 1533. Kala itu hanya ada segelintir penganut agama Protestan di tengah-tengah masyarakat Inggris, dan sebagian besar dari mereka menetap di kota-kota yang berada di kawasan selatan dan timur wilayah Inggris. Dengan dikeluarkannya perintah kerajaan untuk memutuskan hubungan dengan Sri Paus di Roma, Gereja di Inggris, Wales, dan Irlandia pun ditempatkan di bawah kekuasaan Raja dan Parlemen.
Perubahan-perubahan besar pertama dalam ajaran dan praktik agama terjadi pada masa pemerintahan Vikaris-Jenderal Thomas Cromwell, dan Uskup Agung Canterbury berhaluan Protestan yang baru saja ditunjuk menjabat, Thomas Cranmer. Tantangan pertama terhadap pelembagaan perubahan-perubahan ini datang dari Irlandia, tempat Thomas Fitzgerald 'Sutra' memanfaatkan kontroversi yang timbul akibat perubahan-perubahan itu sebagai pembenaran bagi pemberontakan bersenjata yang dilakukannya pada 1534. Akan tetapi Fitzgerald gagal mengumpulkan cukup dukungan di Irlandia, dan pada bulan Oktober bala tentara berkekuatan 1.600 prajurit Inggris dan Wales mendarat di Irlandia, membawa serta empat senjata kepung modern.[7] Pada tahun berikutnya Fitzgerald digempur hingga tak berdaya, dan pada bulan Agustus ia dapat dibujuk untuk menyerah.
Tak lama setelah peristiwa ini, timbul penentangan rakyat terhadap perubahan-perubahan keagamaan di Inggris. Tindakan penutupan biara-biara yang dilakukan sejak 1536, menyulut pemberontakan umat Katolik di kawasan utara wilayah Inggris dalam gerakan Ziarah Kasih Karunia, yang akhirnya dapat dipadamkan dengan penuh pertumpahan darah. Reformasi terus dipaksakan atas rakyat yang enggan menerimanya dengan cara mengundangkan hukum-hukum keji yang membuat penentangan terhadap tindakan-tindakan Raja di bidang keagamaan dipandang sebagai tindakan pengkhianatan berancaman hukuman mati. Perlawanan bersenjata besar-besaran berikutnya adalah Pemberontakan Buku Ibadat pada 1549, yang merupakan sebuah pemberontakan gagal di kawasan barat Inggris menentang paksaan untuk mengganti Misa Katolik dalam bahasa Latin dengan tata ibadat dalam bahasa Inggris yang disusun oleh Cranmer.
Setelah agama Katolik dipulihkan di Inggris pada masa pemerintahan Ratu Mary I dari Inggris pada 1553, timbul sebuah pemberontakan singkat kaum Protestan di kawasan tenggara wilayah Inggris yang berakhir dengan kegagalan.
Reformasi Skotlandia
Reformasi Protestan di Skotlandia bermula dengan konflik. Juru dakwah Kalvinis yang berapi-api, John Knox, pulang ke Skotlandia pada 1560 setelah menjalani hukuman buang karena terlibat dalam peristiwa pembunuhan Kardinal Beaton. Ia bergegas menuju Dundee, tempat sejumlah besar bangsawan dan simpatisan Protestan telah berkumpul. Perlindungan hukum atas diri Knox telah dicabut oleh Wali Ratu Skotlandia, Marie de Guise, tetapi kaum Protestan segera berlindung di Perth, sebuah kota berbenteng yang dapat dijadikan pangkalan pertahanan jika dikepung. Di gedung Gereja Santo Yohanes Pembaptis, Knox berkhotbah dengan berapi-api sehingga menyulut kerusuhan ikonoklastis. Gerombolan perusuh menyerbu masuk ke gedung Gereja dan menandaskan seluruh isinya. Mengikuti pola gerakan huru-hara Kalvinis di Prancis dan negeri Belanda, gerombolan perusuh kemudian menyerang dua wisma frateran di kota itu, merampas emas dan perak dan menghancurkan citra-citra yang mereka temukan. Marie de Guise pun bergegas menghimpun para bangsawan yang setia padanya serta sepasukan kecil prajurit Prancis.
Meskipun demikian, dengan berdatangannya tambahan pasukan Protestan dari daerah-daerah tetangga, Wali Ratu pun terpaksa mundur ke Dunbar. Saat itu gerombolan perusuh Kalvinis telah merambah sebagian besar kawasan tengah wilayah Skotlandia, menghacurkan biara-biara dan gedung-gedung Gereja Katolik di sepanjang laluan mereka. Pada 30 Juni, kaum Protestan berhasil menduduki Edinburgh tetapi hanya mampu mempertahankannya selama sebulan. Sebelum mereka tiba, gerombolan perusuh sudah menjarah-rayah gedung-gedung Gereja dan frateran. Pada 1 Juli, Knox berkhotbah di mimbar Gereja Santo Egidius, tempat yang sangat berpengaruh di ibu kota.[8]
Knox melakukan perundingan melalui surat dengan William Cecil, Baron Burghley I, penasihat utama Ratu Elizabeth, untuk mendapatkan dukungan dari Inggris. Ketika tambahan pasukan Prancis tiba di Leith, pelabuhan laut kota Edinburgh, kaum Protestan menanggapinya dengan merebut kembali Edinburgh. Pada 24 Oktober 1559, kaum bangsawan Skotlandia secara resmi memecat Marie de Guise dari jabatan Wali Ratu. Sekretarisnya, William Maitland dari Lethington, membelot ke pihak Protestan, membawa serta kecakapan tata negara yang ia miliki. Pada tahap akhir revolusi kaum Protestan ini, Maitland berusaha menggugah patriotisme bangsa Skotlandia untuk bangkit melawan dominasi Prancis. Dukungan dari Inggris akhirnya tiba pada akhir Maret, prajurit-prajurit Inggris dalam jumlah yang cukup besar datang bergabung dengan pasukan-pasukan Protestan Skotlandia. Kematian mendadak Marie de Guise di Puri Edinburgh pada 10 Juni 1560 membuka jalan bagi penandatanganan Traktat Edinburgh serta penarikan mundur pasukan-pasukan Prancis dan Inggris dari Skotlandia, sehingga kaum Kalvinis Skotlandia sepenuhnya menguasai negeri itu. Agama Katolik dihapuskan secara paksa.
Kepulangan Mary, Ratu Skotlandia ke Skotlandia pada 1560, meningkatkan ketegangan antara dirinya dan Tuan-Tuan Jemaat yang beragama Protestan. Mary menyukai toleransi agama cara Prancis, namun kaum rohaniwan Protestan khawatir agama Katolik akan ditegakkan kembali dan meminta bantuan Inggris untuk meredam atau memakzulkan Mary. Pernikahan Mary dengan seorang pembesar Katolik mendorong saudara tiri Mary, Earl Moray, bergabung dengan para pembesar Protestan lainnya dan memberontak secara terang-terangan. Mary bertolak ke Stirling pada 26 Agustus 1565 untuk menghadapi mereka. Moray dan para pembesar pemberontak dikalahkan dan melarikan diri ke luar negeri, aksi militer yang krusial ini kelak terkenal dengan sebutan Penyergapan Bersikejar. Meskipun demikian pada 1567, Mary dapat diringkus oleh pasukan pemberontak lain di Bukit Carberry dan dipenjarakan di Puri Loch Leven, tempat ia dipaksa untuk turun takhta dan mewariskan jabatannya kepada James, putranya yang baru berumur setahun. Mary berhasil lolos dari Loch Leven pada tahun berikutnya, dan sekali lagi berhasil menghimpun sepasukan kecil bala tentara. Setelah bala tentaranya dikalahkan dalam Pertempuran Langside pada 13 Mei, ia melarikan diri ke Inggris, tempat ia dipenjarakan oleh Ratu Elizabeth. Putranya, James VI, yang diasuh menjadi seorang Protestan, kelak naik takhta menjadi Raja Inggris merangkap Raja Skotlandia.
Kebangkitan Utara sejak 1569 sampai 1570, merupakan upaya gagal para bangsawan Katolik dari Inggris Utara untuk memakzulkan Ratu Elizabeth I dari Inggris dan menggantikannya dengan Mary, Ratu Skotlandia.
Perang Saudara Inggris
Inggris, Skotlandia, dan Irlandia, merupakan sebuah uni personal di bawah pemerintahan raja dari wangsa Stuart, James I & VI, yang meneruskan kebijakan Ratu Elizabeth I untuk memberi dukungan militer kepada kaum Protestan Eropa di negeri Belanda dan Prancis. Raja Charles I memutuskan untuk mengirim sepasukan ekspedisi militer demi membebaskan kaum Huguenot Prancis yang terkepung di dalam kota La Rochelle oleh pasukan-pasukan Kerajaan Prancis. Akan tetapi kewenangan untuk menarik pajak demi mendanai perang-perang itu semakin lama semakin sukar didapatkan dari parlemen.
Pada 1638 Kovenan Nasional Skotlandia ditandatangani oleh kaum bangsawan dan rakyat jelata yang memendam ketidakpuasan terhadap pemerintah kerajaan. Sebuah pemberontakan yang terkenal dengan nama Perang Para Uskup meletus tak lama kemudian, menimpakan kekalahan atas bala tentara kubu Royalis yang lemah pada 1640. Para pemberontak selanjutnya merebut Newcastle upon Tyne sehingga semakin memperlemah kewenangan Raja Charles.
Pada Oktober 1641, sebuah pemberontakan besar meletus di Irlandia. Charles pun harus segera mengumpulkan dana guna memadamkan Pemberontakan ini. Sementara itu, kaum Puritan Inggris dan kaum Kalvinis Skotlandia dengan gigih menentang keputusan kerajaan untuk menggabungkan Gereja Inggris dan Gereja Skotlandia menjadi satu Gereja Anglikan beraliran Gereja Tinggi. Mereka yakin bahwa kebijakan ini akan membuat tata ibadat menjadi terlampau bernuansa Katolik dan membuat gereja mereka harus bergantung pada wewenang para uskup.
Parlemen Inggris menolak memberi keputusan terkait pemberian dana yang cukup kepada Charles untuk mengalahkan orang-orang Skotlandia jika Sang Raja tidak rela melepas sejumlah besar kewenangannya dan mereformasi gereja Inggris agar lebih sehaluan dengan ajaran-ajaran mazhab Kalvinis. Syarat-syarat parlemen ini ditampik raja, dan hubungan yang memburuk antara raja dan parlemen berkobar menjadi perang pada 1642. Pertempuran berancang pertama dalam perang ini berlangsung di Edgehill pada 23 Oktober 1642 dan berakhir dengan hasil imbang. Baik kubu Royalis maupun kubu Parlemen mengaku sebagai pemenang. Pada pertempuran kedua yang berlarut-larut di Turnham Green, Charles terpaksa mundur ke Oxford. Kota ini kelak menjadi pangkalannya sampai perang berakhir.
Pada umumnya bagian permulaan dari perang ini menguntungkan kubu Royalis. Titik balik terjadi pada penghujung musim panas dan permulaan musim gugur 1643, ketika bala tentara Earl Essex memaksa raja menghentikan pengepungan atas Gloucester dan kemudian memukul mundur bala tentara Royalis dalam Pertempuran Newbury I pada 20 September 1643. Raja Charles berusaha memperbesar bala tentaranya untuk meraih kemenangan dengan cara menyepakati gencatan senjata dengan para pemberontak Katolik di Irlandia sehingga dapat menarik pulang pasukan dari Irlandia guna berperang membela kubu Royalis di Inggris. Pada saat yang sama kubu Parlemen menawarkan konsesi-konsesi kepada orang-orang Skotlandia sebagai imbalan jika mereka bersedia membantu dan ikut berperang bersama kubu Parlemen.
Berkat bantuan orang-orang Skotlandia, kubu Parlemen mampu memenangkan Pertempuran Marston Moor pada 2 Juli 1644, menguasai York dan sebagian besar kawasan utara wilayah Inggris. Tindak-tanduk Oliver Cromwell dalam pertempuran ini terbukti menjadi penentu kemenangan, dan pertempuran ini mebuka peluang untuk mempertontonkan bakat kepemimpinannya. Pada 1645 Parlemen meloloskan Self-denying Ordinance, yang mewajibkan seluruh anggota majelis rendah dan majelis tinggi dalam Parlemen untuk melepaskan kepemimpinan mereka atas bala tentara masing-masing sehingga seluruh kekuatan tempur kubu Parlemen dapat ditata kembali menjadi Angkatan Darat Model Baru. Pada 1646 Raja Charles dipaksa menyerah oleh orang-orang Skotlandia dan pasukan-pasukan Parlemen berhasil menguasai Inggris. Raja Charles dieksekusi mati pada 1649, dan pemerintahan monarki pun berakhir sejak saat itu sampai dipulihkan kembali pada 1660. Perseteruan antaragama masih terus berlanjut kala itu dalam peristiwa Revolusi Agung dan bahkan sesudahnya.
Irlandia
Pemberontakan Thomas Sutra adalah pemberontakan Irlandia pada 1534.
Pemberontakan Séan Ó Néill adalah pemberontakan Irlandia mulai 1558 sampai 1567.
Irlandia terus-menerus berperang semenjak meletusnya pemberontakan 1641. Sebagian besar dari pulau ini dikuasai oleh Konfederasi Irlandia. Karena semakin merasa terancam diserang bala tentara Parlemen Inggris setelah Raja Charles I ditahan pada 1648, Konfederasi Irlandia menandatangani sebuah perjanjian aliansi dengan kaum Royalis Inggris. Gabungan bala tentara kaum Royalis dan Konfederasi Irlandia di bawah pimpinan Adipati Ormonde mencoba menyingkirkan bala tentara Parlemen dari Dublin, tetapi kalah dari lawan-lawan mereka dalam Pertempuran Rathmines pada 2 Agustus 1649. Ketika mantan anggota Parlemen, Laksamana Robert Blake, memblokade armada Pangeran Rupert di Kinsale, Oliver Cromwell pun dapat mendarat di Dublin pada 15 Agustus 1649 dengan membawa bala tentara untuk membinasakan aliansi kaum Royalis di Irlandia.
Pemberantasan kaum Royalis di Irlandia oleh Cromwell pada 1649 masih terngiang-ngiang dalam ingatan banyak orang Irlandia. Sesudah pengepungan Drogheda, peristiwa pembantaian atas hampir 3.500 orang—terdiri atas kira-kira 2.700 prajurit Royalis dan seluruh warga kota laki-laki yang bersenjata, termasuk rakyat sipil, para tahanan, dan padri-padri Katolik—menjadi salah satu kenangan bersejarah yang memicu perseteruan Irlandia-Inggris dan Katolik-Protestan selama tiga abad terakhir. Meskipun demikian, peristiwa pembantaian itu lebih dimaknai sebagai simbol dari pemahaman orang Irlandia mengenai kekejaman Cromwell, karena jauh lebih banyak orang yang tewas dalam pertempuran gerilya dan bumi hangus yang terjadi sesudahnya di negeri itu dibanding jumlah korban jiwa pada peristiwa pembantaian keji di Drogheda dan Wexford. Upaya Parlemen Inggris untuk menaklukkan Irlandia berlanjut empat tahun lagi sampai pada 1653, ketika pasukan-pasukan terakhir Konfederasi Irlandia dan kaum Royalis menyerah. Para sejarawan memperkirakan bahwa 30% dari populasi Irlandia tewas atau berangkat ke pembuangan seusai perang. Pihak pemenang menyita hampir seluruh lahan milik umat Katolik Irlandia seusai penaklukan dan membagi-bagikannya kepada para kreditor Parlemen, para prajurit Parlemen yang bertugas di Irlandia, dan kepada orang-orang Inggris yang sudah menetap di Irlandia sebelum perang.
Pemberontakan Desmond meletus pada 1569–1573 dan 1579–1583 di Provinsi Munster, Irlandia.
Perang saudara Skotlandia
Eksekusi mati atas Raja Charles I mengubah dinamika perang saudara di Skotlandia yang menjadi ajang perseteruan antara kaum Royalis dan kaum Kovenanter sejak 1644. Pada 1649, perseteruan ini telah membuat kaum Royalis tercerai-berai dan mantan pemimpin mereka, Marquess Montrose, berangkat ke pembuangan. Meskipun demikian, Montrose, yang telah menghimpun sepasukan prajurit bayaran di Norwegia, kelak kembali namun tidak berhasil menggerakkan puak-puak Tanah Tinggi untuk mendukungnya, dan kaum Kovenanter pun berjaya menaklukkan pasukannya dalam Pertempuran Carbisdale di Ross-shire pada 27 April 1650. Pihak pemenang membekuk Montrose tak lama kemudian dan menggiringnya menuju Edinburgh. Pada 20 Mei Parlemen Skotlandia menjatuhkan hukuman mati atas dirinya. Sehari kemudian ia dieksekusi mati dengan cara digantung.
Pada 23 Juni 1650 Raja Charles II mendarati Skotlandia di Garmouth, Moray, dan menandatangani Kovenan Nasional 1638 serta Solemn League and Covenant 1643 segera sesudah turun ke darat. Dengan dukungan dari pengikutnya (kaum Royalis) dan sekutu barunya (kaum Kovenanter), Raja Charles II tampil sebagai ancaman terbesar bagi Republik Inggris yang baru saja berdiri. Menghadapi ancaman ini, Cromwell pun meninggalkan beberapa letnannya di Irlandia untuk meneruskan aksi pemberantasan kaum Royalis Irlandia dan pulang ke Inggris.
Ia tiba di Skotlandia pada 22 Juli 1650 dan segera mengepung Edinburgh. Pada akhir Agustus, wabah penyakit dan menipisnya perbekalan membuat jumlah prajuritnya berkurang, sehingga ia terpaksa memerintahkan pasukannya untuk mundur ke pangkalannya di Dunbar. Sepasukan prajurit Skotlandia di bawah pimpinan David Leslie berusaha menghalangi gerak mundur itu, namun Cromwell berhasil mengalahkan mereka dalam Pertempuran Dunbar pada 3 September. Pasukan Cromwell selanjutnya merebut Edinburgh, dan pada penghujung tahun itu mereka telah berhasil menduduki sebagian besar kawasan selatan Skotlandia.
Pada Juli 1651, pasukan Cromwell melintasi Firth of Forth menuju Fife dan berhasil mengalahkan orang-orang Skotlandia dalam Pertempuran Inverkeithing pada 20 Juli 1651. Angkatan Darat Model Baru kemudian bergerak menuju Perth, sehingga Charles berkesempatan memimpin bala tentara Skotlandia beringsut ke selatan memasuki wilayah Inggris. Cromwell membuntuti Charles ke wilayah Inggris, meninggalkan George Monck untuk menuntaskan penyerangan atas Skotlandia. Monck merebut Stirling pada 14 Agustus dan Dundee pada 1 September. Setahun kemudian, pada 1652, dilakukan pembersihan terhadap sisa-sisa perlawanan kaum Royalis dengan berlandaskan isi "Tender Persatuan".
Meskipun bala tentara kaum Kalvinis berjaya di kawasan selatan dan daerah Tanah Rendah Skotlandia, banyak puak Tanah Tinggi Skotlandia tetap Katolik atau Episkopal untuk menunjukkan simpati mereka. Puak MacDonald yang beragama Katolik menjadi korban Pembantaian Glencoe akibat terlambat bersumpah setia kepada Raja William III yang beragama Protestan pada 1691. Puak-puak Tanah Tinggi pun tergerak untuk bersatu mendukung ahli waris takhta Inggris yang beragama Katolik dalam Pemberontakan Yakobit namun berakhir dengan kegagalan, baik ketika mendukung mantan Raja James III dari wangsa Stuart pada 1715 maupun ketika mendukung Charles Edward Stuart pada 1745.
Lain-lain
Ziarah Kasih Karunia adalah pemberontakan rakyat di Yorkshire pada 1536–37 menentang keputusan Raja Henry VIII untuk memisahkan Inggris dari Gereja Katolik Roma.
Pemberontakan Bigod adalah sebuah pemberontakan bersenjata yang dilakukan oleh umat Katolik Inggris di Cumberland dan Westmorland melawan Raja Henry VIII dari Inggris beserta Parlemen Inggris.
Denmark
Pada 1524, Raja Christian II beralih keyakinan menjadi pengikut mazhab Lutheran dan mengundang para pendakwah Lutheran ke Denmark sekalipun ditentang oleh sidang umum Parlemen Denmark 1524. Sesudah Raja Frederik I mangkat pada 1533, meletus perang antara para orang-orang Katolik pengikut Tumenggung (bahasa Denmark: Grev) Christoffer dari Oldenburg melawan Tumenggung Christian dari Holstein, seorang pengikut mazhab Lutheran yang taat. Tak lama setelah kehilangan dukungan kekuatan utama di Lübeck, Christoffer mengalami kekalahan dan akhirnya kehilangan pangkalan pertahanan terakhir, Copenhagen, pada 1536. Mazhab Lutheran dengan segera ditegakkan, uskup-uskup Katolik dipenjarakan, lahan-lahan milik biara dan Gereja pun segera disita untuk membayar upah bala tentara yang telah membantu Christian meraih kekuasaan. Penyitaan lahan-lahan milik biara dan Gereja menjadikan pendapatan Kerajaan Denmark meningkat sampai 300%.
1534 sampai 1536 adalah masa berkobarnya Perseteruan Tumenggung, sebuah perang saudara yang timbul akibat Reformasi Protestan di Denmark.
Terkait Perang Tiga Puluh Tahun, pada 1625 Christian IV, Raja Denmark merangkap Adipati Holstein, berkenan membantu para pembesar Lutheran di Sachsen Hilir yang bertetangga dengan Denmark dalam menghadapi kekuatan tempur Kekaisaran Romawi Suci melalui intervensi militer. Langkah Denmark ini didukung oleh Prancis dan Inggris yang telah bersedia menyumbangkan dana. Christian mengangkat dirinya sendiri menjadi panglima perang Aliansi Sachsen Hilir dan menghimpun kekuatan tempur yang terdiri atas 20.000–35.000 prajurit bayaran. Meskipun demikian, Christian dapat didesak mundur oleh gabungan kekuatan tempur kekaisaran di bawah pimpinan Senapati Albrecht von Wallenstein dan Senapati Johann T’Serclaes von Tilly. Bala tentara Wallenstein berbaris ke utara, menduduki Mecklenburg, Pommern, dan akhirnya berhasil pula menduduki Semenanjung Jutlandia. Namun karena tidak memiliki armada laut, Senapati von Wallenstein tidak berhasil merebut ibu kota Denmark di Pulau Sjælland. Perundingan damai antarpihak yang berseteru menghasilkan Traktat Lübeck pada 1629, yang berisi pernyataan bahwa Christian IV boleh mempertahankan kekuasaannya atas Denmark jika ia berhenti membantu praja-praja Protestan di Jerman.
Korban jiwa
Angka-angka di bawah ini mencakup jumlah warga sipil yang tewas akibat wabah penyakit, bencana kelaparan, dan lain sebagainya, serta jumlah prajurit yang tewas baik dalam pertempuran maupun akibat pembantaian dan genosida.
Perkiraan terendah | Perkiraan tertinggi | Peristiwa | Lokasi | Sejak | Sampai | Para pihak* | Sifat |
---|---|---|---|---|---|---|---|
3.000.000 | [9] | 11.500.000Perang Tiga Puluh Tahun | Kekaisaran Romawi Suci | 1618 | 1648 | Kaum Protestan (baik Lutheran maupun Kalvinis) lawan umat Katolik | bermula sebagai perang agama; kelak menjadi pertarungan politik Prancis-Habsburg |
2.000.000 | [10] | 4.000.000Perang Agama Prancis | Prancis | 1562 | 1598 | Kaum Protestan (khususnya Kalvinis) lawan umat Katolik | bermula sebagai perang agama, dan nyaris tetap demikian sampai berakhir |
315.000 | 735.000 | Perang Tiga Kerajaan | Britania Raya dan Irlandia | 1639 | 1651 | Kaum Protestan (Anglikan, Kalvinis, berbagai kaum nonkonformis lainnya), umat Katolik terdistribusi dalam berbagai kubu yang saling bertikai | perang saudara, memperjuangkan perkara-perkara hubungan agama-negara dan kebebasan beragama, dengan unsur kebangsaan |
230.000 | 2.000.000 | Perang Delapan Puluh Tahun | Negeri-Negeri Dataran Rendah dalam lingkup wilayah Kekaisaran Romawi Suci | 1568 | 1648 | Kaum Protestan (khususnya Kalvinis) lawan umat Katolik | perang kemerdekaan, dengan unsur keagamaan |
100.000 | 200.000 | Perang Rakyat Jelata Jerman | Kekaisaran Romawi Suci | 1524 | 1525 | Kaum Protestan (khususnya Lutheran dan Anabaptis), umat Katolik lawan kaum Protestan, umat Katolik | campur-baur alasan-alasan ekonomi dan agama, perang antara rakyat jelata dan tuan-tuan tanah Protestan/Katolik |
Kesudahan perang
Konflik-konflik di Kekaisaran Romawi Suci, Prancis, dan Negeri-Negeri Dataran Rendah berakhir dengan hasil yang umumnya positif bagi kaum Protestan, dengan dikeluarkannya traktat-traktat yang menjamin pengakuan, kebebasan, atau keistimewaan bagi mereka. Perang Rakyat Jelata Jerman berakhir dengan kegagalan dan rakyat jelata harus menanggung penindasan dari tuan-tuan tanah mereka, baik yang beragama Protestan maupun yang beragama Katolik, sementara Perang Tiga Kerajaan berakhir dengan kemenangan kaum republik (hasil berbeda-beda bagi masing-masing golongan agama).
Kaum minoritas Huguenot di Prancis nyaris tumpas pada penghujung abad ke-17 ketika Raja Louis XIV mengeluarkan Maklumat Fontainebleau.
Lihat pula
Rujukan
- ^ Van der Horst, Han (2000). Nederland, de vaderlandse geschiedenis van de prehistorie tot nu (dalam bahasa Belanda) (edisi ke-ke-3). Bert Bakker. hlm. 133. ISBN 90-351-2722-6.
- ^ Spaans, J. "Catholicism and Resistance to the Reformation in the Northern Netherlands". In: Benedict, Ph., and others (eds), Reformation, Revolt and Civil War in France and the Netherlands, 1555–1585 (Amsterdam 1999), 149–163).
- ^ Salmon, pp.136-7.
- ^ Jouanna, p.181.
- ^ Jouanna, p.182.
- ^ Jouanna, pp.184-5.
- ^ Ellis, S. "The Tudors and the origins of the modern Irish states: A standing army". In: Bartlett,Thomas, A Military History of Ireland (Cambridge 1996), 125-131).
- ^ MacGregor 1957, hlm. 127
- ^ "The Thirty Years War (1618–48)". Users.erols.com. Diakses tanggal 20 October 2014.
- ^ "Huguenot Religious Wars, Catholic vs. Huguenot (1562–1598)". Users.erols.com. Diakses tanggal 20 October 2014.
- Greengrass, Mark. The European Reformation 1500-1618. Longman, 1998. ISBN 0-582-06174-1
- MacCulloch, Diarmaid. The Reformation: A History. New York: Penguin 2003.