Lompat ke isi

Perang Aceh

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Perang Aceh

Penggambaran seniman tentang Pertempuran Samalanga pada tahun 1878
Tanggal1873–1904
LokasiKesultanan Aceh (sekarang Aceh, Indonesia)
Hasil

Kemenangan Belanda

Perubahan
wilayah
Aceh dianeksasi ke dalam Hindia Belanda
Pihak terlibat

 Belanda

Kesultanan Aceh

Tokoh dan pemimpin

J.H.R. Köhler 
Jan van Swieten
J.L.J.H Pel 
K. van der Heijden (WIA)
H. Demmeni (DOW)
J.J.K. De Moulin 
J.B. van Heutsz[1]
J.C. van der Wijck[1]
Gotfried van Daalen[1]

George Frederik Willem Borel

Sultan Mahmud Syah[3]
Alauddin Muhammad Da'ud Syah II Menyerah[4]
Tuanku Hasyim Banta Muda
Teuku Umar [5]
Cut Nyak Dhien[6]
Teungku Chik di Tiro
Cut Nyak Meutia 

Panglima Polem Menyerah
Kekuatan
3.000 tentara (Ekspedisi Aceh Pertama)[3]
13.000 (Ekspedisi Aceh Kedua)[3]
12.000 tentara KNIL Eropa (1903)[2]
23.000 prajurit KNIL Indonesia[2]
10.000–100.000 pasukan[7]
Korban
37.000 orang terbunuh (termasuk karena kolera)[2] 60.000–70.000 orang terbunuh (termasuk akibat kolera)[2]
10.000 pengungsi[2]

Perang Aceh (bahasa Indonesia: Perang Aceh), juga dikenal sebagai Perang Belanda atau Perang Kafir (1873–1904), adalah konflik militer bersenjata antara Kesultanan Aceh dan Kerajaan Belanda yang dipicu oleh diskusi antara perwakilan Aceh dan Amerika Serikat di Singapura pada masa awal tahun 1873.[8] Perang tersebut merupakan bagian dari serangkaian konflik di akhir abad ke-19 yang mengkonsolidasikan pemerintahan Belanda atas Indonesia modern.

Kampanye ini menimbulkan kontroversi di Belanda karena foto-foto dan laporan mengenai jumlah korban tewas dilaporkan. Pemberontakan berdarah yang terisolasi terus berlanjut hingga akhir tahun 1914[1] dan bentuk perlawanan Aceh yang tidak terlalu kejam terus berlanjut hingga Perang Dunia II dan pendudukan Jepang.

Latar Belakang

Hampir sepanjang abad ke-19, kemerdekaan Aceh telah dijamin oleh Perjanjian Inggris-Belanda tahun 1824. Selama tahun 1820-an, Aceh menjadi kekuatan politik dan komersial regional, memasok separuh lada dunia, sehingga meningkatkan pendapatan dan pengaruh raja-raja feodal setempat.[9] Meningkatnya permintaan lada di Eropa dan Amerika menyebabkan serangkaian pertikaian diplomatik antara Inggris, Prancis, dan Amerika. Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Ibrahim Mansur Syah (1838–1870), Kesultanan Aceh membawa raja-raja daerah di bawah kendalinya dan memperluas wilayah kekuasaannya ke pantai timur.[9] Namun, tren ke arah selatan ini berbenturan dengan ekspansi kolonialisme Belanda ke arah utara di Sumatera.[9]

Setelah pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869 dan perubahan rute pelayaran, Inggris dan Belanda menandatangani Perjanjian Inggris-Belanda di Sumatra yang mengakhiri klaim teritorial Inggris atas Sumatra , memberikan kebebasan kepada Belanda dalam lingkup pengaruhnya di Asia Tenggara Maritim sambil memberikan mereka tanggung jawab untuk memberantas pembajakan.[3] Sebagai imbalannya, Inggris memperoleh kendali atas Emas Belanda Pantai di Afrika dan persamaan hak komersial di Siak.[7] Ambisi teritorial Belanda di Aceh dipicu oleh keinginan untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya, terutama lada hitam dan minyak bumi, serta menghilangkan negara pribumi yang independen. Belanda juga berusaha untuk mengusir kekuatan kolonial saingannya yang mempunyai ambisi di Asia Tenggara, khususnya Inggris dan Perancis.[10]

Operasi tempur

Strategi

Belanda mencoba beberapa strategi selama perang; satu serangan cepat pada tahun 1873 gagal, yang kemudian menyebabkan mereka melakukan blokade laut, upaya rekonsiliasi, konsentrasi dalam barisan benteng, dan akhirnya penahanan pasif. Semua ini tidak banyak membuahkan hasil. Biaya operasinya mencapai 15 hingga 20 juta gulden per tahun, yang hampir membuat pemerintah kolonial bangkrut.[11]

Serangan Belanda pertama

Pada tahun 1873, negosiasi terjadi di Singapura antara perwakilan Kesultanan Aceh dan Konsul Amerika setempat mengenai potensi perjanjian bilateral.[7] Belanda melihat hal ini sebagai pelanggaran terhadap perjanjian sebelumnya dengan Inggris pada tahun 1871 dan menggunakan ini sebagai kesempatan untuk mencaplok Aceh secara militer.[1] Ekspedisi di bawah pimpinan Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler diutus pada tanggal 26 Maret 1873, yang membombardir ibu kota Banda Aceh dan mampu menduduki sebagian besar wilayah pesisir pada bulan April.[7] Itu niat Belanda untuk menyerang dan merebut istana Sultan, yang juga akan berujung pada pendudukan seluruh negeri. Sultan meminta dan mungkin menerima bantuan militer dari Italia dan Inggris di Singapura. Bagaimanapun, tentara Aceh dengan cepat dimodernisasi dan diperbesar dengan jumlah berkisar antara 10.000 hingga 100.000.[7] Karena meremehkan kemampuan militer orang Aceh, Belanda membuat beberapa kesalahan taktis dan mengalami kerugian termasuk kematian Köhler dan 80 tentara.[7] Kekalahan ini menggerogoti moral dan gengsi Belanda.[3]

Setelah memutuskan mundur, Belanda memberlakukan blokade laut terhadap Aceh.[12][13] Dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Aceh, Sultan Mahmud meminta bantuan langsung kepada negara-negara Barat dan Turki, namun tidak membuahkan hasil. Meskipun Konsul Amerika bersimpati, pemerintah Amerika tetap netral. Karena lemahnya posisinya di kancah politik internasional, Kesultanan Utsmaniyah tidak berdaya dan Inggris menolak campur tangan karena hubungannya dengan Belanda. Hanya Perancis yang bersedia menanggapi permohonan Mahmud.[4]

Serangan Belanda kedua

Tentara Melayu di bawah komando Belanda di Sumatera.

Pada bulan November 1873, ekspedisi kedua yang terdiri dari 13.000 tentara dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten dikirim ke Aceh.[8] Invasi tersebut bertepatan dengan wabah kolera yang menewaskan ribuan orang di kedua sisi.[4] Pada bulan Januari 1874, kondisi yang memburuk memaksa Sultan Mahmud Syah dan para pengikutnya meninggalkan Banda Aceh dan mundur ke pedalaman. Sementara itu, pasukan Belanda menduduki ibu kota dan merebut “dalam” (istana sultan) yang secara simbolis penting, membuat Belanda percaya bahwa mereka telah menang. Penjajah Belanda kemudian membubarkan Kesultanan Aceh dan mendeklarasikan Aceh sebagai bagian dari wilayah Hindia Belanda.[4]

Sepeninggal Mahmud karena kolera, masyarakat Aceh memproklamasikan cucu muda Alauddin Ibrahim Mansur Syah, bernama Tuanku Muhammad Daud, sebagai Alauddin Muhammad Da'ud Syah II (memerintah 1874–1903) dan meneruskan perjuangannya di wilayah perbukitan dan hutan selama sepuluh tahun, dengan banyak korban jiwa di kedua belah pihak.[4] Sekitar tahun 1880 strategi Belanda berubah, dan alih-alih melanjutkan perang, mereka kini berkonsentrasi mempertahankan wilayah yang sudah mereka kuasai, yang sebagian besar terbatas pada ibu kota (Banda Aceh modern),[3] dan kota pelabuhan Ulee Lheue. Blokade laut Belanda berhasil memaksa uleebelang atau pemimpin sekuler untuk menandatangani perjanjian yang memperluas kendali Belanda di sepanjang wilayah pesisir.[14] Namun, uleebelang kemudian menggunakan pendapatan mereka yang baru diperoleh kembali untuk membiayai kekuatan perlawanan Aceh.

Intervensi Belanda di Aceh memakan korban jiwa ribuan tentara dan sangat menguras pengeluaran keuangan pemerintah kolonial. Pada tanggal 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial menyatakan perang telah berakhir dan membentuk pemerintahan sipil, namun terus mengeluarkan banyak uang untuk mempertahankan kendali atas wilayah yang didudukinya. Dalam upaya untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat Aceh setempat, Belanda membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman atau Masjid Agung di Banda Aceh sebagai tanda rekonsiliasi.[3]

Siasat Snouck Hurgronje

Christiaan Snouck Hurgronje pada tahun 1930.

Untuk mengalahkan pertahanan dan perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga ahli Dr. Christiaan Snouck Hurgronje yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De Acehers). Dalam buku itu disebutkan strategi bagaimana untuk menaklukkan Aceh.

Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus van Heutsz adalah, supaya golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) dengan pengikutnya dikesampingkan dahulu. Tetap menyerang terus dan menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.

Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronje diterima oleh Van Heutz yang menjadi Gubernur militer dan sipil di Aceh (1898-1904). Kemudian Dr Snouck Hurgronje diangkat sebagai penasihatnya.

Taktik perang

Divisi Marsose pertama pada tahun 1892, Kapten Notten dan Letnan Nolthenius beserta komandan brigade

Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, di mana dibentuk pasukan maréchaussée yang dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macan yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.

Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Teungku Putroe (1902). Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polim dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polim, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polim meletakkan senjata dan menyerah ke Lhokseumawe pada Desember 1903. Setelah Panglima Polim menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polim.

Tentara Melayu di bawah komando Belanda di Sumatra.

Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di bawah pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) di mana 2.922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan.

Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, di mana akhirnya Cut Nya Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang.

Surat perjanjian tanda menyerah

Sultan Muhammad Daud Syah ketika menyerahkan diri pada Belanda pada tahun 20 Januari 1903

Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek (korte verklaring, Traktat Pendek) tentang penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah. Di mana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda, Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri, berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. Perjanjian pendek ini menggantikan perjanjian-perjanjian terdahulu yang rumit dan panjang dengan para pemimpin setempat.

Walau demikian, wilayah Aceh tetap tidak bisa dikuasai Belanda seluruhnya, dikarenakan pada saat itu tetap saja terjadi perlawanan terhadap Belanda meskipun dilakukan oleh sekelompok orang (masyarakat). Hal ini berlanjut sampai Belanda enyah dari Nusantara dan diganti kedatangan penjajah baru yakni Jepang (Nippon).

Tanggapan

  • Ketika perang kolonial Belanda di Aceh hampir memasuki seperempat abad, Letnan Kolonel infantri purnawirawan G.B. Hooijer yang pernah bertugas di Aceh menulis dalam ikhtisar umum bukunya De Krijgsgeschiedenis van Nederlansch Indië van 1811 tot 1894, jilid III (terakhir, setebal 480 halaman), tahun 1895, pada halaman 5 sebagai berikut:
Tidak ada pasukan Diponegoro atau Sentot, baik orang-orang Padri yang fanatik maupun rombongan orang-orang Bali atau massa berkuda orang-orang Bone, seperti yang pernah diperagakan oleh para pejuang Aceh yang begitu berani dan tak takut mati menghadapi serangan, yang begitu besar menaruh kepercayaan pada diri sendiri, yang sedemikian gigih menerima nasibnya, yang cinta kemerdekaan, yang bersikap sedemikian fanatik seolah-olah mereka dilahirkan untuk menjadi gerilyawan bangsanya. Oleh sebab itu perang Belanda di Aceh akan tetap menjadi sumber pelajaran bagi pasukan kita. Dan karena itu pula saya menganggap tepat sekali jika jilid III atau terakhir sejarah perang (Belanda di Hindia Belanda) itu seluruhnya saya peruntukkan guna menguraikan peperangan di Aceh.[15]
  • Namun dari semua pemimpin peperangan kita yang pernah bertempur di setiap pelosok kepulauan kita ini, kita mendengar bahwa tidak ada satu bangsa yang begitu gagah berani dan fanatik dalam peperangan kecuali bangsa Aceh; wanita-wanitanya pun mempunyai keberanian dan kerelaan berkorban yang jauh melebihi wanita-wanita lain.[16]

Referensi

  1. ^ a b c d e f Ibrahim, Alfian. "Aceh and the Perang Sabil." Indonesian Heritage: Early Modern History. Vol. 3, ed. Anthony Reid, Sian Jay and T. Durairajoo. Singapore: Editions Didier Millet, 2001. p. 132–133
  2. ^ a b c d e f Vickers (2005), p. 13
  3. ^ a b c d e f g Ibrahim (2001), p. 132
  4. ^ a b c d e Ricklefs (1993), p. 145
  5. ^ Anthony Reid (2005), p. 336
  6. ^ Anthony Reid (2005), p. 352
  7. ^ a b c d e f Ricklefs (2001), hal. 144
  8. ^ a b Ricklefs (2001), p. 185–88
  9. ^ a b c Ricklefs (1993), hal. 143
  10. ^ Vickers (2005), hal. 10
  11. ^ E.H. Kossmann, The Low Countries 1780–1940 (1978) pp 400–401
  12. ^ Fink (2023), p. 484.
  13. ^ Raven (1988), p. 85.
  14. ^ Fink (2023), hal. 484-486.
  15. ^ Zentgraaf, H.C. 1983. Aceh. Jakarta: Penerbit Beuna. (terjemahan oleh Aboe Bakar)
  16. ^ Idem hal. 63

Lihat pula