Kekaisaran Jepang
Kekaisaran Jepang[12] adalah negara kebangsaan yang bersejarah[e] dan merupakan kekuatan besar yang pernah berdiri di Asia Timur sejak Restorasi Meiji pada tahun 1868 hingga pemberlakuan Konstitusi Jepang pasca-Perang Dunia II dan pembentukan negara Jepang modern.[8] Kekaisaran ini mencakup kepulauan Jepang dan beberapa koloni, protektorat, mandat, dan wilayah dependensi lainnya yang tersebar di Asia-Pasifik.
Di bawah slogan Fukoku Kyohei (富国強兵 , "Makmurkan negara, Perkuat angkatan bersenjata"), dan Shokusan Kōgyō (殖産興業 , "Kembangkan industri"), Jepang mengalami modernisasi yang mencakup periode industrialisasi dan militerisasi selama era Restorasi Meiji dan merupakan modernisasi tercepat dari negara mana pun hingga saat ini. Semua aspek tersebut berkontribusi pada kemunculan Jepang sebagai kekuatan besar dan pendirian sebuah imperium kolonial setelah Jepang mengalami banyak kemenangan di beberapa peperangan dan pemberontakan seperti Perang Tiongkok-Jepang Pertama, Pemberontakan Boxer, Perang Rusia-Jepang, dan Perang Dunia I. Gejolak ekonomi dan politik pada tahun 1920-an, termasuk Depresi Besar, menyebabkan munculnya militerisme, nasionalisme dan totaliterisme, yang akhirnya berpuncak dengan bergabungnya Jepang pada keanggotaan Aliansi Poros dan penaklukan sebagian besar Asia-Pasifik pada Perang Dunia II.[15]
Angkatan bersenjata Jepang pada awalnya mencapai keberhasilan militer skala besar selama Perang Tiongkok-Jepang Kedua (1937–1945) dan Perang Pasifik. Namun, mulai tahun 1942, terutama setelah Pertempuran Midway dan Guadalkanal, Jepang dipaksa untuk mengambil sikap defensif. Amerika Serikat memberlakukan strategi militer lompat pulau dan Jepang perlahan-lahan kehilangan semua wilayah yang telah diperolehnya, dan akhirnya, Amerika Serikat merebut Iwo Jima dan Pulau Okinawa, menyisakan daratan Jepang yang sepenuhnya tidak terlindungi. Pasukan AS telah merencanakan sebuah invasi terhadap pulau utama Jepang, namun, operasi ini batal setelah Jepang menyerah akibat pengeboman atom Hiroshima dan Nagasaki yang hampir bersamaan dengan pernyataan perang Uni Soviet terhadap Jepang pada 9 Agustus 1945. Kemudian, Soviet melancarkan invasi terhadap Manchuria yang saat itu masih dikuasai Jepang dan juga wilayah lainnya. Perang Pasifik secara resmi berakhir pada 2 September 1945 dan kepulauan Jepang diduduki oleh Sekutu. Pada tahun 1947, dengan keterlibatan Amerika Serikat, konstitusi baru diberlakukan yang secara resmi mengakhiri Kekaisaran Jepang, dan Angkatan Darat Kekaisaran Jepang diganti dengan Pasukan Bela Diri Jepang. Pada 28 April 1952, sesuai dengan Perjanjian San Francisco, pendudukan Sekutu atas Jepang resmi berakhir.
Kekaisaran Jepang memiliki tiga kaisar, meskipun berakhir di tengah-tengah masa pemerintahan Shōwa. Tiga kaisar yang diberi nama anumerta tersebut adalah: Meiji, Taisho, dan Shōwa.
Terminologi
[sunting | sunting sumber]Meskipun kekaisaran ini sering disebut sebagai "Kekaisaran Jepang", sebenarnya nama resminya adalah Dai Nippon Teikoku, yang berasal dari kata Dai (
Berdasarkan penulisan huruf Kanji dan benderanya, terminologi ini juga disebut Kekaisaran Matahari Terbit.
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Latar Belakang
[sunting | sunting sumber]Setelah dua abad, kebijakan pengasingan, atau sakoku, di bawah pemerintahan shōgun periode Edo berakhir ketika negara dipaksa terbuka untuk perdagangan oleh Konvensi Kanagawa yang dibuat ketika Matthew C. Perry tiba di Jepang pada tahun 1854. Jadi, periode yang dikenal sebagai Bakumatsu dimulai.
Tahun-tahun berikutnya terjadi peningkatan perdagangan dan interaksi luar negeri; perjanjian komersial antara Keshogunan Tokugawa dan negara-negara Barat ditandatangani. Sebagian besar karena persyaratan yang mempermalukan dari perjanjian yang tidak setara tersebut, keshogunan segera menghadapi permusuhan internal, yang terwujud menjadi gerakan xenofobia radikal, sonnō jōi (secara harfiah berarti "Hormati Kaisar, usir orang barbar").[16]
Pada bulan Maret 1863, Kaisar mengeluarkan "perintah untuk mengusir orang barbar atau jōi chokumei". Meskipun keshogunan tidak berniat menegakkan perintah tersebut, namun hal itu mengilhami serangan terhadap keshogunan itu sendiri dan terhadap orang asing di Jepang. Insiden Namamugi pada tahun 1862 menyebabkan pembunuhan seorang kebangsaan Inggris, Charles Lennox Richardson, oleh sekelompok samurai dari Satsuma. Inggris menuntut reparasi tetapi ditolak. Saat mencoba untuk mendapatkan pembayaran, Angkatan Laut Britania Raya ditembaki oleh baterai pesisir dekat kota Kagoshima. Angkatan Laut Britania Raya pun menanggapi serangan itu dengan membombardir pelabuhan Kagoshima pada tahun 1863. Pemerintah Tokugawa setuju untuk membayar ganti rugi atas kematian Richardson.[17] Penembakan kapal asing di Shimonoseki dan serangan terhadap properti asing menyebabkan pengeboman Shimonoseki oleh pasukan multinasional pada tahun 1864.[18] Selain itu, Klan Chōshū juga meluncurkan kudeta gagal yang dikenal sebagai insiden Kinmon. Aliansi Satsuma-Chōshū didirikan pada tahun 1866 untuk menggabungkan upaya mereka menggulingkan bakufu Tokugawa. Pada awal tahun 1867, Kaisar Kōmei meninggal dunia akibat cacar dan digantikan oleh putranya, Putra Mahkota Mutsuhito (Meiji).
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ "Explore Japan National Flag and National Anthem". Diakses tanggal January 29, 2017.
- ^ "National Symbols". Diarsipkan dari versi asli tanggal February 2, 2017. Diakses tanggal January 29, 2017.
- ^ Schellinger and Salkin, ed. (1996). "Kyoto". International Dictionary of Historic Places: Asia and Oceania. UK: Routledge. hlm. 515ff. ISBN 9781884964046.
- ^ Josephson, Jason Ānanda (2012). The Invention of Religion in Japan. University of Chicago Press. hlm. 133. ISBN 978-0226412344.
- ^ Thomas, Jolyon Baraka (2014). Japan's Preoccupation with Religious Freedom (Tesis Ph.D.). Princeton University. p. 76. http://arks.princeton.edu/ark:/88435/dsp01xp68kg357.
- ^ Jansen 2002, hlm. 669.
- ^ a b Hunter 1984, hlm. 31–32.
- ^ a b c "Chronological table 5 December 1, 1946 – June 23, 1947". National Diet Library. Diakses tanggal September 30, 2010.
- ^ Jansen 2002, hlm. 334, "Restorasi Pemerintahan Kekaisaran dapat ditetapkan pada tanggal 3 Januari, 1868."
- ^ Harrison, Mark (2000). The Economics of World War II: Six Great Powers in International Comparison. Cambridge University Press. hlm. 3. ISBN 9780521785037. Diakses tanggal October 2, 2016.
- ^ Shillony, Ben-Ami (2013). Ben-Ami Shillony – Collected Writings. Routledge. hlm. 83. ISBN 978-1134252305.
- ^ Jepang: 大日本帝国 Hepburn: Dai Nippon Teikoku[11]
- ^ Tsutsui 2009, hlm. 234.
- ^ Tsutsui 2009, hlm. 433.
- ^ Townsend, Susan (July 17, 2018). "Japan's Quest for Empire 1931–1945". BBC.
- ^ Hagiwara 2004, hlm. 34.
- ^ Jansen 2002, hlm. 314–315.
- ^ Hagiwara 2004, hlm. 35.
Catatan
[sunting | sunting sumber]- ^ Modified version used in 1880–1945.
- ^ Karafuto (3) di inkorporasikan kedalam naichi pada tahun 1943
- ^ Dari tahun 1945 - 1947 wilayah kekaisaran jepang menyusut hanya sebatas naichi
- ^ Although the Empire of Japan officially had no state religion,[4][5] Shinto played an important part for the Japanese state. Marius Jansen states: "The Meiji government had from the first incorporated, and in a sense created, Shinto, and utilized its tales of the divine origin of the ruling house as the core of its ritual addressed to ancestors 'of ages past'. As the Japanese empire grew the affirmation of a divine mission for the Japanese race was emphasized more strongly. Shinto was imposed on colonial lands in Taiwan and Korea, and public funds were utilized to build and maintain new shrines there. Shinto priests were attached to army units as chaplains, and the cult of war dead, enshrined at the Yasukuni Jinja in Tokyo, took on ever greater proportions as their number grew."[6]
- ^ "During the second half of the nineteenth century, Japan's nation-builders forged the Meiji nation-state out of an older, heterogeneous Tokugawa realm, integrating semi-autonomous domain states into a unified political community."[13] "Rather than restore an ancient (and probably imaginary) center-periphery order, the Meiji Restoration hastened the creation of a new and unambiguously centralized and modern nation-state. Within a few decades of the official beginning of the nation-building project, Tokyo had become the political and economic capital of a state that replaced semi-autonomous domains with newly created prefectures subordinate to central laws and centrally appointed administrators."[14]