Bahasa Jawa
Penyuntingan Artikel oleh pengguna baru atau anonim untuk saat ini tidak diizinkan. Lihat kebijakan pelindungan dan log pelindungan untuk informasi selengkapnya. Jika Anda tidak dapat menyunting Artikel ini dan Anda ingin melakukannya, Anda dapat memohon permintaan penyuntingan, diskusikan perubahan yang ingin dilakukan di halaman pembicaraan, memohon untuk melepaskan pelindungan, masuk, atau buatlah sebuah akun. |
Halaman ini sedang dipersiapkan dan dikembangkan sehingga mungkin terjadi perubahan besar. Anda dapat membantu dalam penyuntingan halaman ini. Halaman ini terakhir disunting oleh Labdajiwa (Kontrib • Log) 1626 hari 1079 menit lalu. Jika Anda melihat halaman ini tidak disunting dalam beberapa hari, mohon hapus templat ini. |
Bagian dari seri tentang |
Budaya Indonesia |
---|
Bahasa Jawa (Hanacaraka: ꦧꦱꦗꦮ Pegon: باسا جاوا) adalah bahasa yang digunakan penduduk bersuku bangsa Jawa di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Selain itu, bahasa Jawa juga digunakan oleh penduduk yang tinggal di beberapa daerah lain seperti Banten (terutama Serang, Cilegon, dan Tangerang) serta Jawa Barat (terutama kawasan pantai utara yang meliputi Indramayu, Karawang, dan Subang.
Klasifikasi
Bahasa Jawa merupakan bagian dari subkelompok Melayu-Polinesia dalam rumpun bahasa Austronesia, walaupun hubungannya dengan bahasa-bahasa Melayu-Polinesia yang lain sulit ditentukan. Berdasarkan kesamaan kosa kata, Isidore Dyen pertama kali mengelompokkan bahasa Jawa ke dalam kelompok yang ia sebut "Javo-Sumatra Hesion", yang juga mencakup bahasa Sunda dan bahasa-bahasa Melayik.[a][6][7] Kelompok ini juga disebut "Melayu-Jawanik" oleh ahli bahasa Berndt Nothofer yang pertama kali berusaha merekonstuksi leluhur dari bahasa-bahasa dalam kelompok hipotetis ini dengan data yang saat itu hanya terbatas pada empat bahasa saja (bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan Melayu).[8]
Pengelompokan Melayu-Jawanik telah dikritisi dan ditolak oleh berbagai ahli bahasa.[9][10] Ahli linguistik sejarah Austronesia K. Alexander Adelaar tidak memasukkan bahasa Jawa dalam subkelompok Melayu-Sumbawa (yang mencakup bahasa-bahasa Melayik, Sunda, dan Madura) yang diusulkannya pada tahun 2005.[10][11] Ahli linguistik sejarah Austronesia yang lain, Robert Blust, juga tidak memasukkan bahasa Jawa dalam subkelompok Borneo Utara Raya yang ia usulkan sebagai alternatif dari hipotesis Melayu-Sumbawa pada tahun 2010. Meski begitu, Blust juga mengemukakan kemungkinan bahwa subkelompok Borneo Utara Raya berkerabat dekat dengan bahasa-bahasa Indonesia Barat lainnya, termasuk bahasa Jawa.[12] Usulan Blust ini telah dikembangkan secara lebih terperinci oleh ahli bahasa Alexander Smith yang memasukkan bahasa Jawa ke dalam subkelompok Indonesia Barat (yang juga mencakup bahasa-bahasa Borneo Utara Raya) berdasarkan bukti leksikal dan fonologis.[13]
Sejarah
Secara garis besar, perkembangan bahasa Jawa dapat dibagi ke dalam dua fase bahasa yang berbeda, yaitu 1) bahasa Jawa Kuno dan 2) bahasa Jawa Baru.[11][14]
Bahasa Jawa Kuno
Bentuk terawal bahasa Jawa Kuno yang terlestarikan dalam tulisan, yaitu Prasasti Sukabumi, berasal dari tahun 804 Masehi.[15] Sejak abad ke-9 hingga abad ke-15, ragam bahasa ini umum digunakan di pulau Jawa. Bahasa Jawa Kuno lazimnya dituliskan dalam bentuk puisi yang berbait. Ragam ini terkadang disebut juga dengan istilah kawi 'bahasa penyair', walaupun istilah ini juga merujuk pada unsur-unsur arkais dalam ragam tulisan bahasa Jawa Baru.[11] Sistem tulisan yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa Kuno merupakan adaptasi dari aksara Pallawa yang berasal dari India.[15] Sebanyak hampir 50% dari keseluruhan kosa kata dalam tulisan-tulisan berbahasa Jawa Kuno berakar dari bahasa Sansekerta, walaupun bahasa Jawa Kuno juga memiliki kata serapan dari bahasa-bahasa lain di Nusantara.[11][15]
Ragam bahasa Jawa Kuno yang digunakan pada beberapa naskah dari abad ke-14 dan seterusnya terkadang disebut juga "bahasa Jawa Pertengahan". Walaupun ragam bahasa Jawa Kuno dan Jawa Pertengahan tidak lagi digunakan secara luas di Jawa setelah abad ke-15, kedua ragam tersebut masih lazim digunakan di Bali untuk keperluan ritual keagamaan.[11][16]
Bahasa Jawa Baru
Bahasa Jawa Baru tumbuh menjadi ragam literer utama bahasa Jawa sejak abad ke-16. Peralihan bahasa ini terjadi secara bersamaan dengan datangnya pengaruh Islam.[14] Pada awalnya, ragam baku bahasa Jawa Baru didasarkan pada ragam bahasa yang dituturkan di wilayah pantai utara Jawa yang masyarakatnya pada saat itu sudah beralih menjadi Islam. Karya tulis dalam ragam bahasa ini banyak yang berkaitan dengan keislaman, dan sebagiannya merupakan terjemahan dari bahasa Melayu.[17] Bahasa Jawa Baru juga mengadopsi huruf Arab dan menyesuaikannya menjadi huruf Pegon.[14][17]
Kebangkitan Mataram menyebabkan ragam tulisan baku bahasa Jawa beralih dari wilayah pesisir ke pedalaman. Ragam tulisan inilah yang kemudian dilestarikan oleh penulis-penulis Surakarta dan Yogyakarta, dan menjadi dasar bagi ragam baku bahasa Jawa masa kini.[17] Perkembangan bahasa lainnya yang diasosiasikan dengan kebangkitan Mataram pada abad ke-17 adalah pembedaan antara tingkat tutur ngoko dan krama.[18] Pembedaan tingkat tutur ini tidak dikenal dalam bahasa Jawa Kuno.[17][18]
Buku-buku cetak dalam bahasa Jawa mulai muncul sejak tahun 1830-an, awalnya dalam aksara Jawa, walaupun kemudian alfabet Latin juga mulai digunakan. Sejak pertengahan abad ke-19, bahasa Jawa mulai digunakan dalam novel, cerita pendek, dan puisi bebas. Kini, bahasa Jawa digunakan dalam berbagai media, mulai dari buku hingga acara televisi. Ragam bahasa Jawa Baru yang digunakan sejak abad ke-20 hingga sekarang terkadang disebut pula "bahasa Jawa Modern".[17]
Demografi dan persebaran
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Fonologi
Bahasa Jawa memiliki 23–25 fonem konsonan dan 6–8 fonem vokal.[19][20][21] Dialek-dialek bahasa Jawa memiliki kekhasan masing-masing dalam hal fonologi.[22]
Vokal
Terdapat perbedaan pendapat mengenai jumlah fonem vokal dalam bahasa Jawa. Menurut ahli bahasa Jawa E. M. Uhlenbeck, bahasa Jawa memiliki enam fonem vokal yang masing-masingnya memiliki dua variasi pengucapan, kecuali fonem pepet /ə/.[23] Pendapat ini disetujui oleh beberapa ahli bahasa Jawa lainnya. Namun, analisis alternatif dari beberapa ahli bahasa menyimpulkan bahwa bahasa Jawa memiliki dua fonem tambahan, yaitu /ɛ/ dan /ɔ/ yang dianggap sebagai fonem mandiri, terpisah dari /e/ dan /o/.[20][24]
Depan | Madya | Belakang | |
---|---|---|---|
Tertutup | i | u | |
Semitertutup | e | o | |
Semiterbuka | (ɛ) | ə | (ɔ) |
Terbuka | a |
Mengikuti analisis enam vokal, fonem-fonem di atas memiliki alofon sebagai berikut:
- Fonem /i/ memiliki dua alofon, yaitu [i] yang umumnya muncul dalam suku kata terbuka, dan [ɪ] dalam suku kata tertutup.[26]
mari [mari] 'sembuh' wit [wɪt] 'bibit'
- Fonem /u/ memiliki dua alofon, yaitu [u] yang umumnya muncul dalam suku kata terbuka, dan [ʊ] dalam suku kata tertutup.[27]
kuru [kuru] 'kurus' mung [mʊŋ] 'hanya'
- Fonem /e/ memiliki dua alofon, yaitu [e] dan [ɛ] yang dapat muncul baik dalam suku kata terbuka maupun tertutup.[28] Dalam suku kata terbuka, /e/ hanya dapat direalisasikan sebagai [ɛ] jika suku kata tersebut diikuti oleh 1) suku kata terbuka dengan vokal [i] atau [u], 2) suku kata dengan vokal identik, atau 3) suku kata yang memiliki vokal [ə].[7]
saté [sate] 'satai' mèri [mɛri] 'iri' kalèn [kalɛn] 'selokan'
- Fonem /o/ memiliki dua alofon, yaitu [o] yang umumnya muncul dalam suku kata terbuka, dan [ɔ] yang dapat muncul baik dalam suku kata terbuka maupun tertutup.[29] Dalam suku kata terbuka, /o/ hanya dapat direalisasikan sebagai [ɔ] jika suku kata tersebut diikuti oleh 1) suku kata terbuka dengan vokal [i] atau [u], 2) suku kata dengan vokal identik, atau 3) suku kata yang memiliki vokal [ə].[7]
loro [loro] 'dua' kori [kɔri] 'pintu gerbang' sorot [sorɔt] 'cahaya'
- Fonem /a/ memiliki dua alofon, yaitu [a] yang umumnya muncul dalam suku kata penultima dan antepenultima[b] (baik yang terbuka maupun yang tertutup), serta [ɔ] yang dapat muncul dalam suku kata terbuka.[30] Dalam suku kata terbuka, /a/ hanya dapat direalisasikan sebagai [ɔ] jika suku kata tersebut berada di akhir kata, atau jika suku kata tersebut merupakan suku kata penultima dari kata yang berakhir dengan /a/.[7]
bali [bʰali] 'pulang' kaloka [kalokɔ] 'termasyhur' kaya [kɔyɔ] 'seperti'
- Fonem /ə/ selalu diucapkan sebagai [ə].[31]
metu [mətu] 'keluar' pelem [pələm] 'mangga'
Konsonan
Bahasa Jawa memiliki 21 fonem konsonan jika hanya menghitung kosa kata "asli". Sekitar 2–4 fonem konsonan tambahan dapat ditemui dalam kata-kata pinjaman. Dalam tabel di bawah ini, fonem dalam tanda kurung menandakan fonem pinjaman.[32][33]
Labial | Dental/alveolar[c] | Retrofleks | Palatal | Velar | Glotal | |
---|---|---|---|---|---|---|
Sengau | m | n | ɲ | ŋ | ||
Letup/afrikat | p b | t d | ʈ ɖ[d] | tʃ dʒ | k ɡ | ʔ |
Frikatif[e] | (f) | s (z) | (ʃ) | (x) | h | |
Likuida | l r | |||||
Semivokal | w | j |
Kecuali dalam kluster sengau homorganik[f], fonem /b/, /d/, /ɖ/, /dʒ/, dan /ɡ/ sebelum vokal cenderung diucapkan dengan aspirasi dan hampir tanpa menggetarkan pita suara, sehingga mendekati bunyi [pʰ], [tʰ], [ʈʰ], [tʃʰ], dan [kʰ].[24] Bunyi hambat pada akhir suku kata umumnya diucapkan tanpa letupan (/p/ diucapkan [p̚], /t/ diucapkan [t̚], /k/ diucapkan [k̚], dan seterusnya).[24][35]
Fonotaktik
Struktur suku kata paling umum dalam bahasa Jawa adalah V, KV, VK, dan KVK. Suku kata dapat pula diawali dengan gabungan konsonan, yang umumnya terbagi menjadi tiga jenis: 1) gabungan konsonan homorganik yang terdiri dari bunyi sengau ditambah bunyi letup bersuara (NKV, NKVK), 2) gabungan konsonan yang terdiri dari bunyi letup ditambah bunyi likuida atau semivokal (KKV, KKVK), dan 3) gabungan konsonan sengau homorganik yang diikuti dengan bunyi likuida dan semivokal (NKKV, NKKVK).[24][36]
V : ka-é 'itu' KV : gu-la 'gula' VK : pa-it 'pahit' KVK : ku-lon 'barat' KKV (termasuk NKV) : bla-bag 'papan', mbo-ten 'tidak' KKVK (termasuk NKVK) : prap-ta 'datang' NKKVK : ngglam-byar 'tidak fokus'
Deret konsonan antarvokal umumnya terdiri dari konsonan sengau + letup homorganik (seperti [mp], [mb], [ɲtʃ], dan seterusnya), atau [ŋs]. Bunyi /l/, /r/, dan /j/ dapat pula ditambahkan di akhir deret konsonan semacam ini. Contoh deret konsonan semacam ini adalah wonten 'ada', bangsa 'bangsa', dan santri 'santri, Muslim yang taat'. Dalam bahasa Jawa, suku kata sebelum deret konsonan semacam ini secara konvensional dianggap sebagai suku kata terbuka, sebab bunyi /a/ dalam suku kata seperti ini akan mengalami pembulatan. Kata tampa 'terima', misalnya, diucapkan sebagai [tɔmpɔ]. Bandingkan dengan kata tanpa 'tanpa' yang diucapkan sebagai [tanpɔ].[37]
Sebagian besar (85%) morfem dalam bahasa Jawa terdiri dari 2 suku kata; morfem sisanya memiliki satu, tiga, atau empat suku kata. Penutur bahasa Jawa memiliki kecenderungan yang kuat untuk mengubah morfem dengan satu suku kata menjadi morfem dengan dua suku kata. Morfem dengan empat suku kata kadang pula dianalisis sebagai gabungan dua morfem yang masing-masingnya memiliki dua suku kata.[24]
Sistem penulisan
Alfabet Latin
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Aksara Jawa
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Abjad Pegon
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Tata bahasa
Pronomina persona
Bahasa Jawa tidak memiliki pronomina persona khusus untuk menyatakan jamak kecuali kata kita[38] yang kemungkinan diserap dari bahasa Indonesia.[39][40] Penjamakan kata ganti dapat diabaikan atau dinyatakan dengan menggunakan frasa semisal aku kabèh 'kami', awaké dhéwé 'kita', dhèwèké kabèh 'mereka' dan semacamnya.[39]
Glos | Bentuk bebas | Proklitis | Enklitis | |||
---|---|---|---|---|---|---|
Ngoko | Madya | Krama | Krama inggil/ andhap | |||
1SG, 1PL.EXCL 'aku, saya, kami' |
aku | – | kula | dalem | tak=, dak= | =ku |
1PL.INCL 'kita' | kita | – | – | – | – | – |
2SG, 2PL 'kamu, Anda, kalian' |
kowé | samang | sampéyan | panjenengan | ko=, kok= | =mu |
3SG, 3PL 'dia, ia, beliau, mereka' |
dhèwèké[g] | – | piyambakipun | panjenengané, panjenenganipun[h] |
di= | =(n)é, =(n)ipun |
Pronomina persona dalam bahasa Jawa, terutama untuk persona kedua dan ketiga, lebih sering digantikan dengan nomina atau gelar tertentu.[40][42] Selain pronomina yang dijabarkan di dalam tabel di atas, bahasa Jawa masih memiliki beragam pronomina lain yang penggunaannya bervariasi tergantung dialek atau tingkat tutur.[43]
Demonstrativa
Demonstrativa atau kata tunjuk dalam bahasa Jawa adalah sebagai berikut:[44][45]
proksimal | medial | distal | |
---|---|---|---|
netral | iki, kiyi, kiyé 'ini' | iku, kuwi, kuwé 'itu' | (ika), kaé 'itu' |
lokal | kéné 'sini' | kono 'situ' | kana 'sana' |
arah | mréné, réné 'ke sini' | mrono, rono 'ke situ' | mrana, rana 'ke sana' |
modal | mengkéné, ngéné 'begini' | mengkono, ngono 'begitu' | mengkana, ngana 'begitu' |
kuantitatif | seméné 'sekian ini' | semono 'sekian itu' | semana 'sekian itu' |
temporal | sepréné 'hingga saat ini' | – | seprana 'hingga saat itu' |
Kata iki dan iku dapat digunakan baik dalam tulisan maupun percakapan. Bentuk kiyi, kiyé, kuwi, dan kuwé utamanya digunakan dalam percakapan sehari-hari. Bentuk ika hanya dipakai dalam tembang. Bentuk madya dari iki/kiyi/kiyé, iku/kuwi/kuwé dan kaé adalah niki, niku, dan nika. Ketiga jenis demonstrativa ini memiliki bentuk krama yang sama, yaitu punika atau menika, walaupun dalam beberapa kasus, kata mekaten atau ngaten juga digunakan sebagai padanan krama dari kaé.[46][47]
Numeralia
Dalam bahasa Jawa, numeralia atau angka umumnya diletakkan setelah nomina.[48][49]
wong siji 'satu orang' gelas pitu 'tujuh gelas' candhi sèwu 'seribu candi'
Numeralia diletakkan sebelum nomina jika nomina tersebut merupakan penunjuk satuan ukuran atau satuan bilangan. Numeralia dalam posisi ini akan mendapatkan pengikat nasal -ng jika berakhir dengan bunyi vokal, atau -ang jika berakhir dengan konsonan non-sengau. Satu-satunya pengecualian adalah numeralia siji 'satu' yang diganti dengan imbuhan sa-/se-/s- dalam konteks ini.[48][49]
limang piring 'lima piring' patang pethi 'empat peti' sa-genthong 'satu tempayan' se-gelas 'segelas' s-atus rupiyah 'seratus rupiah'
Nomina
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Verba
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Kalimat
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Sastra
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Ragam
Geografis
Bahasa Jawa sangat beragam, dan keragaman ini masih terpelihara sampai sekarang, baik karena dituturkan maupun melalui dokumentasi tertulis. Dialek geografi, dialek temporal serta register dalam bahasa Jawa sangat kaya sehingga seringkali menyulitkan orang yang mempelajarinya.
Klasifikasi berdasarkan dialek geografi mengacu kepada pendapat E.M. Uhlenbeck (1964)[50]. Peneliti lain seperti W.J.S. Poerwadarminta dan Hatley memiliki pendapat yang berbeda.[butuh rujukan]
- Kelompok Barat
- dialek Banten
- dialek Indramayu, (Jawa Barat (Kabupaten Indramayu, sebagian utara Kabupaten Subang dan Karawang))
- dialek Tegal (sebagian barat Jawa Tengah (Kabupaten Tegal, Pemalang, Brebes, dan Kota Tegal))
- dialek Banyumasan (sebagian barat laut Jawa Tengah (seluruh Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, dan Cilacap))
- dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)
- Kelompok Tengah
- dialek Pekalongan (Jawa Tengah (Kabupaten Pekalongan, Batang, dan Kota Pekalongan))
- dialek Kedu (Jawa Tengah bagian tengah (eks-Keresidenan Kedu) (Kabupaten Magelang, Wonosobo, Temanggung, Purworejo, Kebumen, dan Kota Magelang))
- dialek Bagelan (Jawa Tengah (Bagelen, Purworejo))
- dialek Semarang (Jawa Tengah (Semarang Metro (Kabupaten Semarang, Demak, Kendal, dan Kota Semarang dan Salatiga))
- dialek Pantai Utara Timur (sebagian timur laut Jawa Tengah (eks-Keresidenan Pati) (Kabupaten Pati, Rembang, Jepara, Kudus, Rembang) dan sebagian barat daya Jawa Timur (Kabupaten Bojonegoro, Tuban))
- dialek Blora (sebagian timur Jawa Tengah (eks-Keresidenan Pati) (Kabupaten Blora, Grobogan) dan Jawa Timur (sebagian barat Kabupaten Bojonegoro))
- dialek Mataram (D.I. Yogyakarta dan sebagian tenggara Jawa Tengah (eks-Keresidenan Surakarta) (Kabupaten Boyolali, Klaten, Sragen, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, dan Kota Surakarta))
- dialek Madiun (sebagian barat dan barat laut Jawa Timur (eks-Keresidenan Madiun) (Kabupaten Madiun, Magetan, Ngawi, Pacitan, Ponorogo, Kediri, Blitar, Trenggalek, Nganjuk, Tulungagung, dan Kota Madiun, Blitar, dan Kediri))
Kelompok kedua ini dikenal sebagai bahasa Jawa Tengahan. Dialek Mataram (Surakarta dan Yogyakarta) menjadi acuan baku bagi pemakaian resmi bahasa Jawa (bahasa Jawa Baku).
- Kelompok Timur
- dialek Arekan (Jawa Timur (Surabaya Metro (Kota Surabaya dan Mojokerto, Kabupaten Lamongan, Mojokerto, Sidoarjo, dan Gresik), Malang Raya (Kota Batu, Malang, Pasuruan, dan Kabupaten Malang dan Pasuruan) dan sebagian besar Tapal Kuda (Kabupaten Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso, dan Kota Probolinggo))
- dialek Jombang (Jawa Timur (Kabupaten Jombang, Nganjuk))
- dialek Tengger (Jawa Timur (wilayah sekitar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru))
- dialek Banyuwangi (Jawa Timur (Kabupaten Banyuwangi))
Kelompok ketiga ini dikenal sebagai bahasa Jawa Wetanan (Timur).
Selain dialek-dialek di tanah asal, dikenal pula dialek-dialek yang dituturkan oleh orang Jawa diaspora, seperti di Sumatra Utara, Lampung, Suriname, Kaledonia Baru, dan Curaçao.
Bahasa Jawa Suriname
Bahasa Jawa Suriname merupakan ragam atau dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Suriname dan oleh komunitas Jawa Suriname di Belanda. Jumlah penuturnya kurang lebih ada 65.000 jiwa di Suriname dan 30.000 jiwa di Belanda. Orang Jawa Suriname merupakan keturunan kuli kontrak yang didatangkan dari Tanah Jawa dan sekitarnya. Di Suriname, orang Indonesia tersebar di beberapa tempat dan kampung yang mudah dikenali karena Kampung mereka masih menggunakan nama-nama dalam bahasa Indonesia, misalnya seperti Desa Tamansari, Desa Tamanrejo, dan lain-lain semacam itu. Untuk mengingat akan tanah airnya Indonesia, selain dengan menggunakan nama pemukiman mereka dengan Bahasa Indonesia, bahasa penutur yang (sering) digunakan adalah Bahasa Jawa.
Pada Tahun 1990 sekitar 34,2% Penduduk Suriname atau 143.640 orang keturunan asal Indonesia ( etnis jawa ) dan merupakan salah satu etnis terbesar di Suriname saat itu. Namun seiring dengan perkembangan jaman banyak di antara mereka yang pindah mengikuti keluarga dan bermukim di Belanda. Anehnya, walau mereka pada umumnya belum pernah melihat Indonesia, mereka sangat fasih dalam berbahasa Jawa yang digunakan sehari-hari dalam pergaulan antara sesama etnis Jawa.
Bukan di Suriname saja bahasa Jawa digunakan oleh masyarakat yang berasal dari Indonesia, tetapi juga di Belanda. Bahkan, dari sebuah catatan menyebutkan lebih-kurang 65 ribu warga negara Suriname etnis Jawa dan tiga puluh ribu warga Negara Belanda beretnis Jawa menggunakan Bahasa Jawa dalam bersosialisasi dengan sesama mereka dalam pergaulan sosial di tengah-tengah masyarakatnya.
Di Suriname hanya terdapat satu dialek Jawa. Namun, adanya varian-varian kata menunjukkan bahwa pada masa lalu para migran Jawa itu menuturkan sejumlah dialek yang berbeda. Di Suriname juga pernah ada penutur bahasa Banyumasan (ngapak-ngapak). Sayangnya, bahasa ini dianggap tidak baik dan penuturnya sering dihina. Akibatnya, keturunan mereka tak lagi mempelajari dan menuturkan bahasa Banyumasan.
Kosakata bahasa Jawa di Suriname banyak dipengaruhi oleh bahasa Belanda dan Sranan Tongo. Meskipun demikian, kedua bahasa tersebut tak memengaruhi fonologi dan tata bahasa. Akan tetapi orang Jawa di Suriname tidak bisa berbahasa Indonesia karena sejak Belanda mendatangkan orang jawa untuk menjadi kuli kontrak, ketika itu orang asli Jawa dahulu hanya bisa berbahasa Jawa saja. Kata-kata Sranan Tongo yang sudah diserap malah ada yang memiliki bentuk bahasa krama.
Fonologi bahasa Jawa di Suriname tak berbeda dengan bahasa Jawa baku di Tanah Jawa. Fonologi dialek Kedu yang menjadi leluhur bahasa Jawa Suriname tidak berbeda dengan bahasa Jawa baku. Namun terdapat fenomena baru dalam bahasa Jawa Suriname, yakni perbedaan antara fonem dental dan retrofleks (/t/ dan /d/ vs. /ṭ/ dan /ḍ/) semakin hilang.
Bahasa Jawa Suriname memiliki cara penulisan yang berbeda dengan bahasa Jawa di Pulau Jawa. Pada tahun 1986, bahasa Jawa Suriname mendapatkan cara pengejaan baku. Tabel di bawah ini menunjukkan perbedaan antara sistem Belanda sebelum PD II dengan ejaan Pusat Bahasa di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dalam bahasa Jawa Suriname, terdapat juga basa krama (bahasa halus), tetapi tak lagi serupa dengan bahasa Jawa di Jawa. Bahkan generasi mudanya sudah banyak yang tak bisa menuturkan basa krama. Terdapat tiga ragam bahasa Jawa di Suriname, yakni ngoko, krama, dan krama napis. Krama di Jawa adalah madya, krama napis adalah krama, dan krama adalah inggil.
Sejak tahun 2000, dibuka kursus bahasa Indonesia dan bahasa Jawa untuk warga Suriname. Bertempat di KBRI Paramaribo, pesertanya memang tidak banyak dan masih didominasi orang tua. Agar kemampuan berbahasa yang diperoleh dari kursus tidak hilang begitu saja, dibentuk Ikatan Alumni Kursus Bahasa Jawa (IKA-KBJ) dan Ikatan Alumni Kursus Bahasa Indonesia (IKA-KBI). Secara berkala, alumni berkumpul untuk berbicara dalam bahasa Jawa dan Indonesia.
Dari kursus itulah mereka menguasai bahasa Indonesia serta mengerti tata bahasa Jawa sesuai dengan tatanan yang berlaku di tempat asalnya. Selama ini penggunakan ejaan Belanda untuk menulis kosakata bahasa Jawa marak digunakan oleh masyarakat suku Jawa di Suriname. Kemampuan berbahasa Jawa dan Indonesia itu penting bagi warga keturunan Jawa di Suriname. Meski bukan berkebangsaan Indonesia, mereka tetaplah manusia Jawa. "Manusia Jawa itu punya identitas, salah satunya bahasa Jawa. Maka agar tidak kehilangan identitas, mereka harus menguasai bahasa Jawa."
Tingkatan
Bahasa Jawa mengenal undhak-undhuk basa dan menjadi bagian integral dalam tata krama (etiket) masyarakat Jawa dalam berbahasa. Dialek Surakarta biasanya menjadi rujukan dalam hal ini. Bahasa Jawa bukan satu-satunya bahasa yang mengenal hal ini karena beberapa bahasa Austronesia lain dan bahasa-bahasa Asia Timur seperti bahasa Korea dan bahasa Jepang juga mengenal hal semacam ini. Dalam sosiolinguistik, undhak-undhuk merupakan salah satu bentuk register.
Terdapat tiga bentuk utama variasi, yaitu ngoko ("kasar"), madya ("biasa"), dan krama ("halus"). Di antara masing-masing bentuk ini terdapat bentuk "penghormatan" (ngajengake, honorific) dan "perendahan" (ngasorake, humilific). Seseorang dapat berubah-ubah registernya pada suatu saat tergantung status yang bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain. Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicara dengan varian ngoko, tetapi ketika bercakap dengan orang tuanya akan menggunakan krama andhap dan krama inggil. Sistem semacam ini terutama dipakai di Surakarta, Yogyakarta, dan Madiun. Dialek lainnya cenderung kurang memegang erat tata-tertib berbahasa semacam ini.
Sebagai tambahan, terdapat bentuk bagongan dan kedhaton, yang keduanya hanya dipakai sebagai bahasa pengantar di lingkungan keraton. Dengan demikian, dikenal bentuk-bentuk ngoko lugu, ngoko andhap, madhya, madhyantara, krama, krama inggil, bagongan, kedhaton.
Di bawah ini disajikan contoh sebuah kalimat dalam beberapa gaya bahasa yang berbeda-beda ini.
- Bahasa Indonesia: "Maaf, saya mau tanya rumah Kak Budi itu, di mana?"
- Ngoko kasar: “Eh, aku arep takon, omahé Budi kuwi, nèng*ndi?’
- Ngoko alus: “Aku nyuwun pirsa, dalemé mas Budi kuwi, nèng endi?”
- Madya: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, griyané mas Budi niku, teng pundi?” (ini krama desa (substandar))
- Madya alus: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, dalemé mas Budi niku, teng pundi?” (ini juga termasuk krama desa (krama substandar))
- Krama andhap: “Nuwun sèwu, dalem badhé nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?” (dalem itu sebenarnya pronomina persona kedua, kagungan dalem 'kepunyaanmu'. Jadi ini termasuk tuturan krama yang salah alias krama desa)
- Krama lugu: “Nuwun sewu, kula badhé takèn, griyanipun mas Budi punika, wonten pundi?”
- Krama alus “Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?”
*nèng adalah bentuk percakapan sehari-hari dan merupakan kependekan dari bentuk baku ana ing yang disingkat menjadi (a)nêng. Dengan memakai kata-kata yang berbeda dalam sebuah kalimat yang secara tatabahasa berarti sama, seseorang bisa mengungkapkan status sosialnya terhadap lawan bicaranya dan juga terhadap yang dibicarakan. Walaupun demikian, tidak semua penutur bahasa Jawa mengenal semuanya register itu. Biasanya mereka hanya mengenal ngoko (kasar) dan sejenis madya (biasa).
Ngoko
Ngoko adalah salah satu tingkatan bahasa dalam Bahasa Jawa. Bahasa ini paling umum dipakai di kalangan orang Jawa. Pemakaiannya dihindari untuk berbicara dengan orang yang dihormati atau orang yang lebih tua.
Tingkat tutur ngoko yaitu ungah ungguh bahasa jawa yang berintikan leksikon ngoko. Ciri-ciri katanya terdapat afiks di-,-e dan –ake. Ragam ngoko dapat digunakan oleh mereka yang sudah akrab dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih tinggi status sosialnya daripada lawan bicara (mitra wicara). Ragam ngoko mempunyai dua bentuk varian, yaitu ngoko lugu dan ngoko alus (Sasangka 2004:95).
Krama
Krama adalah salah satu tingkatan bahasa dalam Bahasa Jawa. Bahasa ini paling umum dipakai di kalangan orang Jawa. Pemakaiannya sangat baik untuk berbicara dengan orang yang dihormati atau orang yang lebih tua.
Yang dimaksud dengan ragam krama adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang berintikan leksikon krama, atau yang menjadi unsur inti di dalam ragam krama adalah leksikon krama bukan leksikon yang lain. Afiks yang muncul dalam ragam ini pun semuanya berbentuk krama (misalnya, afiks dipun-, -ipun, dan –aken). Ragam krama digunakan oleh mereka yang belum akrab dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih rendah status sosialnya daripada lawan bicara. Ragam krama mempunyai tiga bentuk varian, yaitu krama lugu, karma andhap dan krama alus (Sasangka 2004:104).
Madya
Madya adalah salah satu tingkatan bahasa Jawa yang paling umum dipakai di kalangan orang Jawa. Tingkatan ini merupakan bahasa campuran antara ngoko dan krama, bahkan kadang dipengaruhi dengan bahasa Indonesia. Bahasa madya ini mudah dipahami dan dimengerti.
Kosa kata
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Keterangan
- ^ Definisi "Melayik" Dyen berbeda dengan definisi yang diterima para ahli secara luas sejak 1990-an; Melayik versi Dyen memiliki cakupan yang lebih luas, termasuk di antaranya bahasa Madura dan bahasa Aceh.
- ^ Ultima merujuk pada suku kata terakhir sebuah kata. Penultima merupakan suku kata kedua dari belakang, dan antepenultima merupakan suku kata ketiga dari belakang.
- ^ Fonem /n/, /l/, /r/, dan /s/ (serta /z/) ditandai sebagai fonem dental dalam analisis Ogloblin (2005), alveolar dalam analisis Wedhawati, dkk (2006), dan retrofleks dalam analisis Nothofer (2009). Fonem /t/ dan /d/ secara konsisten selalu ditandai sebagai konsonan dental; Wedhawati, dkk (2006) secara spesifik menyebut keduanya sebagai konsonan "apiko-dental", yaitu konsonan yang diucapkan dengan menempelkan ujung lidah ke gigi atas.[34]
- ^ Kedua konsonan ini ditandai sebagai "apiko-palatal" oleh Wedhawati, dkk (2006).
- ^ Wedhawati, dkk (2006) tidak memasukkan /ʃ/ dan /x/ sebagai fonem pinjaman dalam bahasa Jawa.
- ^ Kluster homorganik adalah gabungan konsonan yang diucapkan pada satu tempat artikulasi yang sama, seperti /mb/ dan /nd/.
- ^ Varian dhèwèkné, dhèkné, dan dhèknéné juga umum ditemui.
- ^ Panjenengané dipakai dalam konteks ngoko, sementara panjenenganipun dipakai dalam konteks krama.
Rujukan
Catatan kaki
- ^ Mikael Parkvall, "Världens 100 största språk 2007" (100 Bahasa Terbesar pada2007), di Nationalencyklopedin
- ^ Ethnologue (dalam bahasa Inggris) (edisi ke-25, 19), Dallas: SIL International, ISSN 1946-9675, OCLC 43349556, Wikidata Q14790, diakses tanggal 23 April 2022
- ^ "UNESCO Interactive Atlas of the World's Languages in Danger" (dalam bahasa bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Rusia, and Tionghoa). UNESCO. 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 April 2022. Diakses tanggal 26 Juni 2011.
- ^ "UNESCO Atlas of the World's Languages in Danger" (PDF) (dalam bahasa Inggris). UNESCO. 2010. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 31 Mei 2022. Diakses tanggal 31 Mei 2022.
- ^ "Bahasa Jawa". www.ethnologue.com (dalam bahasa Inggris). SIL Ethnologue.
- ^ Dyen 1965, hlm. 26.
- ^ a b c d e Nothofer 2009, hlm. 560.
- ^ Nothofer 1975, hlm. 1.
- ^ Blust 1981.
- ^ a b Adelaar 2005, hlm. 357, 385.
- ^ a b c d e Ogloblin 2005, hlm. 590.
- ^ Blust 2010, hlm. 97.
- ^ Smith 2017, hlm. 443, 453–454.
- ^ a b c Wedhawati, dkk 2006, hlm. 1.
- ^ a b c Wedhawati, dkk 2006, hlm. 2.
- ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 8.
- ^ a b c d e Ogloblin 2005, hlm. 591.
- ^ a b Wedhawati, dkk 2006, hlm. 11.
- ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 14.
- ^ a b Subroto, Soenardji & Sugiri 1991, hlm. 13–15.
- ^ Ogloblin 2005, hlm. 592–593.
- ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 14–15, 17–18, 21–22.
- ^ Uhlenbeck 1982, hlm. 27.
- ^ a b c d e f Ogloblin 2005, hlm. 593.
- ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 66.
- ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 67.
- ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 68–69.
- ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 69–70.
- ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 70–71.
- ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 71–72.
- ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 70.
- ^ a b Wedhawati, dkk 2006, hlm. 73–74.
- ^ a b Ogloblin 2005, hlm. 592.
- ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 80.
- ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 75, 81, 91–92.
- ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 97.
- ^ Ogloblin 2005, hlm. 593–594.
- ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 268.
- ^ a b c Ogloblin 2005, hlm. 598.
- ^ a b c Robson 2014, hlm. 1.
- ^ Uhlenbeck 1982, hlm. 242.
- ^ Uhlenbeck 1982, hlm. 239.
- ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 268–269.
- ^ a b Uhlenbeck 1982, hlm. 236, 248, 264, 268, 276, 279, 283.
- ^ a b Wedhawati, dkk 2006, hlm. 270–275.
- ^ Uhlenbeck 1982, hlm. 248–249.
- ^ Wedhawati, dkk 2006, hlm. 270.
- ^ a b Wedhawati, dkk 2006, hlm. 305.
- ^ a b Ogloblin 2005, hlm. 608–609.
- ^ Uhlenbeck, E.M. 1964.A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura. The Hague: Martinus Nijhoff
Daftar pustaka
- Adelaar, Karl Alexander (2005). "Malayo-Sumbawan". Oceanic Linguistics. University of Hawai'i Press. 44 (2): 356–388. doi:10.1353/ol.2005.0027.
- Blust, Robert (1981). "The reconstruction of proto-Malayo-Javanic: an appreciation". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. Brill. 137 (4): 456–459. JSTOR 27863392.
- Blust, Robert (2010). "The Greater North Borneo Hypothesis". Oceanic Linguistics. University of Hawai'i Press. 49 (1): 44–118. JSTOR 40783586.
- Dyen, Isidore (1965). A lexicostatistical classification of the Austronesian languages. Baltimore: Waverly Press.
- Nothofer, Berndt (1975). The reconstruction of Proto-Malayo-Javanic. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde. 73. Den Haag: Martinus Nijhoff. ISBN 9024717728.
- Nothofer, Berndt (2009). "Javanese". Dalam Keith Brown; Sarah Ogilvie. Concise Encyclopedia of Languages of the World. Oxford: Elsevier. hlm. 560–561. ISBN 9780700712861.
- Ogloblin, Alexander K. (2005). "Javanese". Dalam K. Alexander Adelaar; Nikolaus Himmelmann. The Austronesian Languages of Asia and Madagascar. London dan New York: Routledge. hlm. 590–624. ISBN 9780700712861.
- Robson, Stuart Owen (2014). Javanese Grammar for Students: A Graded Introduction. Clayton, Victoria: Monash University Publishing. ISBN 9781922235374.
- Smith, Alexander D. (2017). "The Western Malayo-Polynesian Problem". Oceanic Linguistics. University of Hawai'i Press. 56 (2): 435–490. doi:10.1353/ol.2017.0021.
- Subroto, Daliman Edi; Soenardji; Sugiri (1991). Tata bahasa deskriptif bahasa Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- Uhlenbeck, Eugenius Marius (1982). Kajian morfologi bahasa Jawa. Indonesian Linguistics Development Project. 4. Jakarta: Penerbit Djambatan.
- Wedhawati, dkk (2006). Tata bahasa Jawa mutakhir. Yogyakarta: Kanisius. ISBN 9789792110371.
Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref>
untuk kelompok bernama "ib", tapi tidak ditemukan tag <references group="ib"/>
yang berkaitan