Lompat ke isi

Kerajaan Melayu: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Berdasarkan sumber kuno hanya menyebutkan 'Malayu', dan ini tidak bisa diartikan secara spontan sebagai Melayu. Malayu juga merupakan sebuah daerah yang berlokasi di wilayah Prov. Jambi sekarang.
Tag: kemungkinan menambah konten tanpa referensi atau referensi keliru Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Nama resmi kerajaan: Malayu, tidak bisa diartikan spontan dan membabi buta menjadi Melayu.
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 64: Baris 64:
== Nama resmi kerajaan ==
== Nama resmi kerajaan ==
=== Catatan I-Tsing ===
=== Catatan I-Tsing ===
Berita tentang kerajaan Melayu antara lain diketahui dari dua buah buku karya Pendeta [[I Tsing]] atau '''I Ching''' (義淨; [[pinyin]] ''Yì Jìng'') (634–713), yang termasyhur yaitu ''Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan'' (Catatan Ajaran Buddha yang dikirimkan dari Laut Selatan) serta ''Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan'' (Catatan Pendeta-pendeta yang menuntut ilmu di India zaman Dinasti Tang)<ref name="Wolters">[[O. W. Wolters]], (1967), ''Early Indonesian Commerce'', Cornell University Press, Ithaca</ref> dalam pelayarannya dari [[Tiongkok]] ke [[India]] tahun 671, singgah di Sriwijaya enam bulan lamanya untuk mempelajari ''Sabdawidya'', dan menerjemahkan naskah-naskah Buddha dari bahasa Sanskerta ke bahasa Tionghoa.<ref name="Takasuku">Junjiro Takakusu, (1896), ''A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing'', Oxford, London.</ref><ref name="Chavannes">Edouard Chavannes, (1894), ''Memoire compose a l’epoque de la grande dynastie Tang, sur les Religieux Eminents qui allerent chercher la loi dans les pays d’Occident, par I-tsing'', Ernest Leroux, Paris.</ref>
Berita tentang kerajaan Malayu antara lain diketahui dari dua buah buku karya Pendeta [[I Tsing]] atau '''I Ching''' (義淨; [[pinyin]] ''Yì Jìng'') (634–713), yang termasyhur yaitu ''Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan'' (Catatan Ajaran Buddha yang dikirimkan dari Laut Selatan) serta ''Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan'' (Catatan Pendeta-pendeta yang menuntut ilmu di India zaman Dinasti Tang)<ref name="Wolters">[[O. W. Wolters]], (1967), ''Early Indonesian Commerce'', Cornell University Press, Ithaca</ref> dalam pelayarannya dari [[Tiongkok]] ke [[India]] tahun 671, singgah di Sriwijaya enam bulan lamanya untuk mempelajari ''Sabdawidya'', dan menerjemahkan naskah-naskah Buddha dari bahasa Sanskerta ke bahasa Tionghoa.<ref name="Takasuku">Junjiro Takakusu, (1896), ''A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing'', Oxford, London.</ref><ref name="Chavannes">Edouard Chavannes, (1894), ''Memoire compose a l’epoque de la grande dynastie Tang, sur les Religieux Eminents qui allerent chercher la loi dans les pays d’Occident, par I-tsing'', Ernest Leroux, Paris.</ref>


Kisah pelayaran I-tsing dari Kanton tahun 671 diceritakannya sendiri, dengan terjemahan sebagai berikut:<ref name="Ferrand">Gabriel Ferrand, 1922, ''L’Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris, “Textes Chinois”''</ref>
Kisah pelayaran I-tsing dari Kanton tahun 671 diceritakannya sendiri, dengan terjemahan sebagai berikut:<ref name="Ferrand">Gabriel Ferrand, 1922, ''L’Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris, “Textes Chinois”''</ref>
Baris 72: Baris 72:
{{cquote2|''“Tamralipti adalah tempat kami naik kapal jika akan kembali ke Tiongkok. Berlayar dari sini menuju tenggara, dalam dua bulan kami sampai di '''Kedah'''. Tempat ini sekarang menjadi kepunyaan Sriwijaya. Saat kapal tiba adalah bulan pertama atau kedua .... Kami tinggal di Kedah sampai musim dingin, lalu naik kapal ke arah selatan. Setelah kira-kira sebulan, kami sampai di negeri '''Malayu''', yang sekarang menjadi bagian Sriwijaya. Kapal-kapal umumnya juga tiba pada bulan pertama atau kedua. Kapal-kapal itu senantiasa tinggal di Malayu sampai pertengahan musim panas, lalu mereka berlayar ke arah utara, dan mencapai Kanton dalam waktu sebulan.”''}}
{{cquote2|''“Tamralipti adalah tempat kami naik kapal jika akan kembali ke Tiongkok. Berlayar dari sini menuju tenggara, dalam dua bulan kami sampai di '''Kedah'''. Tempat ini sekarang menjadi kepunyaan Sriwijaya. Saat kapal tiba adalah bulan pertama atau kedua .... Kami tinggal di Kedah sampai musim dingin, lalu naik kapal ke arah selatan. Setelah kira-kira sebulan, kami sampai di negeri '''Malayu''', yang sekarang menjadi bagian Sriwijaya. Kapal-kapal umumnya juga tiba pada bulan pertama atau kedua. Kapal-kapal itu senantiasa tinggal di Malayu sampai pertengahan musim panas, lalu mereka berlayar ke arah utara, dan mencapai Kanton dalam waktu sebulan.”''}}


Menurut catatan I Tsing, Sriwijaya menganut agama [[Buddha]] aliran [[Hinayana]], kecuali Ma-la-yu. Tidak disebutkan dengan jelas agama apa yang dianut oleh kerajaan Melayu.
Menurut catatan I Tsing, Sriwijaya menganut agama [[Buddha]] aliran [[Hinayana]], kecuali Ma-la-yu. Tidak disebutkan dengan jelas agama apa yang dianut oleh kerajaan Malayu.


=== Catatan Wang Pu ===
=== Catatan Wang Pu ===
Berita lain mengenai kerajaan Melayu berasal dari ''T'ang-Hui-Yao'' yang disusun oleh [[Wang p'u]] pada tahun 961, kerajaan Melayu mengirimkan utusan ke Tiongkok pada tahun 645 untuk pertama kalinya, tetapi setelah munculnya Sriwijaya sekitar 670, kerajaan Melayu tidak ada lagi mengirimkan utusan ke Tiongkok.<ref name="Muljana">Slamet Muljana. (2006). ''Sriwijaya''. Yogyakarta: LKIS</ref>
Berita lain mengenai kerajaan Malayu berasal dari ''T'ang-Hui-Yao'' yang disusun oleh [[Wang p'u]] pada tahun 961, kerajaan Malayu mengirimkan utusan ke Tiongkok pada tahun 645 untuk pertama kalinya, tetapi setelah munculnya Sriwijaya sekitar 670, kerajaan Malayu tidak ada lagi mengirimkan utusan ke Tiongkok.<ref name="Muljana">Slamet Muljana. (2006). ''Sriwijaya''. Yogyakarta: LKIS</ref>


=== Istilah San-fo-tsi ===
=== Istilah San-fo-tsi ===

Revisi per 26 Mei 2023 02.43

Kerajaan Malayu
645 - 682
1028 - 1286
1347 - ....
Peta Suvarnabhumi berdasarkan teori yang diterima umum. Pusat Kerajaan Dharmasraya yang juga terkait dengan situs Candi Padangroco adalah Aliran sungai Batanghari, di Jorong Sungai Langsat atau di hulunya yang terletak di pedalaman Mināṅgakabwa, Sumatera (sekarang Dharmasraya dan Solok).
Peta Suvarnabhumi berdasarkan teori yang diterima umum. Pusat Kerajaan Dharmasraya yang juga terkait dengan situs Candi Padangroco adalah Aliran sungai Batanghari, di Jorong Sungai Langsat atau di hulunya yang terletak di pedalaman Mināṅgakabwa, Sumatera (sekarang Dharmasraya dan Solok).
Ibu kotaMinanga
Dharmasraya
Pagaruyung
Bahasa yang umum digunakanMelayu Kuno, Sanskerta
Agama
Buddha Vajrayana, Buddha Mahayana, Buddha Hinayana, Hindu
PemerintahanMonarki
Maharaja 
• 1183
Trailokyaraja
• 1286 - 1316
Tribhuwanaraja
• 1316 - 1347
Akarendrawarman
• 1347 - 1375
Adityawarman
• 1375 - 1417
Ananggawarman
• 1417 - 1440
Wijayawarman
• 1440 - 1470
Puti Panjang Rambut II
Mata uangKoin emas dan perak
Didahului oleh
Digantikan oleh
krjKerajaan
Kandali
Chola
Sriwijaya
Majapahit
Sekarang bagian dari
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kerajaan Malayu (juga dikenal sebagai Melayu, Malayapura atau Kerajaan Dharmasraya atau Kerajaan Jambi; Hanzi: 末羅瑜國; Pinyin: Mòluóyú Guó, penyebutan bahasa Tiongkok pertengahan yang direkonstruksi mat-la-yu kwok)[1][2][3] merupakan sebuah nama kerajaan yang berada di Pulau Sumatra. Dari bukti dan keterangan yang disimpulkan dari prasasti dan berita dari Tiongkok, keberadaan kerajaan yang mengalami naik turun ini dapat diketahui dimulai pada abad ke-7 yang berpusat di Minanga, pada abad ke-13 yang berpusat di Dharmasraya dan diawal abad ke-15 berpusat di Suruaso[4] atau Pagaruyung.[5]

Kerajaan ini berada di pulau Swarnadwipa atau Swarnabumi (Thai:Sovannophum) yang oleh para pendatang disebut sebagai pulau emas yang memiliki tambang emas, dan pada awalnya mempunyai kemampuan dalam mengontrol perdagangan di Selat Melaka sebelum akhirnya terintegrasi dengan Kerajaan Sriwijaya (Thai:Sevichai) pada tahun 682.[6]

Penggunaan kata Malayu, telah dikenal sekitar tahun 100–150 seperti yang tersebut dalam buku Geographike Sintaxis karya Ptolemy yang menyebutkan maleu-kolon.[7] Kemudian dalam kitab Hindu Purana pada zaman Gautama Buddha terdapat istilah Malaya dvipa yang berarti "Pulau Malayu" yang ini juga bisa dikatakan pulau dimana wilayah Malayu ini ada yang tepatnya di wilayah Jambi, dan tentunya yang dimaksud adalah Pulau Sumatera (sebelumnya belum ada istilah "Sumatera").

Nama resmi kerajaan

Catatan I-Tsing

Berita tentang kerajaan Malayu antara lain diketahui dari dua buah buku karya Pendeta I Tsing atau I Ching (義淨; pinyin Yì Jìng) (634–713), yang termasyhur yaitu Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan (Catatan Ajaran Buddha yang dikirimkan dari Laut Selatan) serta Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan (Catatan Pendeta-pendeta yang menuntut ilmu di India zaman Dinasti Tang)[8] dalam pelayarannya dari Tiongkok ke India tahun 671, singgah di Sriwijaya enam bulan lamanya untuk mempelajari Sabdawidya, dan menerjemahkan naskah-naskah Buddha dari bahasa Sanskerta ke bahasa Tionghoa.[9][10]

Kisah pelayaran I-tsing dari Kanton tahun 671 diceritakannya sendiri, dengan terjemahan sebagai berikut:[11]

“Ketika angin timur laut mulai bertiup, kami berlayar meninggalkan Kanton menuju selatan .... Setelah lebih kurang dua puluh hari berlayar, kami sampai di negeri Sriwijaya. Di sana saya berdiam selama enam bulan untuk belajar Sabdawidya. Sri Baginda sangat baik kepada saya. Dia menolong mengirimkan saya ke negeri Malayu, di mana saya singgah selama dua bulan. Kemudian saya kembali meneruskan pelayaran ke Kedah .... Berlayar dari Kedah menuju utara lebih dari sepuluh hari, kami sampai di Kepulauan Orang Telanjang (Nikobar) .... Dari sini berlayar ke arah barat laut selama setengah bulan, lalu kami sampai di Tamralipti (pantai timur India)”

Perjalanan pulang dari India tahun 685 diceritakan oleh I-tsing sebagai berikut:[8]

“Tamralipti adalah tempat kami naik kapal jika akan kembali ke Tiongkok. Berlayar dari sini menuju tenggara, dalam dua bulan kami sampai di Kedah. Tempat ini sekarang menjadi kepunyaan Sriwijaya. Saat kapal tiba adalah bulan pertama atau kedua .... Kami tinggal di Kedah sampai musim dingin, lalu naik kapal ke arah selatan. Setelah kira-kira sebulan, kami sampai di negeri Malayu, yang sekarang menjadi bagian Sriwijaya. Kapal-kapal umumnya juga tiba pada bulan pertama atau kedua. Kapal-kapal itu senantiasa tinggal di Malayu sampai pertengahan musim panas, lalu mereka berlayar ke arah utara, dan mencapai Kanton dalam waktu sebulan.”

Menurut catatan I Tsing, Sriwijaya menganut agama Buddha aliran Hinayana, kecuali Ma-la-yu. Tidak disebutkan dengan jelas agama apa yang dianut oleh kerajaan Malayu.

Catatan Wang Pu

Berita lain mengenai kerajaan Malayu berasal dari T'ang-Hui-Yao yang disusun oleh Wang p'u pada tahun 961, kerajaan Malayu mengirimkan utusan ke Tiongkok pada tahun 645 untuk pertama kalinya, tetapi setelah munculnya Sriwijaya sekitar 670, kerajaan Malayu tidak ada lagi mengirimkan utusan ke Tiongkok.[1]

Istilah San-fo-tsi

Dalam naskah-naskah kronik Tiongkok, istilah San-fo-tsi digunakan untuk menyebut Pulau Sumatra secara umum. Pada zaman Dinasti Song sekitar tahun 990–an, istilah ini identik dengan Sriwijaya. Namun, ketika Sriwijaya mengalami kehancuran pada tahun 1025, istilah San-fo-tsi masih tetap dipakai dalam naskah-naskah kronik Tiongkok. Kronik Tiongkok mencatat bahwa pada periode 1079 dan 1088, San-fo-tsi masih mengirimkan utusan masing-masing dari Kien-pi (Jambi) dan Pa-lin-fong (Palembang). Dalam berita Tiongkok yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa Kerajaan San-fo-tsi tahun 1082 mengirim duta besar ke Tiongkok yang saat itu di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, dan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Dan kemudian dilanjutkan pengiriman utusan selanjutnya tahun 1088.

Sebaliknya, dari daftar daerah bawahan San-fo-tsi tersebut tidak ada menyebutkan Ma-la-yu ataupun nama lain yang mirip dengan Dharmasraya. Dengan demikian, istilah San-fo-tsi pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan identik dengan Dharmasraya. Jadi, daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan kerajaan Dharmasraya, karena saat itu masa kejayaan Sriwijaya sudah berakhir.

Jadi, istilah San-fo-tsi yang semula bermakna Sriwijaya tetap digunakan dalam berita Tiongkok untuk menyebut Pulau Sumatra secara umum, meskipun kerajaan yang berkuasa saat itu adalah Dharmasraya. Hal yang serupa terjadi pada abad ke-14, yaitu zaman Dinasti Ming dan Majapahit. Catatan sejarah Dinasti Ming masih menggunakan istilah San-fo-tsi, seolah-olah saat itu Sriwijaya masih ada. Sementara itu, catatan sejarah Majapahit berjudul Nagarakretagama tahun 1365 sama sekali tidak pernah menyebut adanya negeri bernama Sriwijaya melainkan Palembang.

Kajian letak pusat pemerintahan

Dari uraian I-tsing jelas sekali bahwa Kerajaan Melayu terletak di tengah pelayaran antara Sriwijaya dan Kedah. Jadi Sriwijaya terletak di selatan atau tenggara Melayu. Hampir semua ahli sejarah sepakat bahwa negeri Melayu berlokasi di hulu sungai Batang Hari, sebab pada alas arca Amoghapasa yang ditemukan di Padangroco terdapat prasasti bertarikh 1208 Saka (1286) yang menyebutkan bahwa arca itu merupakan hadiah raja Kertanagara (Singhasari) kepada raja Melayu.[12]

Candi Gumpung, kuil Buddha di Muaro Jambi.

Prof. Slamet Muljana berpendapat, istilah Malayu berasal dari kata Malaya yang dalam bahasa Sanskerta bermakna “bukit”. Nama sebuah kerajaan biasanya merujuk pada nama ibu kotanya. Oleh karena itu, ia tidak setuju apabila istana Malayu terletak di Kota Jambi, karena daerah itu merupakan dataran rendah. Menurutnya, pelabuhan Malayu memang terletak di Kota Jambi, tetapi istananya terletak di pedalaman yang tanahnya agak tinggi. Menurut prasasti Tanjore yang dikeluarkan oleh Rajendra Chola I bertarikh 1030, menyebutkan bahwa ibu kota kerajaan Malayu dilindungi oleh benteng-benteng, dan terletak di atas bukit. Lokasi pastinya adalah Muara Tebo. Muljana berpendapat, "... baik ditinjau dari peninggalan-peninggalan kuno yang berupa piagam maupun dari pemberitaan piagam Tanyore dan piagam Kedukan Bukit, maka letak pusat kerajaan Melayu di sekitar Muara Tebo lebih menguntungkan daripada di kota Jambi." (hal. 147).[1].

Dari keterangan Abu Raihan Muhammad ibn Ahmad Al-Biruni, ahli geografi Persia, yang pernah mengunjungi Asia Tenggara tahun 1030 dan menulis catatan perjalanannya dalam Tahqiq ma li l-Hind (Fakta-fakta di Hindia) yang menyatakan bahwa ia mengunjungi suatu negeri yang terletak pada garis khatulistiwa pulau penghasil emas atau Golden Khersonese yakni pulau Sumatra.[13][14]


Dari Minanga ke Dharmasraya

Munculnya Wangsa Mauli

Kekalahan kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra Coladewa, raja Chola dari Koromandel telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya sejak tahun 1025. Beberapa waktu kemudian muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu yang disebut dengan nama Wangsa Mauli.

Kerajaan Melayu, selama beberapa waktu, diidentifikasi oleh orang Tionghoa sebagai penerus Sriwijaya. Hal ini ditunjukkan oleh catatan Cina yang selalu menyebut Sanfoqi, istilah mereka untuk Sriwijaya, setelah jatuhnya Sriwijaya pada tahun 1025. Sanfoqi mengirim utusan ke Cina pada tahun 1028, tetapi ini merujuk pada Malayu-Jambi, bukan Sriwijaya-Palembang.[15]:398, 405

Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand. Prasasti itu berisi perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.

Prasasti kedua berselang lebih dari satu abad kemudian, yaitu Prasasti Padang Roco tahun 1286. Prasasti ini menyebut adanya seorang raja bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Ia mendapat kiriman arca Amoghapasa dari Kertanagara raja Singhasari di pulau Jawa. Arca tersebut kemudian diletakkan di Dharmasraya.

Dharmasraya dalam Pararaton disebut dengan nama Malayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula disebut sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar adalah keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap sebagai raja Malayu, meskipun prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas.

Yang menarik di sini adalah daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah mencapai Grahi, yang terletak di selatan Thailand (Chaiya sekarang). Itu artinya, setelah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu bangkit kembali sebagai penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak dapat dipastikan, dari catatan Tiongkok [1] disebutkan bahwa pada tahun 1082 masih ada utusan dari Chen-pi (Jambi) sebagai bawahan San-fo-ts'i, dan disaat bersamaan muncul pula utusan dari Pa-lin-fong (Palembang) yang masih menjadi bawahan keluarga Rajendra.

Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja, Tribhuwanaraja dan Adityawarman berasal dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali kerajaan Melayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak diketahui dengan jelas apakah pemimpin kebangkitan tersebut adalah Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya, karena sampai saat ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang lebih tua daripada prasasti Grahi.

Masa keemasan

Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi[16] yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t'o (Sunda).[17][18]

Luas wilayah

Dalam naskah berjudul Zhufan Zhi (諸蕃志) karya Zhao Rugua tahun 1225[19] disebutkan bahwa negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu :

  1. Che-lan (Kamboja),
  2. Kia-lo-hi (Grahi, Ch'ai-ya atau Chaiya selatan Thailand sekarang),
  3. Tan-ma-ling (Tambralingga, selatan Thailand),
  4. Ling-ya-si-kia (Langkasuka, selatan Thailand),
  5. Ki-lan-tan (Kelantan),,
  6. Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya),
  7. Tong-ya-nong (Terengganu),
  8. Fo-lo-an (muara sungai Dungun, daerah Terengganu sekarang),
  9. Tsien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya),
  10. Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur semenanjung malaya),
  11. Pong-fong (Pahang),
  12. Lan-mu-li (Lamuri, daerah Aceh sekarang),
  13. Kien-pi (Jambi),
  14. Pa-lin-fong (Palembang),
  15. Sin-to (Sunda), dan dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Kamboja, Semenanjung Malaya, Sumatra sampai Sunda.

Dalam kitab Nagarakretagama

Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebut Dharmasraya sebagai salah satu di antara sekian banyak negeri jajahan Kerajaan Majapahit di Pulau Sumatra.[20] Namun interpretasi isi yang menguraikan daerah-daerah "wilayah" kerajaan Majapahit yang harus menghaturkan upeti ini masih kontroversial, sehingga dipertentangkan sampai hari ini.

Pada tahun 1339 Adityawarman dikirim sebagai uparaja atau raja bawahan Majapahit untuk menaklukan wilayah Swarnnabhumi nama lain pulau Sumatra. Penaklukan Majapahit dimulai dengan menguasai Palembang. Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan menyebut nama Arya Damar sebagai Bupati Palembang yang berjasa membantu Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun 1343.[21] Menurut Prof. C.C. Berg, tokoh ini dianggapnya identik dengan Adityawarman.[22]

Dari Dharmasraya ke Pagaruyung

Setelah membantu Majapahit dalam melakukan beberapa penaklukan, pada tahun 1343 Adityawarman kembali ke Swarnnabhumi dan pada tahun 1347 memproklamirkan dirinya sebagai pelanjut Dinasti Mauli penguasa Kerajaan Melayu di Dharmasraya[23] dan selanjutnya memindahkan pusat pemerintahannya ke Suruaso, (daerah Minangkabau),[24] dengan gelar Maharajadiraja Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa.[25] Dengan melihat gelar yang disandang Adityawarman, terlihat dia menggabungan beberapa nama yang pernah dikenal sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada Wangsa Mauli penguasa Dharmasraya dan gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang salah seorang raja Sriwijaya serta menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya, raja Chola dari Koromandel. Hal ini tentu sengaja dilakukan untuk mempersatukan seluruh keluarga penguasa di Swarnnabhumi.

Dari catatan Dinasti Ming (1368–1644) menyebutkan bahwa di San-fo-tsi (Sumatra) terdapat tiga orang raja. Mereka adalah Sengk'ia-li-yu-lan (alias Adityawarman), Ma-ha-na-po-lin-pang (Maharaja Palembang), dan Ma-na-cha-wu-li (Maharaja Dharmasraya). Dan sebelumnya pada masa Dinasti Yuan (1271–1368), Adityawarman juga pernah dikirim oleh Jayanegara sebanyak dua kali sebagai duta ke Tiongkok yaitu pada tahun 1325 dan 1332, dan tentu dengan nama yang sama pada masa Dinasti Ming masih dirujuk kepada Adityawarman, yang kemudian kembali mengirimkan utusan sebanyak 6 kali pada rentang tahun 1371 sampai 1377.[26] Dan kemudian dari berita ini dapat dikaitkan dengan penemuan Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan pada zaman Adityawarman, dimana pada naskah tersebut ada menyebutkan tentang Maharaja Dharmasraya. Jika dikaitkan dengan piagam yang dipahat pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, jelas Adityawarman bergelar Maharajadiraja, dan membawahi Dharmasraya dan Palembang.[27]

Daftar para raja

Berikut ini daftar nama raja Malayu:

Tarikh Nama raja atau gelar Ibu kota Prasasti, catatan pengiriman utusan ke Tiongkok serta peristiwa
671 Minanga Berita China, catatan perjalanan I-tsing (634–713). Dan Prasasti Kedukan Bukit tahun 682.
682–1156 Belum ada berita
1157–1182 Belum ada berita
1183 Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa Dharmasraya Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand, perintah kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin.
1184–1285 Belum ada berita
1286 Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa Dharmasraya Prasasti Padang Roco tahun 1286 di Siguntur (Kabupaten Dharmasraya sekarang), pengiriman Arca Amonghapasa sebagai hadiah Raja Singhasari kepada Raja Malayu.
1316 Akarendrawarman Dharmasraya atau Suruaso Prasasti Suruaso (Kab. Tanah Datar sekarang).
1347 Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa Suruaso atau Pagaruyung Arca Amoghapasa,tahun 1347 di (Kab. Dharmasraya sekarang),

Pindah ke Suruaso, Prasasti Suruaso (Kabupaten Tanah Datar sekarang), Pengiriman utusan ke Tiongkok sebanyak 6 kali dalam rentang waktu 1371 sampai 1377 pada masa Dinasti Ming.

1375 Ananggawarman Pagaruyung Prasasti Batusangkar (Kab. Tanah Datar sekarang).

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c d Muljana, Slamet , (2006), Sriwijaya, Yogyakarta: LKIS, ISBN 979-8451-62-7. Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Muljana" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  2. ^ I-Tsing (2000). A Record of the Buddhist Religion As Practised in India and the Malay Archipelago (A.D. 671–695). Diterjemahkan oleh Takakusu, Junjiro. Asian Educational Services. hlm. xl – xlvi. ISBN 978-81-206-1622-6. 
  3. ^ Reid, Anthony (2001). "Understanding Melayu (Malay) as a Source of Diverse Modern Identities". Journal of Southeast Asian Studies. 32 (3): 295–313. doi:10.1017/S0022463401000157. PMID 19192500. 
  4. ^ Kozok, Uli, (2006), Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.
  5. ^ Paul Michel Munoz, (2006), Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula.
  6. ^ Louis-Charles Damais, 1952, Etude d’Epigraphie Indonesienne III: Liste des Principales Datees de l’Indonesie, BEFEO, tome 46. (merupakan terjemahan Pararaton dalam bahasa Prancis)
  7. ^ Berggren, J. Lennart and Jones, Alexander, (2000), Ptolemy's Geography: An Annotated Translation of the Theoretical Chapters, Princeton University Press, Princeton and Oxford, ISBN 0-691-01042-0.
  8. ^ a b O. W. Wolters, (1967), Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca
  9. ^ Junjiro Takakusu, (1896), A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing, Oxford, London.
  10. ^ Edouard Chavannes, (1894), Memoire compose a l’epoque de la grande dynastie Tang, sur les Religieux Eminents qui allerent chercher la loi dans les pays d’Occident, par I-tsing, Ernest Leroux, Paris.
  11. ^ Gabriel Ferrand, 1922, L’Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris, “Textes Chinois”
  12. ^ R.Pitono Hardjowardojo, 1966, Adityawarman, Sebuah Studi tentang Tokoh Nasional dari Abad XIV, Bhratara, Djakarta
  13. ^ W.J. van der Meulen. "SUVARNADVIPA AND THE CHRYSE CHERSONESOS*" (PDF). Diakses tanggal 4 February 2010. 
  14. ^ .Paul Wheatley, 1961, The Golden Khersonese, University of Malaya Press, Kuala Lumpur.
  15. ^ Miksic, John N.; Goh, Geok Yian (2017). Ancient Southeast Asia. London: Routledge. 
  16. ^ Hirth, F. (1911). Chao Ju-kua, His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteen centuries, entitled Chu-fan-chi. St Petersburg.  .
  17. ^ Muljana, Slamet (2006). F.W. Stapel, ed. Sriwijaya. PT LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  18. ^ Soekmono, R. (2002). Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2. Kanisius. ISBN 979-413-290-X. 
  19. ^ Friedrich Hirth & W.W.Rockhill, 1911, Chao Ju-kua, His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteen centuries, entitled Chu-fan-chi, St Petersburg.
  20. ^ J.L.A. Brandes, 1902, Nāgarakrětāgama; Lofdicht van Prapanjtja op koning Radjasanagara, Hajam Wuruk, van Madjapahit, naar het eenige daarvan bekende handschrift, aangetroffen in de puri te Tjakranagara op Lombok.
  21. ^ Darta, A.A. Gde, A.A. Gde Geriya, A.A. Gde Alit Geria, 1996, Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan, Denpasar: Upada Sastra.
  22. ^ C.C. Berg, 1985, Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara.
  23. ^ Djafar, Hasan, (1992), Prasasti-Prasasti Masa Kerajaan Melayu Kuno dan Permasalahannya. Dibawakan dalam Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Daerah Tk I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jambi.
  24. ^ Casparis, J. G. de.,, (1992), Kerajaan Malayu dan Adityawarman, Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jambi.
  25. ^ Kern, J.H.C., (1907), De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.
  26. ^ Casparis, J. G. de., (1992), Kerajaan Malayu dan Adityawarman, Seminar Sejarah Malayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jambi, hlm. 235-256.
  27. ^ Kozok, Uli, (2006), Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.