Lompat ke isi

Masa Bersiap: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Aldo samulo (bicara | kontrib)
Menolak perubahan terakhir (oleh Eriol) dan mengembalikan revisi 4142015 oleh Meursault2004
Elijah Mahoebessy (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(38 revisi perantara oleh 25 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
{{Taknetral|note=Tidak sama sekali menunjukkan apa saja yang terjadi selama masa Bersiap dan terkesan menutupi kebenaran}}
'''Bersiap''' adalah sebuah istilah Belanda untuk sebuah periode dalam masa Perang Kemerdekaan Republik Indonesia atau peralihan kekuasaan antara Tentara Dai Nippon di satu pihak ke Tentara Sekutu atau Republik Indonesia di sisi lain. Masa ini ditandai dengan terjadinya kekacauan dan banyak perampokan masal. Bangsa Eropa, Indo dan Tionghoa yang kebanyakan menjadi korban. Biasanya masa ini ditetapkan dimulai pada tahun 1945 sampai 1947. Awal masa ini bermula dengan dijarah dan dirampoknya [[Kota Depok|Depok]] oleh para ''Pemoeda'' atau ''Pelopor'' pada tanggal [[9 Oktober]] [[1945]].<ref name = "Keppy 50">Keppy (2006:50)</ref> Depok waktu itu dikenal sebagai pusat tempat tinggalnya orang Indo.<ref name = "Keppy 50"></ref> Sedangkan masa akhir Bersiap biasanya ditetapkan selesai dengan munculnya aksi [[Agresi Militer Belanda I]] atau Aksi Polisi Belanda I pada bulan Januari 1947.<ref>Keppy (2006:52)</ref> Namun pemerintah Belanda mendefinisikan masa ini lebih luas, yaitu dari Kapitulasi Jepang pada tanggal [[15 Agustus]] [[1945]] sampai pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada tanggal [[27 Desember]] [[1949]].<ref>http://www.pur.nl/nederlands/wetten/wetten_wubo.htm</ref>
{{Sejarah Indonesia}}
{{Campaignbox Revolusi Nasional Indonesia}}
{{Italictitle}}
'''''Masa Bersiap''''' adalah sebuah [[istilah]] yang diberikan oleh Belanda untuk merujuk pada kekacauan dan kengerian akibat dari revolusi di [[Jawa]], yang terjadi pada tahun 1945–1947. Periode ini diawali oleh peralihan kekuasaan dari [[Tentara Kekaisaran Jepang]] kepada pemerintahan [[Republik Indonesia]]. Estimasi jumlah korban dari kekacauan ini berkisar antara 3.500 hingga 20.000 jiwa yang terdiri atas [[orang Belanda]] beserta keturunannya, [[Tahanan perang]] Tentara Jepang dan Korea, [[Tionghoa Indonesia|orang Tionghoa]], [[orang Jawa]], [[orang Maluku]], dan kelompok lain dari status sosial ekonomi yang tinggi.<ref name="Triyana 2022">{{cite web | last=Triyana | first=Bonnie | title=Istilah "Bersiap" yang Problematik | website=Historia | date=2022-01-12 | url=https://historia.id/amp/politik/articles/istilah-bersiap-yang-problematik-vogKK | language=id | access-date=2022-02-13}}</ref>


Periode ini ditandai dengan terjadinya huru-hara, pembantaian, dan perampokan massal yang dilakukan oleh masyarakat pro-kemerdekaan, atau yang biasa disebut sebagai ''Pemoeda'' dan ''Pelopor''. Orang-orang Eropa dan [[orang Indo]] menjadi target utama dalam kekacauan ini, walaupun banyak juga korban yang merupakan orang Maluku dan orang Tionghoa. Oleh sebab itu, jarang sekali ditemukan orang keturunan Belanda atau Eropa yang tinggal di Indonesia setelah kemerdekaan karena banyak yang menjadi korban dalam ''Masa Bersiap'' atau melarikan diri ke Eropa. Sebagai akibat dari perang saudara di [[Tiongkok Daratan]], sebagian orang Tionghoa kaum kanan waktu itu banyak yang mendukung partai [[Kuomintang]] yang juga pro-Belanda, secara otomatis tidak mengakui kemerdekaan Indonesia, sehingga mereka juga ikut menjadi korban dari masa tersebut.
== Catatan kaki ==
{{reflist}}


Awal masa ini bermula dengan dijarah dan dirampoknya [[Kota Depok|Depok]] oleh para ''Pemoeda'' atau ''Pelopor'' pada tanggal 9 Oktober 1945.<ref name = "Keppy 50">Keppy (2006:50)</ref> Depok waktu itu dikenal sebagai pusat tempat tinggalnya orang Indo.<ref name = "Keppy 50"/> Sedangkan masa akhir Bersiap ditetapkan selesai dengan munculnya aksi [[Agresi Militer Belanda I]] atau Aksi Polisi Belanda I pada bulan Januari 1947.<ref>Keppy (2006:52)</ref> Namun pemerintah Belanda mendefinisikan masa ini lebih luas, yaitu dari Kapitulasi Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945 sampai pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949.<ref>[http://www.pur.nl/nederlands/wetten/wetten_wubo.htm Wet uitkeringen burger-oorlogsslachtoffers (Wubo)]</ref>

== Istilah ==
Fase revolusi nasional Indonesia ini disebut "'''Bersiap'''" oleh orang-orang [[Orang Indo|Indo Belanda]] (Eurasia) yang selamat dari periode penuh konflik ini dan digunakan dalam karya akademis Belanda dan Inggris. Istilah ini berasal dari seruan perang pro-Republik Indonesia dan seruan terus-menerus untuk mengangkat senjata: "Siap!" - "Siap!" yang terdengar ketika orang yang tampak sebagai musuh potensial revolusi memasuki daerah pro-republik.<ref>Bayly, Christopher Harper, Tim ‘’Forgotten Wars, Freedom and revolution in Southeast Asia’’ (Publisher: Harvard University Press, 2006) {{ISBN|9780674021532}} P.181 [https://books.google.com/books?id=0M4Pl_VCExgC&printsec=frontcover&dq=forgotten+wars&hl=en&sa=X&ei=mVUMUKznDMnO0QXyjKzlCg&ved=0CDEQ6AEwAA#v=onepage&q=forgotten%20wars&f=false Googlebooks]</ref> Tetapi banyak istilah lain yang dipakai seperti ''gedoran'' di Depok, ''ngeli'' di Banten dan sekitarnya, dan ''gegeran'' atau ''dombreng'' di Jawa Tengah.<ref name="Triyana 2022">{{cite web | last=Triyana | first=Bonnie | title=Istilah "Bersiap" yang Problematik | website=Historia | date=2022-01-12 | url=https://historia.id/amp/politik/articles/istilah-bersiap-yang-problematik-vogKK | language=id | access-date=2022-02-13}}</ref>

== Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ==
Pada tanggal [[15 Agustus]] 1945 [[Tentara Kekaisaran Jepang]] [[Hari Kemenangan atas Jepang|menyerah kepada Sekutu]]. Karena kemenangan ini bukan karena penaklukkan kembali oleh [[Blok Sekutu|Tentara Sekutu]] atas Indonesia, Tentara Kekaisaran Jepang masih menduduki Indonesia, tetapi telah menerima perintah khusus untuk mempertahankan [[status quo]] sampai pasukan Sekutu tiba. Soekarno, Hatta, dan pimpinan Republik yang lebih senior ragu untuk bertindak dan tidak ingin memprovokasi konflik dengan pihak Jepang.<ref name="Ricklefs 1991, p. 210">Ricklefs (1991), p. 210</ref> Laksamana [[Tadashi Maeda]], yang takut akan kelompok 'pemuda' yang mudah terpancing dan tentara Jepang yang terdemoralisasi, menginginkan perpindahan kekuasaan yang cepat kepada para pemimpin senior Indonesia.<ref name="Ricklefs 1991, p. 210"/>
Sementara kepemimpinan kelompok nasionalis yang lebih senior, termasuk Soekarno dan Hatta enggan terhadap perpindahan kekuasaan ini, anggota elit muda yang lebih muda yang sering disebut 'pemuda Indonesia', percaya bahwa mereka memiliki kewajiban untuk mendorong revolusi. Sebuah kelompok yang terkait dengan "[[Menteng 31]]" menculik Soekarno dan Hatta dan memaksa mereka untuk menyetujui untuk mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal [[17 Agustus]] 1945, dua hari setelah Jepang menyerah terhadap Sekutu, Soekarno dan Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Republik Indonesia di rumah Soekarno di Jakarta.<ref>Ricklefs (1991), page 213; {{cite book | last =Taylor | first =Jean Gelman | title =Indonesia: Peoples and History | publisher=Yale University Press | year =2003 | page = 325 | url = | isbn = 0-300-10518-5 }}; Reid (1973), page 30; Vickers (2005), p. 95</ref> Staf Indonesia sempat merebut radio Jakarta dari atasan Jepang mereka dan menyiarkan berita tentang deklarasi tersebut di seluruh Jawa.<ref>Taylor (2003), p. 323</ref>
==Lihat juga==
*[[Pemulangan orang Indo ke Belanda]]

== Referensi ==
{{reflist}}
{{Sejarah Indonesia navbox}}
{{sejarah-stub}}
{{sejarah-stub}}


[[Kategori:Sejarah Indonesia]]
[[Kategori:Sejarah Indonesia]]
[[Kategori:Pembantaian di Indonesia]]

[[en:Bersiap]]
[[jv:Bersiap]]
[[nl:Bersiap]]

Revisi terkini sejak 12 Juni 2024 10.06

Masa Bersiap adalah sebuah istilah yang diberikan oleh Belanda untuk merujuk pada kekacauan dan kengerian akibat dari revolusi di Jawa, yang terjadi pada tahun 1945–1947. Periode ini diawali oleh peralihan kekuasaan dari Tentara Kekaisaran Jepang kepada pemerintahan Republik Indonesia. Estimasi jumlah korban dari kekacauan ini berkisar antara 3.500 hingga 20.000 jiwa yang terdiri atas orang Belanda beserta keturunannya, Tahanan perang Tentara Jepang dan Korea, orang Tionghoa, orang Jawa, orang Maluku, dan kelompok lain dari status sosial ekonomi yang tinggi.[1]

Periode ini ditandai dengan terjadinya huru-hara, pembantaian, dan perampokan massal yang dilakukan oleh masyarakat pro-kemerdekaan, atau yang biasa disebut sebagai Pemoeda dan Pelopor. Orang-orang Eropa dan orang Indo menjadi target utama dalam kekacauan ini, walaupun banyak juga korban yang merupakan orang Maluku dan orang Tionghoa. Oleh sebab itu, jarang sekali ditemukan orang keturunan Belanda atau Eropa yang tinggal di Indonesia setelah kemerdekaan karena banyak yang menjadi korban dalam Masa Bersiap atau melarikan diri ke Eropa. Sebagai akibat dari perang saudara di Tiongkok Daratan, sebagian orang Tionghoa kaum kanan waktu itu banyak yang mendukung partai Kuomintang yang juga pro-Belanda, secara otomatis tidak mengakui kemerdekaan Indonesia, sehingga mereka juga ikut menjadi korban dari masa tersebut.

Awal masa ini bermula dengan dijarah dan dirampoknya Depok oleh para Pemoeda atau Pelopor pada tanggal 9 Oktober 1945.[2] Depok waktu itu dikenal sebagai pusat tempat tinggalnya orang Indo.[2] Sedangkan masa akhir Bersiap ditetapkan selesai dengan munculnya aksi Agresi Militer Belanda I atau Aksi Polisi Belanda I pada bulan Januari 1947.[3] Namun pemerintah Belanda mendefinisikan masa ini lebih luas, yaitu dari Kapitulasi Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945 sampai pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949.[4]

Istilah[sunting | sunting sumber]

Fase revolusi nasional Indonesia ini disebut "Bersiap" oleh orang-orang Indo Belanda (Eurasia) yang selamat dari periode penuh konflik ini dan digunakan dalam karya akademis Belanda dan Inggris. Istilah ini berasal dari seruan perang pro-Republik Indonesia dan seruan terus-menerus untuk mengangkat senjata: "Siap!" - "Siap!" yang terdengar ketika orang yang tampak sebagai musuh potensial revolusi memasuki daerah pro-republik.[5] Tetapi banyak istilah lain yang dipakai seperti gedoran di Depok, ngeli di Banten dan sekitarnya, dan gegeran atau dombreng di Jawa Tengah.[1]

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia[sunting | sunting sumber]

Pada tanggal 15 Agustus 1945 Tentara Kekaisaran Jepang menyerah kepada Sekutu. Karena kemenangan ini bukan karena penaklukkan kembali oleh Tentara Sekutu atas Indonesia, Tentara Kekaisaran Jepang masih menduduki Indonesia, tetapi telah menerima perintah khusus untuk mempertahankan status quo sampai pasukan Sekutu tiba. Soekarno, Hatta, dan pimpinan Republik yang lebih senior ragu untuk bertindak dan tidak ingin memprovokasi konflik dengan pihak Jepang.[6] Laksamana Tadashi Maeda, yang takut akan kelompok 'pemuda' yang mudah terpancing dan tentara Jepang yang terdemoralisasi, menginginkan perpindahan kekuasaan yang cepat kepada para pemimpin senior Indonesia.[6] Sementara kepemimpinan kelompok nasionalis yang lebih senior, termasuk Soekarno dan Hatta enggan terhadap perpindahan kekuasaan ini, anggota elit muda yang lebih muda yang sering disebut 'pemuda Indonesia', percaya bahwa mereka memiliki kewajiban untuk mendorong revolusi. Sebuah kelompok yang terkait dengan "Menteng 31" menculik Soekarno dan Hatta dan memaksa mereka untuk menyetujui untuk mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1945, dua hari setelah Jepang menyerah terhadap Sekutu, Soekarno dan Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Republik Indonesia di rumah Soekarno di Jakarta.[7] Staf Indonesia sempat merebut radio Jakarta dari atasan Jepang mereka dan menyiarkan berita tentang deklarasi tersebut di seluruh Jawa.[8]

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Triyana, Bonnie (2022-01-12). "Istilah "Bersiap" yang Problematik". Historia. Diakses tanggal 2022-02-13. 
  2. ^ a b Keppy (2006:50)
  3. ^ Keppy (2006:52)
  4. ^ Wet uitkeringen burger-oorlogsslachtoffers (Wubo)
  5. ^ Bayly, Christopher Harper, Tim ‘’Forgotten Wars, Freedom and revolution in Southeast Asia’’ (Publisher: Harvard University Press, 2006) ISBN 9780674021532 P.181 Googlebooks
  6. ^ a b Ricklefs (1991), p. 210
  7. ^ Ricklefs (1991), page 213; Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and History. Yale University Press. hlm. 325. ISBN 0-300-10518-5. ; Reid (1973), page 30; Vickers (2005), p. 95
  8. ^ Taylor (2003), p. 323