Lompat ke isi

Dampak pandemi Covid-19 terhadap media sosial

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 13 Juli 2024 06.30 oleh Illchy (bicara | kontrib) (Illchy memindahkan halaman Dampak pandemi Covid-19 di media sosial ke Dampak pandemi Covid-19 terhadap media sosial)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Dampak pandemi COVID-19 di media sosial (bahasa Inggris: Impact of the COVID-19 pandemic on social media) khususnya selama diberlakukan penutupan kawasan atau wilayah tertentu dan penerapan pembatasan sosial di banyak negara pada tahun 2020, penduduk dunia beralih ke media sosial sebagai tempat untuk tetap bisa saling berinteraksi. Berbagai platform media sosial mengalami kenaikan pengguna selama terjadinya pandemi COVID-19. Karena adanya larangan dan pembatasan aktifitas di luar rumah, masyarakat kemudian beralih ke media sosial supaya tetap bisa berkomunikasi dengan orang lain atau bahkan bisa menghabiskan waktu menikmati hiburan berupa musik, berita, film, games dan sebagainya.[1]

Pandemi COVID-19 turut memengaruhi meningkatnya penggunaan media sosial oleh penduduk dunia, para selebriti, pemimpin-pemimpin negara di dunia, dan para profesional. Layanan jejaring sosial juga digunakan untuk menyebarkan informasi terkait pandemi, hingga mencari konten humor melalui Internet meme.[2][3] Akan tetapi, pemberlakuan pembatasan sosial telah memaksa banyak orang melakukan perubahan gaya hidup bagi yang akhirnya memengaruhi kesehatan mental.[1] Banyak layanan konseling daring (online) menggunakan media sosial untuk menghubungkan para konselor dengan mereka yang membutuhkan layanan konseling.[4]

Beberapa pengguna media sosial, seperti akses langsung ke konten melalui platform seperti Twitter dan YouTube, rentan terhadap berita dan informasi hoax yang diragukan kebenarannya.[5] Informasi-informasi hoax sangat bisa memengaruhi perilaku seseorang, membatasi kohesi kelompok dan oleh karena itu efektivitas tindakan pemerintah terhadap virus.[5] Untuk menjangkau banyak orang, platform media sosial juga digunakan oleh pemerintah, para politikus, dan organisasi kesehatan tingkat nasional dan global untuk berbagi informasi dengan cepat.

Peningkatan penggunaan

[sunting | sunting sumber]

Aplikasi layanan pesan dan panggilan video

[sunting | sunting sumber]

Beberapa platform media sosial melaporkan adanya peningkatan penggunaan yang tinggi pada platform mereka sejak diberlakukannya pembatasan sosial, terutama untuk bisa berkomunasi dengan keluarga dan teman di tempat lain. Sebagai contoh, departemen analitik Facebook melaporkan terjadi peningkatan penggunaan layanan pesan Facebook lebih dari 50 persen, paling tidak pada akhir bulan Maret 2020.[1] Aplikasi WhatsApp juga mengalami peningkatan pengguna hinga 40 persen.[1] Aplikasi panggilan video ZOOM, salah satu aplikasi yang mengalami lonjakan pengguna yang paling nyata ketika mulai terjadinya pandemi COVID-19.[6] Unduhan secara global untuk aplikasi TikTok mengalami kenaikan 5% pada bulan Maret 2020 dibandingkan bulan Februari 2020.[7]

Peningkatan keterlibatan layanan konseling secara daring

[sunting | sunting sumber]

Tiongkok menjadi salah satu negara yang mengalami dampak paling buruk pandemi COVID-19, dan menerima lonjakan permintaan layanan konseling daring. Terjadi lonjakan masalah kesehatan mental di Tiongkok karena adanya perubahan gaya hidup dan banyak warga tidak mudah untuk beradaptasi dengan situasi baru tersebut. Sehingga, staf-staf medis meluncurkan program pendidikan kesehatan mental secara daring dengan menggunakan media sosial seperti WeChat, Weibo, dan juga TikTok.[8] Pemerintah provinsi Alberta di Kanada, telah meluncurkan dana sebanyak $ 53 juta sebagai rencana tanggapan terhadap kesehatan mental selama pandemi COVID-19.[9] Kemudian pemerintah provinsi Ontario di Kanada juga telah menyediakan dana darurat sekitar $ 12 juta untuk meningkatkan dukungan layanan konseling dalam mengatasi kesehatan mental.[10]

Pengaruh COVID-19 pada kesehatan mental

[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan penelitian psikologi yang ekstensif membuktikan bahwa seseorang yang menjalin komunikasi dengan orang lain dapat mengembangkan rasa untuk memiliki dan kesejahteraan sosial, sehingga meningkatkan kesehatan mental dan mengurangi risiko gangguan kecemasan dan depresi.[11] Akan tetapi, penggunaan media sosial yang dilakukan terus-menerus dan berlebihan juga terbukti berkorelasi dengan peningkatan rasa depresi dan kecemasan.[12][13] Meningkatnya rasa cemas dan ketakutan merupakan dampak dari mengikuti peraturan pembatasan sosial, sehingga muncul rasa kesepian dan merasa terisolasi dari orang lain dan bisa menjadi sangat membebani bagi sebagian orang.[14] Dampak negatif pandemi COVID-19 pada banyak orang dewasa terkait kesehatan mental dan kesejahteraan mereka, seperti mengalami insomnia atau kesulitan tidur (36%), kurang nafsu makan (32%), peningkatan konsumsi alkohol atau sejenisnya (12%).[15][16]

Digunakan sebagai hiburan

[sunting | sunting sumber]
Sebuah konten meme Internet COVID-19 dengan ilustrasi cerita Little Red Riding Hood pada abad ke-19

Berbagai konten meme Internet terkait pandemi ini banyak beredar di media sosial, seperti di Instagram, Twitter dan Facebook.[17][18][19] Sebuah grup Facebook bernama "Zoom Memes for Self Quaranteens" telah dibuat menjadi ruang komunikasi anak muda (terutama Generasi Z) untuk berbagi konten meme yang mereka buat tentang pandemi, dan memiliki lebih dari 500.000 anggota pada April 2020.[20] Tujuan pembentukan grup ini adalah sebagai hiburan bagi ratusan ribu pelajar yang harus terpaksa beralih ke sekolah daring, guna membantu mereka menghabiskan waktu ekstra dan membantu mengatasi situasi pandemi ini.[21]

Menyebarkan informasi

[sunting | sunting sumber]

Penyedia layanan berita, organisasi, dan masyarakat umum menggunakan media sosial sebagai sarana menyebarkan informasi penting yang valid dan juga bahkan informasi yang salah tentang pandemi COVID-19.[22][23] Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (Centers for Disease Control and Prevention (CDC)), WHO, jurnal kesehatan, dan berbagai organisasi kesehatan lainnya telah menjalin kemitraan kerja dengan plaform Facebook, Google Scholar, TikTok, dan Twitter dalam menyebarkan dan memperbaharui informasi COVID-19.[24] Dalam sebuah laporan tanggal 8 April 2020, terdapat peningkatan percakapan di media sosial hingga 1.000% terkait status COVID-19 di kalangan tenaga medis kesehatan dan peningkatan pembicaraan hingga 2.500% di antara masyarakat umum berdasarkan studi dari tanggal 1 Januari hingga 19 Maret 2020.[25]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d "COVID-19: Social media use goes up as country stays indoors". Victoria News (dalam bahasa Inggris). 31 Maret 2020. Diakses tanggal 23 Maret 2021. 
  2. ^ "Facebook struggles with high traffic as world sits at home and takes to social media because of Covid-19". www.msn.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 Maret 2021. Diakses tanggal 23 Maret 2021. 
  3. ^ Okwodu, Janelle. ""We Need Joy to Survive": Naomi Shimada on How to Mindfully Use Social Media in the Age of Social Distancing". Vogue (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 Maret 2021. Diakses tanggal 23 Maret 2021. 
  4. ^ Gowan, Rob (9 April 2020). "WES for Youth Online sees surge in counselling service use". Owen Sound Sun Times (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 23 Maret 2021. 
  5. ^ a b Cinelli, Matteo; Quattrociocchi, Walter; Galeazzi, Alessandro; Valensise, Carlo Michele; Brugnoli, Emanuele; Schmidt, Ana Lucia; Zola, Paola; Zollo, Fabiana; Scala, Antonio (December 2020). "The COVID-19 Social Media Infodemic". Scientific Reports. 10 (1): 16598. arXiv:2003.05004alt=Dapat diakses gratis. doi:10.1038/s41598-020-73510-5alt=Dapat diakses gratis. ISSN 2045-2322. PMC 7538912alt=Dapat diakses gratis.  Diakses tanggal 23 Maret 2021.
  6. ^ Bursztynsky, Jessica (14 April 2020). "Zoom's massive surge in new users is increasing costs, but the focus is on keeping video calls reliable". CNBC (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 23 Maret 2021. 
  7. ^ Stassen, Murray (24 Maret 2020). "Coronavirus quarantine appears to be driving a global TikTok download boom". Music Business Worldwide. Diakses tanggal 23 Maret 2021. 
  8. ^ Liu, Shuai; Yang, Lulu; Zhang, Chenxi; Xiang, Yu-Tao; Liu, Zhongchun; Hu, Shaohua; Zhang, Bin (April 2020). "Online mental health services in China during the COVID-19 outbreak". The Lancet Psychiatry (dalam bahasa Inggris). 7 (4): e17–e18. doi:10.1016/S2215-0366(20)30077-8. PMC 7129099alt=Dapat diakses gratis. PMID 32085841. 
  9. ^ Brown, Chris. "Alberta launches $53M COVID-19 mental health response plan". CHAT News Today (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 23 Maret 2021. 
  10. ^ "Ontario Increasing Mental Health Support During COVID-19". news.ontario.ca (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 23 Maret 2021. 
  11. ^ Allen, Kelly A.; Ryan, Tracii; Gray, DeLeon L.; McInerney, Dennis M.; Waters, Lea (July 2014). "Social Media Use and Social Connectedness in Adolescents: The Positives and the Potential Pitfalls". The Australian Educational and Developmental Psychologist (dalam bahasa Inggris). 31 (1): 18–31. doi:10.1017/edp.2014.2. ISSN 0816-5122. 
  12. ^ Gao, Junling; Zheng, Pinpin; Jia, Yingnan; Chen, Hao; Mao, Yimeng; Chen, Suhong; Wang, Yi; Fu, Hua; Dai, Junming (16 April 2020). "Mental health problems and social media exposure during COVID-19 outbreak". PLOS ONE (dalam bahasa Inggris). 15 (4): e0231924. Bibcode:2020PLoSO..1531924G. doi:10.1371/journal.pone.0231924. ISSN 1932-6203. PMC 7162477alt=Dapat diakses gratis. PMID 32298385. 
  13. ^ Aristovnik A, Keržič D, Ravšelj D, Tomaževič N, Umek L (October 2020). "Impacts of the COVID-19 Pandemic on Life of Higher Education Students: A Global Perspective". Sustainability. 12 (20): 8438. doi:10.3390/su12208438alt=Dapat diakses gratis. 
  14. ^ CDC (11 Februari 2020). "Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)". Centers for Disease Control and Prevention (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 23 Maret 2021. 
  15. ^ Panchal, Nirmita; Kamal, Rabah; Orgera, Kendal; Cox, Cynthia; Garfield, Rachel; Hamel, Liz; Muñana, Cailey; Chidambaram, Priya (21 August 2020). "The Implications of COVID-19 for Mental Health and Substance Use". KFF (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 8 December 2020. 
  16. ^ Defence, National (9 April 2020). "Defence Team Mental Health and Coping during COVID-19". aem. Diakses tanggal 23 Maret 2021. 
  17. ^ Nicholson, Tom (19 Maret 2020). "These Coronavirus Memes Will Make Life Feel A Little Bit Better". Esquire. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 March 2020. Diakses tanggal 23 Maret 2021. 
  18. ^ Joyce, James (20 Maret 2020). "19 COVID-19 memes to get you through the weekend". The Canberra Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 21 March 2020. Diakses tanggal 23 Maret 2021. 
  19. ^ "Memes, jokes on social media after PM Modi announces 'Janata Curfew' to slow Covid-19 spread". 20 March 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 21 Maret 2020. Diakses tanggal 23 Maret 2021. 
  20. ^ "Zoom Memes for Self Quaranteens". www.facebook.com. Diakses tanggal 23 Maret 2021. 
  21. ^ "Humor in the face of coronavirus". The Daily Targum. 
  22. ^ Llewellyn, Sue (25 Maret 2020). "Covid-19: how to be careful with trust and expertise on social media". BMJ. 368: m1160. doi:10.1136/bmj.m1160alt=Dapat diakses gratis. PMID 32213480 – via www.bmj.com. 
  23. ^ Zarocostas, John (29 February 2020). "How to fight an infodemic". The Lancet (dalam bahasa Inggris). 395 (10225): 676. doi:10.1016/S0140-6736(20)30461-X. ISSN 0140-6736. PMC 7133615alt=Dapat diakses gratis. PMID 32113495. 
  24. ^ Kelly, Makena (28 Februari 2020). "The World Health Organization has joined TikTok to fight coronavirus misinformation". The Verge. 
  25. ^ Syner Bulik, Beth (8 April 2020). "Docs are talking about COVID-19 on social media—and pharma is looking for lessons". FiercePharma (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 23 Maret 2021.