Lompat ke isi

Gunung Gumitir

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Gunung Gumitir

Gunung Gumitir (dialek Jawa: gumitèr) merupakan sebuah gunung terletak di wilayah perbatasan antara kabupaten Jember dengan Kabupaten Banyuwangi, lebih tepatnya antara kecamatan Silo dengan kecamatan Kalibaru.[1][2][3] Gunung ini terkadang juga disebut dengan nama Gunung Mrawan (bukan desa Mrawan).

Sejak zaman dahulu, gunung Gumitir telah menjadi jalur penghubung antara wilayah di timur dan barat karena memiliki wilayah dengan ketinggian paling rendah diantara deretan pegunungan dari Gunung Raung (utara) hingga Gunung Kidul (selatan). Kini, gunung Gumitir menjadi pintu masuk ke Kabupaten Banyuwangi dari arah Barat.

Etimologi

Gumitir, gemitir, kumitir, atau kemitir merupakan nama tanaman Tagetes erecta yang memiliki bunga berwarna kekuningan. Di Bali, bunga gumitir banyak digunakan untuk membuat sesajen (canang sari).[4] Dalam kepercayaan Jawa kuno, alang-alang kumitir merupakan nama kahyangan dari Sang Hyang Wenang.[5][6]

Sejarah

Legenda

Menurut legenda yang beredar di kalangan masyarakat, terutama penduduk kabupaten Banyuwangi, nama gumitir berasal dari kisah Damar Wulan. Setelah Damar Wulan berhasil membunuh dan memenggal kepala Menak Jinggo, ia bertemu Layang Seta dan Layang Kumitir, putra kembar patih Logender, di tengah jalan. Keduanya berhasil menipu Damar Wulan dan merampas kepala Menak Jinggo.[7] Gunung tempat keduanya menipu Damar Wulan akhirnya dikenal dengan nama Gunung Kumitir atau Gunung Gumitir.[8]

Masa kolonial

Wilayah Gunung Gumitir telah menjadi perhatian pemerintah kolonial Belanda, antara lain pembangunan lintasan kereta api oleh Staatspoorwegen pada tanggal 10 September 1902 dan pembangunan pabrik pengolahan kopi Goenoeng Goemitir yang diresmikan pada tanggal 13 Agustus 1934.[9][10]

Masa penjajahan Jepang

Pada masa penjajahan Jepang, serdadu Dai Nippon membangun sebuah gua untuk mengawasi jalur kereta api yang melintasi Gunung Gumitir. Gua Jepang tersebut terletak sekitar 100 meter dari Watu Gudang, terbuat dari beton tebal dengan ukuran sekitar 6x8 m².[11]

Masa kemerdekaan

PTPN XII
Salah satu komplek perumahan perkebunan PTPN XII

Wilayah Gunung Gumitir dilindungi dan dikelola oleh Perum Perhutani KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Banyuwangi Barat dan PT. Perkebunan Nusantara XII (PTPN XII) Gunung Gumitir. Sebelum digabung dengan PTP XXIII dan PTP XXVI oleh Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1996, wilayah Gumitir dikelola oleh PTP XXIX (lihat Sejarah Perkebunan Nusantara XII).[1][12]

Komoditas utama Perum Perhutani KPH BanyuwangiBarat adalah jati, pinus, dan mahoni; sementara komoditas utama PTPN XII di Gunung Gumitir adalah kopi robusta, pohon jarak, dan berbagai kayu.[12][13]

Jalur transportasi

Pada gunung ini terdapat jalur penghubung antara Jember-Banyuwangi, baik berupa jalan raya maupun lintasan kereta api.[3]

Lintasan mobil

Watu gudang

Jalur lintasan mobil Gunung Gumitir (Jalan Raya Jember) adalah satu-satunya jalur penghubung antara Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jember. Jalan dengan panjang sekitar delapan kilometer ini berkelok-kelok menyusuri tepian gunung.[3] Puncak teratas dari lintasan jalan raya dikenal dengan nama Watu Gudang karena terdapat struktur batu raksasa yang terpaksa dibelah pada saat pembukaan jalan. Batu Gudang ini pernah kembali dipapas dalam rangka pelebaran jalan.

Kelokan jalan

Jalur jalan raya di lintasan Gunung Gumitir cukup berbahaya karena kelokan yang tajam, lereng curam, dan salipan kendaraan. Titik-titik kelokan yang berbahaya biasanya selalu dijaga oleh penduduk setempat untuk membantu mengarahkan pengguna jalan dan memberi tanda apakah ada kendaraan yang melewati arah berlawanan sehingga tidak terjadi kecelakaan. Para penunjuk jalan ini biasa disebut awe-awe (Jawa= "melambai-lambai") karena mereka melambai-lambaikan tangan untuk memberi tanda pada pengguna jalan.[14]

Seiring perubahan waktu, pelaku awe-awe tidak hanya sekedar membantu penguna jalan, tetapi berkembang menjadi media untuk meminta-minta. Menurut penelitian, para penunjuk jalan tersebut umunnya terdesak oleh kebutuhan ekonomi.[14] Para lanjut usia yang melakukan kegiatan awe-awe memiliki dorongan untuk tidak tergantung pada keluarga anak mereka, keinginan untuk meringankan beban keluarga, dan terpengaruh oleh orang-orang sekitar yang juga bekerja awe-awe.[15] Anak-anak yang melakukan kegiatan awe-awe terdorong oleh keinginan memiliki uang sehinga dapat membeli kue, membantu perekonomian keluarga, kondisi keluarga tidak harmonis, kurangnya sarana bermain, dan pengaruh lingkungan masyarakat yang mendorong anak-anak bekerja sebagai awe-awe.[16]

Tanah longsor

Jalur lintasan mobil di Gunung Gumitir sering terputus akibat tanah longsor. Tanah di Gunung Gumitir tergolong labil dan memiliki tingkat kecuraman lereng yang tinggi sehingga berpotensi longsor, terutama saat musim hujan. Faktor dominan penyebab longsor adalah penggalian tebing, kemiringan lereng, dan tekstur tanah. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh banyaknya alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan, jalan, dan bangunan rumah makan.[2][3]

Secara garis besar, lintasan jalan di Gunung Gumitir termasuk daerah yang memiliki tingkat kerentanan longsor sedang yang tersebar di sepanjang jalan seluas 24.30 ha.[2] Tingkat kerentanan longsor tinggi mendominasi jalur Km 34 hingga Km 37+4 (sepanjang 3,3 km), tingkat kerentanan longsor sedang terdapat pada Km 40+6 hingga Km 41, Km 39+4 hingga Km 40+6, Km 38+5 hingga Km 39+4, dan Km 37+7 hingga Km 38+2 (total panjang sekitar 3 kilometer). Tingkat kerentanan longsor rendah terletk pada Km 32+7 hingga Km 34+1 dan Km 37+4 hingga Km 37+7 (panjang 1,7 kilometer).[3]

Lintasan kereta api

Wilayah gunung Gumitir ditembus oleh dua terowongan kereta api yang sudah dibangun semenjak masa kolonial Belanda, yaitu terowongan Mrawan dan terowongan Garahan. Terdapat dua buah stasiun yang terletak di wilayah Gunung Gumitir, yaitu Stasiun Mrawan dan Stasiun Garahan, yang kini masih tetap beroperasi meskipun sudah tidak menjadi tempat pemberhentian kereta api lagi.

Pariwisata

Lori Wisata Kaliraga

Lori Wisata Kaliraga merupakan sebuah paket wisata yang ditawarkan PT. KAI (Persero) wilayah Daop 9 Jember dan merupakan bagian dari proyek Pusat Pelestarian Benda dan Bangunan PT Kereta Api Indonesia untuk membuka kembali beberapa jalur bersejarah dan unik peninggalan Hindia Belanda. Wisata ini menawarkan agrowisata perkebunan kopi, cokelat, hutan pinus, dan panorama Gunung Gumitir. Lori berangkat dari Stasiun Kalibaru menuju Stasiun Mrawan dan berakhir di Stasiun Garahan, kemudian kembali lagi. Perjalanan wisata melewati Terowongan Garahan (113m) dan Terowongan Mrawan (690m).[17][18]

Cafe & Rest Area Gumitir

Bangunan utama Cafe Gumitir di tahun 2015
Kursi kayu raksasa

PT. PTPN XII mendirikan "Cafe & Rest Area Gumitir" yang mulai beroperasi pada tanggal 14 Maret 2010 sebagai salah satu bentuk optimalisasi lahan perkebunan milik BUMN, selain tetap fokus dalam bisnis komoditas utama yaitu kopi, karet, kakao, teh, dan kayu-kayuan. Area cafe yang semula hanya satu 1 hektar terus dikembangkan menjadi 3 hektar dengan laba yang terus meningkat, yaitu sebesar Rp 1,7 miliar (2011) menjadi sekitar 2 miliar (2012).[19][20]

Sarana yang disediakan oleh Cafe Gumitir adalah sebagai berikut:[19]

  1. Permainan Outbound (spider web, jumping dot, jembatan elvis), Flying Fox.
  2. Kereta wisata dan kendaraan Willys mengelilingi wilayah PTPN XII Gunung Gumitir.
  3. ATV
  4. Berkuda.
  5. Area bermain anak, area perkemahan, lapangan olah raga.
  6. Live music.
  7. Mushola dan gedung pertemuan dekat pabrik pengolahan kopi.

Salah satu daya tarik Cafe & Rest Area Gumitir adalah kursi kayu raksasa dari kayu kayu Segawe (Adentahera microsperma) untuk tempat berteduh dan gardu pandang. Kursi ini berukuran 3x3 m², tinggi alas 2,5 meter, dan tinggi sandaran 5,3 meter.[19]

Konservasi alam

Sebagian lahan hutan yang berubah fungsi menjadi perkebunan kopi

Kawasan hutan Gumitir merupakan habitat bagi monyet. Sekitar tahun 1990an, banyak penduduk sekitar yang menangkap monyet untuk dijual. Hal tersebut menyebabkan komunitas monyet di Gunung Gumitir menjadi berkurang dan tidak pernah terlihat berkeliaran bebas di tepi-tepi jalan seperti sebelumnya. Setelah ada pengawasan ketat dari Perhutani, komunitas monyet di Gunung Gumitir kembali meningkat meskipun sangat jarang dapat ditemui di tepi jalan.

Setelah kerusuhan 1998, sebagian wilayah hutan Gunung Gumitir ditebang oleh orang-orang tidak bertanggung jawab dan dialihfungsikan sebagai lahan perkebunan. Hal tersebut menyebabkan rusaknya wilayah hutan beserta pepohonan berusia puluhan tahun atau lebih serta peningkatan suhu udara rata-rata yang dampaknya terasa hingga ke Kota Kalibaru. Hingga kini, wilayah hutan masih digunakan sebagai lahan perkebunan rakyat dengan hak sewa kepada Perum Perhutani.

Hal ini juga berdampak kepada mata pencaharian masyarakat yang sebagian besar berubah menjadi petani karena banyak yang memiliki lahan garapan. Selain itu, para pengrajin rotan juga menjadi buruh tani karena bahan baku yang biasa mereka gunakan ikut hilang bersama alih fungsi lahan. Secara garis besar, alih fungsi lahan memberi dampak positif pada peningkatan kesejahteraan penduduk sekitar.[21]

Galeri

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b Vivin Kartika Wardani. 2014. Kinerja Karyawan PT. Perkebunan Nusantara XII Wilayah I Gunung Gumitir. Abstrak Skripsi. Universitas Jember.
  2. ^ a b c Aminatus Zuhro Ensiyawatin. 2010. Tingkat Kerentanan Longsor di Jalur Jalan Sepanjang Gunung Gumitir Kecamatan Kalibaru Kabupaten Banyuwangi. Abstrak Skripsi. Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang.
  3. ^ a b c d e Akvian Erie Prawira. 2014. Tingkat Kerentanan Bencana Longsor pada Jalur Gunung Gumitir (Jalan Penghubung Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jember). Abstrak Skripsi, Jurusan Geografi FIS, Universitas Negeri Malang.
  4. ^ Julianto. 05 Agustus 2014. Tabloit Sinar Tani, Usaha Tani Gumitir Takkan Getir.
  5. ^ Achmad Effendi Kadarisman. 2009. Sketsa Puitika Jawa: Dari Rima Anak-Anak sampai Filsafat Rasa. Kegiatan Tri Darma Dosen. Universitas Negeri Malang
  6. ^ G.P.H. Hadiwidjojo. 1958. "Alang-alang Kumitir". Yayasan Sastra Lestari.
  7. ^ Kaori Okado. 2011. When Women are Kings: Cross-Gendered Expression in an All-Female Central Javanese Court Dance-Drama and Its Public Reception. UrbanScope 2: 19-30.
  8. ^ Udi Putrowangi. 25 Oktober 2012. Kota Banyuwangi.
  9. ^ Terowongan Mrawan.
  10. ^ Pabrik Pengolahan Kopi Gunung Gumitir.
  11. ^ Radar Jember. 7 Agustus 2014. Mengunjungi Bunker Peninggalan Jepang di Desa Sidomulyo Silo.
  12. ^ a b Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur.Profil Perkebunan: UUS Gunung Gumitir
  13. ^ Tim Penulis. 2013. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bidang Pangan dan Pertanian 2015-2019. Jakarta: Direktorat Pangan dan Pertanian,Bappenas.
  14. ^ a b Didit Saputro. 2011. Potensi dan kendala Pelaku Awe-Awe di Gunung Gumitir. Abstrak Skripsi. Program Studi Sosiologi, Universitas Jember.
  15. ^ Hidayatus Sofyan. 2014. Motivasi Pengemis Awe-Awe Lanjut Usia di Jalur Gunung Gumitir (Study Deskriptif di Desa Sidomulyo, Kecamatan Silo, Kabupaten Jember). Abstrak Skripsi. Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Universitas Jember.
  16. ^ Rio Dicky Permana Putra. 2014. [http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/20327 Motivasi Anak-Anak Bekerja sebagai Awe-Awe (Studi Kasus di Jalan Gunung Gumitir, Desa Kalibarumanis, Kecamatan Kalibaru, Kabupaten Banyuwangi).Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial, Universitas Jember.
  17. ^ Anonim. Situs Resmi PT. KAI. Layanan Produk. Diunduh tanggal 9 Februari 2015].
  18. ^ Anonim. Website Resmi Pemerintah Banyuwangi. Menikmati Keindahan Gunung Gumitir dengan Berwisata Lori.
  19. ^ a b c Sri Roswati. 22 Agustus 2014. Tempo Kini, Alas Gumitir Membutuhkan Sentuhan Tanganmu, Pemerintah.
  20. ^ Mahbub Djunaidy. 05 MARET 2013. Tempo, Menikmati Blusukan Kebun dan Pabrik Kopi Gumitir.
  21. ^ Arie Kusuma Wardani. 2011. Perubahan Kondisi Sosial Ekonomi dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Akibat Alih Fungsi Lahan Hutan Menjadi Perkebunan di Desa Kalibaru Manis Kecamatan Kalibaru Kabupaten Banyuwangi. Abstrak Skripsi, Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang.