Kekaisaran Romawi Suci: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: halaman dengan galat skrip halaman dengan galat kutipan
Tag: halaman dengan galat skrip halaman dengan galat kutipan
Baris 268: Baris 268:


Pada abad ke-12, [[Liga Hansa]] mengukuhkan keberadaannya sebagai persekutuan dagang dan keamanan antar[[gilda|serikat usaha]] kota-kota kecil dan kota-kota besar di Kekaisaran Romawi Suci maupun di seluruh kawasan utara dan kawasan tengah Eropa. Liga Hansa mendominasi usaha dagang lintas laut di perairan [[Laut Baltik]], [[Laut Utara]], dan di sepanjang aliran sungai-sungai yang dapat dilayari. Setiap kota yang menjadi anggotanya tetap mempertahankan tatanan hukum pangreh prajanya masing-masing, dan hanya memiliki otonomi politik yang terbatas (kecuali [[kota kekaisaran bebas|kota-kota merdeka milik negara]]). Pada akhir abad ke-14, persekutuan besar itu sudah mulai berani memaksakan kepentingan-kepentingannya, bahkan bila perlu dengan kekuatan militer. Kenekatan semacam ini berpuncak pada perang melawan Kerajaan Denmark dari tahun 1361 sampai 1370. Liga Hansa mulai terpuruk selepas tahun 1450.{{Efn|name=Translation}}{{Sfn|Szepesi|2015}}{{Sfn|Rothbard |2009}}
Pada abad ke-12, [[Liga Hansa]] mengukuhkan keberadaannya sebagai persekutuan dagang dan keamanan antar[[gilda|serikat usaha]] kota-kota kecil dan kota-kota besar di Kekaisaran Romawi Suci maupun di seluruh kawasan utara dan kawasan tengah Eropa. Liga Hansa mendominasi usaha dagang lintas laut di perairan [[Laut Baltik]], [[Laut Utara]], dan di sepanjang aliran sungai-sungai yang dapat dilayari. Setiap kota yang menjadi anggotanya tetap mempertahankan tatanan hukum pangreh prajanya masing-masing, dan hanya memiliki otonomi politik yang terbatas (kecuali [[kota kekaisaran bebas|kota-kota merdeka milik negara]]). Pada akhir abad ke-14, persekutuan besar itu sudah mulai berani memaksakan kepentingan-kepentingannya, bahkan bila perlu dengan kekuatan militer. Kenekatan semacam ini berpuncak pada perang melawan Kerajaan Denmark dari tahun 1361 sampai 1370. Liga Hansa mulai terpuruk selepas tahun 1450.{{Efn|name=Translation}}{{Sfn|Szepesi|2015}}{{Sfn|Rothbard |2009}}

=== Akhir Abad Pertengahan ===
{{Further|Akhir Abad Pertengahan|Pomerania pada Akhir Abad Pertengahan}}

==== Kebangkitan praja-praja pasca-Hohenstaufen ====
[[File:Karl IV HRR.jpg|thumb|upright|[[Karl IV, Kaisar Romawi Suci|Karel IV]], [[Kaisar Romawi Suci]]]]
[[File:Holy Roman Empire at the Golden Bull of 1356.png|thumb|upright=1.35|Wilayah Kekaisaran Romawi Suci pada waktu penandatanganan Bula Kencana tahun 1356]]

Kesulitan-kesulitan dalam memilih raja pada akhirnya mendorong dibentuknya suatu dewan tetap [[pangeran-pemilih|pangreh praja pemilih]] (''Kurfürsten''). Keanggotaan maupun tata acara persidangannya ditetapkan di dalam [[Bula Kencana tahun 1356]] yang dikeluarkan oleh [[Karl IV, Kaisar Romawi Suci|Kaisar Karel IV]] (memerintah sebagai Raja Bangsa Romawi sejak tahun 1346, dan sebagai kaisar sejak tahun 1355 sampai 1378) dan berlaku sampai tahun 1806. Perkembangan ini mungkin sekali merupakan tanda yang paling nyata dari munculnya pembedaan kaisar dari negara (''Kaiser und Reich''), karena kaisar tidak lagi dianggap identik dengan negara. Bula Kencana tahun 1356 juga menetapkan tata cara pemilihan Kaisar Romawi Suci. Kaisar tidak lagi terpilih karena memenangkan suara mayoritas pemilih, tetapi terpilih mendapatkan persetujuan ketujuh-tujuh pangreh praja pemilih. Gelar pangreh praja pemilih pun menjadi gelar turun-temurun, bahkan pangreh praja pemilih dianugerahi hak untuk mencetak uang dan melaksanakan kewenangan hukum. Putra-putra mereka dianjurkan untuk belajar menguasai bahasa-bahasa negara, yaitu [[bahasa Jerman]], [[bahasa Latin]], [[bahasa Italia]], dan [[bahasa Ceko]].{{Efn|name=GoldenBull}}{{Sfn|Žůrek|2014}} Kebijakan Kaisar Karel IV ini menjadi pokok perdebatan. Di satu pihak kebijakan ini membantu memulihkan kedamaian di seantero wilayah Kekaisaran Romawi Suci yang terus-menerus dilanda perang saudara sejak berakhirnya zaman kulawangsa Hohenstaufen, tetapi di lain pihak kebijakan ini "tidak pelak lagi menghantam kewenangan pemerintah pusat".<ref>{{Cite book |last=Schwartzwald |first=Jack L. |url=https://books.google.com/books?id=bqgHCwAAQBAJ&pg=PA116 |title=The Collapse and Recovery of Europe, AD 476–1648 |date=20 November 2015 |publisher=McFarland |isbn=978-1-4766-6230-5 |page=116 |language=en |access-date=5 Februari 2022}}</ref> <!-- Menurut Thomas Brady Jr., Kaisar Karel IV sesungguhnya berniat mengakhiri ontested royal elections (from the Luxembourghs' perspective, they also had the advantage that the King of Bohemia had a permanent and preeminent status as one of the Electors himself).{{Sfn|Brady|2009|p=73}}<ref>{{Cite book |last=Mahoney |first=William |url=https://books.google.com/books?id=5qgHE29pikMC&pg=PA51 |title=The History of the Czech Republic and Slovakia |date=18 February 2011 |publisher=ABC-CLIO |isbn=978-0-3133-6306-1 |page=51 |language=en |access-date=6 February 2022}}</ref> At the same time, he built up Bohemia as the Luxembourghs' core land of the Empire and their dynastic base. His reign in Bohemia is often considered the land's Golden Age. According to Brady Jr. though, under all the glitter, one problem arose: the government showed an inability to deal with the German immigrant waves into Bohemia, thus leading to religious tensions and persecutions. The imperial project of the Luxembourgh halted under Charles's son [[Wenceslaus IV of Bohemia|Wenceslaus]] (reigned 1378–1419 as King of Bohemia, 1376–1400 as King of the Romans), who also faced opposition from 150 local baronial families.{{Sfn|Brady|2009|pp=73,74}}

The shift in power away from the emperor is also revealed in the way the post-Hohenstaufen kings attempted to sustain their power. Earlier, the Empire's strength (and finances) greatly relied on the Empire's own lands, the so-called ''[[Reichsgut]]'', which always belonged to the king of the day and included many Imperial Cities. After the 13th century, the relevance of the ''Reichsgut'' faded, even though some parts of it did remain until the Empire's end in 1806. Instead, the ''Reichsgut'' was increasingly pawned to local dukes, sometimes to raise money for the Empire, but more frequently to reward faithful duty or as an attempt to establish control over the dukes. The direct governance of the ''Reichsgut'' no longer matched the needs of either the king or the dukes.

The kings beginning with [[Rudolf I of Germany]] increasingly relied on the lands of their respective dynasties to support their power. In contrast with the ''Reichsgut'', which was mostly scattered and difficult to administer, these territories were relatively compact and thus easier to control. In 1282, Rudolf I thus lent Austria and [[Styria (duchy)|Styria]] to his own sons. In 1312, [[Henry VII, Holy Roman Emperor|Henry VII]] of the [[House of Luxembourg]] was crowned as the first Holy Roman Emperor since Frederick II. After him all kings and emperors relied on the lands of their own family (''Hausmacht''): [[Louis IV, Holy Roman Emperor|Louis IV]] of [[Wittelsbach]] (king 1314, emperor 1328–1347) relied on his lands in Bavaria; [[Charles IV, Holy Roman Emperor|Charles IV]] of Luxembourg, the grandson of Henry VII, drew strength from his own lands in Bohemia. It was thus increasingly in the king's own interest to strengthen the power of the territories, since the king profited from such a benefit in his own lands as well.

====Imperial Reform====
{{Main|Imperial Reform}}
[[File:Hans Burgkmair d. Ä. 005.jpg|thumb|upright|[[Holy Roman Emperor]] [[Frederick III, Holy Roman Emperor|Fredrick III]]]]

The "constitution" of the Empire still remained largely unsettled at the beginning of the 15th century. Feuds often happened between local rulers. The "[[Robber baron (feudalism)|robber baron]]" (''Raubritter'') became a social factor.{{Sfn|Whaley|2011|p=278}}

Simultaneously, the Catholic Church experienced crises of its own, with wide-reaching effects in the Empire. The conflict between several papal claimants (two [[anti-popes]] and the "legitimate" [[Papacy|Pope]]) ended only with the [[Council of Constance]] (1414–1418); after 1419 the Papacy directed much of its energy to suppressing the [[Hussites]]. The medieval idea of unifying all [[Christendom]] into a single political entity, with the Church and the Empire as its leading institutions, began to decline.

With these drastic changes, much discussion emerged in the 15th century about the Empire itself. Rules from the past no longer adequately described the structure of the time, and a reinforcement of earlier ''Landfrieden'' was urgently needed.{{Sfn|Hardy|2018}}

The vision for a simultaneous reform of the Empire and the Church on a central level began with [[Sigismund, Holy Roman Emperor|Sigismund]] (reigned 1433–1437, King of the Romans since 1411), who, according to historian Thomas Brady Jr., "possessed a breadth of vision and a sense of grandeur unseen in a German monarch since the thirteenth century". But external difficulties, self-inflicted mistakes and the extinction of the Luxembourg male line made this vision unfulfilled.{{Sfn|Brady|2009|pp=75–81}}

[[Frederick III, Holy Roman Emperor|Frederick III]] was the first Habsburg to be crowned Holy Roman Emperor, in 1452.<ref>{{Cite book |last=Drees |first=Clayton J. |url=https://books.google.co.uk/books?id=8TLLEAAAQBAJ&pg=PA167 |title=The Late Medieval Age of Crisis and Renewal, 1300-1500: A Biographical Dictionary |date=2000-11-30 |publisher=Bloomsbury Publishing USA |isbn=978-1-56750-749-2 |language=en}}</ref> He had been very careful regarding the reform movement in the empire. For most of his reign, he considered reform as a threat to his imperial prerogatives. He avoided direct confrontations, which might lead to humiliation if the princes refused to give way.<ref>{{Cite book |last=Wilson |first=Peter H. |url=https://books.google.com/books?id=I5lFCgAAQBAJ&pg=PR79 |title=The Holy Roman Empire: A Thousand Years of Europe's History |date=2016b |publisher=Penguin Books Limited |isbn=978-0-1419-5691-6 |page=79 |language=en |access-date=21 January 2022}}</ref> After 1440, the reform of the Empire and Church was sustained and led by local and regional powers, particularly the territorial princes.<ref>{{Cite book |last=Smith |first=William Bradford |url=https://books.google.com/books?id=IUcEmkYpdFQC&pg=PA45 |title=Reformation and the German Territorial State: Upper Franconia, 1300–1630 |date=2008 |publisher=University Rochester Press |isbn=978-1-5804-6274-7 |page=45 |language=en |access-date=21 January 2022}}</ref> In his last years, however, there was more on pressure on taking action from a higher level. [[Berthold von Henneberg]], the Archbishop of Mainz, who spoke on behalf of reform-minded princes (who wanted to reform the Empire without strengthening the imperial hand), capitalized on Frederick's desire to secure the imperial election for his son [[Maximilian I, Holy Roman Emperor|Maximilian]]. Thus, in his last years, he presided over the initial phase of Imperial Reform, which would mainly unfold under his Maximilian. Maximilian himself was more open to reform, although naturally he also wanted to preserve and enhance imperial prerogatives. After Frederick retired to Linz in 1488, as a compromise, Maximilian acted as mediator between the princes and his father. When he attained sole rule after Frederick's death, he would continue this policy of brokerage, acting as the impartial judge between options suggested by the princes.{{Sfn|Wilson|2016|p=79}}{{Sfn|Brady|2009|pp=104–106}}

=====Creation of institutions=====
[[File:Innsbruck - painting of Albrecht Dürer.jpg|thumb|upright=1.35|Innsbruck, most important political centre under Maximilian,{{Sfn|Pavlac|Lott|2019|p=249}} seat of the ''Hofkammer'' (Court Treasury) and the Court Chancery, which functioned as "the most influential body in Maximilian's government".{{Sfn|Brady|2009|p=211}} Painting of Albrecht Dürer (1496)]]

Major measures for the Reform were launched at the [[1495 Reichstag]] at [[Worms, Germany|Worms]]. A new organ was introduced, the ''[[Reichskammergericht]]'', that was to be largely independent from the Emperor. A new tax was launched to finance it, the ''Gemeine Pfennig'', although this would only be collected under Charles V and Ferdinand I, and not fully.<ref name="Tracy 163">{{Cite book |last=Tracy |first=James D. |url=https://books.google.com/books?id=KHCPDAAAQBAJ&pg=PA163 |title=Balkan Wars: Habsburg Croatia, Ottoman Bosnia, and Venetian Dalmatia, 1499–1617 |date=29 July 2016 |publisher=Rowman & Littlefield |isbn=978-1-4422-1360-9 |page=163 |language=en |access-date=17 January 2022}}</ref><ref name="auto">{{Cite book |last=Ágoston |first=Gábor |url=https://books.google.com/books?id=mXALEAAAQBAJ&pg=PA312 |title=The Last Muslim Conquest: The Ottoman Empire and Its Wars in Europe |date=22 June 2021 |publisher=Princeton University Press |isbn=978-0-6912-0538-0 |page=312 |language=en |access-date=17 January 2022}}</ref>{{Sfn|Whaley|2012a|p=[https://web.archive.org/web/20160629134300/https://books.google.com/books?id=UiFWYsG-t7UC&printsec=frontcover&dq=Germany+and+the+Holy+Roman+Empire+Volume+I&source=bl&ots=IvHjooiUip&sig=4g3acx620VKwkAhPhSuR8m0q0-U&hl=en&sa=X&ei=d_oCUIX7EoGQ8wSX95n7Bw&ved=0CDEQ6AEwAA#v=onepage&q=Gemeine%20Pfennig&f=false]}}

To create a rival for the ''[[Reichskammergericht]]'', in 1497 Maximilian establish the ''[[Aulic Council|Reichshofrat]]'', which had its seat in Vienna. During Maximilian's reign, this council was not popular though. In the long run, the two Courts functioned in parallel, sometimes overlapping.{{Sfn|Pavlac|Lott|2019|p=143}}{{Sfn|Brady|2009|p=429}}

In 1500, Maximilian agreed to establish an organ called the ''[[Reichsregiment]]'' (central imperial government, consisting of twenty members including the Electors, with the Emperor or his representative as its chairman), first organized in 1501 in [[Nuremberg]]. But Maximilian resented the new organization, while the Estates failed to support it. The new organ proved politically weak, and its power returned to Maximilian in 1502.{{Sfn|Erbe|2000|pp=19–30}}{{Sfn|Brady|2009|p=429}}{{Sfn|Whaley|2011|p=61}}

The most important governmental changes targeted the heart of the regime: the chancery. Early in Maximilian's reign, the Court Chancery at Innsbruck competed with the Imperial Chancery (which was under the elector-archbishop of Mainz, the senior Imperial chancellor). By referring the political matters in Tyrol, Austria as well as Imperial problems to the Court Chancery, Maximilian gradually centralized its authority. The two chanceries became combined in 1502.{{Sfn|Brady|2009|p=211}} In 1496, the emperor created a general treasury (''Hofkammer'') in Innsbruck, which became responsible for all the hereditary lands. The chamber of accounts (''Raitkammer'') at Vienna was made subordinate to this body.{{Sfn|Berenger|Simpson|2014|p=132}} Under {{Ill|Paul von Liechtenstein|de|Paul von Liechtenstein-Kastelkorn}}, the ''Hofkammer'' was entrusted with not only hereditary lands' affairs, but Maximilian's affairs as the German king too.<ref>{{Cite book |last1=Gosman |first1=Martin |url=https://books.google.com/books?id=6cqMgy6ZxlMC&pg=PA298 |title=Princes and Princely Culture: 1450–1650 |last2=Alasdair |first2=A. |last3=MacDonald |first3=A. |last4=Macdonald |first4=Alasdair James |last5=Vanderjagt |first5=Arie Johan |date=2003 |publisher=BRILL |isbn=978-9-0041-3572-7 |page=298 |access-date=24 October 2021 |archive-url=https://web.archive.org/web/20211024064350/https://books.google.com/books?id=6cqMgy6ZxlMC&pg=PA298 |archive-date=24 October 2021 |url-status=live}}</ref>

=====Reception of Roman law=====
[[File:Maximilian I watching an execution during Philip and Joanna betrothal.jpg|thumb|upright=1.15|left |Maximilian I paying attention to an execution instead of watching the betrothal of his son [[Philip I of Castile|Philip the Handsome]] and [[Joanna of Castile]]. The top right corner shows [[Cain and Abel]]. Satire against Maximilian's legal reform, associated with imperial tyranny. Created on behalf of the councilors of Augsburg. Plate 89 of ''Von der Arztney bayder Glück'' by the [[:de:Petrarcameister|Petrarcameister]].<ref>{{Cite book |last=Hodnet |first=Andrew Arthur |title=The Othering of the Landsknechte |date=2018 |publisher=North Carolina State University |page=81}}</ref>]]

At the 1495 Diet of Worms, the Reception of Roman Law was accelerated and formalized. The Roman Law was made binding in German courts, except in the case it was contrary to local statutes.<ref>{{Cite book |last=Burdick |first=William Livesey |url=https://books.google.com/books?id=IRkMm73NCEUC&pg=PA19 |title=The Principles of Roman Law and Their Relation to Modern Law |date=2004 |publisher=The Lawbook Exchange, Ltd. |isbn=978-1-5847-7253-8 |pages=19, 20 |language=en |access-date=19 November 2021}}</ref> In practice, it became the basic law throughout Germany, displacing Germanic local law to a large extent, although Germanic law was still operative at the lower courts.<ref>{{Cite book |last=Lee |first=Daniel |url=https://books.google.com/books?id=3jfcCwAAQBAJ&pg=PA243 |title=Popular Sovereignty in Early Modern Constitutional Thought |date=19 February 2016 |publisher=Oxford University Press |isbn=978-0-1910-6244-5 |page=243 |language=en |access-date=20 November 2021}}</ref><ref>{{Cite book |last=Thornhill |first=Chris |url=https://books.google.com/books?id=3JuU_MfVTbAC&pg=PA12 |title=German Political Philosophy: The Metaphysics of Law |date=24 January 2007 |publisher=Routledge |isbn=978-1-1343-8280-4 |page=12 |language=en |access-date=20 November 2021}}</ref><ref>{{Cite book |last=Haivry |first=Ofir |url=https://books.google.com/books?id=KNvFDgAAQBAJ&pg=PA118 |title=John Selden and the Western Political Tradition |date=29 June 2017 |publisher=Cambridge University Press |isbn=978-1-1070-1134-2 |page=118 |language=en |access-date=20 November 2021}}</ref><ref>{{Cite book |last=Mousourakis |first=George |url=https://books.google.com/books?id=n6tBDgAAQBAJ&pg=PT435 |title=The Historical and Institutional Context of Roman Law |date=2 March 2017 |publisher=Routledge |isbn=978-1-3518-8840-0 |page=435 |language=en |access-date=20 November 2021}}</ref> Other than the desire to achieve legal unity and other factors, the adoption also highlighted the continuity between the Ancient Roman empire and the Holy Roman Empire.<ref>{{Cite book |last=Zoller |first=Élisabeth |url=https://books.google.com/books?id=m1zfs2VcJs0C&pg=PA64 |title=Introduction to Public Law: A Comparative Study |date=2008 |publisher=BRILL |isbn=978-9-0041-6147-4 |page=64 |language=en |access-date=20 November 2021}}</ref> To realize his resolve to reform and unify the legal system, the emperor frequently intervened personally in matters of local legal matters, overriding local charters and customs. This practice was often met with irony and scorn from local councils, who wanted to protect local codes.{{Sfn|Hodnet|2018|pp=79–81}}

The legal reform seriously weakened the ancient [[Vehmic court]] (''Vehmgericht'', or Secret Tribunal of [[Westphalia]], traditionally held to be instituted by [[Charlemagne]] but this theory is now considered unlikely<ref>{{Cite book |last=Spence |first=Lewis |url=https://books.google.com/books?id=sDXYAAAAMAAJ |title=An Encyclopedia of Occultism |date=1993 |publisher=Kensington Publishing Corporation |isbn=978-0-8065-1401-7 |page=133 |language=en |access-date=12 December 2021}}</ref><ref>{{Cite book |last=Palgrave |first=Francis |url=https://books.google.com/books?id=U98aAgAAQBAJ&pg=PA204 |title=The Collected Historical Works of Sir Francis Palgrave, K.H. |date=5 December 2013 |publisher=Cambridge University Press |isbn=978-1-1076-2636-2 |pages=xiv,203, 204 |language=en |access-date=12 December 2021}}</ref>), although it would not be abolished completely until 1811 (when it was abolished under the order of [[Jérôme Bonaparte]]).<ref>{{Cite book |last1=Beccaria |first1=Cesare marchese di |url=https://books.google.com/books?id=surdzOtEZgQC&pg=PA133 |title=On Crimes and Punishments and Other Writings |last2=Beccaria |first2=Cesare |last3=Stevenson |first3=Bryan |date=1 January 2008 |publisher=University of Toronto Press |isbn=978-0-8020-8990-8 |page=133 |language=en |access-date=12 December 2021}}</ref><ref>{{Cite book |last1=Ripley |first1=George |url=https://books.google.com/books?id=lwIoAAAAYAAJ&pg=PA43 |title=The New American Cyclopædia: A Popular Dictionary of General Knowledge |last2=Dana |first2=Charles Anderson |date=1869 |publisher=D. Appleton |page=43 |language=en |access-date=12 December 2021}}</ref>

=====National political culture=====
[[File:1512 Holy Roman Empire Germania.jpg|thumb|upright=1.35|Personification of the Reich as [[Germania (personification)|Germania]] by [[:de:Jörg Kölderer|Jörg Kölderer]], 1512. The "German woman", wearing her hair loose and a crown, sitting on the Imperial throne, corresponds both to the self-image of Maximilian I as King of Germany and the formula ''Holy Roman Empire of the German Nation'' (omitting other nations). While usually depicted during the Middle Age as subordinate to both imperial power and Italia or Gallia, she now takes central stage in Maximilian's [[Triumphal Procession]], being carried in front of [[c:File:Roma in Maximilian'sTriumphal Procession.jpg|Roma]].<ref>{{Cite journal |last=Strieder |first=Peter |date=8 May 2017 |title=Zur Entstehungsgeschichte von Dürers Ehrenpforte für Kaiser Maximilian |url=https://journals.ub.uni-heidelberg.de/index.php/azgnm/article/view/38143/31806 |journal=Anzeiger des Germanischen Nationalmuseums |pages=128–142 Seiten |doi=10.11588/azgnm.1954.0.38143 |access-date=7 February 2022}}</ref><ref>{{Cite book |last=Hirschi |first=Caspar |url=https://books.google.com/books?id=4_v4iySQgnsC&pg=PA45 |title=The Origins of Nationalism: An Alternative History from Ancient Rome to Early Modern Germany |date=8 December 2011 |publisher=Cambridge University Press |isbn=978-1-1395-0230-6 |page=45 |language=en |access-date=7 February 2022}}</ref><ref>{{Cite book |last=Brandt |first=Bettina |url=https://books.google.com/books?id=jJLM607h6jsC&pg=PA37 |title=Germania und ihre Söhne: Repräsentationen von Nation, Geschlecht und Politik in der Moderne |date=2010 |publisher=Vandenhoeck & Ruprecht |isbn=978-3-5253-6710-0 |page=37 |language=de |access-date=8 February 2022}}</ref>]]

Maximilian and Charles V (despite the fact both emperors were internationalists personally<ref>{{Cite book |last=Albert |first=Rabil Jr. |url=https://books.google.com/books?id=w1ErEAAAQBAJ&pg=PA137 |title=Renaissance Humanism, Volume 2: Foundations, Forms, and Legacy |date=11 November 2016 |publisher=University of Pennsylvania Press |isbn=978-1-5128-0576-5 |language=en |access-date=5 February 2022}}</ref><ref>{{Cite book |last1=Quevedo |first1=Francisco de |url=https://books.google.com/books?id=ciwDEAAAQBAJ&pg=PA6 |title=Francisco de Quevedo: Dreams and Discourses |last2=Britton |first2=R. K. |date=1 January 1989 |publisher=Oxford University Press |isbn=978-1-8003-4588-1 |language=en |access-date=5 February 2022}}</ref>) were the first who mobilized the rhetoric of the Nation, firmly identified with the Reich by the contemporary humanists.{{Sfn|Whaley|2011|p=278}} With encouragement from Maximilian and his humanists, iconic spiritual figures were reintroduced or became notable. The humanists rediscovered the work ''[[Germania (book)|Germania]]'', written by Tacitus. According to Peter H. Wilson, the female figure of [[Germania (personification)|Germania]] was reinvented by the emperor as the virtuous pacific Mother of Holy Roman Empire of the German Nation.{{Sfn|Wilson|2016|p=263}} Whaley further suggests that, despite the later religious divide, "patriotic motifs developed during Maximilian's reign, both by Maximilian himself and by the humanist writers who responded to him, formed the core of a national political culture."<ref>{{Cite journal |last=Whaley |first=Joachim |date=2009 |title=Whaley on Silver, 'Marketing Maximilian: the Visual Ideology of a Holy Roman Emperor' {{!}} H-German {{!}} H-Net |url=https://networks.h-net.org/node/35008/reviews/45722/whaley-silver-marketing-maximilian-visual-ideology-holy-roman-emperor |journal=Networks.h-net.org |access-date=5 February 2022}}</ref>

Maximilian's reign also witnessed the gradual emergence of the German common language, with the notable roles of the imperial chancery and the chancery of the Wettin Elector [[Frederick III, Elector of Saxony|Frederick the Wise]].<ref>{{Cite book |last1=Tennant |first1=Elaine C. |url=https://books.google.com/books?id=JdIDcGyUcN4C&pg=PA3 |title=The Habsburg Chancery Language in Perspective, Volume 114 |last2=Johnson |first2=Carroll B. |date=1985 |publisher=University of California Press |isbn=978-0-5200-9694-3 |pages=1, 3, 9 |access-date=21 September 2021 |archive-url=https://web.archive.org/web/20210927161255/https://books.google.com/books?id=JdIDcGyUcN4C&pg=PA3 |archive-date=27 September 2021 |url-status=live}}</ref><ref>{{Cite journal |last=Wiesinger |first=Peter |title=Die Entwicklung der deutschen Schriftsprache vom 16. bis 18. Jahrhundert unter dem Einfluss der Konfessionen |url=http://www.e-scoala.ro/germana/peter_wiesinger.html |url-status=dead |journal=Zeitschrift der Germanisten Rumäniens (ZGR) |issue=17–18 / 2000 (9th year) |pages=155–162 |doi=10.1515/jbgsg-2018-0014 |s2cid=186566355 |archive-url=https://web.archive.org/web/20080123112609/http://www.e-scoala.ro/germana/peter_wiesinger.html |archive-date=23 January 2008 |access-date=8 November 2021}}</ref> The development of the printing industry together with the emergence of the postal system ([[Kaiserliche Reichspost|the first modern one in the world]]<ref name="Meinel 2014 31">{{Cite book |last1=Meinel |first1=Christoph |url=https://books.google.com/books?id=5O25BAAAQBAJ&pg=PA31 |title=Digital Communication: Communication, Multimedia, Security |last2=Sack |first2=Harald |date=2014 |publisher=Springer Science & Business Media |isbn=978-3-6425-4331-9 |page=31 |access-date=20 September 2021 |archive-url=https://web.archive.org/web/20210926235052/https://books.google.com/books?id=5O25BAAAQBAJ&pg=PA31 |archive-date=26 September 2021 |url-status=live}}</ref>), initiated by Maximilian himself with contribution from Frederick III and [[Charles the Bold]], led to a revolution in communication and allowed ideas to spread. Unlike the situation in more centralized countries, the decentralized nature of the Empire made censorship difficult.<ref name="Metzig">{{Cite book |last=Metzig |first=Gregor |url=https://books.google.com/books?id=MiyXDQAAQBAJ&pg=PA98 |title=Kommunikation und Konfrontation: Diplomatie und Gesandtschaftswesen Kaiser Maximilians I. (1486–1519) |date=21 November 2016 |publisher=Walter de Gruyter GmbH & Co KG |isbn=978-3-1104-5673-8 |pages=98, 99 |language=de |access-date=29 January 2022}}</ref><ref>{{Cite book |last=Scott |first=Hamish M. |url=https://books.google.com/books?id=vL8DCgAAQBAJ&pg=PA173 |title=The Oxford Handbook of Early Modern European History, 1350-1750 |date=2015 |publisher=Oxford University Press |isbn=978-0-1995-9725-3 |page=173 |language=en |access-date=12 December 2021}}</ref><ref>{{Cite book |last=Headrick |first=Daniel R. |url=https://books.google.com/books?id=XRBPvOAiQmUC&pg=PA184 |title=When Information Came of Age: Technologies of Knowledge in the Age of Reason and Revolution, 1700–1850 |date=28 December 2000 |publisher=Oxford University Press |isbn=978-0-1980-3108-6 |page=184 |language=en |access-date=12 December 2021}}</ref>{{Sfn|Whaley|2011|p=370}}

Terence McIntosh comments that the expansionist, aggressive policy pursued by Maximilian I and Charles V at the inception of the early modern German nation (although not to further the aims specific to the German nation per se), relying on German manpower as well as utilizing fearsome [[Landsknecht]]e and mercenaries, would affect the way neighbours viewed the German polity, although in the longue durée, Germany tended to be at peace.<ref>{{Cite web |title=H-German Roundtable on Smith, Germany: A Nation in Its Time Before, During, and After Nationalism, 1500–2000 {{!}} H-German {{!}} H-Net |url=https://networks.h-net.org/node/35008/discussions/9589141/h-german-roundtable-smith-germany-nation-its-time-during-and |access-date=5 February 2022 |website=networks.h-net.org}}</ref>

=====Imperial power=====
[[File:Maximilian I, Holy Roman Emperor.jpg|thumb|right|upright=1|[[Maximilian I, Holy Roman Emperor|Maximilian I]], [[Holy Roman Emperor]].]]
Maximilian was "the first Holy Roman Emperor in 250 years who ruled as well as reigned". In the early 1500s, he was true master of the Empire, although his power weakened during the last decade before his death.{{Sfn|Brady|2009|pp=110, 128}}<ref>{{Cite journal |last=Forster |first=Marc R. |title=Forster on Brady Jr., 'German Histories in the Age of Reformations, 1400–1650' {{!}} H-German {{!}} H-Net |url=https://networks.h-net.org/node/35008/reviews/46131/forster-brady-jr-german-histories-age-reformations-1400-1650 |journal=Networks.h-net.org |access-date=5 February 2022}}</ref> Whaley notes that, despite struggles, what emerged at the end of Maximilian's rule was a strengthened monarchy and not an oligarchy of princes.{{Sfn|Whaley|2012a|p=[https://web.archive.org/web/20210921005756/https://books.google.com/books?id=UiFWYsG-t7UC&pg=PA75 75]}} Benjamin Curtis opines that while Maximilian was not able to fully create a common government for his lands (although the chancellery and court council were able to coordinate affairs across the realms), he strengthened key administrative functions in Austria and created central offices to deal with financial, political and judicial matters – these offices replaced the feudal system and became representative of a more modern system that was administered by professionalized officials. After two decades of reforms, the emperor retained his position as first among equals, while the empire gained common institutions through which the emperor shared power with the estates.{{Sfn|Curtis|2013|pp=46–52}}

By the early sixteenth century, the Habsburg rulers had become the most powerful in Europe, but their strength relied on their composite monarchy as a whole, and not only the Holy Roman Empire (see also: [[Empire of Charles V]]).<ref>{{Cite journal |last=Asch |first=Ronald G. |date=28 October 2021 |title=Monarchs |url=https://books.google.com/books?id=PNFKEAAAQBAJ&pg=PT39 |journal=Early Modern Court Culture |pages=17–36 |doi=10.4324/9780429277986-3 |isbn=978-0-4292-7798-6 |s2cid=240193601}}</ref><ref>{{Cite book |last1=Thackeray |first1=Frank W. |url=https://books.google.com/books?id=O2MhulpUa_cC&pg=RA1-PA133 |title=Events That Formed the Modern World: From the European Renaissance through the War on Terror [5 volumes]: From the European Renaissance through the War on Terror |last2=Findling |first2=John E. |date=31 May 2012 |publisher=ABC-CLIO |isbn=978-1-5988-4902-8 |page=133 |language=en |access-date=6 February 2022}}</ref> Maximilian had seriously considered combining the Burgundian lands (inherited from his wife [[Mary of Burgundy]]) with his Austrian lands to form a powerful core (while also extending towards the east).{{Sfn|Holleger|2012|p=34}} After the unexpected addition of Spain to the Habsburg Empire, at one point he intended to leave Austria (raised to a kingdom) to his younger grandson [[Ferdinand I, Holy Roman Emperor|Ferdinand]].<ref>{{Cite book |last1=Brady |first1=Thomas A. |url=https://books.google.com/books?id=rQJkfTDUhsMC&pg=PA112 |title=German Histories in the Age of Reformations, 1400–1650 |last2=Brady |first2=Thomas A. Jr. |date=13 July 2009 |publisher=Cambridge University Press |isbn=978-0-5218-8909-4 |page=112 |language=en |access-date=6 February 2022}}</ref> His elder grandson Charles V later gave Spain and most of the Burgundian lands to his son [[Philip II of Spain]], the founder of the Spanish branch, and the Habsburg hereditary lands to his brother Ferdinand, the founder of the Austrian branch.{{Sfn|Wilson|2004|p=27}}

In France and England, from the 13th century onwards, stationary royal residences had begun to develop into [[Capital city|capital cities]] that grew rapidly and developed corresponding infrastructure: the ''[[Palais de la Cité]]'' and the ''[[History of the Palace of Westminster|Palace of Westminster]]'' became the respective main residences. This was not possible in the Holy Roman Empire because no real hereditary monarchy emerged, but rather the tradition of elective monarchy prevailed ''(see: [[Imperial election]])'' which, in the High Middle Ages, led to kings of very different regional origins being elected ''([[List of royal and imperial elections in the Holy Roman Empire]])''. However, if they wanted to control the empire and its rebellious regional rulers, they could not limit themselves to their home region and their private palaces. As a result, kings and emperors continued to travel around the empire well into modern times,<ref>Karl Otmar von Aretin: ''Das Reich ohne Hauptstadt?'' (The empire without a capital?), in: ''Hauptstädte in europäischen Nationalstaaten'' (Capitals in European nation states), ed T Schieder & G Brunn, Munich/Vienna, 1983, pp. 1-29</ref> using their temporary residences ''([[Kaiserpfalz]])'' as transit stations for their ''[[itinerant court]]s''. From the late Middle Ages onwards, the weakly fortified ''pfalzen'' were replaced by [[imperial castle]]s. It was only King [[Ferdinand I, Holy Roman Emperor|Ferdinand I]], the younger brother of the then Emperor Charles V, who moved his main residence to the Vienna [[Hofburg]] in the middle of the 16th century, where most of the following Habsburg emperors subsequently resided. However, Vienna never became the official capital of the empire, just of a Habsburg hereditary state (the [[Archduchy of Austria]]). The emperors continued to travel to their elections and coronations at [[Frankfurt]] and [[Aachen]], to the [[Imperial Diet (Holy Roman Empire)|Imperial Diets]] at diffent places and to other occasions. The [[Perpetual Diet of Regensburg]] was based in [[Regensburg]] from 1663 to 1806. [[Rudolf II, Holy Roman Emperor|Rudolf II]] resided in [[Prague]], the [[Wittelsbach]] emperor [[Charles VII, Holy Roman Emperor|Charles VII]] in Munich. A German capital in the true sense only existed in the Second [[German Empire]] from 1871, when the [[Kaiser]], [[Reichstag (German Empire)|Reichstag]] and [[Chancellor of Germany#Chancellor of the German Reich|Reichskanzler]] resided in [[Berlin]].

====Early capitalism====
{{Multiple image
| align = right
| total_width = 450
| image1 = Augsburg Stadtansicht von Osten Rogel Hans.jpeg
| caption1 = Map of Augsburg, corresponding with the [[:c:Category:Hans Rogel|wooden city model made in 1563]] by {{Ill|Hans Rogel|de|lt=Hans Rogel}} and now kept in the ''Maximilianmusem'', Augsburg
| image2 = City of Antwerp, 1572.jpg
| caption2 = Antwerp, 1572
}}

While particularism prevented the centralization of the Empire, it gave rise to early developments of capitalism. In Italian and Hanseatic cities like Genoa and Pisa, Hamburg and Lübeck, warrior-merchants appeared and pioneered raiding-and-trading maritime empires. These practices declined before 1500, but they managed to spread to the maritime periphery in Portugal, Spain, the Netherlands and England, where they "provoked emulation in grander, oceanic scale".<ref>{{Cite encyclopedia |title=The Political Economy of Merchant Empires: State Power and World Trade, 1350-1750 |publisher=Cambridge University Press |url=https://books.google.com/books?id=1jHpt9hdreoC&pg=PA123 |access-date=15 October 2022 |last=Brady |first=Thomas A. Jr. |date=13 September 1997 |editor-last=Tracy |editor-first=James D. |pages=117–160 |language=en |isbn=978-0-5215-7464-8}}</ref> William Thompson agrees with M.N.Pearson that this distinctively European phenomenon happened because in the Italian and Hanseatic cities which lacked resources and were "small in size and population", the rulers (whose social status was not much higher than the merchants) had to pay attention to trade. Thus the warrior-merchants gained the state's coercive powers, which they could not gain in Mughal or other Asian realms – whose rulers had few incentives to help the merchant class, as they controlled considerable resources and their revenue was land-bound.<ref>{{Cite book |last=Thompson |first=William R. |url=http://www.untag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_2/POLITICAL%20ECONOMY%20The%20Emergence%20of%20the%20global%20political%20economy.pdf |title=The emergence of the global political economy |date=2000 |publisher=Routledge |isbn=0-4152-1452-1 |location=London |page=67 |access-date=15 October 2022}}</ref>

In the 1450s, the economic development in Southern Germany gave rise to banking empires, cartels and monopolies in cities such as [[Ulm]], [[Regensburg]], and [[Augsburg]]. [[Augsburg]] in particular, associated with the reputation of the [[Fugger]], [[Welser]] and Baumgartner families, is considered the capital city of early capitalism.<ref>{{Cite book |last=Ertl |first=Alan |url=https://books.google.com/books?id=MqQ1boyUSXEC&pg=PA189 |title=The Political Economic Foundation of Democratic Capitalism: From Genesis to Maturation |date=May 2007 |publisher=Universal-Publishers |isbn=978-1-5994-2424-8 |pages=189–191 |language=en |access-date=15 October 2022}}</ref><ref>{{Cite book |last1=Kypta |first1=Ulla |url=https://books.google.com/books?id=T-62DwAAQBAJ&pg=PA116 |title=Methods in Premodern Economic History: Case studies from the Holy Roman Empire, c.1300-c.1600 |last2=Bruch |first2=Julia |last3=Skambraks |first3=Tanja |date=15 October 2019 |publisher=Springer Nature |isbn=978-3-0301-4660-3 |page=116 |language=en |access-date=15 October 2022}}</ref> Augsburg benefitted majorly from the establishment and expansion of the [[Kaiserliche Reichspost]] in the late 15th and early 16th century.<ref name=Metzig/><ref name="Meinel 2014 31"/> Even when the Habsburg empire began to extend to other parts of Europe, Maximilian's loyalty to Augsburg, where he conducted a lot of his endeavours, meant that the imperial city became "the dominant centre of early capitalism" of the sixteenth century, and "the location of the most important post office within the Holy Roman Empire". From Maximilian's time, as the "terminuses of the first transcontinental post lines" began to shift from [[Innsbruck]] to [[Venice]] and from [[Brussels]] to [[Antwerp]], in these cities, the communication system and the news market started to converge. As the Fuggers as well as other trading companies based their most important branches in these cities, these traders gained access to these systems as well.<ref>{{Cite encyclopedia |title=The Holy Roman Empire, 1495-1806 |publisher=Oxford University Press |location=Oxford |url=https://perspectivia.net/servlets/MCRFileNodeServlet/pnet_derivate_00004689/behringer_core.pdf |access-date=7 August 2022 |date=2011 |pages=347–358 |isbn=978-0-1996-0297-1 |archive-url=https://ghostarchive.org/archive/20221009/https://perspectivia.net/servlets/MCRFileNodeServlet/pnet_derivate_00004689/behringer_core.pdf |archive-date=2022-10-09 |last1=Behringer |first1=Wolfgang |contribution=Core and Periphery: The Holy Roman Empire as a Communication(s) Universe |url-status=live}}</ref>
The 1557, 1575 and 1607 bankruptcies of the Spanish branch of the Habsburgs though damaged the Fuggers substantially. Moreover, "Discovery of water routes to India and the New World shifted the focus of European economic development from the Mediterranean to the Atlantic – emphasis shifted from Venice and Genoa to Lisbon and Antwerp. Eventually
American mineral developments reduced the importance of Hungarian and Tyrolean mineral wealth. The nexus of the European continent remained landlocked until the time of expedient land conveyances in the form of primarily rail and canal systems, which were limited in growth potential; in the new continent, on the other hand, there were ports in abundance to release the plentiful goods obtained from those new lands." The economic pinnacles achieved in Germany in the period between 1450 and 1550 would never be seen again until the end of the nineteenth century.{{Sfn|Ertl|2007|pp=189–191}}

In the Netherlands part of the empire, financial centres evolved together with markets of commodities. Topographical development in the fifteenth century made Antwerp a port city.{{Sfn|Ertl|2007|pp=188–189}} Boosted by the privileges it received as a loyal city after the [[Flemish revolts against Maximilian of Austria|Flemish revolts against Maximilian]], it became the leading seaport city in Northern Europe and served as "the conduit for a remarkable 40% of world trade".<ref>{{Cite book |last=Poitras |first=Geoffrey |url=https://books.google.com/books?id=QoqZAAAAIAAJ |title=The Early History of Financial Economics, 1478-1776: From Commercial Arithmetic to Life Annuities and Joint Stocks |date=2000 |publisher=Edward Elgar |isbn=978-1-8406-4455-5 |page=48 |language=en |access-date=15 October 2022}}</ref><ref>{{Cite book |last1=Glaeser |first1=Edward |url=https://books.google.com/books?id=-7f3DwAAQBAJ&pg=PA148 |title=Urban Empires: Cities as Global Rulers in the New Urban World |last2=Kourtit |first2=Karima |last3=Nijkamp |first3=Peter |date=23 September 2020 |publisher=Routledge |isbn=978-0-4298-9236-3 |page=148 |language=en |access-date=15 October 2022}}</ref><ref>{{Cite journal |last=Haemers |first=Jelle |date=5 September 2022 |title=A troubled marriage. Maximilian and the Low Countries |url=https://www.vr-elibrary.de/doi/pdf/10.7767/9783205216032.421 |journal="Per Tot Discrimina Rerum" – Maximilian I. (1459-1519) |language=de |publisher=Böhlau Verlag |pages=421–432 |doi=10.7767/9783205216032.421 |isbn=978-3-2052-1602-5 |access-date=15 October 2022}}</ref> Conflicts with the Habsburg-Spanish government in 1576 and 1585 though made merchants relocate to Amsterdam, which eventually replaced it as the leading port city.<ref>{{Cite book |last=Smith |first=Alan K. |url=https://books.google.com/books?id=k3akDwAAQBAJ&pg=PT103 |title=Creating A World Economy: Merchant Capital, Colonialism, And World Trade, 1400-1825 |date=2 April 2019 |publisher=Routledge |isbn=978-0-4297-1042-1 |page=103 |language=en |access-date=15 October 2022}}</ref>{{Sfn|Ertl|2007|pp=188–189}} -->


== Lihat pula ==
== Lihat pula ==

Revisi per 24 Maret 2024 02.45

Kekaisaran Romawi Suci
Sacrum Imperium Romanum  (Latin)
Heiliges Römisches Reich  (Jerman)

Kekaisaran Romawi Suci
Bangsa Jerman
Sacrum Imperium Romanum Nationis Germanicae  (Latin)
Heiliges Römisches Reich Deutscher Nation  (Jerman)

Tahun 800/962[a]–1806
Bendera Kekaisaran Romawi Suci
Bendera Negara
(sekitar tahun 1430–1806)
{{{coat_alt}}}
Lambang Negara
(desain abad ke-15)
Rajawali Kuaternion (tahun 1510)
Keseluruhan bekas wilayah kedaulatan Kekaisaran Romawi Suci pada peta modern, sekitar tahun 1200–1250
Keseluruhan bekas wilayah kedaulatan Kekaisaran Romawi Suci pada peta modern, sekitar tahun 1200–1250
StatusKekaisaran
Ibu kotaLebih dari satu[3]
Aachen (tahun 800–1562)
  • Tahun 800–888 (sebagai ibu kota), tahun 800–1562 (tempat penobatan Raja Jerman)
Palermo (de facto) (tahun 1194–1254)
Innsbruck (tahun 1508–1519)
  • Markas Hofkammer dan Kepaniteraan Istana [7][8]
Wina (dasawarsa 1550-an–1583, tahun 1612–1806)
Frankfurt (tahun 1562–1806)
Praha (tahun 1583–1612)
Regensburg (tahun 1594–1806)
Wetzlar (tahun 1689–1806)
Bahasa yang umum digunakanBahasa Jerman, bahasa Latin Abad Pertengahan (sebagai bahasa administratif/liturgis/seremonial)
Aneka bahasa[c]
Agama
Lebih dari satu agama resmi:
Kristen Katolik Roma (tahun 1054–1806)
Kristen Protestan mazhab Lutheran (tahun 1555–1806)
Kristen Protestan mazhab Kalvinis (tahun 1648–1806)
PemerintahanMonarki elektif
Monarki campuran (sesudah pembaharuan negara)[17]
Kaisar 
• Tahun 800–814
Karel Agung[a] (pertama)
• Tahun 962–973
Otto Agung
• Tahun 1519–1556
Karel V
• Tahun 1792–1806
Frans II (terakhir)
LegislatifSidang Permusyawaratan Negara
Era SejarahAbad Pertengahan sampai awal zaman modern
25 Desember 800
• Otto Agung dinobatkan menjadi Kaisar Bangsa Romawi
2 Februari 962
2 Februari 1033
25 September 1555
24 Oktober 1648
tahun 1648–1789
2 Desember 1805
6 Agustus 1806
Luas
Tahun 1150[d]1.100.000 km2 (420.000 sq mi)
Populasi
• Tahun 1700[18]
23.000.000 jiwa
• Tahun 1800[18]
29.000.000 jiwa
Mata uangLebih dari satu jenis mata uang: thaler, guilder, groschen, Reichsthaler
Didahului oleh
Digantikan oleh
Francia Timur
krjKerajaan
Italia (Kekaisaran Romawi Suci)
ksrKekaisaran
Karoling
Konfederasi Rhein
ksrKekaisaran
Austria
krjKerajaan
Prusia
Konfederasi Swiss Lama
krjKerajaan
Sardinia (1720–1861)
Kadipaten Savoia
Republik Belanda
krjKerajaan
Prancis
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kekaisaran Romawi Suci,[e] yang juga dikenal dengan nama Kekaisaran Romawi Suci Bangsa Jerman selepas tahun 1512, adalah negara dengan wilayah yang membentang dari Eropa Tengah ke Eropa Barat dan lazimnya dikepalai oleh Kaisar Romawi Suci.[19] Negara ini terbentuk pada Awal Abad Pertengahan dan berdiri selama hampir 1.000 tahun, sampai akhirnya dibubarkan pada tahun 1806 di tengah hiruk-pikuk perang-perang Napoleon.[20]

Pada tanggal 25 Desember 800, Paus Leo III menobatkan Karel Agung menjadi kaisar, dan dengan demikian menghidupkan kembali gelar itu di Eropa Barat selang tiga abad lebih sesudah Kekaisaran Romawi Barat tumbang pada tahun 476.[21] Meskipun sudah ditanggalkan pada tahun 924, gelar itu kembali disandang Otto Agung saat dinobatkan menjadi kaisar oleh Paus Yohanes XII pada tahun 962, dengan maksud untuk mencitrakan dirinya sebagai penerus Karel Agung dan raja-raja kulawangsa Karling.[22] Penobatan Otto Agung menjadi tonggak sejarah yang mengawali kurun waktu tegaknya kedaulatan Kekaisaran Romawi Suci secara berkesinambungan selama delapan abad lebih.[23][24][f] Dari tahun 962 hingga abad ke-12, Kekaisaran Romawi Suci tampil sebagai negara monarki terkuat di bumi Eropa.[25] Kelancaran penyelenggaraan negara bergantung kepada kerjasama yang rukun di antara kaisar dan para pangreh praja.[26] Kerukunan tersebut sempat terusik pada zaman kulawangsa Sali.[27] Ketangguhan negara dan keluasan wilayah Kekaisaran Romawi Suci mencapai puncaknya di bawah pemerintahan kulawangsa Hohenstaufen pada pertengahan abad ke-13, tetapi bentang wilayah yang kelewat luas justru kemudian hari mengeroposkan kedaulatannya.[28][29]

Para sarjana pada umumnya menjabarkan evolusi lembaga-lembaga dan asas-asas yang membentuk negara ini, serta perkembangan berangsur dari peran kaisar.[30][31] Jabatan kaisar sudah lama terbentuk sebelum negara ini dinamakan "Kekaisaran Romawi Suci" pada abad ke-13,[32] walaupun keabsahan kaisar sejak semula ditumpukan pada konsep translatio imperii, yaitu kaisar mengampu kedaulatan tertinggi yang merupakan warisan peninggalan kaisar-kaisar Roma tempo dulu.[30] Terlepas dari semua itu, di Kekaisaran Romawi Suci, sudah menjadi adat bahwa seseorang menjadi kaisar karena dipilih oleh para pangreh praja pemilih yang berkebangsaan Jerman. Secara teori dan diplomasi, Kaisar Romawi Suci dipandang sebagai tokoh yang dituakan di antara seluruh kepala negara monarki Katolik Eropa.[33]

Ikhtiar pembaharuan negara pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 mengubah wajah Kekaisaran Romawi Suci. Ikhtiar tersebut melahirkan berbagai lembaga pemerintahan yang terus bertahan sampai negara ini bubar pada abad ke-19.[34][35] Menurut sejarawan Thomas Brady Jr., Kekaisaran Romawi Suci selepas pembaharuan negara merupakan badan politik dengan keberlanjutan dan kemapanan yang luar biasa, serta "dalam beberapa segi mencerminkan pemerintahan-pemerintahan monarki di kawasan barat Eropa, dan dalam beberapa segi yang lain mencerminkan pemerintahan-pemerintahan elektif dengan persatuan yang renggang di kawasan tengah Eropa." Di negara bangsa Jerman yang sudah diperbaharui itu, alih-alih patuh begitu saja kepada kaisar, orang justru berunding dengan kaisar.[36][37] Pada tanggal 6 Agustus 1806, Kaisar Frans II meletakkan jabatan dan secara resmi membubarkan Kekaisaran Romawi Suci, menyusul pembentukan Konfederasi Rhein oleh Napoleon sebulan sebelumnya, yakni perserikatan negara-negara Jerman yang berkhidmat kepada Prancis, alih-alih bertuan kepada Kaisar Romawi Suci.

Nama negara

Rajawali dwimuka dengan lambang-lambang praja tersemat pada sayapnya, lambang negara Kekaisaran Romawi Suci, gambar dari tahun 1510

Dari zaman Karel Agung, negara ini hanya disebut Kekaisaran Romawi.[38] Embel-embel Suci (dalam arti "dikuduskan") mulai dipakai pada tahun 1157, masa pemerintahan Kaisar Friedrich Si Janggut Merah, sehingga negara ini mulai dikenal dengan nama Kekaisaran Suci, nama yang mencerminkan hasrat Friedrich untuk menguasai Italia dan lembaga kepausan.[39] Nama "Kekaisaran Romawi Suci" dapat dipastikan sudah dipakai sejak tahun 1254.[40]

Sebelum dinamakan "Kekaisaran Romawi Suci" pada abad ke-13, negara ini dikenal dengan beragam sebutan, antara lain universum regnum (kerajaan sejagat, kebalikan dari kerajaan kedaerahan), imperium christianum (kekaisaran Kristen), dan Romanum imperium (kekaisaran Romawi),[32] tetapi keabsahan kaisar senantiasa ditumpukan pada konsep translatio imperii,[g] yaitu kaisar mengampu kedaulatan tertinggi yang merupakan warisan peninggalan kaisar-kaisar Roma tempo dulu.[30]

Di dalam lembaran maklumat yang terbit menyusul sidang Permusyawaratan Negara di Koln pada tahun 1512, nama negara ini berubah menjadi "Kekaisaran Romawi Suci Bangsa Jerman" (Jerman: Heiliges Römisches Reich Deutscher Nation, bahasa Latin: Sacrum Imperium Romanum Nationis Germanicae),[38] yakni nama yang pertama kali dipakai pada tahun 1474 di dalam sebuah dokumen.[39] Nama baru ini diadopsi bertepatan dengan hilangnya kedaulatan atas Italia dan Burgundia,[41] tetapi juga dimaksudkan untuk menonjolkan peran penting dalam penyelenggaraan negara yang baru diberikan kepada praja-praja kekaisaran di Jerman selepas pembaharuan negara.[42] Istilah "Kekaisaran Romawi Jerman" (bahasa Hongaria: Német-római Birodalom) yang lazim digunakan di Hungaria adalah bentuk ringkas dari nama baru tersebut.[43]

Pada akhir abad ke-18, nama "Kekaisaran Romawi Suci Bangsa Jerman" tidak lagi dipakai secara resmi. Bertolak belakang dengan pandangan-pandangan tradisional terkait nama tersebut, Hermann Weisert memaparkan di dalam sebuah hasil penelitian khazanah titulatur kekaisaran bahwa, meskipun digembar-gemborkan sebagai nama resmi negara di dalam banyak buku pelajaran, nama "Kekaisaran Romawi Suci Bangsa Jerman" tidak pernah diberi status resmi. Ia bahkan menunjukkan bahwa dokumen-dokumen yang memuat nama "Kekaisaran Romawi Suci" tanpa menyertakan embel-embel "Bangsa Jerman" berjumlah tiga puluh kali lipat lebih banyak daripada dokumen-dokumen yang menyertakannya.[44]

Di dalam sebuah pembahasan terkenal mengenai nama negara ini, filsuf politis Voltaire berseloroh bahwa "negara yang dulu disebut dan masih saja menyebut dirinya Kekaisaran Romawi Suci itu sama sekali tidak ada suci-sucinya, tidak ada romawi-romawinya, malah bukan sebuah kekaisaran."[45]

Pada zaman modern, negara ini secara tidak resmi kerap disebut Kekaisaran Jerman (Jerman: Deutsches Reich) atau Kekaisaran Jerman-Romawi (Jerman: Römisch-Deutsches Reich).[46] Sejak dibubarkan sampai dengan tamatnya riwayat Kekaisaran Jerman, negara ini kerap disebut "kekaisaran lawas" (Jerman: das alte Reich). Mulai dari tahun 1923, kaum nasionalis Jerman awal abad ke-20 dan propaganda partai Nazi menyebut Kekaisaran Romawi Suci sebagai sebagai Reich "Pertama" (Erstes Reich, Reich berarti kekaisaran), disejajarkan dengan Kekaisaran Jerman sebagai Reich "Kedua", dan negara Jerman di bawah pemerintahan partai Nazi sebagai Reich "Ketiga".[47]

David S. Bachrach berpendapat bahwa raja-raja kulawangsa Otto sesungguhnya membangun kemaharajaan mereka lewat pemanfaatan perangkat militer dan birokrasi maupun kekayaan budaya yang mereka warisi dari kulawangsa Karling, yang juga diwarisi kulawangsa Karling dari Kekaisaran Romawi menjelang keruntuhannya. Menurut David S. Bachrach, kemaharajaan kulawangsa Otto bukanlah suatu kerajaan purba binaan bangsa Jerman primitif, yang semata-mata dilanggengkan oleh ikatan-ikatan hubungan pribadi dan dijalankan oleh nafsu serakah orang-orang besar untuk menjarah lalu membagi-bagi hasil jarahan di antara mereka sendiri, melainkan sebuah negara yang tampil mengemuka berkat kemampuannya untuk menimbun sumber-sumber daya ekonomi, administratif, dan kebudayaan yang maju, yang selanjutnya dimanfaatkan untuk menggerakkan mesin perangnya yang sangat besar.[48][49]

Sampai dengan akhir abad ke-15, negara ini pada teorinya terdiri atas tiga kubu utama, yaitu Italia, Jerman, dan Burgundia. Kemudian hari yang tersisa hanyalah praja-praja Kerajaan Jerman dan Bohemia, karena praja-praja di Burgundia sudah jatuh ke tangan Prancis. Meskipun secara resmi merupakan bagian dari Kekaisaran Romawi Suci, Italia diabaikan dalam ikhtiar pembaharuan negara dan terpecah-belah menjadi banyak praja kedaerahan yang secara de facto merdeka.[50][30][37][51] Status Italia pada khususnya berubah-ubah dalam rentang waktu abad ke-16 sampai abad ke-18. Beberapa praja semisal Piemonte-Savoye kian lama kian merdeka, sementara praja-praja lain kian lama kian pudar kemerdekaannya akibat kepunahan garis keturunan pangreh prajanya, sehingga sering kali bertuan kepada kulawangsa Habsburg dan cabang-cabangnya. Selain lepasnya praja Franche-Comté pada tahun 1678, batas-batas wilayah Kekaisaran Romawi Suci tidak banyak berubah sejak Perjanjian Damai Westfalen ditandatangani (mengakui lepasnya Swiss dan Belanda Utara, serta perlindungan Prancis atas Elzas) sampai negara ini dibubarkan. Sesudah perang-perang Napoleon berakhir pada tahun 1815, hampir semua praja Kekaisaran Romawi Suci menjadi anggota Konfederasi Jerman, kecuali praja-praja di Italia.

Sejarah

Awal Abad Pertengahan

Kemaharajaan kulawangsa Karling

Wilayah kemaharajaan kulawangsa Karling di peta Eropa, sekitar tahun 814 tarikh Masehi

Surutnya kekuasaan Romawi di Galia pada abad ke-5 dimanfaatkan oleh suku-suku Jermani setempat untuk mengambil alih kendali pemerintahan.[52] Pada akhir abad ke-5 dan awal abad ke-6, kulawangsa Merowing di bawah pimpinan Klovis I dan para penggantinya, mempersatukan suku-suku Franka dan menundukkan suku-suku lain demi menguasai kawasan utara Galia dan kawasan tengah daerah lembah sungai Rhein.[53][54] Meskipun demikian, pada pertengahan abad ke-8, raja-raja Merowing hanya memerintah sebagai raja-raja boneka, karena kendali pemerintahan sesungguhnya berada dalam cengkeraman kulawangsa Karling di bawah pimpinan Karel Martel.[55] Pada tahun 751, anak Karel Martel yang bernama Pipin naik takhta menjadi Raja orang Franka, bahkan kemudian hari berhasil mendapatkan restu Sri Paus.[56][57] Sejak saat itu kulawangsa Karling menjalin persekutuan yang erat dengan lembaga kepausan.[58]

Pada tahun 768, anak Pipin yang bernama Karel Agung naik takhta menjadi Raja orang Franka. Ia memprakarsai usaha perluasan wilayah, dan pada akhirnya berhasil mendaulat wilayah luas yang dewasa ini menjadi wilayah negara Prancis, wilayah negara Jerman, kawasan utara wilayah Italia, wilayah Negeri-Negeri Tanah Rendah, malah lebih luas lagi, sampai wilayah kedaulatan orang Franka berdempet dengan wilayah kedaulatan Sri Paus.[59][60]

Meskipun masyarakat Italia sudah lama mendongkol lantaran merasa kurang sejahtera hidup di bawah kekuasaan Romawi Timur, gejolak politik baru timbul pada tahun 726, dipicu oleh kebijakan ikonoklasme Kaisar Leo orang Isauria, yang dipandang Paus Gregorius II sebagai penyimpangan akidah termutakhir dari rentetan penyimpangan akidah yang dilakukan oleh kepala negara Kekaisaran Romawi.[61] Pada tahun 797, Ibu Suri Irene memakzulkan Kaisar Konstantinus VI, kemudian menyatakan diri sebagai penguasa tunggal. Lantaran hanya kepala negara berjenis kelamin laki-laki yang diakui Gereja Latin sebagai pemimpin Dunia Kristen, Paus Leo III pun berikhtiar mencari orang lain yang layak menyandang kehormatan itu tanpa bertukar pikiran lebih dulu dengan Batrik Konstantinopel.[62][63]

Jasa Karel Agung bagi Gereja, karena membela kedaulatan Sri Paus dari rongrongan orang Lombardi, menjadikannya calon yang ideal. Pada hari Natal tahun 800, Paus Leo III menobatkan Karel Agung menjadi kaisar, dan dengan demikian menghidupkan kembali gelar itu di Dunia Barat sesudah lebih dari tiga abad lamanya menghilang.[62][63] Langkah Sri Paus ini dapat dianggap sebagai perpalingan simbolis lembaga kepausan dari Kekaisaran Romawi Timur yang sedang terpuruk kepada kekuatan baru, yakni kerajaan bangsa Franka di bawah pemerintahan kulawangsa Karling. Karel Agung mengadopsi semboyan Renovatio imperii Romanorum (pembaharuan Kekaisaran Romawi). Pada tahun 802, Irene digulingkan dan diasingkan oleh Kaisar Nikeforos I. Sejak saat itulah ada dua kepala negara yang sama-sama bergelar Kaisar Bangsa Romawi.

Sesudah Karel Agung mangkat pada tahun 814, mahkota kekaisaran turun kepada anaknya, Ludwig Warak. Sesudah Ludwig Warak mangkat pada tahun 840, mahkota kerajaan turun kepada anaknya, Lothar. Pada waktu itulah seantero wilayah yang pernah dikuasai mendiang Karel Agung dibagi-bagi menjadi beberapa wilayah kedaulatan (bdk. Perjanjian Verdun, Perjanjian Prüm, Perjanjian Meerssen, dan Perjanjian Ribemont), dan sepanjang sisa abad ke-9 gelar kaisar diperebutkan oleh para kepala negara Kerajaan Franka Barat (Francia Barat) dan Kerajaan Franka Timur (Francia Timur) yang sama-sama berasal dari kulawangsa Karling. Mula-mula gelar itu jatuh ke pundak Raja Franka Barat (Karel Gundul), tetapi kemudian beralih ke pundak Raja Franka Timur (Karel Gemuk), tokoh yang berhasil mempersatukan kembali kemaharajaan bangsa Franka, kendati tidak bertahan lama.[64] Pada abad ke-9, Karel Agung dan para penggantinya berikhtiar memajukan taraf pendidikan dan kebudayaan di negaranya, ikhtiar yang dikenal dengan sebutan Renainsans Karling. Beberapa sarjana, misalnya Mortimer Chambers,[65] berpandangan bahwa Renaisans Karling dapat terwujud berkat adanya renaisans-renainsans susulan (kendati pada awal abad ke-10, tidak ada lagi ikhtiar semacam itu).[66]

Sesudah Karel Gemuk mangkat pada tahun 888, kemaharajaan wangsa Karling terpecah-belah dan tidak kunjung dapat dipersatukan kembali. Petawarikh Regino dari Prüm meriwayatkan bahwa bagian-bagian dari kemaharajaan itu "memuntahkan empat orang raja kecil", dan masing-masing bagian memilih seorang raja kecil "dari isi perutnya sendiri".[64] Salah seorang kaisar semacam itu adalah Berengarius, Kaisar di Italia, yang mangkat pada tahun 924.

Kerajaan Franka Timur pasca-Karling

Sekitar tahun 900, praja-praja kadipaten kesukuan swatantra di Kerajaan Franka Timur (Franken, Bayern, Schwaben, Saksen, dan Lotharingen) kembali tampil mengemuka. Sesudah Raja Ludwig Bocah dari kulawangsa Karling mangkat tanpa meninggalkan keturunan pada tahun 911, Kerajaan Franka Timur tidak diam saja menunggu negaranya didaulat Raja Franka Barat yang juga berasal dari kulawangsa Karling, tetapi memilih salah seorang pangreh praja Franka Timur, yakni Adipati Konrad, pangreh praja Franken, menjadi Rex Francorum Orientalium.[67] Menjelang tutup usia, Konrad merelakan mahkota kerajaan diambil alih saingan utamanya, Adipati Heinrich Penjerat Burung, pangreh praja Saksen yang terpilih menjadi raja dalam sidang Permusyarawatan Negara di Fritzlar pada tahun 919.[68] Heinrich berhasil menyepakati gencatan senjata dengan bangsa Magyar yang merongrong wilayah Franka Timur, dan untuk pertama kalinya berhasil mengalahkan mereka pada tahun 933 dalam Pertempuran Riade.[69]

Heinrich mangkat pada tahun 936, tetapi anak cucunya, yakni kulawangsa Liudolfing atau kulawangsa Otto, terus memerintah Kerajaan Franka Timur atau Kerajaan Jerman selama kurang lebih satu abad. Sepeninggal Heinrich Penjerat Burung, Otto, anak yang ia tetapkan menjadi penggantinya,[70] terpilih menjadi raja di Aachen pada tahun 936.[71] Otto harus berjuang menghadapi serangkaian pemberontakan yang dikobarkan adiknya sendiri dan beberapa orang adipati. Sesudah berhasil memadamkan pemberontakan, Otto mampu mengendalikan pengangkatan adipati dan kerap mempekerjakan para uskup untuk menangani urusan-urusan pemerintahan.[72] Ia mengganti hampir semua pangreh praja terkemuka di Franka Timur dengan sanak saudaranya, tetapi juga menutup peluang bagi sanak saudara untuk merongrong kedaulatannya.[73][74]

Pembentukan Kekaisaran Romawi Suci

Paus Leo VIII, Kepala Gereja Roma yang Kudus
Kekaisaran Romawi Suci pada zaman kulawangsa Otto
Kekaisaran Romawi Suci antara tahun 972 sampai 1032

Pada tahun 951, Otto maju berperang membela Tuan Putri Adelheid di Italia, mengalahkan musuh-musuhnya, kemudian menikahinya, dan mengambil alih kekuasaan atas Italia.[75] Pada tahun 955, Otto dengan telak mengalahkan bangsa Magyar dalam Pertempuran Lechfeld.[76] Pada tahun 962, Otto dinobatkan menjadi kaisar oleh Paus Yohanes XII,[76] sehingga urusan-urusan pemerintahan Kerajaan Jerman pun tersangkutpautkan dengan urusan-urusan pemerintahan Italia dan lembaga kepausan. Penobatan Otto menjadi kaisar membuat raja-raja Jerman tercitrakan sebagai ahli-ahli waris kemaharajaan Karel Agung, dan karena keabsahan kaisar ditumpukan pada konsep translatio imperii, raja-jara Jerman pun memandang diri mereka sebagai para penerus kepemimpinan negara Roma Kuno. Perkembangan seni budaya yang bermula pada masa pemerintahan Otto dikenal dengan sebutan Renaisans Otto. Perkembangan ini berpusat di Jerman, tetapi juga melanda Italia Utara dan Prancis.[77][78]

Otto menciptakan sistem jemaat kekaisaran, yang kerap disebut "sistem Reich jemaat Otto". Sistem ini mengikat jemaat-jemaat Gereja yang besar berikut wakil-wakilnya kepada tugas-tugas kenegaraan, sehingga terwujudlah "suatu pranata yang kukuh dan langgeng bagi negeri Jerman".[79][80] Pada zaman kulawangsa Otto, kaum wanita memainkan peran penting di bidang politik dan keagamaan, seringkali dengan memadukan peran mereka selaku tokoh agama dengan peran selaku penasihat raja, wali raja, atau kepala pemerintahan bersama raja. Tokoh-tokoh perempuan yang terkemuka adalah Permaisuri Mathilde, Permaisuri Edgitha, Permaisuri Adelheid, Permaisuri Teofanu, dan Putri Pemangku Mathilde.[81][82][83][84]

Pada tahun 963, Otto memakzulkan Paus Yohanes XII dan menetapkan Leo VIII sebagai paus yang baru (kendati Paus Yohanes XII dan Paus Leo VIII sama-sama mendaku sebagai paus yang sah sampai Paus Yohanes XII wafat pada tahun 964). Tindakan tersebut membuka kembali sengketa lama dengan Kaisar Romawi Timur, lebih-lebih sesudah anak Otto, yakni Kaisar Otto II (memerintah tahun 967-983), memakai gelar imperator Romanorum (kaisar bangsa Romawi). Meskipun demikian, Otto II menjalin hubungan kekerabatan dengan kaum ningrat Romawi Timur dengan memperistri Putri Teofanu.[85] Anak mereka, yakni Kaisar Otto III, naik takhta ketika baru berumur tiga tahun, sehingga tidak berdaya mengatasi persaingan kaum ningrat yang haus kekuasaan, dan harus pasrah diwakili oleh para pemangku yang silih berganti menjalankan pemerintahan sampai dia cukup umur untuk memerintah sendiri pada tahun 994. Sampai dengan saat itu, Otto III hanya bermastautin di Jerman, sementara Kresensius II, seorang pecatan adipati, bersimaharajalela memerintah Roma dan sebagian wilayah Italia, mungkin dengan mencatut namanya.

Pada tahun 996, Otto III menetapkan saudara sepupunya menjadi paus pertama yang berkebangsaan Jerman, yakni Paus Gregorius V.[86] Paus dari bangsa asing dan para petinggi kepausan dari bangsa asing dilirik dengan penuh kecurigaan oleh kaum ningrat Roma, yang akhirnya memberontak di bawah pimpinan Kresensius II. Mantan guru pembimbing Otto III, Antipaus Yohanes XVI, sempat menguasai Roma sampai kota itu direbut Kaisar Romawi Suci.[87]

Otto III mangkat dalam usia yang masih terbilang muda pada tahun 1002. Ia digantikan oleh saudara sepupunya, Kaisar Heinrich II, yang lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada negeri Jerman.[88] Usaha-usaha diplomatik Otto III (dan guru pembimbingnya, Paus Silvester) dilancarkan bertepatan dengan, dan mempermulus jalan bagi, usaha kristenisasi dan penyebarluasan budaya Latin di berbagai pelosok Eropa.[89][90] Otto III dan Paus Silvester berhasil menggiring masuk serumpun bangsa baru (bangsa Slav) ke dalam lingkup pranata Eropa, dan menjadikan Kekaisaran Romawi Suci, sebagaimana dikemukakan oleh beberapa sarjana, sebagai "ketua himpunan kekeluargaan bangsa-bangsa menyerupai Kekaisaran Romawi Timur, yang berpusat pada paus dan kaisar di Roma". Langkah ini terbukti merupakan capaian yang berumur panjang.[91][92][93][94] Kemangkatan Otto III saat masih muda membuat masa pemerintahannya menjadi "kisah tentang sekian banyak daya berkarya yang tidak sempat mewujud nyata".[95][96]

Heinrich II mangkat pada tahun 1024, dan digantikan oleh Konrad II, penguasa pertama dari kulawangsa Sali. Konrad II terpilih menjadi raja sesudah melewati perdebatan para adipati dan kaum ningrat. Kalangan adipati dan kaum ningrat inilah yang kemudian hari menjadi majelis pangreh praja pemilih.

Kekaisaran Romawi Suci pada akhirnya menjadi sebuah negara besar yang terdiri atas empat kerajaan, yaitu:

Puncak Abad Pertengahan

Sengketa investitur

Heinrich memohon-mohon kepada Bupatni Agung Matilda dan Abas Hugo di Puri Kanosa (miniatur di dalam sebuah naskah beriluminasi dari tahun 1115, koleksi Perpustakaan Vatikan)

Raja-raja acap kali mempekerjakan para uskup untuk menangani urusan-urusan kenegaraan, dan kerap menentukan orang-orang yang akan diangkat menjadi petinggi Gereja.[97] Selepas pembaharuan Kluni, campur tangan raja dalam urusan pengangkatan petinggi Gereja dinilai tidak patut oleh lembaga kepausan. Paus Gregorius VII yang berwawasan pembaharuan bertekad untuk melawan amalan-amalan semacam itu, sehingga menimbulkan sengketa investitur dengan Raja Heinrich IV (memerintah tahun 1056-1106, dinobatkan menjadi kaisar tahun 1084).[97]

Heinrich IV menjegal langkah Sri Paus, dan membujuk para uskup untuk mengekskomunikasi Sri Paus, yang suka ia sebut dengan nama lahirnya saja, yaitu Hildebrand, alih-alih dengan nama kepausannya, Gregorius.[98] Sri Paus membalas dengan mengekskomunikasi Heinrich, menafikan keabsahan jabatannya, dan membatalkan semua sumpah prasetia yang diikrarkan orang kepadanya.[23][98] Ketika sadar sudah kehilangan hampir semua dukungan politik, Heinrich pun merendahkan dirinya dengan menanggung malu berjalan kaki ke Kanosa pada tahun 1077,[99] dan berhasil meluluhkan hati Sri Paus untuk mencabut hukuman ekskomunikasi yang ditimpakan kepada dirinya. Sementara itu, para pangreh praja di Jeman sudah memilih Adipati Rudolf, pangreh praja Schwaben, menjadi raja menggantikan Heinrich.[100]

Heinrich berhasil mengalahkan Rudolf, tetapi sebagai konsekuensinya harus menghadapi lebih banyak lagi pemberontakan, hukuman ekskomunikasi yang sekali lagi ditimpakan kepada dirinya, bahkan harus menghadapi pemberontakan anak-anaknya sendiri. Sesudah Heinrich mangkat, anaknya, Heinrich V, berhasil mencapai kata mufakat dengan Sri Paus dan para uskup yang dituangkan ke dalam Konkordat Worms tahun 1122.[101] Kuasa politik Kekaisaran Romawi Suci dapat dipertahankan, tetapi sengketa investitur telah menyingkap batas-batas kedaulatan raja, teristimewa dalam kaitannya dengan Gereja, dan telah melucuti status keramat yang sebelumnya melekat pada diri raja. Sri Paus dan para pangreh praja Jerman pun tampil mengemuka sebagai pemain-pemain utama di gelanggang politik Kekaisaran Romawi Suci.

Ostsiedlung

Sebagai akibat dari Ostsiedlung, daerah-daerah jarang penduduk di Eropa Tengah (daerah-daerah perbatasan yang jarang penduduk, dewasa ini termasuk wilayah negara Polandia dan Ceko) dimasuki pendatang penutur bahasa Jerman dalam jumlah yang cukup signifikan. Daerah Silesia menjadi bagian dari Kekaisaran Romawi Suci sebagai akibat dari usaha para adipati kulawangsa Piast untuk berswatantra, lepas dari campur tangan pemerintah Kerajaan Polandia.[102] Sejak abad ke-12, praja kadipaten Pomerania bernaung di bawah nama besar Kekaisaran Romawi Suci,[103] dan aksi penaklukan yang dilancarkan Tarekat Kesatria Teuton mengubah daerah itu menjadi praja penutur bahasa Jerman.[104]

Zaman kulawangsa Hohenstaufen

Friedrich Si Janggut Merah, Kaisar Romawi Suci
Wilayah kedaulatan kulawangsa Hohenstaufen meliputi wilayah Kekaisaran Romawi Suci dan wilayah Kerajaan Sisilia. Daerah-daerah berwarna kuning cerah adalah tanah pusaka keluarga ningrat Hohenstaufen yang diperintah secara langsung oleh para kaisar dari kulawangsa Hohenstaufen.

Kemangkatan Heinrich V pada tahun 1125 mengakhiri zaman kulawangsa Sali, karena para pangreh praja tidak lagi memilih kepala negara dari kaum keluarga Heinrich, tetapi memilih Lothar III, Adipati Saksen pemilik kekuatan tempur yang lumayan besar tetapi sudah lanjut usia. Sepeninggal Lothar III pada tahun 1137, para pangreh praja sekali lagi berusaha mengimbangi kekuasaan kepala negara, sehingga alih-alih memilih ahli waris kesayangan Lothar, yaitu menantunya, Heinrich Jumawa dari keluarga ningrat Welf, mereka memilih Konrad III dari keluarga ningrat Hohenstaufen yang masih terhitung cucu Kaisar Heinrich IV dan kemenakan Kaisar Heinrich V. Keputusan ini menimbulkan sengketa selama satu abad di antara dua keluarga ningrat itu. Konrad mengusir keluarga Welf dari tanah-tanah pusaka mereka, tetapi sesudah ia mangkat pada tahun 1152, kemenakannya, Friedrich Si Janggut Merah, naik takhta menggantikannya dan berdamai dengan keluarga Welf dengan mengangkat Heinrich Singa, yang masih terhitung saudara sepupunya, menjadi pangreh praja atas tanah-tanah pusaka peninggalan keluarga Welf, meskipun tidak lagi seluas dulu.

Para penguasa dari kulawangsa Hohenstaufen kian lama kian sering menganugerahkan tanah perdikan kepada para ministerialis, yakni para mantan hamba sahaya, yang diharapkan Friedrich dapat menjadi orang-orang yang lebih dapat diandalkan daripada para adipati. Golongan yang mula-mula diberdayakan untuk berperang inilah yang merupakan cikal-bakal dari kaum kesatria negara, salah satu basis kekuatan Kekaisaran Romawi Suci. Langkah konstitusional penting berikutnya adalah penciptaan mekanisme perdamaian baru di Roncaglia bagi seantero Kekaisaran Romawi Suci, yaitu Landfrieden, yang pertama kali dipermaklumkan oleh Kaisar Heinrich IV di Mainz pada tahun 1103.[105][106]

Landfrieden merupakan ikhtiar untuk menghapus perseteruan pribadi di antara para adipadi maupun pihak-pihak lain, dan untuk mengikat segenap kawula kaisar kepada suatu sistem yurisdiksi hukum dan kejaksaan agung bagi penegakan hukum pidana, salah satu pendahulu dari konsep modern "kedaulatan hukum". Konsep baru lain yang muncul pada masa itu adalah pendirian kota-kota baru secara sistematis oleh kaisar maupun oleh adipati-adipati setempat. Selain untuk menanggulangi masalah ledakan populasi, pendirian kota-kota baru juga memusatkan kekuatan ekonomi di lokasi-lokasi yang strategis. Sebelumnya, kota-kota hanya wujud dalam bentuk kota-kota tua peninggalan bangsa Romawi atau kota-kota keuskupan yang lebih tua lagi. Kota-kota yang didirikan pada abad ke-12 antara lain adalah kota Freiburg, yang mungkin sekali menjadi percontohan bagi banyak kota baru berikutnya, dan kota München.

Friedrich Si Janggut Merah dinobatkan menjadi kaisar pada tahun 1155. Ia menitikberakan sifat "keromawian" negaranya, dengan maksud antara lain untuk dijadikan pembenaran bagi kemandirian kedaulatan kaisar dari Sri Paus yang ketika itu sudah sangat berkuasa. Sidang negara yang digelar di padang Roncaglia pada tahun 1158 menyerukan penegakan kembali hak-hak kaisar dengan merujuk kepada Corpus Iuris Civilis peninggalan Kaisar Yustinianus I. Hak-hak kaisar sudah diwacanakan sebagai tanda kebesaran raja saat terjadinya sengketa investitur, tetapi baru diperinci satu demi satu untuk pertama kalinya di Roncaglia. Daftar lengkapnya mencakup hak atas jalan-jalan raya umum, hak mengutip cukai, hak mencetak uang, hak mengutip denda, dan hak menaikturunkan pejabat negara. Dengan jelas diungkapkan bahwa hak-hak itu berakar pada peraturan perundang-undangan Romawi. Langkah tersebut merupakan tindakan konstitusional yang berdampak panjang.

Friedrich lebih banyak mengeluarkan kebijakan untuk kepentingan pemerintahan di Italia, tempat ia bersengketa dengan kota-kota Italia Utara yang berwawasan merdeka, khususnya praja kadipaten Milan. Ia juga membuat gusar lembaga kepausan dengan mendukung paus tandingan, yang dipilih oleh sekelompok kecil kardinal, melawan Paus Aleksander III (menjabat tahun 1159–1181). Friedrich bahkan mendukung suksesi paus-paus tandingan sebelum akhirnya berdamai dengan Paus Aleksander pada tahun 1177. Di negeri Jerman, Friedrich berulang kali membela Adipati Heinrich Singa dari berbagai kecaman yang dilontarkan para pangreh praja maupun pemerintah kota praja (terutama dalam kasus kota München dan kota Lübeck) yang menjadi saingannya. Heinrich sebaliknya tidak sepenuh hati mendukung kebijakan-kebijakan Friedrich, malah menolak mengirim bala bantuan di saat-saat Friedrich sedang kewalahan berperang di Italia. Sepulangnya ke Jerman, Friedrich yang sudah kepalang sakit hati pun menggelar sidang untuk mengadili Heinrich Singa. Sang adipati akhirnya diharamkan menunjukkan batang hidungnya di muka umum, dan seluruh tanah miliknya disita negara. Pada tahun 1190, Friedrich ikut maju ke palagan Perang Salib ke-3, dan mangkat di Kerajaan Kilikia bangsa Armenia.[107]

Pada zaman kulawangsa Hohenstaufen, para pangreh praja Jerman memprakarsai usaha pembukaan permukiman-permukiman baru dengan jalan damai ke sebelah timur wilayah Jerman, yakni di daerah-daerah tak berpenghuni atau yang hanya dihuni segelintir masyarakat Slav Barat. Kaum tani, pedagang, dan pengrajin penutur bahasa Jerman, baik yang beragama Kristen maupun yang beragama Yahudi, berpindah dari kawasan barat Kekaisaran Romawi Suci ke daerah-daerah tersebut. Jermanisasi berangsur atas daerah-daerah itu merupakan suatu fenomena rumit yang tidak boleh ditafsirkan dengan menggunakan sudut pandang nasionalisme abad ke-19 yang cenderung menganakemaskan satu pihak dan menganaktirikan pihak lain. Pembukaan permukiman-permukiman baru ke arah timur ini memperlebar mandala pengaruh Kekaisaran Romawi Suci sampai ke Pomerania dan Silesia, demikian pula ikatan perkawinan yang dijalin para penguasa setempat, yang rata-rata berkebangsaan Slav, dengan pasangan-pasangan mereka yang berkebangsaan Jerman. Pada tahun 1226, Adipadi Konrad, pangreh praja Masovia, mengundang Tarekat Kesatria Teuton ke Prusia untuk mengkristenkan penduduk daerah itu. Praja Tarekat Teuton (Jerman: Deutschordensstaat), yang kemudian hari berubah menjadi praja Kadipaten Prusia, tidak pernah menjadi bagian dari Kekaisaran Romawi Suci.

Pada masa pemerintahan anak sekaligus pengganti Friedrich Si Janggut Merah, yakni Kaisar Heinrich VI, kulawangsa Hohenstaufen mencapai puncak kegemilangannya, dengan masuknya Kerajaan Sisilia ke dalam daftar praja yang dikuasainya melalui perkawinan Heinrich VI dengan Konstanze, Ratu Sisilia. Bohemia dan Polandia menjadi negara-negara pengabdi Kekaisaran Romawi Suci, bahkan Siprus dan Armenia Kecil turut mengaturkan sembah bakti ke hadapan kaisar. Khalifah berkebangsaan Maroko yang berkuasa di Jazirah Iberia ketika itu pun tidak berdaya membantah kewenangan Heinrich untuk menuntut pembayaran upeti dari Tunis dan Tripolitania, malah mempersembahkan upeti kepadanya. Lantaran takut melihat besarnya kekuasaan Heinrich, pemimpin terkuat di Eropa sejak kemangkatan Karel Agung, raja-raja lain di Eropa pun sepakat menjalin persekutuan. Heinrich membuyarkan upaya mereka dengan cara mengirimkan surat ancaman kepada Raja Inggris, Richard Si Hati Singa. Kaisar Romawi Timur khawatir negaranya akan menjadi bulan-bulanan dalam Perang Salib yang sedang direncanakan Heinrich, sehingga mulai menjalankan pemungutan alamanikon (pajak Jerman) sebagai langkah penanggulangan bahaya invasi. Heinrich juga berencana mengubah bentuk pemerintahan Kekaisaran Romawi Suci dari monarki elektif menjadi monarki turun-temurun, tetapi ditentang keras oleh Sri Paus dan beberapa pangreh praja. Kemangkatan Heinrich yang tidak disangka-sangka pada tahun 1197 mengguncang keutuhan Kekaisaran Romawi Suci.[108][109][110] Sekalipun sudah terpilih menjadi raja, Friederich II, anak Heinrich, masih kanak-kanak dan bermastautin di Sisilia, sehingga para pangreh praja Jerman memutuskan untuk memilih seorang raja yang sudah dewasa. Sidang pangreh praja pemilih terbelah, sebagian memilih Filips, putra bungsu Friedrich Si Janggut Merah, dan sebagian lagi memilih Otto, putra ketiga Adipati Heinrich Singa. Sesudah Filips mangkat terbunuh dalam suatu pertengkaran terkait urusan pribadi pada tahun 1208, Otto pun tampil sebagai pemimpin yang disegani, sampai ia mulai berusaha mendaulat Sisilia.[butuh klarifikasi]

Friedrich II, Kaisar Romawi Suci

Lantaran khawatir terhadap ancaman bahaya yang mungkin timbul akibat bersatunya Kekaisaran Romawi Suci dengan Kerajaan Sisilia, Paus Inosensius III berbalik memihak Friedrich II. Friedrich bersama angkatan perangnya berkirab ke Jerman dan mengalahkan Otto. Sesudah berhasil mengalahkan Otto, Friedrich malah mengkhianati janjinya untuk melanggengkan keterpisahan Kerajaan Sisilia dari Kekaisaran Romawi Suci. Meskipun sudah mengangkat anaknya, Heinrich, menjadi Raja Sisilia sebelum berkirab ke Jerman, kendali pemerintahan Sisilia sesungguhnya masih berada di dalam genggamannya. Situasi ini berlanjut sesudah Friedrich dinobatkan menjadi kaisar pada tahun 1220. Lantaran khawatir melihat pemusatan kekuasaan pada diri Friedrich, Sri Paus mengekskomunikasinya. Perkara lain yang juga menggusarkan hati Sri Paus adalah sikap Friedrich yang berulang kali menangguhkan janjinya untuk melancarkan Perang Salib. Friedrich akhirnya melancarkan Perang Salib ke-6 pada tahun 1228, sekalipun sudah telanjur diekskomunikasi. Perang Salib ke-6 bermuara pada perundingan-perundingan, dan berhasil menegakkan kembali kedaulatan Kerajaan Yerusalem, meskipun tidak bertahan lama.

Di luar dari sepak terjangnya selaku kaisar, masa pemerintahan Friedrich II merupakan titik balik menuju ambruknya tatanan pemerintahan terpusat di Kekaisaran Romawi Suci. Lantaran sibuk membentuk pemerintahan yang lebih terpusat di Sisilia, Friedrich jarang sekali melawat ke Jerman, dan menganugerahkan hak-hak istimewa yang terlampau besar kepada para pangreh praja maupun petinggi Gereja di Jerman. Di dalam piagam Confoederatio cum principibus ecclesiasticis tahun 1220, Friederich merelakan sejumlah tanda kebesaran raja demi kepentingan para uskup, antara lain hak mengutip cukai, hak mencetak uang, dan hak mendirikan benteng. Piagam Statutum in favorem principum tahun 1232 menganugerahkan pula hak-hak tersebut kepada para pangreh praja. Meskipun sebelumnya banyak dari hak-hak istimewa itu sudah pernah dianugerahkan kepada pangreh praja tertentu, piagam tersebut menganugerahkannya kepada semua pangreh praja, sekali untuk selamanya, demi memampukan mereka untuk memelihara keamanan dan ketertiban wilayah di sebelah utara pegunungan Alpen selagi Friedrich berkutat dengan kesibukannya di Italia. Piagam tahun 1232 itu merupakan dokumen pertama yang menyifatkan para adipati di negeri Jerman dengan sebutan domini terræ (tuan tanah), yaitu pemilik tanah pusaka mereka masing-masing. Pemakaian sebutan domini terræ juga menunjukkan adanya perubahan besar di bidang peristilahan.

Kerajaan Bohemia

Kerajaan Bohemia adalah negara kedaerahan yang cukup disegani pada Abad Pertengahan. Pada tahun 1212, Raja Ottokar I (menyandang gelar "raja" mulai tahun 1198) berhasil mendapatkan Bula Kencana Sisilia (semacam surat keputusan resmi) dari Kaisar Friedrich II, yang mengesahkan hak Ottokar dan keturunannya untuk menyandang gelar "raja", sekaligus meningkatkan status praja Bohemia dari kadipaten menjadi kerajaan.[111] Kewajiban-kewajiban politik dan keuangan Bohemia terhadap Kekaisaran Romawi Suci sedikit demi sedikit dikurangi.[112] Kaisar Karel IV bahkan menjadikan kota Praha sebagai pusat pemerintahannya.

Masa interregnum

Paus Klemens V, Kepala Gereja Roma yang Kudus

Sesudah Kaisar Friedrich II mangkat pada tahun 1250, wilayah Kerajaan Jerman pecah menjadi wilayah kekuasaan anaknya, Raja Konrad IV (mangkat tahun 1254), dan wilayah kekuasaan si raja tandingan, Willem, Adipati Holland (mangkat tahun 1256). Sepeninggal Konrad IV, negeri Jerman memasuki masa interregnum, karena tidak ada calon raja yang mampu mendapatkan persetujuan dari semua pihak. Lantaran tidak ada raja, para pangreh praja pun lebih banyak mencurahkan pikiran dan tenaga untuk memperkuat prajanya masing-masing, bahkan mampu tampil sebagai sosok-sosok pemimpin yang mandiri. Selepas tahun 1257, ada dua orang bangsawan yang digadang-gadangkan menjadi Raja Jerman, yakni Richard, bangsawan Cornwall yang didukung golongan Guelfi, dan Alfonso, Raja Kastila yang mendapatkan pengakuan dari golongan pendukung kulawangsa Hohenstaufen tetapi tidak pernah menjejakkan kakinya di bumi Jerman. Sesudah Richard mangkat pada tahun 1273, Rudolf, seorang bupati pendukung kulawangsa Hohenstaufen, terpilih menjadi raja. Rudolf adalah bangsawan pertama dari keluarga Habsburg yang bergelar raja, tetapi ia tidak pernah dinobatkan menjadi kaisar. Sesudah Rudolf mangkat pada tahun 1291, Adolf dan Albert berturut-turut menduduki singgasana Kerajaan Jerman dengan gelar "Raja bangsa Romawi". Sama seperti Rudolf, Adolf dan Albert adalah raja-raja lemah yang tidak pernah dinobatkan menjadi kaisar.

Begitu Albert mangkat terbunuh pada tahun 1308, Raja Prancis, Filips IV, mulai gencar menggalang dukungan bagi adiknya, Karel, Bupati Valois, supaya terpilih menjadi Raja Bangsa Romawi berikutnya. Raja Filips II menyangka akan didukung penuh oleh Paus Klemens V yang berkebangsaan Prancis (memindahkan markas kepausan ke Avignon pada tahun 1309), dan merasa berpeluang besar dapat memasukkan Kekaisaran Romawi Suci ke dalam cakupan mandala kekuasaan raja-raja Prancis. Tidak tanggung-tanggung ia hamburkan duit negaranya demi menyogok para pangreh praja pemilih di Jerman. Sekalipun Bupati Valois didukung oleh Heinrich, Uskup Agung Koln yang pro-Prancis, banyak pihak enggan melihat Prancis berjaya melebarkan sayap kekuasaannya, lebih-lebih Paus Klemens V. Agaknya saingan utama Karel, Bupati Valois, adalah Rudolf II, Bupati Istana di Rhein.

Meskipun demikian, para pangreh praja pemilih, yang sudah beberapa dasawarsa lamanya tidak memiliki seorang kaisar yang dipertuan, tidak menyukai Karel maupun Rudolf. Justru Heinrich, Bupati Luksemburg, dengan bantuan adiknya, Balduin, Uskup Agung Trier, yang dipilih menjadi kaisar oleh para pangreh praja (enam suara mendukung) di Frankfurt pada tanggal 27 November 1308. Meskipun bertuan kepada Raja Prancis, Heinrich tidak memiliki banyak ikatan kebangsaan dengan Prancis, sehingga menjadikannya calon yang tidak banyak ditentang. Ia dinobatkan menjadi raja di Aachen pada tanggal 6 Januari 1309, dan dinobatkan menjadi Kaisar Heinrich VII oleh Paus Klemens V di Roma pada tanggal 29 Juni 1312. Penobatannya menjadi Kaisar mengakhiri masa interregnum di Kekaisaran Romawi Suci.

Perubahan di dalam kehidupan bernegara

Ilustrasi di dalam Schedelsche Weltchronik yang memperlihatkan tatanan pemerintahan Reich: Kaisar bersemayam di atas singgasana, dikawal tiga orang petinggi Gereja di sebelah kanan, dan empat orang pangreh praja di sebelah kiri.

Pada abad ke-13, perubahan struktural umum di bidang tata kelola tanah membuka jalan bagi peralihan kuasa politik ke kaum borjuis dengan mengorbankan feodalisme kaum ningrat, yang akhirnya menjadi ciri khas kurun waktu Akhir Abad Pertengahan. Kebangkitan kota-kota dan kemunculan golongan masyarakat baru, yaitu kalangan Bürger, menggerus tatanan kemasyarakatan, tatanan hukum, maupun tatanan ekonomi ala feodalisme.[113]

Kaum tani kian lama kian diwajibkan untuk menyetorkan upeti kepada tuan-tuan tanah mereka. Konsep "harta-milik" mulai menggeser bentuk-bentuk kewenangan hukum yang lebih kuno, kendati keduanya masih tetap berkaitan erat satu sama lain. Di wilayah-wilayah praja (bukan di tingkat negara), kewenangan kian lama kian memusat. Barang siapa memiliki tanah, dia jualah yang empunya kewenangan hukum, dan kewenangan hukum inilah yang menjadi sumber kewenangan-kewenangan lain. Meskipun demikian, kewenangan hukum pemilik tanah pada masa itu tidak mencakup kewenangan membuat undang-undang, yakni jenis kewenangan yang nyaris tidak dikenal sebelum abad ke-15. Praktik peradilan sangat bergantung kepada adat-istiadat atau aturan-aturan yang sudah teradat.

Pada kurun waktu inilah wilayah-wilayah praja mulai bertransformasi menjadi cikal-bakal negara-negara modern. Proses transformasi tersebut tidak berjalan serentak dan seragam di semua praja. Kemajuannya lebih terlihat di praja-praja yang wilayahnya nyaris identik dengan tanah-tanah pusaka suku-suku Jermani tempo dulu, misalnya praja Bayern, tetapi berjalan lebih lamban di praja-praja yang terlahir dari pelaksanaan hak-hak istimewa kaisar.

Pada abad ke-12, Liga Hansa mengukuhkan keberadaannya sebagai persekutuan dagang dan keamanan antarserikat usaha kota-kota kecil dan kota-kota besar di Kekaisaran Romawi Suci maupun di seluruh kawasan utara dan kawasan tengah Eropa. Liga Hansa mendominasi usaha dagang lintas laut di perairan Laut Baltik, Laut Utara, dan di sepanjang aliran sungai-sungai yang dapat dilayari. Setiap kota yang menjadi anggotanya tetap mempertahankan tatanan hukum pangreh prajanya masing-masing, dan hanya memiliki otonomi politik yang terbatas (kecuali kota-kota merdeka milik negara). Pada akhir abad ke-14, persekutuan besar itu sudah mulai berani memaksakan kepentingan-kepentingannya, bahkan bila perlu dengan kekuatan militer. Kenekatan semacam ini berpuncak pada perang melawan Kerajaan Denmark dari tahun 1361 sampai 1370. Liga Hansa mulai terpuruk selepas tahun 1450.[h][114][115]

Akhir Abad Pertengahan

Kebangkitan praja-praja pasca-Hohenstaufen

Karel IV, Kaisar Romawi Suci
Wilayah Kekaisaran Romawi Suci pada waktu penandatanganan Bula Kencana tahun 1356

Kesulitan-kesulitan dalam memilih raja pada akhirnya mendorong dibentuknya suatu dewan tetap pangreh praja pemilih (Kurfürsten). Keanggotaan maupun tata acara persidangannya ditetapkan di dalam Bula Kencana tahun 1356 yang dikeluarkan oleh Kaisar Karel IV (memerintah sebagai Raja Bangsa Romawi sejak tahun 1346, dan sebagai kaisar sejak tahun 1355 sampai 1378) dan berlaku sampai tahun 1806. Perkembangan ini mungkin sekali merupakan tanda yang paling nyata dari munculnya pembedaan kaisar dari negara (Kaiser und Reich), karena kaisar tidak lagi dianggap identik dengan negara. Bula Kencana tahun 1356 juga menetapkan tata cara pemilihan Kaisar Romawi Suci. Kaisar tidak lagi terpilih karena memenangkan suara mayoritas pemilih, tetapi terpilih mendapatkan persetujuan ketujuh-tujuh pangreh praja pemilih. Gelar pangreh praja pemilih pun menjadi gelar turun-temurun, bahkan pangreh praja pemilih dianugerahi hak untuk mencetak uang dan melaksanakan kewenangan hukum. Putra-putra mereka dianjurkan untuk belajar menguasai bahasa-bahasa negara, yaitu bahasa Jerman, bahasa Latin, bahasa Italia, dan bahasa Ceko.[i][16] Kebijakan Kaisar Karel IV ini menjadi pokok perdebatan. Di satu pihak kebijakan ini membantu memulihkan kedamaian di seantero wilayah Kekaisaran Romawi Suci yang terus-menerus dilanda perang saudara sejak berakhirnya zaman kulawangsa Hohenstaufen, tetapi di lain pihak kebijakan ini "tidak pelak lagi menghantam kewenangan pemerintah pusat".[116]

Lihat pula

Rujukan

Keterangan

  1. ^ a b c Beberapa sejawaran menetapkan tahun 800 sebagai tahun pendirian, yakni tahun penobatan Karel Agung.[1] Sejawaran lainnya menetapkan tahun 962 sebagai tahun pendirian, yakni tahun penobatan Otto Agung.[2]
  2. ^ Regensburg, tempat penyelenggaraan sidang 'Permusyawaratan Abadi' selepas tahun 1663, akhirnya dianggap sebagai ibu kota tidak resmi Kekaisaran Romawi Suci oleh beberapa negara Eropa yang berkepentingan terhadap kekaisaran itu, yakni Prancis, Inggris, Belanda, Rusia, Swedia, dan Denmark. Negara-negara itu menempatkan duta-duta yang kurang lebih bersifat permanen di Regensburg, karena Regensburg adalah satu-satunya kota di Kekaisaran Romawi Suci yang menjadi tempat berkumpulnya utusan-utusan dari semua praja besar dan menengah di Jerman sehingga dapat dijumpai untuk dilobi dll. Kaisar-kaisar dari kulawangsa Habsburg sendiri pun memanfaatkan Regensburg untuk kepentingan yang sama. (Härter 2011, hlm. 122–123, 132)
  3. ^ Bahasa Jerman, bahasa Jerman Hilir, bahasa Italia, bahasa Ceko, bahasa Polandia, bahasa Belanda, bahasa Prancis, bahasa Frisia, bahasa Rumanstch, bahasa Slovenia, bahasa Sorbia, Bahasa Yidi, dll. Menurut Bula Kencana tahun 1356, anak-anak para pangreh praja pemilih dianjurkan untuk menguasai bahasa Jerman, bahasa Latin, bahasa Italia, dan bahasa Ceko.[16]
  4. ^ Kekaisaran "Romawi" Jerman: Akibat penatalaksanaan feodal, wilayah kedaulatan kaisar sukar untuk dipastikan, apalagi diukur. Luasnya diperkirakan mencapai puncaknya sekitar tahun 1050, yakni kurang lebih 1.0 Mm2. (Taagepera 1997, hlm. 494)
  5. ^ (bahasa Latin: Sacrum Romanum Imperium; Jerman: Heiliges Römisches Reich, pelafalan [ˈhaɪlɪɡəs ˈʁøːmɪʃəs ˈʁaɪç] )
  6. ^ Sekalipun Karel Agung dan para penggantinya memakai gelar kaisar dengan berbagai variannya, tidak seorang pun dari antara mereka yang menyebut diri Kaisar Romawi. Sebutan itu baru dipakai oleh Otto II pada tahun 983. "Nature of the empire". Encyclopædia Britannica Online. Diakses tanggal 15 Februari 2014. 
  7. ^ "pemindahan kekuasaan"
  8. ^ Terjemahan anugerah hak istimewa kepada kaum saudagar pada tahun 1229: "Medieval Sourcebook: Privileges Granted to German Merchants at Novgorod, 1229". Fordham.edu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 Agustus 2014. Diakses tanggal 13 April 2020. 
  9. ^ Quapropter statuimus, ut illustrium principum, puta regis Boemie, comitis palatini Reni, ducis Saxonie et marchionis Brandemburgensis electorum filii vel heredes et successores, cum verisimiliter Theutonicum ydioma sibi naturaliter inditum scire presumantur et ab infancia didicisse, incipiendo a septimo etatis sue anno in gramatica, Italica ac Sclavica lingwis instruantur, ita quod infra quartum decimum etatis annum existant in talibus iuxta datam sibi a Deo graciam eruditi. (Zeumern 1908)

Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "prince" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Avakov" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.

Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Milan" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.

Kutipan

  1. ^ "Charlemagne | Holy Roman emperor". Encyclopædia Britannica Online. Diakses tanggal 16 Oktober 2023. 
  2. ^ Kleinhenz 2004, hlm. 810; "Otto dapat dipandang sebagai pemimpin pertama Kekaisaran Romawi Suci, sekalipun istilah itu baru dipakai pada abad ke-12.".
  3. ^ von Aretin, Karl Otmar Freiherr (31 December 1983). Schieder, Theodor; Brunn, Gerhard, ed. "Das Reich ohne Hauptstadt? Die Multizentralitat der Hauptstadtfunktionen im Reich bis 1806". Hauptstädte in europäischen Nationalstaaten: 5–14. doi:10.1515/9783486992878-003. ISBN 978-3-4869-9287-8. 
  4. ^ "UNIO REGNI AD IMPERIUM in "Federiciana"". Treccani.it. Diakses tanggal 04 Mei 2022. 
  5. ^ "Enrico Vi, Re Di Sicilia E Imperatore In "Federiciana"". Treccani.it. Diakses tanggal 04 Mei 2022. 
  6. ^ Kamp, Norbert. "Federico Ii Di Svevia, Imperatore, Re Di Sicilia E Di Gerusalemme, Re Dei Romani In "Federiciana"". Treccani.it. Diakses tanggal 04 Mei 2022. 
  7. ^ Brady 2009, hlm. 211.
  8. ^ Pavlac & Lott 2019, hlm. 249.
  9. ^ Wissenschaften, Neuhausener Akademie der (14 July 2021). Beiträge zur bayerischen Geschichte, Sprache und Kultur (dalam bahasa Jerman). BoD – Books on Demand. hlm. 106. ISBN 978-3-0006-9644-2. 
  10. ^ Schmitt, Oliver Jens (5 July 2021). Herrschaft und Politik in Südosteuropa von 1300 bis 1800 (dalam bahasa Jerman). Walter de Gruyter GmbH & Co KG. hlm. 659. ISBN 978-3-1107-4443-9. 
  11. ^ Buchmann, Bertrand Michael (2002). Hof, Regierung, Stadtverwaltung: Wien als Sitz der österreichischen Zentralverwaltung von den Anfängen bis zum Untergang der Monarchie (dalam bahasa Jerman). Verlag für Geschichte und Politik. hlm. 37. ISBN 978-3-4865-6541-6. 
  12. ^ Klopstock, Friedrich Gottlieb (1974). Werke und Briefe: historisch-kritische Ausgabe (dalam bahasa Jerman). W. de Gruyter. hlm. 999. Diakses tanggal 6 Februari 2022. 
  13. ^ Pihlajamäki, Heikki; Dubber, Markus D.; Godfrey, Mark (4 July 2018). The Oxford Handbook of European Legal History (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. hlm. 762. ISBN 978-0-1910-8838-4. Diakses tanggal 6 Februari 2022. 
  14. ^ Johnston, William M. (23 March 1983). The Austrian Mind: An Intellectual and Social History, 1848–1938 (dalam bahasa Inggris). University of California Press. hlm. 13. ISBN 978-0-5200-4955-0. 
  15. ^ Pavlac & Lott 2019, hlm. 278.
  16. ^ a b Žůrek 2014.
  17. ^ Wilson 2016, hlm. v–xxvi.
  18. ^ a b Wilson 2016, hlm. 496.
  19. ^ Coy, Jason Philip; Marschke, Benjamin; Sabean, David Warren (1 October 2010). The Holy Roman Empire, Reconsidered (dalam bahasa Inggris). Berghahn Books. hlm. 2. ISBN 978-1-8454-5992-5. 
  20. ^ "Holy Roman Empire". Encyclopædia Britannica Online. Diakses tanggal 15 Februari 2014. 
  21. ^ "Charlemagne". History. 9 November 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 September 2022. Diakses tanggal 19 September 2022. 
  22. ^ Cantor 1993, hlm. 212–215.
  23. ^ a b Gascoigne, Bamber. "History of the Holy Roman Empire". HistoryWorld. 
  24. ^ Davies 1996, hlm. 316–317.
  25. ^ Peters, Edward (1977). Europe: the World of the Middle Ages (dalam bahasa Inggris). Prentice-Hall. hlm. 418. ISBN 978-0-1329-1898-5. Diakses tanggal 6 Februari 2022. 
  26. ^ Weiler, Björn K. U.; MacLean, Simon (2006). Representations of Power in Medieval Germany 800–1500 (dalam bahasa Inggris). Isd. hlm. 126. ISBN 978-2-5035-1815-2. Diakses tanggal 9 Maret 2022. 
  27. ^ Loud, Graham A.; Schenk, Jochen (6 July 2017). The Origins of the German Principalities, 1100–1350: Essays by German Historians (dalam bahasa Inggris). Taylor & Francis. hlm. 49. ISBN 978-1-3170-2200-8. 
  28. ^ Streissguth, Tom (24 June 2009). The Middle Ages (dalam bahasa Inggris). Greenhaven Publishing. hlm. 154. ISBN 978-0-7377-4636-5. 
  29. ^ Wilson 1999, hlm. 18.
  30. ^ a b c d Whaley 2012a, hlm. 17–21.
  31. ^ Bryce 1890, hlm. 2–3.
  32. ^ a b Garipzanov 2008.
  33. ^ Breverton 2014, hlm. 104.
  34. ^ Wilson 2016b, hlm. 79.
  35. ^ Brady 2009, hlm. 104–106.
  36. ^ Brady 2009, hlm. 128, 129.
  37. ^ a b Johnson 1996, hlm. 23.
  38. ^ a b Wilson 1999, hlm. 2.
  39. ^ a b Whaley 2011, hlm. 17.
  40. ^ Moraw 1999, col. 2025–2028.
  41. ^ Whaley 2011, hlm. 19–20.
  42. ^ Schulze 1998, hlm. 52–55.
  43. ^ "német-római birodalom – Magyar Katolikus Lexikon". lexikon.katolikus.hu. Diakses tanggal 03 Agustus 2022. 
  44. ^ Wilson 2006, hlm. 719.
  45. ^ Voltaire 1773, hlm. 338.
  46. ^ Jorio & Braun 2016.
  47. ^ Lauryssens 1999, hlm. 102.
  48. ^ Bachrach, David S. (2014). Warfare in Tenth-Century Germany (dalam bahasa Inggris). Boydell & Brewer Ltd. hlm. 3,5,12,60,73,103,180,254. ISBN 978-1-8438-3927-9. Diakses tanggal 31 Juli 2022. 
  49. ^ Brown, Warren (February 2015). "Warfare in Tenth-Century Germany [Book Review]". Early Medieval Europe. 23 (1): 117–120. doi:10.1111/emed.12090. Diarsipkan dari versi asli tanggal 31 Juli 2022. Diakses tanggal 31 Juli 2022. 
  50. ^ Bryce 1890, hlm. 183.
  51. ^ "Italy in the 14th and 15th centuries". Encyclopædia Britannica Online. Diakses tanggal 18 Desember 2020. 
  52. ^ Innes 2000, hlm. 167–170.
  53. ^ Bryce 1890, hlm. 35.
  54. ^ Davies 1996, hlm. 232, 234.
  55. ^ Bryce 1890, hlm. 35–38.
  56. ^ McKitterick 2018, hlm. 48–50.
  57. ^ "France: History, Map, Flag, Capital, & Facts". Encyclopædia Britannica Online. 16 May 2023. 
  58. ^ Bryce 1890, hlm. 38–42.
  59. ^ Johnson 1996, hlm. 22.
  60. ^ Kohn 2006, hlm. 113–114.
  61. ^ Duffy 1997, hlm. 62–63.
  62. ^ a b Bryce, hlm. 44, 50–52
  63. ^ a b McKitterick 2018, hlm. 70.
  64. ^ a b Collins 2014, hlm. 131.
  65. ^ Chambers, Mortimer (1974). The Western Experience (dalam bahasa Inggris). Knopf. hlm. 204. ISBN 978-0-3943-1806-6. Diakses tanggal 6 Februari 2022. 
  66. ^ Witt, Ronald G. (19 March 2012). The Two Latin Cultures and the Foundation of Renaissance Humanism in Medieval Italy (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. hlm. 27. ISBN 978-0-5217-6474-2. Diakses tanggal 6 Februari 2022. 
  67. ^ Taylor & Hansen-Taylor 1894, hlm. 117.
  68. ^ Taylor & Hansen-Taylor 1894, hlm. 118.
  69. ^ Taylor & Hansen-Taylor 1894, hlm. 121.
  70. ^ Hoyt & Chodorow 1976, hlm. 197.
  71. ^ Magill 1998, hlm. 706.
  72. ^ Cantor 1993, hlm. 212–213.
  73. ^ Bernhardt, John W. (22 August 2002). Itinerant Kingship and Royal Monasteries in Early Medieval Germany, C.936–1075 (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. hlm. 23. ISBN 978-0-5215-2183-3. Diakses tanggal 6 Februari 2022. 
  74. ^ Wickham, Chris (15 October 2016). Medieval Europe (dalam bahasa Inggris). Yale University Press. hlm. 131. ISBN 978-0-3002-2221-0. Diakses tanggal 6 Februari 2022. 
  75. ^ Cantor 1993, hlm. 214–215.
  76. ^ a b Magill 1998, hlm. 707.
  77. ^ Tucker, Spencer C. (23 December 2009). A Global Chronology of Conflict: From the Ancient World to the Modern Middle East [6 volumes]: From the Ancient World to the Modern Middle East (dalam bahasa Inggris). ABC-CLIO. hlm. 412. ISBN 978-1-8510-9672-5. Diakses tanggal 6 Februari 2022. 
  78. ^ Geanakoplos, Deno John (1979). Medieval Western Civilization and the Byzantine and Islamic Worlds: Interaction of Three Cultures (dalam bahasa Inggris). D. C. Heath. hlm. 207. ISBN 978-0-6690-0868-5. Diakses tanggal 6 Februari 2022. 
  79. ^ "Otto I - Legacy Britannica". www.britannica.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2 Maret 2022. 
  80. ^ Biographie, Deutsche. "Otto I. - Deutsche Biographie". www.deutsche-biographie.de (dalam bahasa Jerman). Diakses tanggal 5 Maret 2022. 
  81. ^ Davids, Adelbert (15 August 2002). The Empress Theophano: Byzantium and the West at the Turn of the First Millennium (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. hlm. 188. ISBN 978-0-5215-2467-4. Diakses tanggal 9 Maret 2022. 
  82. ^ Jansen, S. (17 October 2002). The Monstrous Regiment of Women: Female Rulers in Early Modern Europe (dalam bahasa Inggris). Springer. hlm. 153. ISBN 978-0-2306-0211-3. Diakses tanggal 9 Maret 2022. 
  83. ^ MacLean, Simon (2017). Ottonian Queenship (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. hlm. 169. ISBN 978-0-1988-0010-1. Diakses tanggal 9 Maret 2022. 
  84. ^ Digby, Kenelm Henry (1891). Mores Catholici: Books VII-IX (dalam bahasa Inggris). P. O'Shea. hlm. 939. Diakses tanggal 9 Maret 2022. 
  85. ^ Magill 1998, hlm. 708.
  86. ^ McBrien 2000, hlm. 138.
  87. ^ Sladen 1914.
  88. ^ Cantor 1993, hlm. 215–217.
  89. ^ Bideleux, Robert; Jeffries, Ian (10 April 2006). A History of Eastern Europe: Crisis and Change (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 119. ISBN 978-1-1347-1985-3. Diakses tanggal 30 Mei 2022. 
  90. ^ Lewis, Archibald Ross (1988). Nomads and Crusaders, A.D. 1000-1368 (dalam bahasa Inggris). Georgetown University Press. hlm. 83. ISBN 978-0-2533-4787-9. Diakses tanggal 30 Mei 2022. 
  91. ^ Fried, Johannes (13 January 2015). The Middle Ages (dalam bahasa Inggris). Harvard University Press. hlm. 138. ISBN 978-0-6747-4467-7. Diakses tanggal 30 Mei 2022. 
  92. ^ Rowland, Christopher; Barton, John (2002). Apocalyptic in History and Tradition (dalam bahasa Inggris). Bloomsbury Academic. hlm. 173. ISBN 978-0-8264-6208-4. Diakses tanggal 30 Mei 2022. 
  93. ^ Arnason, Johann P.; Wittrock, Björn (1 January 2005). Eurasian Transformations, Tenth to Thirteenth Centuries: Crystallizations, Divergences, Renaissances (dalam bahasa Inggris). BRILL. hlm. 100. ISBN 978-9-0474-1467-4. Diakses tanggal 30 Mei 2022. 
  94. ^ German Polish Dialogue: Letters of the Polish and German Bishops and International Statements (dalam bahasa Inggris). Ed. Atlantic-Forum. 1966. hlm. 9. Diakses tanggal 30 Mei 2022. 
  95. ^ Emmerson, Richard K. (18 October 2013). Key Figures in Medieval Europe: An Encyclopedia (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 497. ISBN 978-1-1367-7518-5. Diakses tanggal 30 Mei 2022. 
  96. ^ Muldoon, J. (19 August 1999). Empire and Order: The Concept of Empire, 800–1800 (dalam bahasa Inggris). Springer. hlm. 35. ISBN 978-0-2305-1223-8. Diakses tanggal 30 Mei 2022. 
  97. ^ a b Barraclough 1984, hlm. 101–134.
  98. ^ a b Barraclough 1984, hlm. 109.
  99. ^ Barraclough 1984, hlm. 122–124.
  100. ^ Barraclough 1984, hlm. 123.
  101. ^ Barraclough 1984, hlm. 123–134.
  102. ^  Chisholm, Hugh, ed. (1911). "Silesia". Encyclopædia Britannica. 25 (edisi ke-11). Cambridge University Press. 
  103. ^ Herrmann 1970, hlm. 530.
  104. ^ Haffner 2019, hlm. 6–10.
  105. ^ Smail & Gibson 2009.
  106. ^ Arnold 1995, hlm. 398.
  107. ^ Hunyadi & Laszlovszky 2001, hlm. 129.
  108. ^ Boettcher, Carl-Heinz (2005). Europas Weg in die Neuzeit: vom Weltstaat zur Staatenwelt (dalam bahasa Jerman). Röhrig Universitätsverlag. hlm. 342. ISBN 978-3-8611-0390-5. Diakses tanggal 15 Oktober 2022. 
  109. ^ Ehlers, Joachim (2003). "Heinrich VI.". Dalam Schneidmüller, Bernd; Weinfurter, Stefan. Die deutschen Herrscher des Mittelalters: historische Portraits von Heinrich I. bis Maximilian I. (919-1519) (dalam bahasa Jerman). C.H.Beck. hlm. 258–271. ISBN 978-3-4065-0958-2. Diakses tanggal 15 Oktober 2022. 
  110. ^ Koenigsberger, H. G. (14 January 2014). Medieval Europe 400 - 1500 (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 105. ISBN 978-1-3178-7088-3. Diakses tanggal 15 Oktober 2022. 
  111. ^ Pavlac & Lott 2019, hlm. 17.
  112. ^ Grant, Jeanne (23 October 2014). For the Common Good: The Bohemian Land Law and the Beginning of the Hussite Revolution (dalam bahasa Inggris). BRILL. hlm. 8. ISBN 978-9-0042-8326-8. Diakses tanggal 2 November 2022. 
  113. ^ Rothstein 1995, hlm. 9-.
  114. ^ Szepesi 2015.
  115. ^ Rothbard 2009.
  116. ^ Schwartzwald, Jack L. (20 November 2015). The Collapse and Recovery of Europe, AD 476–1648 (dalam bahasa Inggris). McFarland. hlm. 116. ISBN 978-1-4766-6230-5. Diakses tanggal 5 Februari 2022. 

Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "isites" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "reichskammergericht.de" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.

Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Thelocalgermancapitals" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.

Sumber

Bahan bacaan lanjutan

  • Arnold, Benjamin (1991). Princes and Territories in Medieval Germany. Cambridge University Press. ISBN 978-0-5215-2148-2. OL 7744146M. 
  • Bryce, James (1864). The Holy Roman Empire. Macmillan. OCLC 1347435. OL 17729330M. 
  • Coy, Jason Philip; Marschke, Benjamin; Sabean, David Warren, ed. (2010). The Holy Roman Empire, Reconsidered. Berghahn Books. ISBN 978-1-8454-5992-5. OL 38653949M. 
  • Donaldson, George. Germany: A Complete History (Gotham Books, New York, 1985)
  • Hahn, Hans Joachim. German thought and culture: From the Holy Roman Empire to the present day (Manchester University Press, 1995).
  • Scribner, Bob. Germany: A New Social and Economic History, Jld. 1: 1450–1630 (1995)
  • Stollberg-Rilinger, Barbara. The Holy Roman Empire: A Short History. Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 2018.
  • Treasure, Geoffrey. The Making of Modern Europe, 1648–1780 (edisi ke-3, tahun 2003). hlmn. 374–426.
  • Zophy, Jonathan W., (penyunting) The Holy Roman Empire: A Dictionary Handbook (Greenwood Press, 1980)

Pranala luar

Peta