Konfrontasi Indonesia–Malaysia: Perbedaan antara revisi
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Tag: Pengembalian manual |
||
(19 revisi perantara oleh 8 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 7: | Baris 7: | ||
| place = [[Semenanjung Malaka]], [[Kalimantan]] |
| place = [[Semenanjung Malaka]], [[Kalimantan]] |
||
| territory = |
| territory = |
||
| result = Kemenangan |
| result = <!-- Cantumkan rujukan/referensi atas perubahan kolom ini; --> Kemenangan [[Persemakmuran Bangsa-Bangsa]]{{sfn|Van der Bijl|2007|p=246}} |
||
* Indonesia menerima pembentukan Malaysia |
* Indonesia menerima pembentukan Malaysia |
||
* [[Soekarno]] digantikan oleh [[Soeharto]] menyusul upaya kudeta [[Gerakan 30 September|G30S]] |
* [[Soekarno]] digantikan oleh [[Soeharto]] menyusul upaya kudeta [[Gerakan 30 September|G30S]] |
||
Baris 35: | Baris 35: | ||
* {{flagdeco|United Kingdom}} [[Harold Wilson]] |
* {{flagdeco|United Kingdom}} [[Harold Wilson]] |
||
* {{flagdeco|United Kingdom}} [[Rodney Moore]] |
* {{flagdeco|United Kingdom}} [[Rodney Moore]] |
||
* {{flagdeco|United Kingdom}} [[Walter Walker]] |
* {{flagdeco|United Kingdom}} [[Walter Walker]]}} |
||
* {{flagdeco|UK}} [[John Grandy]] |
|||
}} |
|||
| commander2 = {{plainlist | |
| commander2 = {{plainlist | |
||
* {{flagdeco|Indonesia}} [[Soekarno]] |
* {{flagdeco|Indonesia}} [[Soekarno]] |
||
Baris 49: | Baris 47: | ||
* {{flagicon image|Flag of the Sarawak People's Guerilla Force.svg}} [[Bong Kee Chok]] |
* {{flagicon image|Flag of the Sarawak People's Guerilla Force.svg}} [[Bong Kee Chok]] |
||
* {{flagicon image|Flag of the North Borneo Federation.svg}} [[A. M. Azahari]] |
* {{flagicon image|Flag of the North Borneo Federation.svg}} [[A. M. Azahari]] |
||
* {{flagicon image|Flag of the North Borneo Federation.svg}} [[Yassin Affandi]] |
* {{flagicon image|Flag of the North Borneo Federation.svg}} [[Yassin Affandi]]}} |
||
}} |
|||
| strength1 = |
| strength1 = |
||
| strength2 = |
| strength2 = |
||
Baris 60: | Baris 57: | ||
* 590 terbunuh |
* 590 terbunuh |
||
* 222 luka-luka |
* 222 luka-luka |
||
* |
* 770 ditangkap |
||
| casualties3 = '''Korban sipil''' |
| casualties3 = '''Korban sipil''' |
||
* 36 terbunuh |
* 36 terbunuh |
||
Baris 70: | Baris 67: | ||
{{Campaignbox Indonesia-Malaysia confrontation}} |
{{Campaignbox Indonesia-Malaysia confrontation}} |
||
{{Sejarah Indonesia}} |
{{Sejarah Indonesia}} |
||
{{Sejarah Malaysia}} |
|||
'''Konfrontasi Indonesia–Malaysia''' atau '''Konfrontasi Borneo''' (juga dikenal dengan [[Bahasa Indonesia]] / [[Bahasa Melayu|Melayu]], '''Konfrontasi''') adalah konflik bersenjata dari tahun 1963 hingga 1966 yang bermula dari penentangan [[Indonesia]] terhadap pembentukan [[Malaysia|Federasi Malaysia]]. Setelah presiden Indonesia [[Soekarno]] digulingkan pada tahun 1966, perselisihan berakhir secara damai dan negara Malaysia terbentuk. |
'''Konfrontasi Indonesia–Malaysia''' atau '''Konfrontasi Borneo''' (juga dikenal dengan [[Bahasa Indonesia]] / [[Bahasa Melayu|Melayu]], '''Konfrontasi''') adalah konflik bersenjata dari tahun 1963 hingga 1966 yang bermula dari penentangan [[Indonesia]] terhadap pembentukan [[Malaysia|Federasi Malaysia]]. Setelah presiden Indonesia [[Soekarno]] digulingkan pada tahun 1966, perselisihan berakhir secara damai dan negara Malaysia terbentuk. |
||
Baris 82: | Baris 80: | ||
== Latar belakang == |
== Latar belakang == |
||
=== Situasi politik === |
|||
[[Berkas:Manila Accord (31 July 1963).djvu|jmpl|kiri|250px|[[Persetujuan Manila]] antara [[Filipina]], [[Federasi Malaya]] dan [[Indonesia]].]] |
|||
Sebelum Konfrontasi, [[Sukarno]] berupaya mengembangkan kebijakan luar negeri Indonesia yang mandiri, dengan fokus utama menganeksasi [[Nugini Belanda]] untuk menyudahi [[Perang Kemerdekaan Indonesia]], serta membangun kredibilitas Indonesia sebagai kekuatan internasional dengan agenda tersendiri yang berbeda dari Dunia Pertama dan Dunia Kedua. Indonesia adalah negara penting dalam perkembangan [[Gerakan Non-Blok]], dan menjadi tuan rumah [[Konferensi Bandung]] pada tahun 1955. Indonesia secara gigih memperjuangkan akuannya atas Nugini Belanda dari tahun 1950 hingga 1962, meskipun menghadapi berbagai penentangan di [[Majelis Umum PBB]] untuk mendapatkan pengakuan klaimnya dari dunia internasional. |
|||
[[File:Soekarno.jpg|thumb|[[Soekarno]], yang memproklamasikan gerakan Ganyang Malaysia.|kanan]] |
|||
Pada [[1961]], Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. [[Kalimantan]], sebuah provinsi di Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah Kerajaan [[Brunei]] dan dua koloni [[Inggris]]; [[Sarawak]] dan [[Borneo Utara]], kemudian dinamakan [[Sabah]]. Sebagai bagian dari penarikannya dari koloninya di [[Asia Tenggara]], Inggris mencoba menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan [[Semenanjung Malaya]], [[Federasi Malaya]] dengan membentuk [[Federasi Malaysia]]. |
|||
Setelah dilanda krisis separatisme pada tahun 1958, termasuk terjadinya pemberontakan [[Permesta]] di Indonesia timur dan deklarasi [[Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia]], Indonesia muncul sebagai kekuatan militer yang berpengaruh dan berkembang di [[Asia Tenggara]].{{sfn|Cain|1997|p=67}} [[CIA|Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat]] (CIA), melalui anak organisasinya yang berbasis di Taiwan, [[Civil Air Transport]] (CAT), secara diam-diam memberikan dukungan kepada pemberontak di pulau-pulau terpencil, dengan tujuan untuk melemahkan atau menggulingkan rezim Presiden Sukarno. Sejak tahun 1957, CIA semakin kerap berhubungan dengan para pemimpin militer di [[Sumatra]] dan [[Sulawesi]] yang kritis terhadap rezim Sukarno. Menjelang akhir tahun 1957, pengiriman senjata dan amunisi ke Sumatra dengan menggunakan kapal dagang dan kapal selam Amerika semakin sering terjadi. Namun, Amerika percaya bahwa agar bantuan rahasia tersebut efektif, operasi semacam itu memerlukan bantuan dari pangkalan militer Inggris di [[Singapura]] untuk mengisi bahan bakar dan mendukung misi CAT yang diluncurkan dari Bangkok, Taiwan, atau Filipina.<ref name="EnglishHistoricalReview-Nov99">{{Cite journal |last=Jones |first=M. |date=1999-11-01 |title='Maximum disavowable aid': Britain, the United States and the Indonesian rebellion, 1957–58 |url=https://academic.oup.com/ehr/article-lookup/doi/10.1093/ehr/114.459.1179 |journal=The English Historical Review |language=en |volume=114 |issue=459 |pages=1179–1216 |doi=10.1093/ehr/114.459.1179 |issn=0013-8266}}</ref> Dengan masuknya bantuan senjata dari Soviet, Indonesia makin gencar mengajukan klaimnya atas Nugini Belanda. Pertikaian diplomatik mencapai puncaknya pada tahun 1962 ketika Indonesia meluncurkan upaya penyusupan besar-besaran melalui udara dan laut ke Nugini Belanda. Meskipun pasukan penyusup dikalahkan oleh pasukan Belanda dan Papua, Indonesia menunjukkan ancaman serius akan ambisinya untuk menginvasi Nugini Belanda. Belanda, yang menghadapi tekanan diplomatik yang makin meningkat dari Indonesia, serta dari Amerika yang ingin memastikan bahwa Indonesia tidak berpihak pada Komunis, akhirnya menyerah dan sepakat untuk mengadakan perundingan diplomatik. Kesepakatan tersebut memungkinkan Indonesia menguasai wilayah [[Papua Barat]] melalui jajak pendapat penentuan nasib sendiri ([[Penentuan Pendapat Rakyat]]) di wilayah tersebut pada tahun 1969. Dengan demikian, pada akhir tahun 1962, Indonesia meraih kemenangan diplomatik yang signifikan, yang makin memperkuat persepsi dirinya sebagai kekuatan regional yang penting. Dalam konteks kemenangan diplomatik inilah Indonesia lalu mengarahkan perhatiannya pada rencana Inggris yang hendak membentuk negara Malaysia bersatu. |
|||
Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia; Presiden [[Sukarno|Soekarno]] berpendapat bahwa Malaysia hanya sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia. [[Filipina]] juga membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui [[Kesultanan Sulu]]. |
|||
Sebelum pemerintah Inggris mengumumkan kebijakan [[Timur Suez]] pada tahun 1968, mereka sudah mulai mengevaluasi ulang komitmennya untuk mempertahankan keberadaan pasukannya di [[Timur Jauh]] sejak akhir 1950-an. Di Asia Tenggara, Inggris berusaha menggabungkan koloninya di [[Borneo Utara]] dengan [[Federasi Malaya]] (yang telah merdeka dari Inggris pada tahun 1957), dan [[Singapura]] (yang telah memiliki pemerintahan sendiri sejak 1959). Pada bulan Mei 1961, pemerintah Inggris dan Malaya mengusulkan pembentukan federasi yang lebih besar bernama Malaysia, yang mencakup Malaya, Borneo Utara, [[Sarawak]], [[Brunei]], dan Singapura. Awalnya, Indonesia mendukung federasi yang diusulkan ini, meskipun [[Partai Komunis Indonesia]] (PKI) menentangnya dengan tegas.{{sfn|Conboy|2003|pp=93–95}} |
|||
Di Brunei, [[Tentara Nasional Kalimantan Utara]] (TNKU) memberontak pada [[8 Desember]] [[1962]]. Mereka mencoba menangkap [[Sultan Brunei]], ladang minyak dan sandera orang Eropa. Sultan lolos dan meminta pertolongan Inggris. Dia menerima pasukan Inggris dan [[Gurkha]] dari [[Singapura]]. Pada [[16 Desember]], Komando Timur Jauh Inggris (''[[British Far Eastern Command]]'') mengklaim bahwa seluruh pusat pemberontakan utama telah diatasi, dan pada [[17 April]] [[1963]], pemimpin pemberontakan ditangkap dan pemberontakan berakhir. |
|||
Di Brunei, tidak jelas apakah Sultan [[Omar Ali Saifuddien III]] akan mendukung Brunei bergabung dengan negara Malaysia bentukan Inggris, karena dengan bergabungnya Brunei, kewenangan politik Sultan akan berkurang, serta didukung oleh pendapatan minyak Brunei yang memastikan Brunei tetap mampu secara finansial jika memilih merdeka. Selain itu, seorang politisi Brunei bernama Dr. AM Azahari bin Sheikh Mahmud, meskipun mendukung penyatuan Borneo Utara, menentang penggabungan Brunei ke dalam Federasi Malaysia. Pada tahun 1961, ia menjajaki peluang memperoleh bantuan dari Indonesia untuk melatih prajurit Borneo. Jenderal [[Abdul Haris Nasution]] kemudian setuju untuk memberikan dukungan moral, dan [[Soebandrio]], menteri luar negeri Indonesia sekaligus kepala intelijen, memberi isyarat untuk memberikan bantuan yang lebih substansial. Azahari adalah seorang tokoh sayap kiri yang pernah bertempur di Indonesia saat perang kemerdekaan. Setelah pertemuan tersebut, Indonesia mulai melatih pasukan sukarelawan kecil yang disebut [[Tentara Nasional Kalimantan Utara]] (TNKU) di Kalimantan.{{sfn|Conboy|2003|pp=93–95}} |
|||
[[Filipina]] dan [[Indonesia]] resminya setuju untuk menerima pembentukan [[Federasi Malaysia]] apabila mayoritas di daerah yang hendak dilakukan dekolonial memilihnya dalam sebuah [[referendum]] yang diorganisasi oleh [[PBB]]. Tetapi, pada [[16 September]], sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan. Malaysia melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk turut campur orang luar, tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai [[Persetujuan Manila]] yang dilanggar dan sebagai bukti kolonialisme dan imperialisme Inggris. |
|||
Pada tanggal 8 Desember 1962, TNKU melancarkan [[Pemberontakan Brunei]]. Pemberontakan ini berakhir dengan kegagalan total, karena pasukan yang tidak terlatih dan dipersenjatai dengan buruk tidak mampu mencapai tujuan utamanya untuk menangkap [[Sultan Brunei]], mengambil alih ladang minyak Brunei, atau menyandera orang Eropa. Dalam hitungan jam setelah pemberontakan dilancarkan, pasukan Inggris yang bermarkas di Singapura segera dikerahkan untuk menanggapi pemberontakan tersebut. Kegagalan pemberontakan tersebut terlihat jelas dalam waktu 30 jam ketika pasukan [[Gurkha]] yang diterbangkan dari Singapura mengambil alih kota-kota di Brunei dan memastikan keselamatan Sultan. |
|||
{{cquote|Sejak demonstrasi anti-Indonesia di [[Kuala Lumpur]], ketika para demonstran menyerbu [[Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur|gedung KBRI]], merobek-robek foto [[Sukarno]], membawa lambang negara [[Garuda Pancasila]] ke hadapan [[Tunku Abdul Rahman]]—[[Perdana Menteri Malaysia]] saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda,<ref name="Tunku tak mahu pijak Pancasila">[http://www.utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2009&dt=0809&pub=Utusan_Malaysia&sec=Rencana&pg=re_14.htm Tunku tak mahu pijak Pancasila.]</ref> amarah Sukarno terhadap Malaysia pun meledak.}} |
|||
Dukungan Indonesia untuk TNKU masih menjadi perdebatan. Meskipun pada saat itu Indonesia menyangkal keterlibatannya secara langsung, Indonesia mendukung tujuan TNKU untuk menggagalkan terbentuknya Federasi Malaysia. Setelah kegagalan militer TNKU di Brunei, pada tanggal 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Subandrio mengumumkan bahwa Indonesia akan menerapkan kebijakan Konfrontasi dengan Malaysia, bertentangan dengan kebijakan sebelumnya yang mendukung rencana Inggris. Kebijakan tersebut disusul oleh penyusupan pasukan Indonesia ke wilayah Malaysia pada tanggal 12 April 1963, ketika sebuah kantor polisi di Tebedu, Sarawak, diserang.{{sfn|Easter|2004|p=46}} |
|||
Demonstrasi anti-Indonesia di [[Kuala Lumpur]] yang berlangsung tanggal 17 September 1963, berlaku ketika para demonstran yang sedang memuncak marah terhadap Presiden Soekarno yang melancarkan konfrontasi terhadap Malaysia<ref name="Tunku tak mahu pijak Pancasila"/> dan juga karena serangan pasukan militer tidak resmi Indonesia terhadap Malaysia. Ini mengikuti pengumuman [[Menteri Luar Negeri]] Indonesia [[Soebandrio]] bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia pada [[20 Januari]] [[1963]]. Selain itu pencerobohan sukarelawan Indonesia (sepertinya [[paramiliter|pasukan militer tidak resmi]]) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan [[sabotase]] pada 12 April berikutnya. |
|||
=== Kondisi medan === |
|||
Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan demonstrasi anti-Indonesia yang menginjak-injak [[Lambang Indonesia|lambang negara Indonesia]]<ref name="malaysiadanpki">{{Cite news|url=http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0709/29/opini/3873018.htm |title=Artikel Kompas bertajuk "Sukarno, Malaysia, dan PKI" tanggal Sabtu, 29 September 2007 |access-date=2009-03-28 |archive-date=2009-04-21 |archive-url=https://web.archive.org/web/20090421154114/http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0709/29/opini/3873018.htm |dead-url=yes |work=[[Kompas.com]] }}</ref> dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan nama [[Ganyang Malaysia]]. [[Sukarno|Soekarno]] memproklamasikan gerakan [[Ganyang Malaysia]] melalui pidato dia yang sangat bersejarah, berikut ini: |
|||
[[File:Control of the island of Borneo.png|300px|thumb|Setelah berakhirnya konflik, Borneo terbagi antara Brunei, Indonesia, dan Malaysia. Penguasaan atas pulau ini menjadi isu utama yang memicu perang pada masa itu.]] |
|||
Pada tahun 1961, Pulau Borneo terbagi menjadi empat wilayah terpisah. [[Kalimantan]], yang terdiri dari empat provinsi Indonesia, berada di bagian selatan pulau tersebut. Di bagian utara, terdapat [[Kesultanan Brunei]] (sebuah protektorat Inggris) serta dua koloni Inggris, yakni [[Borneo Utara]] (kelak dinamai [[Sabah]]) dan [[Sarawak]]. |
|||
Tiga wilayah Inggris di Borneo memiliki populasi sekitar 1,5 juta orang, dengan separuhnya adalah [[suku Dayak]]. Sarawak memiliki populasi sekitar 900.000 jiwa, Sabah sekitar 600.000, dan Brunei sekitar 80.000. Sedangkan penduduk non-Dayak di Sarawak, 31% adalah etnis Tionghoa dan 19% adalah [[Melayu]]. Di Sabah, 21% non-Dayak adalah etnis Tionghoa dan 7% adalah Melayu, sedangkan di Brunei, populasi non-Dayak terdiri dari 28% etnis Tionghoa dan 54% Melayu. Ada juga sejumlah besar orang Indonesia di [[Tawau]], Sabah selatan, serta komunitas Tionghoa yang besar dan aktif secara ekonomi di Sarawak. Meskipun jumlah penduduk Dayak banyak, mereka tersebar di seluruh wilayah di daerah pelosok dan tidak memiliki organisasi politik yang terstruktur. Sarawak terbagi menjadi lima wilayah administratif, sementara Sabah, yang ibu kotanya terletak di Jesselton (sekarang [[Kota Kinabalu]]) di pesisir utara, terbagi menjadi beberapa residensi; residensi pedalaman dan Tawau berbatasan dengan Indonesia. |
|||
{{cquote| |
|||
<poem> |
|||
Kalau kita lapar itu biasa |
|||
Kalau kita malu itu djuga biasa |
|||
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena [[Malaysia]], kurang adjar! |
|||
Selain di bagian ujung perbatasan, batas wilayah koloni Inggris dengan Indonesia umumnya mengikuti perbukitan di sepanjang perbatasannya, dengan ketinggian mencapai hampir 2.500 meter di Divisi Kelima. Di Divisi Pertama, terdapat beberapa jalan, termasuk satu jalan utama dari [[Kuching]] menuju Brunei dan kemudian terhubung ke [[Sandakan]] di pesisir timur Sabah. Tidak ada jalan di Divisi Keempat dan Kelima atau di Residensi Pedalaman, dan di Divisi Ketiga hanya terdapat jalan pesisir yang berjarak sekitar 150 mil dari perbatasan. Pemetaan wilayah ini umumnya kurang memadai, dengan peta Inggris hanya menampilkan detail topografi yang minim. Peta Indonesia bahkan lebih buruk; hanya "selembar kertas hitam putih menampakkan seluruh Kalimantan yang diambil dari buku pelajaran sekolah" pada tahun 1964.{{sfn|Conboy|2003|p=102}} |
|||
Kerahkan pasukan ke Kalimantan, kita hadjar tjetjunguk Malayan itu! |
|||
Pukul dan sikat djangan sampai tanah dan udara kita diindjak-indjak oleh Malaysian keparat itu |
|||
Kalimantan dibagi menjadi empat provinsi, dengan [[Kalimantan Timur]] dan [[Kalimantan Barat]] berbatasan dengan Borneo Inggris. Ibu kota Kalimantan Barat adalah [[Pontianak]] di pantai barat, berjarak sekitar 160 km dari perbatasan, dan ibu kota Kalimantan Timur adalah [[Samarinda]] di pantai selatan, sekitar 350 km dari perbatasan. Tidak ada jalan di sepanjang wilayah perbatasan kecuali jalan-jalan setapak di bagian barat, dan tidak ada jalan yang menghubungkan Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.{{citation needed|date=June 2015}} |
|||
Doakan aku, aku bakal berangkat ke medan djuang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang enggan diindjak-indjak harga dirinja |
|||
Kurangnya infrastruktur jalan dan jalur kendaraan yang layak di kedua sisi perbatasan membuat pergerakan pasukan terbatas pada jalur jalan setapak yang umumnya tidak tertera di peta, serta pengangkutan pasukan melalui jalur air dan udara. Ada banyak sungai besar di kedua sisi perbatasan yang menjadi sarana utama pergerakan. Terdapat pula sejumlah padang rumput kecil yang cocok untuk digunakan sebagai tempat pendaratan pesawat ringan dan helikopter yang memasok suplai melalui udara.{{citation needed|date=June 2015}} |
|||
Serukan serukan keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tundjukkan bahwa kita masih memiliki gigi dan tulang jang kuat dan kita djuga masih memiliki martabat |
|||
[[Garis khatulistiwa]] melintas kira-kira 160 kilometer di sebelah selatan Kuching, dan sebagian besar wilayah utara Kalimantan menerima curah hujan lebih dari 3.000 mm (120 inci) setiap tahunnya. Secara alami, Kalimantan tertutup oleh [[hutan hujan tropis]] yang melingkupi daerah pegunungan dan dilalui oleh banyak sungai dengan tebing-tebing curam serta puncak bukit yang lebarnya hanya beberapa meter. Curah hujan yang tinggi menciptakan sungai-sungai besar, yang menjadi jalur transportasi utama sekaligus penghalang taktis yang kuat. Hutan bakau lebat yang menutupi dataran pasang surut yang luas, dengan banyak sungai kecil, adalah ciri khas pada kebanyakan wilayah pesisir, termasuk Brunei dan kedua ujung perbatasan. Ada juga daerah pertanian di lembah-lembah dan sekitar desa-desa, serta hutan rimba yang lebat di sekitar pemukiman suku-suku pedalaman.{{citation needed|date=June 2015}} |
|||
Yoo...ayoo... kita... Ganjang... |
|||
Ganjang... Malaysia |
|||
Ganjang... Malaysia |
|||
Bulatkan tekad |
|||
Semangat kita badja |
|||
Peluru kita banjak |
|||
Njawa kita banjak |
|||
Bila perlu satu-satu! |
|||
=== Pemberontakan Sarawak === |
|||
Sukarno |
|||
Pada tahun 1946, [[Kerajaan Sarawak|Raja Sarawak]], [[Charles Vyner Brooke]], menyerahkan negara bagian tersebut kepada Kerajaan Inggris dengan keyakinan bahwa hal tersebut akan menjadi keputusan terbaik bagi rakyat Sarawak setelah berakhirnya [[Perang Dunia II]].{{sfn|Reece|1993|p=72}} Sarawak kemudian menjadi koloni Kerajaan Inggris, yang dikelola oleh Kantor Kolonial di [[London]], yang kemudian mengirimkan seorang gubernur untuk membawahi Sarawak. Gerakan anti-penyatuan yang didominasi oleh suku Melayu, yang menolak pengambilalihan Sarawak oleh Inggris, diduga menjadi cikal bakal lahirnya gerakan anti-Malaysia di Sarawak, yang kemudian dipimpin oleh [[Ahmad Zaidi Adruce]].{{Citation needed|date=September 2024}} |
|||
</poem> |
|||
}} |
|||
Menurut Vernon L. Porritt dan Hong-Kah Fong, sejumlah gerakan sayap kiri dan komunis sudah ada di kalangan penduduk Tionghoa di perkotaan Sarawak sejak tahun 1930-an dan 1940-an. Beberapa kelompok komunis paling awal di Sabah di antaranya adalah Liga Anti-Fasis, yang kemudian berubah menjadi Tentara Pembebasan Ras, dan Liga Anti-Jepang Borneo, yang terdiri dari Liga Anti-Jepang Kalimantan Utara dan Liga Anti-Jepang Kalimantan Barat. Organisasi tersebut dipimpin oleh Wu Chan, yang dideportasi oleh pemerintah kolonial Sarawak ke [[Tiongkok]] pada tahun 1952. Kelompok komunis lainnya di Sarawak termasuk Asosiasi Pemuda Tionghoa Luar Negeri yang dibentuk pada tahun 1946, dan Liga Pembebasan beserta sayap pemudanya, Asosiasi Pemuda Maju, yang muncul pada tahun 1950-an. Organisasi-organisasi tersebut kemudian menjadi inti dari dua gerakan gerilya Komunis: Tentara Rakyat Kalimantan Utara anti-Malaysia (PARAKU) dan Gerilyawan Rakyat Sarawak (PGRS). Berbagai kelompok komunis ini oleh media Barat disebut sebagai [[Partai Komunis Kalimantan Utara|Organisasi Komunis Klandestin]] (CCO) atau Organisasi Komunis Sarawak (SCO).{{sfn|Fong|2005|pp=183–192}} |
|||
== Perang == |
|||
[[File:Members of the SPGF, NKNA and TNI taking picture together.jpg|thumb|right|Anggota Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak, Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU), dan [[Tentara Nasional Indonesia]] (TNI) berfoto bersama untuk menandai hubungan erat antara mereka ketika Indonesia berada di bawah pemerintahan [[Sukarno]].]] |
|||
{{see also |
|||
|Operasi tempur tahun 1963 pada konfrontasi Indonesia–Malaysia |
|||
|Operasi tempur tahun 1964 pada konfrontasi Indonesia–Malaysia |
|||
|Operasi tempur tahun 1965 pada konfrontasi Indonesia–Malaysia |
|||
}} |
|||
Pada [[20 Januari]] [[1963]], [[Menteri Luar Negeri]] Indonesia [[Soebandrio]] mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan Indonesia (sepertinya [[paramiliter|pasukan militer tidak resmi]]) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan [[sabotase]]. Tanggal [[3 Mei]] 1964 di sebuah rapat raksasa yang digelar di [[Jakarta]], Presiden Soekarno mengumumkan perintah '''Dwi Komando Rakyat''' (Dwikora) yang isinya: |
|||
* Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia |
|||
* Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia |
|||
SCO didominasi oleh etnis [[Tionghoa Malaysia|Tionghoa]], tetapi juga mendapat dukungan dari [[suku Dayak]]. Namun, SCO hanya mendapat sedikit dukungan dari suku Melayu dan suku asli lainnya di Sarawak. Pada puncaknya, SCO memiliki sekitar 24.000 anggota.{{sfn|Corbett|1986|p=124}} Sepanjang tahun 1940-an dan 1950-an, pengaruh [[Maoisme]] menyebar di sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa di Sarawak. Setelah Perang Dunia II, pengaruh Komunis juga merambah gerakan buruh dan [[Partai Persatuan Rakyat Sarawak]] (SUPP), yang mayoritas anggotanya berasal dari etnis Tionghoa dan merupakan partai politik pertama di negara bagian tersebut, yang didirikan pada bulan Juni 1959. Pemberontakan Sarawak dimulai setelah Pemberontakan Brunei pada tahun 1962, dan SCO berperang bersama para pemberontak Brunei dan pasukan Indonesia pada masa Konfrontasi Indonesia–Malaysia.{{sfn|Fong|2005|pp=183–192}}{{sfn|Kheng|2009|pp=132–152}} |
|||
Pada [[27 Juli]], Soekarno mengumumkan bahwa dia akan meng-"ganyang Malaysia". Pada 16 Agustus, pasukan dari [[Rejimen Askar Melayu DiRaja]] berhadapan dengan lima puluh gerilyawan Indonesia. |
|||
SCO dan para pemberontak Brunei mendukung dan menyebarkan gagasan penyatuan seluruh wilayah Borneo Inggris untuk membentuk negara Kalimantan Utara yang merdeka dan berhaluan kiri. Ide ini awalnya diusulkan oleh [[A. M. Azahari]], pemimpin Partai Rakyat Brunei, yang telah menjalin hubungan dengan gerakan nasionalis Sukarno, bersama dengan Ahmad Zaidi, di [[Jawa]] pada tahun 1940-an. Meskipun demikian, Partai Rakyat Brunei mendukung bergabungnya Brunei dengan Malaysia dengan syarat penyatuan tiga wilayah Borneo utara yang dipimpin oleh sultan tersendiri, sehingga menolak adanya dominasi oleh Malaya, Singapura, penguasa Melayu, atau pedagang Tionghoa.{{sfn|Pocock|1973|p=129}} |
|||
Meskipun Filipina tidak turut serta dalam perang, mereka memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia. |
|||
Rencana pembentukan [[Negara Kesatuan Borneo Utara]] dipandang sebagai alternatif penyatuan Malaya oleh oposisi lokal. Penolakan penguasa lokal di seluruh wilayah Borneo umumnya didasarkan pada perbedaan ekonomi, politik, sejarah, dan budaya antar negari-negari Borneo dan Malaya, serta penolakan untuk tunduk di bawah dominasi politik semenanjung. Baik Azahari maupun Zaidi melarikan diri ke Indonesia semasa Konfrontasi. Meskipun Zaidi kemudian kembali ke Sarawak dan status politiknya dipulihkan, Azahari tetap berada di Indonesia hingga meninggal pada tanggal 3 September 2002. |
|||
[[Federasi Malaysia]] resmi dibentuk pada [[16 September]] [[1963]]. Brunei menolak bergabung dan Singapura keluar di kemudian hari. |
|||
Setelah Pemberontakan Brunei ditumpas, sisa-sisa Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) melarikan diri ke Indonesia. Lantaran takut akan pembalasan dari Inggris, ribuan komunis Tionghoa juga melarikan diri dari Sarawak. Rekan-rekan mereka yang tinggal di Sarawak dikenal sebagai CCO oleh Inggris, tetapi disebut sebagai PGRS—Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak—oleh Indonesia. [[Soebandrio]] bertemu dengan pemimpin kelompok tersebut di [[Bogor]], dan A.H Nasution mengirim tiga pelatih dari [[Resimen Para Komando Angkatan Darat]] (RPKAD) Batalyon 2 ke [[Nangabadan]], dekat perbatasan Sarawak, di mana terdapat kira-kira 300 peserta pelatihan. Beberapa bulan kemudian, dua letnan juga diutus ke sana.{{sfn|Conboy|2003|pp=93–95}} |
|||
Ketegangan berkembang di kedua belah pihak Selat Malaka. Dua hari kemudian para perusuh membakar [[Kedutaan Besar Britania Raya, Jakarta|kedutaan Britania Raya di Jakarta]]. Beberapa ratus perusuh merebut kedutaan Singapura di Jakarta dan juga rumah diplomat Singapura. Di Malaysia, agen Indonesia ditangkap dan massa menyerang kedutaan Indonesia di [[Kuala Lumpur]]. |
|||
PGRS beranggotakan kurang lebih 800 orang, yang bermarkas di Batu Hitam, [[Kalimantan Barat]], dengan 120 penasihat berasal dari dari badan intelijen Indonesia dan sejumlah kecil kader yang dilatih di Tiongkok. [[Partai Komunis Indonesia]] juga terlibat, yang dipimpin oleh seorang revolusioner beretnis Arab bernama Sofyan. PGRS melancarkan sejumlah serangan ke Sarawak, tetapi lebih banyak waktu yang dihabiskan untuk membangun basis pendukung di Sarawak. Sementera itu, militer Indonesia tidak mendukung PGRS yang berhaluan kiri.{{sfn|Conboy|2003|p=156}} |
|||
Di sepanjang perbatasan di [[Kalimantan]], terjadi peperangan perbatasan. Pasukan Indonesia dan pasukan tidak resminya mencoba menduduki [[Sarawak]] dan [[Sabah]], dengan tanpa hasil. |
|||
[[Berkas:komando aksi sukarelawan.PNG|jmpl|200px|Komando Aksi Sukarelawan.]] |
|||
Pada [[1964]] pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung [[Malaya]]. Di bulan Mei dibentuk Komando Siaga yang bertugas untuk mengoordinasi kegiatan perang terhadap Malaysia ('''Operasi Dwikora'''). Komando ini kemudian berubah menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga). [[Kolaga]] dipimpin oleh Laksdya Udara Omar Dani sebagai Pangkolaga. Kolaga sendiri terdiri dari tiga Komando, yaitu Komando Tempur Satu (Kopurtu) berkedudukan di Sumatra yang terdiri dari 12 [[Batalyon]] TNI-AD, termasuk tiga Batalyon Para dan satu batalyon [[KKO]]. Komando ini sasaran operasinya Semenanjung Malaya dan dipimpin oleh Brigjen [[Kemal Idris]] sebagai Pangkopur-I. Komando Tempur Dua (Kopurda) berkedudukan di [[Bengkayang]], [[Kalimantan Barat]] dan terdiri dari 13 Batalyon yang berasal dari unsur [[KKO]], [[AURI]], dan [[RPKAD]]. Komando ini dipimpin Brigjen [[Soepardjo]] sebagai Pangkopur-II. Komando ketiga adalah Komando Armada Siaga yang terdiri dari unsur [[TNI-AL]] dan juga KKO. Komando ini dilengkapi dengan Brigade Pendarat dan beroperasi di perbatasan [[Riau]] dan [[Kalimantan Timur]]. |
|||
== Konflik == |
|||
Di bulan Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap di [[Johor]]. Aktivitas Angkatan Bersenjata Indonesia di perbatasan juga meningkat. [[Angkatan Laut Malaysia|Tentera Laut DiRaja Malaysia]] mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Malaysia. Tentera Malaysia hanya sedikit saja yang diturunkan dan harus bergantung pada pos perbatasan dan pengawasan unit komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan Indonesia ke Malaysia. Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia adalah Inggris dan Australia. Tercatat sekitar 2000 pasukan Indonesia tewas dan 200 pasukan Inggris/Australa juga tewas setelah bertempur di belantara kalimantan (Majalah Angkasa Edisi 2006). |
|||
{{main|Operasi tempur tahun 1963 pada konfrontasi Indonesia–Malaysia|Operasi tempur tahun 1964 pada konfrontasi Indonesia–Malaysia|Operasi tempur tahun 1965 pada konfrontasi Indonesia–Malaysia|Militer Australia dalam konfrontasi Indonesia–Malaysia}} |
|||
=== Awal pertikaian === |
|||
Pada 17 Agustus [[pasukan terjun payung]] mendarat di pantai barat daya Johor dan mencoba membentuk pasukan gerilya. Pada 2 September 1964 pasukan terjun payung didaratkan di [[Labis]], Johor. Pada 29 Oktober, 52 tentara mendarat di [[Pontian]] di perbatasan Johor-Malaka dan membunuh pasukan [[Resimen Askar Melayu DiRaja]] dan [[Selandia Baru]] dan menumpas juga [[Pasukan Gerak Umum]] [[Kepolisian Kerajaan Malaysia]] di Batu 20, [[Muar]], [[Johor]]. |
|||
Motif Sukarno untuk memulai konfrontasi masih menjadi bahan perdebatan. Mantan Menteri Luar Negeri Indonesia, [[Ide Anak Agung Gde Agung]], berpendapat bahwa Sukarno sengaja meredam keberatan Indonesia atas pembentukan negara Malaysia saat Indonesia tengah fokus mengklaim [[Irian Barat]]. Setelah kemenangan diplomatik Indonesia dalam sengketa Irian Barat, Sukarno terdorong untuk memperluas dominasi Indonesia terhadap negara-negara tetangga yang lebih lemah. Sebaliknya, Sukarno diduga terpaksa mengalihkan perhatian terhadap konflik luar negeri baru karena adanya tekanan dari PKI dan akibat ketidakstabilan politik di Indonesia. |
|||
Pada akhir 1950-an, Sukarno berpendapat bahwa Malaysia adalah negara boneka Inggris, sebuah eksperimen neokolonial, dan perluasan Malaysia akan meningkatkan kontrol Inggris di wilayah tersebut, yang berdampak pada keamanan nasional Indonesia. Sukarno dengan tegas menentang rencana dekolonisasi Inggris, termasuk pembentukan Federasi Malaysia, yang menyatukan [[Semenanjung Malaya]] dan Borneo Inggris. Sukarno menuduh Malaysia sebagai negara boneka Inggris yang bertujuan untuk memberlakukan imperialisme dan kolonialisme baru di Asia Tenggara, serta membatasi ambisi Indonesia untuk menjadi kekuatan regional di kawasan tersebut.<ref name="HirakawaShimizu1999">{{Cite book |last1=Hitoshi Hirakawa |url=https://books.google.com/books?id=PmCGAgAAQBAJ&pg=PA180 |title=Japan and Singapore in the World Economy: Japan's Economic Advance Into Singapore 1870–1965 |last2=Hiroshi Shimizu |date=24 June 1999 |publisher=Routledge |isbn=978-1-134-65174-0 |page=180}}</ref> |
|||
Ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap, Soekarno menarik Indonesia dari PBB pada tanggal [[20 Januari]] [[1965]] dan mencoba membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo) sebagai alternatif. |
|||
Namun, ada juga yang berpendapat bahwa upaya Sukarno untuk menentang pembentukan Malaysia sebenarnya didorong oleh keinginannya untuk menyatukan Semenanjung Malaya dan seluruh pulau Borneo di bawah kekuasaan Indonesia, serta mewujudkan gagasan pembentukan [[Indonesia Raya (politik)|Indonesia Raya]] atau Melayu Raya, sebuah konsep untuk menyatukan ras Melayu menjadi satu negara yang pernah diusulkan oleh Sukarno dan perkumpulan [[Kesatuan Melayu Muda]] (KMM) pimpinan [[Ibrahim Yaacob]].<ref name="HirakawaShimizu1999" /><ref>{{Cite book |last=Greg Poulgrain |url=https://books.google.com/books?id=S3eCr4q02RcC&pg=PA142 |title=The Genesis of Konfrontasi: Malaysia, Brunei, Indonesia, 1945–1965 |publisher=C. Hurst & Co. Publishers |year=1998 |isbn=978-1-85065-513-8 |page=142}}</ref> Di saat bersamaan, [[Filipina]] mengklaim Borneo Utara bagian timur sebagai miliknya, dengan alasan bahwa koloni Borneo tersebut memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui [[Kesultanan Sulu]]. |
|||
Sebagai tandingan Olimpiade, Soekarno bahkan menyelenggarakan [[GANEFO]] (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di [[Senayan]], [[Jakarta]] pada [[10 November|10]]-[[22 November]] [[1963]]. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di [[Asia]], [[Afrika]], [[Eropa]] dan [[Amerika Selatan]], serta diliput sekitar 500 wartawan asing. |
|||
[[File:Sukarno, Sang Saka Melanglang Djagad, p12.jpg|thumb|243x243px|[[Sukarno]]]] |
|||
Meskipun Sukarno tidak secara langsung mengklaim wilayah Borneo bagian utara untuk digabungkan ke dalam Kalimantan Indonesia, ia melihat pembentukan Malaysia sebagai hambatan bagi [[Maphilindo]], sebuah gagasan persatuan [[Iredentisme|iredentis]] nonpolitis yang mencakup Malaya, Filipina, dan Indonesia. Presiden Filipina, [[Diosdado Macapagal]], awalnya tidak menentang gagasan ini dan bahkan memprakarsai [[Persetujuan Manila]]. Meskipun tidak terlibat dalam pertikaian tersebut, Filipina menunda pengakuannya atas Malaysia sebagai penerus negara Malaya. Akibatnya, Malaysia memutuskan hubungan diplomatik dengan Filipina. |
|||
Pada Januari [[1965]], [[Australia]] setuju untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan setelah menerima banyak permintaan dari Malaysia. Pasukan Australia menurunkan 3 [[Resimen Kerajaan Australia]] dan Resimen [[Special Air Service (Australia)|Australian Special Air Service]]. Ada sekitar empat belas ribu pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia pada saat itu. Secara resmi, pasukan Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerang melalui perbatasan Indonesia. Tetapi, unit seperti [[Special Air Service]], baik Inggris maupun Australia, masuk secara rahasia (lihat [[Operasi Claret]]). Australia mengakui penerobosan ini pada [[1996]]. |
|||
Indonesia bersikukuh bahwa pembentukan Malaysia memungkinkan Inggris untuk mempertahankan hak istimewa terkait penggunaan pangkalan militernya di Singapura, dan dengan demikian makin memperkuat pertahanan Inggris di Asia Tenggara, yang dianggap sebagai ancaman tersirat. Subandrio, Menteri Luar Negeri Indonesia, menjelaskan kepada Duta Besar Amerika Serikat, [[Howard P. Jones]], bahwa kebijakan konfrontasi ini berkaitan dengan Malaya, bukan Malaysia, dan merupakan reaksi Indonesia atas kebijakan anti-Djakarta dan dukungan terhadap aksi pemberontakan yang diterapkan oleh Malaya dan Inggris pada tahun 1958.<ref name="EnglishHistoricalReview-Nov99" /> |
|||
Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya. Pada 28 Juni, mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau [[Sebatik]] dekat [[Tawau]], Sabah dan berhadapan dengan [[Resimen Askar Melayu Di Raja]] dan [[Kepolisian North Borneo Armed Constabulary]]. |
|||
Pada bulan April 1963, penyusupan mata-mata dan serangan pertama yang tercatat terjadi di Borneo. Pasukan penyusup yang berlatih di Nangabadan dibagi dua dan dipersiapkan untuk melancarkan operasi pertama. Pada tanggal 12 April 1963, sekelompok penyusup menyerang dan merebut kantor polisi di [[Tebedu]] di Divisi 1 Sarawak, kira-kira 64 km dari [[Kuching]] dan 3,2 km dari perbatasan dengan Kalimantan.{{sfn|Pocock|1973|p=153}} Kelompok lainnya menyerang desa Gumbang, di sebelah barat daya Kuching, pada akhir bulan yang sama. Hanya sekitar separuh dari mereka yang kembali. Dari perspektif militer, konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia bisa dikatakan dimulai setelah penyerangan Tebedu.{{sfn|Dennis et al.|2008|p=152}} |
|||
Pada 1 Juli 1965, militer Indonesia yang berkekuatan kurang lebih 5000 orang melabrak pangkalan Angkatan Laut Malaysia di [[Semporna]]. Serangan dan pengepungan terus dilakukan hingga 8 September namun gagal. Peristiwa ini dikenal dengan "[[Pengepungan 68 Hari]]" oleh warga Malaysia. |
|||
Sebelum pernyataan resmi konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia pada 20 Januari 1963, [[Komisi Cobbold]] telah melaporkan mengenai kelayakan pembentukan negara Malaysia pada tahun 1962, dengan menyimpulkan bahwa adanya dukungan yang cukup besar di koloni Borneo untuk pembentukan negara Malaysia. Namun, lantaran meningkatnya penentangan dari Indonesia dan Filipina terhadap rencana pembentukan Malaysia, fase negosiasi baru diusulkan untuk mendengarkan keberatan dari kedua negara tersebut. Untuk menyelesaikan sengketa ini, negara-negara calon anggota Federasi Malaysia bertemu dengan perwakilan Indonesia dan Filipina di Manila pada tanggal 30 Juli 1963. Beberapa hari sebelum pertemuan tersebut, pada 27 Juli 1963, Sukarno melanjutkan retorikanya yang semakin memanas, menyatakan bahwa ia akan "[[Ganyang Malaysia|mengganyang Malaysia]]." Dalam pertemuan di Manila, Filipina dan Indonesia secara resmi sepakat untuk menerima pembentukan Malaysia jika mayoritas penduduk Borneo Utara dan Sarawak mendukungnya dalam referendum yang diselenggarakan oleh [[PBB]].<ref name="Tun Hanif Omar 2007" /> |
|||
Sebelum pertemuan di Manila, Pemerintah Malaya telah menetapkan tanggal 31 Agustus sebagai tanggal pembentukan negara Malaysia (kelak diperingati sebagai hari kemerdekaan Malaya). Namun, dalam negosiasi di Manila, pemerintah Malaya dibujuk oleh pemerintah Indonesia dan Filipina untuk menunda peresmian Malaysia hingga tanggal 15 September 1963, ketika putusan PBB telah dikeluarkan. Setelah perundingan di Manila, Perdana Menteri Malaya, [[Tunku Abdul Rahman]], mengumumkan bahwa negara Malaysia akan terbentuk pada 16 September 1963, terlepas dari hasil putusan PBB.{{sfn|Mackie|1974|pp=174–175}} |
|||
Borneo Utara dan Sarawak, yang memperkirakan bahwa putusan PBB akan mendukung pembentukan Malaysia, memproklamirkan diri sebagai bagian dari Malaysia pada tanggal 31 Agustus 1963, sebelum putusan PBB dipublikasikan. Pada 14 September, putusan PBB diterbitkan, yang memberikan dukungan bagi pembentukan negara Malaysia. Malaysia secara resmi berdiri pada 16 September 1963. Indonesia langsung bereaksi dengan mengusir Duta Besar Malaysia dari Jakarta. Dua hari kemudian, perusuh yang diorganisir oleh PKI membakar Kedutaan Besar Inggris di Jakarta. Ratusan perusuh merusak Kedutaan Besar dan rumah diplomat Singapura di Jakarta . Di Malaysia, mata-mata Indonesia ditangkap, dan massa menyerbu Kedutaan Besar Indonesia di [[Kuala Lumpur]].{{sfn|Pocock|1973|p=173}} |
|||
=== Upaya penyusupan === |
|||
Sewaktu perundingan perdamaian masih berlangsung alot, Indonesia tetap melanjutkan kampanye penyusupannya. Pada tanggal 14 Agustus, seorang kepala desa melaporkan adanya penyusupan di Divisi ke-3, dan tindak lanjut menunjukkan bahwa jumlah penyusup kira-kira 50 orang. Serangkaian kontak terjadi saat pasukan 2/6 Gurkha melakukan patroli dan penyergapan; setelah sebulan, 15 orang tewas dan tiga tertangkap. Gurkha melaporkan bahwa para penyusup terlatih dengan baik dan dipimpin secara profesional, tetapi penguasaan senjata mereka buruk. Para tahanan melaporkan adanya 300 penyusup dalam waktu seminggu dan 600 dalam dua minggu.{{sfn|Pocock|1973|p=170}} [[Pertempuran Long Jawai]] merupakan penyusupan besar pertama di pusat Divisi ke-3, yang dipimpin oleh Mayor RPKAD Mulyono Soerjowardojo,{{sfn|van der Bijl|2007|pp=80–85}} yang dikirim ke Nangabadan pada awal tahun. Proklamasi kemerdekaan Malaysia pada September 1963 menandai dikerahkannya satuan-satuan [[Angkatan Bersenjata Malaysia]] ke Borneo (sekarang [[Malaysia Timur]]).{{sfn|Majid|2007|p=154}} |
|||
Serangan oleh angkatan bersenjata Indonesia terhadap pasukan Malaysia tidak meningkatkan kredibilitas "antiimperialis" Sukarno. Indonesia juga mengerahkan Azahari, yang mengklaim bahwa angkatan bersenjata Indonesia tidak terlibat dalam operasi aktif. Sukarno kemudian meluncurkan usulan perdamaian, dan pada akhir Januari, ia menyatakan bahwa Indonesia siap untuk gencatan senjata. Negosiasi kemudian dimulai di Bangkok, tetapi pelanggaran perbatasan terus berlanjut, dan negosiasi tersebut gagal. Negosiasi dilanjutkan pada pertengahan 1964 di Tokyo dan juga berakhir dengan kegagalan.{{sfn|Pocock|1973|pp=179–181, 188}} |
|||
Sementara itu, angkatan bersenjata Indonesia yang dipimpin oleh Jenderal [[Ahmad Yani]] makin khawatir dengan memburuknya situasi dalam negeri di Indonesia dan mulai diam-diam menghubungi pemerintah Malaysia, sembari berusaha mengurangi konfrontasi hingga ke tingkat minimal.<ref>{{Cite book |last=Weinstein |first=Franklin B. |url=https://books.google.com/books?id=1mXdDNqELTIC&q=Indonesia+army+secret+contact+malaysia&pg=PA325 |title=Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From Sukarno to Soeharto |date=2007 |publisher=Equinox Publishing |isbn=9789793780566 |language=en}}</ref> Langkah tersebut diambil untuk melindungi angkatan bersenjata yang kewalahan usai melancarkan [[Operasi Trikora]] di Irian Barat, sekaligus mempertahankan posisi politiknya di dalam negeri, terutama terhadap Partai Komunis Indonesia, yang merupakan pendukung fanatik konfrontasi.<ref>{{Cite book |last=Crouch |first=Harold |url=https://books.google.com/books?id=TJptHWc4i1EC&q=Indonesia+army+secret+contact+malaysia&pg=PA74 |title=The Army and Politics in Indonesia |date=2007 |publisher=Equinox Publishing |isbn=9789793780504 |language=en}}</ref> |
|||
=== Perluasan konflik ke Semenanjung Malaysia === |
|||
[[File:Malaysian Rangers, Malay-Thai border (AWM MAL-65-0046-01).JPG|thumb|right|[[Sarawak Rangers]] Sarawak Rangers (kelak menjadi bagian dari Malaysian Rangers) yang beranggotakan [[suku Iban]] melompat dari helikopter Bell UH-1 Iroquois [[Angkatan Udara Australia]] untuk menjaga [[perbatasan Malaysia–Thailand]].]] |
|||
Selagi perseteruan berkecamuk, pada tanggal 3 Mei 1964, Sukarno mengesahkan [[Dwi Komando Rakyat]] (Dwikora). Dwikora berisi seruan Sukarno agar rakyat membela Revolusi Indonesia dan mendukung revolusi di Malaya, Singapura, Sarawak, dan Sabah untuk menggagalkan pembentukan Federasi Malaysia. Bertepatan dengan pengumuman Sukarno tentang [[Vivere pericoloso|'hidup penuh bahaya']] sewaktu perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia, angkatan bersenjata Indonesia memulai kampanye penyusupan udara dan laut ke [[Semenanjung Malaysia]] pada tanggal 17 Agustus 1964.{{sfn|Conboy|2003|p=161}} Pada 19 Agustus 1964, sekelompok pasukan laut, yang terdiri dari Pasukan Gerak Cepat, KKO, dan selusin komunis Malaysia, menyeberangi [[Selat Malaka]] dengan perahu, [[Pendaratan di Pontian|berlabuh di Pontian]] dalam tiga rombongan pada malam hari. Namun, mereka disergap oleh tentara Persemakmuran, dan hampir semua penyusup tertangkap.{{sfn|James|Sheil-Small|1971|p=146}} Pada 2 September, tiga pesawat [[C-130 Hercules|Lockheed C-130 Hercules]] berangkat dari Jakarta menuju Semenanjung Malaysia, terbang rendah untuk menghindari deteksi radar. Malam berikutnya, dua dari C-130 berhasil mencapai tujuannya, dan pasukan PGT melompat dan [[Pendaratan di Labis|mendarat di dekat Labis]] di Johor. C-130 yang tersisa jatuh ke Selat Malaka saat berupaya menghindari penyergapan oleh [[Gloster Javelin|RAF Javelin FAW 9]] yang diluncurkan dari [[Pangkalan Angkatan Udara Tengah|RAF Tengah]]. Akibat badai petir, penerjunan 96 pasukan payung tidak tentu arah, sehingga mereka mendarat di dekat pangkalan militer 1/10 Gurkhas, yang bergabung dengan Batalyon Pertama, Resimen Persemakmuran, yang ditempatkan di sekitar Malaka.{{sfn|Conboy|2003|p=161}}{{sfn|van der Bijl|2007|pp=135–138}}{{sfn|James|Sheil-Small|1971|pp=148–150}}{{sfn|Pugsley|2003|pp=206–213}} |
|||
Perluasan konflik Indonesia ke Semenanjung Malaysia memicu [[Krisis Selat Sunda]], dengan berlayarnya kapal induk Inggris HMS ''Victorious'' dan dua kapal perusak melintasi Selat Sunda. Angkatan bersenjata Persemakmuran bersiap untuk melancarkan serangan udara terhadap wilayah yang menjadi basis penyusup Indonesia di Sumatra jika aksi penyusupan Indonesia masih terus berlanjut. Terjadi ketegangan selama tiga minggu sebelum krisis tersebut diselesaikan secara damai.{{sfn|Edwards|1992|p=319}} |
|||
Pada bulan-bulan terakhir tahun 1964, konflik kedua negara mulai mencapai kebuntuan. Angkatan bersenjata Persemakmuran berhasil mencegah upaya penyusupan Indonesia ke Borneo dan Semenanjung Malaysia untuk sementara waktu. Namun, situasi kembali berubah pada bulan Desember 1964 ketika intelijen Persemakmuran mulai melaporkan adanya aksi penyusupan besar-besaran oleh Indonesia melalui wilayah Kalimantan di seberang Kuching, yang berpotensi memperuncing pertikaian. Dua batalyon Inggris kemudian dikerahkan ke Borneo.{{sfn|Gregorian|1991|p=55}}{{sfn|Jones|2002|p=272}} Sementara itu, karena operasi pendaratan di Malaysia dan aksi penyusupan pasukan Indonesia yang berkelanjutan, Australia dan Selandia Baru juga mulai mengerahkan pasukan tempur ke Borneo pada awal tahun 1965.{{sfn|van der Bijl|2007|p=165}} |
|||
=== Operasi Claret === |
|||
{{main|Operasi Claret}} |
|||
[[File:Queen's Own Highlanders searching for enemies during a patrol.jpg|thumb|Tentara Inggris sedang melakukan patroli untuk melacak keberadaan musuh di belantara Brunei.]] |
|||
Operasi Claret adalah serangkaian serangan lintas batas yang dilakukan secara rahasia oleh pasukan Persemakmuran Inggris di Borneo dari bulan Juni 1964 hingga awal 1966. Serangan ini dilakukan oleh [[pasukan khusus]]—termasuk [[Special Air Service]] Inggris , [[Special Air Service Regiment]] Australia, dan [[New Zealand Special Air Service]]—serta [[infanteri]] reguler. Pada fase awal konflik, tentara Persemakmuran Inggris dan Malaysia hanya berupaya mengontrol perbatasan dan melindungi pusat-pusat penduduk dari serangan Indonesia. Namun, pada tahun 1965, mereka memutuskan untuk mengambil tindakan lebih agresif, melintasi perbatasan untuk memperoleh informasi dan memburu para penyusup Indonesia yang mundur hingga ke perbatasan.{{sfn|Dennis et al.|2008|p=152}} Pertama kali disetujui pada bulan Mei 1965, kemudian diekspansi sehingga termasuk penyerangan lintas batas pada bulan Juli.{{sfn|Pugsley|2003|p=255}} |
|||
Operasi ini, yang disepakati pertama kali pada bulan Mei 1965, kemudian diperluas dengan melancarkan penyergapan lintas batas pada bulan Juli. Patroli rahasia ini dilakukan oleh tim pengintaian kecil yang melintasi perbatasan dari negara bagian Sarawak atau Sabah di Malaysia ke Kalimantan di Indonesia untuk menyergap tentara Indonesia yang akan memasuki Malaysia Timur. Awalnya, wilayah patroli dibatasi hingga 2.700 m, tetapi kemudian diperluas hingga 5.500 m, dan kemudian diperluas lagi hingga 9.100 m setelah pecahnya [[Pertempuran Plaman Mapu]] pada bulan April 1965. Tentara konvensional diarahkan untuk menyergap tentara Indonesia, baik saat mereka melintasi perbatasan maupun saat masih berada di wilayah Kalimantan.{{sfn|Pugsley|2003|p=255}}{{sfn|Horner|2002|pp=83–84}} Operasi Claret dilancarkan oleh tentara Persemakmuran Inggris, yang menyebabkan jatuhnya banyak korban di pihak Indonesia dan membuatnya tetap dalam posisi bertahan di sisi perbatasan. Operasi ini baru diumumkan kepada publik oleh Inggris pada tahun 1974, sedangkan pemerintah Australia tidak mengakui keterlibatannya secara resmi hingga tahun 1996.<ref>{{Cite news |last=Forbes |first=Mark |date=23 March 2005 |title=Truth still a casualty of our secret war |work=The Age |url=http://www.theage.com.au/news/National/Truth-still-a-casualty-of-our-secret-war/2005/03/22/1111254025436.html |url-status=live |access-date=27 April 2009 |archive-url=https://web.archive.org/web/20060902075629/http://www.theage.com.au/news/National/Truth-still-a-casualty-of-our-secret-war/2005/03/22/1111254025436.html |archive-date=2 September 2006}}</ref>{{sfn|Coates|2006|p=333}} |
|||
== Akhir konfrontasi == |
|||
[[File:Anti Indonesian Infiltration during Confrontation, 1965.jpg|thumb|Demonstrasi [[Sentimen anti-Indonesia|anti-Indonesia]] oleh sekelompok perempuan Malaysia pada tahun 1965.]] |
|||
Menjelang akhir 1965, konflik antar kedua negara mengalami kebuntuan. Presiden baru Filipina, [[Ferdinand Marcos]], berupaya meredakan ketegangan, dan berbeda dengan pendahulunya, ia tidak menggalakkan klaim Filipina atas Sabah Utara secara gigih. Untuk menengahi pertikaian, Filipina berencana untuk mengakui Federasi Malaysia. Pada tanggal 5 Februari 1965, Filipina memberitahu Indonesia mengenai normalisasi hubungannya dengan Kuala Lumpur. Sukarno menentang dan mengecam tindakan Marcos dalam pidatonya, yang mengejutkan Manila. Pidato Sukarno memicu gelombang baru masyarakat yang mendukung konfrontasi, dan organisasi pemuda serta keagamaan mengecam rencana Marcos.<ref name="Weinstein-2009">{{Cite book |last=Weinstein |first=Franklin B. |url=https://books.google.com/books?id=4xz8zHFfnDwC&q=offer&pg=PA34 |title=Indonesia Abandons Confrontation: An Inquiry Into the Functions of Indonesian Foreign Policy |date=2009 |publisher=Equinox Publishing |isbn=978-602-8397-45-2 |language=en}}</ref> |
|||
{{Quote|text="Jika Marcos ingin membantu Malaysia, itu urusannya, tetapi kami akan terus menghancurkan Malaysia, bahkan jika kami harus bertempur sendirian."|author=Sukarno|title=menanggapi tindakan Marcos|source=<ref name="Weinstein-2009" />}} |
|||
Pada malam tanggal 30 September 1965, terjadi [[Gerakan 30 September|percobaan kudeta]] di Jakarta. Enam pemimpin militer senior Indonesia dibunuh, sementara Jenderal Nasution berhasil melarikan diri dari para penculiknya. Di tengah kebingungan, Sukarno setuju untuk membiarkan [[Suharto]] mengambil alih komando darurat dan mengendalikan Jakarta serta angkatan bersenjata yang ditempatkan di sana. Dalang upaya kudeta tersebut dituduhkan kepada [[Partai Komunis Indonesia]] (PKI), dan dalam beberapa minggu dan bulan berikutnya, upaya penangkapan dan pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI terjadi di Jakarta dan seluruh penjuru Indonesia. Dengan makin kuatnya citra Suharto, skala dan intensitas upaya penyusupan Indonesia ke Borneo mulai mereda. Rentetan peristiwa yang dipicu oleh kegagalan kudeta tersebut menyebabkan menguatnya kekuasaan Suharto secara bertahap dan makin terpinggirnya Sukarno. Pada saat yang sama, [[Pembantaian di Indonesia 1965–1966|pembersihan antikomunis]] menyebar di seluruh Indonesia. Penguatan kekuasaan Suharto setelah peristiwa 30 September memungkinkannya untuk membentuk [[Transisi ke Orde Baru|pemerintahan baru]] dan pada bulan Maret 1967, Suharto membentuk kabinet baru.{{sfn|Pocock|1973|p=215}} |
|||
Pada tanggal 28 Mei 1966, dalam konferensi di [[Bangkok]], pemerintah Malaysia dan Indonesia menyatakan bahwa konflik telah berakhir. Namun, kewaspadaan di Borneo belum bisa dilonggarkan. Berkat upaya Suharto, perjanjian damai ditandatangani pada tanggal 11 Agustus dan diratifikasi dua hari kemudian.{{sfn|Carver|1986|p=806}} Pada awal pemerintahan Suharto, Operasi Claret terus berlanjut, dan pada bulan Maret 1966, batalion Gurkha terlibat dalam sejumlah pertempuran sengit di Kalimantan.Tindakan konfrontasi kecil oleh tentara Indonesia terus berlanjut di daerah perbatasan.{{sfn|Pocock|1973|pp=213–214}} |
|||
Pada awal 1966, dengan makin stabilnya perpolitikan di Indonesia, RPKAD bekerja sama dengan PGRS membentuk pasukan gerilya di Sabah dan Sarawak. Pasukan di Sabah tidak pernah melintasi perbatasan, tetapi dua kelompok pasukan memasuki Sarawak pada bulan Februari dan Mei dan mendapatkan dukungan dari simpatisan lokal. Kelompok pertama berhasil bertahan hingga bulan Juni dan dievakuasi setelah Konfrontasi berakhir. Para penyintas dari kelompok kedua juga berhasil kembali ke Indonesia.{{sfn|Conboy|2003|pp=158–161}} |
|||
;Daftar pertempuran |
;Daftar pertempuran |
||
Baris 173: | Baris 193: | ||
* [[Pertempuran Bau]], 21 November 1965. Bau, [[Sarawak]]. Kemenangan taktis Britania Raya |
* [[Pertempuran Bau]], 21 November 1965. Bau, [[Sarawak]]. Kemenangan taktis Britania Raya |
||
== |
== Penyelesaian damai == |
||
Menjelang akhir 1965, Jenderal [[Soeharto]] memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya [[G30S/PKI|Gerakan 30 September]]. Oleh karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda. |
Menjelang akhir 1965, Jenderal [[Soeharto]] memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya [[G30S/PKI|Gerakan 30 September]]. Oleh karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda. |
||
Pada |
Pada 28 Mei 1966, dalam sebuah perundingan di Bangkok, Malaysia dan Indonesia mengumumkan perdamaian setelah Soeharto mengutus [[Adam Malik]] sebagai wakil untuk berunding dengan [[Tunku Abdul Rahman]]. Aksi kekerasan berakhir pada bulan Juni, dan perjanjian perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian. Indonesia secara resmi mengakhiri konfrantasi terhadap Malaysia pada tahun 1967. |
||
== |
== Lihat pula == |
||
* [[Sejarah Indonesia]] |
|||
* [[Sejarah Malaysia]] |
|||
* [[Pengeboman MacDonald House]] |
|||
== Catatan == |
|||
{{Notelist}} |
|||
=== Catatan kaki === |
|||
{{reflist}} |
|||
=== Pustaka === |
|||
* {{cite book|title=Confrontation: the war with Indonesia, 1962-1966|last=Van der Bijl|first=Nicholas|year=2007|publisher=Pen & Sword Military|isbn=9781844155958|ol=OL22546200M|ref={{sfnref|Van der Bijl|2007}}}} |
|||
== Pustaka lanjutan == |
|||
{{Wikisource-inline|Resolusi Majelis Umum PBB 1514|Resolusi Majelis Umum PBB 1514 mengenai Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada Masyarakat dan Negara terjajah}} |
{{Wikisource-inline|Resolusi Majelis Umum PBB 1514|Resolusi Majelis Umum PBB 1514 mengenai Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada Masyarakat dan Negara terjajah}} |
||
* {{en icon}} Easter, D. ''Britain and the Confrontation with Indonesia, 1961-1965'', (2004, London) I.B.Tauris, ISBN 1-85043-623-1 |
* {{en icon}} Easter, D. ''Britain and the Confrontation with Indonesia, 1961-1965'', (2004, London) I.B.Tauris, ISBN 1-85043-623-1 |
||
Baris 184: | Baris 218: | ||
* {{en icon}} Mackie, J.A.C. ''Konfrontasia: the Indonesia-Malaysia Dispute 1963-1966'. (1974, Kuala Lumpur) Oxford University Press. |
* {{en icon}} Mackie, J.A.C. ''Konfrontasia: the Indonesia-Malaysia Dispute 1963-1966'. (1974, Kuala Lumpur) Oxford University Press. |
||
* {{en icon}} Subritzky, J. ''Confronting Soekarno: British, American, Australian and New Zealand Diplomacy in the Malaysian-Indonesian Confrontation, 1961-1965'', (2000, London) Palgrave. ISBN 0-312-22784-1 |
* {{en icon}} Subritzky, J. ''Confronting Soekarno: British, American, Australian and New Zealand Diplomacy in the Malaysian-Indonesian Confrontation, 1961-1965'', (2000, London) Palgrave. ISBN 0-312-22784-1 |
||
== Catatan == |
|||
{{Notelist}} |
|||
== Lihat pula == |
|||
* [[Sejarah Indonesia]] |
|||
* [[Sejarah Malaysia]] |
|||
* [[Pengeboman MacDonald House]] |
|||
== Pranala luar == |
== Pranala luar == |
||
* [http://www.indonesianhistory.info/map/landconf64.html?zoomview=1 Atlas - Internal and external tensions: land reform and confrontation with Malaysia] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20121113134529/http://www.indonesianhistory.info/map/landconf64.html?zoomview=1 |date=2012-11-13 }} |
* [http://www.indonesianhistory.info/map/landconf64.html?zoomview=1 Atlas - Internal and external tensions: land reform and confrontation with Malaysia] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20121113134529/http://www.indonesianhistory.info/map/landconf64.html?zoomview=1 |date=2012-11-13 }} |
||
* {{en}} [https://www.nam.ac.uk/explore/indonesian-confrontation Konfrontasi Indonesia] di National Army Museum |
|||
== Catatan kaki == |
|||
{{reflist}} |
|||
{{Hubungan Indonesia dengan Malaysia}} |
{{Hubungan Indonesia dengan Malaysia}} |
||
Baris 210: | Baris 234: | ||
[[Kategori:Perang dalam tahun 1965]] |
[[Kategori:Perang dalam tahun 1965]] |
||
[[Kategori:Perang dalam tahun 1966]] |
[[Kategori:Perang dalam tahun 1966]] |
||
[[Kategori:Artikel kelas-B bertopik militer]] |
|||
https://www.nam.ac.uk/explore/indonesian-confrontation |
Revisi terkini sejak 1 Oktober 2024 14.21
Konfrontasi Indonesia-Malaysia | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Bagian dari Pembentukan Malaysia dan Perang Dingin | |||||||
Seorang tentara Inggris ditarik oleh helikopter Westland Wessex selama operasi di Kalimantan, Agustus 1964 | |||||||
| |||||||
Pihak terlibat | |||||||
Didukung oleh: Kanada[1][2] Amerika Serikat[3] |
Indonesia Aliansi partai: PKI[4][5] PKKU[6][7][8] PRB[9] Didukung oleh: Tiongkok[10][11] Filipina[12] Uni Soviet[13][14] Vietnam Utara[15] | ||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||
Korban | |||||||
Total: • 280 terbunuh dan 183 luka-luka[17] 140 terbunuh (termasuk 44 ghurka)[18] 43 luka-luka 23 terbunuh[19] 9 luka-luka 12 terbunuh[20] 8 luka-luka 9 terbunuh[21] Gurkha 44 terbunuh 83 luka-luka Lainnya: 44 terbunuh 40 luka-luka |
Total:
| ||||||
Korban sipil
|
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Bagian dari seri artikel mengenai |
Sejarah Malaysia |
---|
Konfrontasi Indonesia–Malaysia atau Konfrontasi Borneo (juga dikenal dengan Bahasa Indonesia / Melayu, Konfrontasi) adalah konflik bersenjata dari tahun 1963 hingga 1966 yang bermula dari penentangan Indonesia terhadap pembentukan Federasi Malaysia. Setelah presiden Indonesia Soekarno digulingkan pada tahun 1966, perselisihan berakhir secara damai dan negara Malaysia terbentuk.
Pembentukan Malaysia adalah penggabungan Federasi Malaya (sekarang Semenanjung Malaysia), Singapura dan koloni mahkota Inggris di Borneo Utara dan Sarawak (secara kolektif dikenal sebagai Borneo Inggris, sekarang Malaysia Timur) pada September 1963.[22] Perintis penting konflik tersebut termasuk kebijakan konfrontasi Indonesia melawan Nugini Belanda dari Maret–Agustus 1962 dan Pemberontakan Brunei pada Desember 1962. Malaysia mendapat dukungan militer langsung dari Britania Raya, Australia, dan Selandia Baru. Indonesia mendapat dukungan tidak langsung dari Uni Soviet dan Tiongkok, sehingga menjadikannya salah satu bagian Perang Dingin di Asia.
Konflik tersebut merupakan perang yang tidak diumumkan dengan sebagian besar aksi terjadi di daerah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia Timur di pulau Kalimantan. Konflik tersebut ditandai dengan pertempuran darat yang terkendali dan terisolasi, diatur dalam taktik brinkmanship tingkat rendah. Pertempuran biasanya dilakukan oleh operasi seukuran kompi atau peleton di kedua sisi perbatasan. Kampanye infiltrasi Indonesia ke Kalimantan berusaha untuk mengeksploitasi keragaman etnis dan agama di Sabah dan Sarawak dibandingkan dengan Malaya dan Singapura, dengan maksud mengungkap negara yang diusulkan Malaysia.
Medan hutan Kalimantan dan kurangnya jalan yang melintasi perbatasan Malaysia-Indonesia memaksa pasukan Indonesia dan Persemakmuran untuk melakukan patroli jarak jauh. Kedua belah pihak mengandalkan operasi infanteri ringan dan transportasi udara, meskipun pasukan Persemakmuran menikmati keuntungan dari penyebaran helikopter yang lebih baik dan pasokan ke pangkalan operasi yang akan datang. Sungai juga digunakan sebagai metode transportasi dan infiltrasi. Meskipun operasi tempur terutama dilakukan oleh pasukan darat, pasukan lintas udara memainkan peran pendukung yang vital dan pasukan angkatan laut memastikan keamanan sisi-sisi laut. Inggris memberikan sebagian besar upaya pertahanan, meskipun pasukan Malaysia terus meningkatkan kontribusi mereka, dan ada kontribusi berkala dari pasukan Australia dan Selandia Baru dalam gabungan Cadangan Strategis Timur Jauh yang ditempatkan saat itu di Malaysia Barat dan Singapura.[23]
Serangan awal Indonesia ke Malaysia Timur sangat bergantung pada sukarelawan lokal yang dilatih oleh Angkatan Darat Indonesia. Seiring waktu, pasukan infiltrasi menjadi lebih terorganisir dengan masuknya komponen pasukan Indonesia yang lebih substansial. Untuk mencegah dan mengganggu kampanye infiltrasi yang berkembang di Indonesia, Inggris merespons pada tahun 1964 dengan meluncurkan operasi rahasia mereka sendiri ke Kalimantan (Indonesia) dengan nama sandi Operasi Claret. Bertepatan dengan Soekarno mengumumkan "tahun penuh bahaya" dan kerusuhan rasial Singapura 1964, Indonesia meluncurkan kampanye operasi yang diperluas ke Malaysia Barat pada 17 Agustus 1964, meskipun tanpa keberhasilan militer.[24] Penumpukan pasukan Indonesia di perbatasan Kalimantan pada bulan Desember 1964 membuat Inggris mengerahkan pasukan yang signifikan dari Komando Strategis Angkatan Darat yang berbasis di Inggris dan Australia dan Selandia Baru mengerahkan pasukan tempur roulement dari Malaysia Barat ke Kalimantan pada tahun 1965–66. Intensitas konflik mulai mereda menyusul kudeta Oktober 1965 dan jatuhnya kekuasaan Soekarno kepada Jenderal Soeharto. Negosiasi perdamaian yang serius antara Indonesia dan Malaysia dimulai pada Mei 1966, dan kesepakatan damai terakhir ditandatangani pada 11 Agustus 1966 dengan Indonesia secara resmi mengakui Malaysia.[25]
Latar belakang
[sunting | sunting sumber]Situasi politik
[sunting | sunting sumber]Sebelum Konfrontasi, Sukarno berupaya mengembangkan kebijakan luar negeri Indonesia yang mandiri, dengan fokus utama menganeksasi Nugini Belanda untuk menyudahi Perang Kemerdekaan Indonesia, serta membangun kredibilitas Indonesia sebagai kekuatan internasional dengan agenda tersendiri yang berbeda dari Dunia Pertama dan Dunia Kedua. Indonesia adalah negara penting dalam perkembangan Gerakan Non-Blok, dan menjadi tuan rumah Konferensi Bandung pada tahun 1955. Indonesia secara gigih memperjuangkan akuannya atas Nugini Belanda dari tahun 1950 hingga 1962, meskipun menghadapi berbagai penentangan di Majelis Umum PBB untuk mendapatkan pengakuan klaimnya dari dunia internasional.
Setelah dilanda krisis separatisme pada tahun 1958, termasuk terjadinya pemberontakan Permesta di Indonesia timur dan deklarasi Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, Indonesia muncul sebagai kekuatan militer yang berpengaruh dan berkembang di Asia Tenggara.[26] Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA), melalui anak organisasinya yang berbasis di Taiwan, Civil Air Transport (CAT), secara diam-diam memberikan dukungan kepada pemberontak di pulau-pulau terpencil, dengan tujuan untuk melemahkan atau menggulingkan rezim Presiden Sukarno. Sejak tahun 1957, CIA semakin kerap berhubungan dengan para pemimpin militer di Sumatra dan Sulawesi yang kritis terhadap rezim Sukarno. Menjelang akhir tahun 1957, pengiriman senjata dan amunisi ke Sumatra dengan menggunakan kapal dagang dan kapal selam Amerika semakin sering terjadi. Namun, Amerika percaya bahwa agar bantuan rahasia tersebut efektif, operasi semacam itu memerlukan bantuan dari pangkalan militer Inggris di Singapura untuk mengisi bahan bakar dan mendukung misi CAT yang diluncurkan dari Bangkok, Taiwan, atau Filipina.[27] Dengan masuknya bantuan senjata dari Soviet, Indonesia makin gencar mengajukan klaimnya atas Nugini Belanda. Pertikaian diplomatik mencapai puncaknya pada tahun 1962 ketika Indonesia meluncurkan upaya penyusupan besar-besaran melalui udara dan laut ke Nugini Belanda. Meskipun pasukan penyusup dikalahkan oleh pasukan Belanda dan Papua, Indonesia menunjukkan ancaman serius akan ambisinya untuk menginvasi Nugini Belanda. Belanda, yang menghadapi tekanan diplomatik yang makin meningkat dari Indonesia, serta dari Amerika yang ingin memastikan bahwa Indonesia tidak berpihak pada Komunis, akhirnya menyerah dan sepakat untuk mengadakan perundingan diplomatik. Kesepakatan tersebut memungkinkan Indonesia menguasai wilayah Papua Barat melalui jajak pendapat penentuan nasib sendiri (Penentuan Pendapat Rakyat) di wilayah tersebut pada tahun 1969. Dengan demikian, pada akhir tahun 1962, Indonesia meraih kemenangan diplomatik yang signifikan, yang makin memperkuat persepsi dirinya sebagai kekuatan regional yang penting. Dalam konteks kemenangan diplomatik inilah Indonesia lalu mengarahkan perhatiannya pada rencana Inggris yang hendak membentuk negara Malaysia bersatu.
Sebelum pemerintah Inggris mengumumkan kebijakan Timur Suez pada tahun 1968, mereka sudah mulai mengevaluasi ulang komitmennya untuk mempertahankan keberadaan pasukannya di Timur Jauh sejak akhir 1950-an. Di Asia Tenggara, Inggris berusaha menggabungkan koloninya di Borneo Utara dengan Federasi Malaya (yang telah merdeka dari Inggris pada tahun 1957), dan Singapura (yang telah memiliki pemerintahan sendiri sejak 1959). Pada bulan Mei 1961, pemerintah Inggris dan Malaya mengusulkan pembentukan federasi yang lebih besar bernama Malaysia, yang mencakup Malaya, Borneo Utara, Sarawak, Brunei, dan Singapura. Awalnya, Indonesia mendukung federasi yang diusulkan ini, meskipun Partai Komunis Indonesia (PKI) menentangnya dengan tegas.[4]
Di Brunei, tidak jelas apakah Sultan Omar Ali Saifuddien III akan mendukung Brunei bergabung dengan negara Malaysia bentukan Inggris, karena dengan bergabungnya Brunei, kewenangan politik Sultan akan berkurang, serta didukung oleh pendapatan minyak Brunei yang memastikan Brunei tetap mampu secara finansial jika memilih merdeka. Selain itu, seorang politisi Brunei bernama Dr. AM Azahari bin Sheikh Mahmud, meskipun mendukung penyatuan Borneo Utara, menentang penggabungan Brunei ke dalam Federasi Malaysia. Pada tahun 1961, ia menjajaki peluang memperoleh bantuan dari Indonesia untuk melatih prajurit Borneo. Jenderal Abdul Haris Nasution kemudian setuju untuk memberikan dukungan moral, dan Soebandrio, menteri luar negeri Indonesia sekaligus kepala intelijen, memberi isyarat untuk memberikan bantuan yang lebih substansial. Azahari adalah seorang tokoh sayap kiri yang pernah bertempur di Indonesia saat perang kemerdekaan. Setelah pertemuan tersebut, Indonesia mulai melatih pasukan sukarelawan kecil yang disebut Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) di Kalimantan.[4]
Pada tanggal 8 Desember 1962, TNKU melancarkan Pemberontakan Brunei. Pemberontakan ini berakhir dengan kegagalan total, karena pasukan yang tidak terlatih dan dipersenjatai dengan buruk tidak mampu mencapai tujuan utamanya untuk menangkap Sultan Brunei, mengambil alih ladang minyak Brunei, atau menyandera orang Eropa. Dalam hitungan jam setelah pemberontakan dilancarkan, pasukan Inggris yang bermarkas di Singapura segera dikerahkan untuk menanggapi pemberontakan tersebut. Kegagalan pemberontakan tersebut terlihat jelas dalam waktu 30 jam ketika pasukan Gurkha yang diterbangkan dari Singapura mengambil alih kota-kota di Brunei dan memastikan keselamatan Sultan.
Dukungan Indonesia untuk TNKU masih menjadi perdebatan. Meskipun pada saat itu Indonesia menyangkal keterlibatannya secara langsung, Indonesia mendukung tujuan TNKU untuk menggagalkan terbentuknya Federasi Malaysia. Setelah kegagalan militer TNKU di Brunei, pada tanggal 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Subandrio mengumumkan bahwa Indonesia akan menerapkan kebijakan Konfrontasi dengan Malaysia, bertentangan dengan kebijakan sebelumnya yang mendukung rencana Inggris. Kebijakan tersebut disusul oleh penyusupan pasukan Indonesia ke wilayah Malaysia pada tanggal 12 April 1963, ketika sebuah kantor polisi di Tebedu, Sarawak, diserang.[28]
Kondisi medan
[sunting | sunting sumber]Pada tahun 1961, Pulau Borneo terbagi menjadi empat wilayah terpisah. Kalimantan, yang terdiri dari empat provinsi Indonesia, berada di bagian selatan pulau tersebut. Di bagian utara, terdapat Kesultanan Brunei (sebuah protektorat Inggris) serta dua koloni Inggris, yakni Borneo Utara (kelak dinamai Sabah) dan Sarawak.
Tiga wilayah Inggris di Borneo memiliki populasi sekitar 1,5 juta orang, dengan separuhnya adalah suku Dayak. Sarawak memiliki populasi sekitar 900.000 jiwa, Sabah sekitar 600.000, dan Brunei sekitar 80.000. Sedangkan penduduk non-Dayak di Sarawak, 31% adalah etnis Tionghoa dan 19% adalah Melayu. Di Sabah, 21% non-Dayak adalah etnis Tionghoa dan 7% adalah Melayu, sedangkan di Brunei, populasi non-Dayak terdiri dari 28% etnis Tionghoa dan 54% Melayu. Ada juga sejumlah besar orang Indonesia di Tawau, Sabah selatan, serta komunitas Tionghoa yang besar dan aktif secara ekonomi di Sarawak. Meskipun jumlah penduduk Dayak banyak, mereka tersebar di seluruh wilayah di daerah pelosok dan tidak memiliki organisasi politik yang terstruktur. Sarawak terbagi menjadi lima wilayah administratif, sementara Sabah, yang ibu kotanya terletak di Jesselton (sekarang Kota Kinabalu) di pesisir utara, terbagi menjadi beberapa residensi; residensi pedalaman dan Tawau berbatasan dengan Indonesia.
Selain di bagian ujung perbatasan, batas wilayah koloni Inggris dengan Indonesia umumnya mengikuti perbukitan di sepanjang perbatasannya, dengan ketinggian mencapai hampir 2.500 meter di Divisi Kelima. Di Divisi Pertama, terdapat beberapa jalan, termasuk satu jalan utama dari Kuching menuju Brunei dan kemudian terhubung ke Sandakan di pesisir timur Sabah. Tidak ada jalan di Divisi Keempat dan Kelima atau di Residensi Pedalaman, dan di Divisi Ketiga hanya terdapat jalan pesisir yang berjarak sekitar 150 mil dari perbatasan. Pemetaan wilayah ini umumnya kurang memadai, dengan peta Inggris hanya menampilkan detail topografi yang minim. Peta Indonesia bahkan lebih buruk; hanya "selembar kertas hitam putih menampakkan seluruh Kalimantan yang diambil dari buku pelajaran sekolah" pada tahun 1964.[29]
Kalimantan dibagi menjadi empat provinsi, dengan Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat berbatasan dengan Borneo Inggris. Ibu kota Kalimantan Barat adalah Pontianak di pantai barat, berjarak sekitar 160 km dari perbatasan, dan ibu kota Kalimantan Timur adalah Samarinda di pantai selatan, sekitar 350 km dari perbatasan. Tidak ada jalan di sepanjang wilayah perbatasan kecuali jalan-jalan setapak di bagian barat, dan tidak ada jalan yang menghubungkan Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.[butuh rujukan]
Kurangnya infrastruktur jalan dan jalur kendaraan yang layak di kedua sisi perbatasan membuat pergerakan pasukan terbatas pada jalur jalan setapak yang umumnya tidak tertera di peta, serta pengangkutan pasukan melalui jalur air dan udara. Ada banyak sungai besar di kedua sisi perbatasan yang menjadi sarana utama pergerakan. Terdapat pula sejumlah padang rumput kecil yang cocok untuk digunakan sebagai tempat pendaratan pesawat ringan dan helikopter yang memasok suplai melalui udara.[butuh rujukan]
Garis khatulistiwa melintas kira-kira 160 kilometer di sebelah selatan Kuching, dan sebagian besar wilayah utara Kalimantan menerima curah hujan lebih dari 3.000 mm (120 inci) setiap tahunnya. Secara alami, Kalimantan tertutup oleh hutan hujan tropis yang melingkupi daerah pegunungan dan dilalui oleh banyak sungai dengan tebing-tebing curam serta puncak bukit yang lebarnya hanya beberapa meter. Curah hujan yang tinggi menciptakan sungai-sungai besar, yang menjadi jalur transportasi utama sekaligus penghalang taktis yang kuat. Hutan bakau lebat yang menutupi dataran pasang surut yang luas, dengan banyak sungai kecil, adalah ciri khas pada kebanyakan wilayah pesisir, termasuk Brunei dan kedua ujung perbatasan. Ada juga daerah pertanian di lembah-lembah dan sekitar desa-desa, serta hutan rimba yang lebat di sekitar pemukiman suku-suku pedalaman.[butuh rujukan]
Pemberontakan Sarawak
[sunting | sunting sumber]Pada tahun 1946, Raja Sarawak, Charles Vyner Brooke, menyerahkan negara bagian tersebut kepada Kerajaan Inggris dengan keyakinan bahwa hal tersebut akan menjadi keputusan terbaik bagi rakyat Sarawak setelah berakhirnya Perang Dunia II.[30] Sarawak kemudian menjadi koloni Kerajaan Inggris, yang dikelola oleh Kantor Kolonial di London, yang kemudian mengirimkan seorang gubernur untuk membawahi Sarawak. Gerakan anti-penyatuan yang didominasi oleh suku Melayu, yang menolak pengambilalihan Sarawak oleh Inggris, diduga menjadi cikal bakal lahirnya gerakan anti-Malaysia di Sarawak, yang kemudian dipimpin oleh Ahmad Zaidi Adruce.[butuh rujukan]
Menurut Vernon L. Porritt dan Hong-Kah Fong, sejumlah gerakan sayap kiri dan komunis sudah ada di kalangan penduduk Tionghoa di perkotaan Sarawak sejak tahun 1930-an dan 1940-an. Beberapa kelompok komunis paling awal di Sabah di antaranya adalah Liga Anti-Fasis, yang kemudian berubah menjadi Tentara Pembebasan Ras, dan Liga Anti-Jepang Borneo, yang terdiri dari Liga Anti-Jepang Kalimantan Utara dan Liga Anti-Jepang Kalimantan Barat. Organisasi tersebut dipimpin oleh Wu Chan, yang dideportasi oleh pemerintah kolonial Sarawak ke Tiongkok pada tahun 1952. Kelompok komunis lainnya di Sarawak termasuk Asosiasi Pemuda Tionghoa Luar Negeri yang dibentuk pada tahun 1946, dan Liga Pembebasan beserta sayap pemudanya, Asosiasi Pemuda Maju, yang muncul pada tahun 1950-an. Organisasi-organisasi tersebut kemudian menjadi inti dari dua gerakan gerilya Komunis: Tentara Rakyat Kalimantan Utara anti-Malaysia (PARAKU) dan Gerilyawan Rakyat Sarawak (PGRS). Berbagai kelompok komunis ini oleh media Barat disebut sebagai Organisasi Komunis Klandestin (CCO) atau Organisasi Komunis Sarawak (SCO).[31]
SCO didominasi oleh etnis Tionghoa, tetapi juga mendapat dukungan dari suku Dayak. Namun, SCO hanya mendapat sedikit dukungan dari suku Melayu dan suku asli lainnya di Sarawak. Pada puncaknya, SCO memiliki sekitar 24.000 anggota.[8] Sepanjang tahun 1940-an dan 1950-an, pengaruh Maoisme menyebar di sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa di Sarawak. Setelah Perang Dunia II, pengaruh Komunis juga merambah gerakan buruh dan Partai Persatuan Rakyat Sarawak (SUPP), yang mayoritas anggotanya berasal dari etnis Tionghoa dan merupakan partai politik pertama di negara bagian tersebut, yang didirikan pada bulan Juni 1959. Pemberontakan Sarawak dimulai setelah Pemberontakan Brunei pada tahun 1962, dan SCO berperang bersama para pemberontak Brunei dan pasukan Indonesia pada masa Konfrontasi Indonesia–Malaysia.[31][32]
SCO dan para pemberontak Brunei mendukung dan menyebarkan gagasan penyatuan seluruh wilayah Borneo Inggris untuk membentuk negara Kalimantan Utara yang merdeka dan berhaluan kiri. Ide ini awalnya diusulkan oleh A. M. Azahari, pemimpin Partai Rakyat Brunei, yang telah menjalin hubungan dengan gerakan nasionalis Sukarno, bersama dengan Ahmad Zaidi, di Jawa pada tahun 1940-an. Meskipun demikian, Partai Rakyat Brunei mendukung bergabungnya Brunei dengan Malaysia dengan syarat penyatuan tiga wilayah Borneo utara yang dipimpin oleh sultan tersendiri, sehingga menolak adanya dominasi oleh Malaya, Singapura, penguasa Melayu, atau pedagang Tionghoa.[7]
Rencana pembentukan Negara Kesatuan Borneo Utara dipandang sebagai alternatif penyatuan Malaya oleh oposisi lokal. Penolakan penguasa lokal di seluruh wilayah Borneo umumnya didasarkan pada perbedaan ekonomi, politik, sejarah, dan budaya antar negari-negari Borneo dan Malaya, serta penolakan untuk tunduk di bawah dominasi politik semenanjung. Baik Azahari maupun Zaidi melarikan diri ke Indonesia semasa Konfrontasi. Meskipun Zaidi kemudian kembali ke Sarawak dan status politiknya dipulihkan, Azahari tetap berada di Indonesia hingga meninggal pada tanggal 3 September 2002.
Setelah Pemberontakan Brunei ditumpas, sisa-sisa Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) melarikan diri ke Indonesia. Lantaran takut akan pembalasan dari Inggris, ribuan komunis Tionghoa juga melarikan diri dari Sarawak. Rekan-rekan mereka yang tinggal di Sarawak dikenal sebagai CCO oleh Inggris, tetapi disebut sebagai PGRS—Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak—oleh Indonesia. Soebandrio bertemu dengan pemimpin kelompok tersebut di Bogor, dan A.H Nasution mengirim tiga pelatih dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Batalyon 2 ke Nangabadan, dekat perbatasan Sarawak, di mana terdapat kira-kira 300 peserta pelatihan. Beberapa bulan kemudian, dua letnan juga diutus ke sana.[4]
PGRS beranggotakan kurang lebih 800 orang, yang bermarkas di Batu Hitam, Kalimantan Barat, dengan 120 penasihat berasal dari dari badan intelijen Indonesia dan sejumlah kecil kader yang dilatih di Tiongkok. Partai Komunis Indonesia juga terlibat, yang dipimpin oleh seorang revolusioner beretnis Arab bernama Sofyan. PGRS melancarkan sejumlah serangan ke Sarawak, tetapi lebih banyak waktu yang dihabiskan untuk membangun basis pendukung di Sarawak. Sementera itu, militer Indonesia tidak mendukung PGRS yang berhaluan kiri.[5]
Konflik
[sunting | sunting sumber]Awal pertikaian
[sunting | sunting sumber]Motif Sukarno untuk memulai konfrontasi masih menjadi bahan perdebatan. Mantan Menteri Luar Negeri Indonesia, Ide Anak Agung Gde Agung, berpendapat bahwa Sukarno sengaja meredam keberatan Indonesia atas pembentukan negara Malaysia saat Indonesia tengah fokus mengklaim Irian Barat. Setelah kemenangan diplomatik Indonesia dalam sengketa Irian Barat, Sukarno terdorong untuk memperluas dominasi Indonesia terhadap negara-negara tetangga yang lebih lemah. Sebaliknya, Sukarno diduga terpaksa mengalihkan perhatian terhadap konflik luar negeri baru karena adanya tekanan dari PKI dan akibat ketidakstabilan politik di Indonesia.
Pada akhir 1950-an, Sukarno berpendapat bahwa Malaysia adalah negara boneka Inggris, sebuah eksperimen neokolonial, dan perluasan Malaysia akan meningkatkan kontrol Inggris di wilayah tersebut, yang berdampak pada keamanan nasional Indonesia. Sukarno dengan tegas menentang rencana dekolonisasi Inggris, termasuk pembentukan Federasi Malaysia, yang menyatukan Semenanjung Malaya dan Borneo Inggris. Sukarno menuduh Malaysia sebagai negara boneka Inggris yang bertujuan untuk memberlakukan imperialisme dan kolonialisme baru di Asia Tenggara, serta membatasi ambisi Indonesia untuk menjadi kekuatan regional di kawasan tersebut.[33]
Namun, ada juga yang berpendapat bahwa upaya Sukarno untuk menentang pembentukan Malaysia sebenarnya didorong oleh keinginannya untuk menyatukan Semenanjung Malaya dan seluruh pulau Borneo di bawah kekuasaan Indonesia, serta mewujudkan gagasan pembentukan Indonesia Raya atau Melayu Raya, sebuah konsep untuk menyatukan ras Melayu menjadi satu negara yang pernah diusulkan oleh Sukarno dan perkumpulan Kesatuan Melayu Muda (KMM) pimpinan Ibrahim Yaacob.[33][34] Di saat bersamaan, Filipina mengklaim Borneo Utara bagian timur sebagai miliknya, dengan alasan bahwa koloni Borneo tersebut memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kesultanan Sulu.
Meskipun Sukarno tidak secara langsung mengklaim wilayah Borneo bagian utara untuk digabungkan ke dalam Kalimantan Indonesia, ia melihat pembentukan Malaysia sebagai hambatan bagi Maphilindo, sebuah gagasan persatuan iredentis nonpolitis yang mencakup Malaya, Filipina, dan Indonesia. Presiden Filipina, Diosdado Macapagal, awalnya tidak menentang gagasan ini dan bahkan memprakarsai Persetujuan Manila. Meskipun tidak terlibat dalam pertikaian tersebut, Filipina menunda pengakuannya atas Malaysia sebagai penerus negara Malaya. Akibatnya, Malaysia memutuskan hubungan diplomatik dengan Filipina.
Indonesia bersikukuh bahwa pembentukan Malaysia memungkinkan Inggris untuk mempertahankan hak istimewa terkait penggunaan pangkalan militernya di Singapura, dan dengan demikian makin memperkuat pertahanan Inggris di Asia Tenggara, yang dianggap sebagai ancaman tersirat. Subandrio, Menteri Luar Negeri Indonesia, menjelaskan kepada Duta Besar Amerika Serikat, Howard P. Jones, bahwa kebijakan konfrontasi ini berkaitan dengan Malaya, bukan Malaysia, dan merupakan reaksi Indonesia atas kebijakan anti-Djakarta dan dukungan terhadap aksi pemberontakan yang diterapkan oleh Malaya dan Inggris pada tahun 1958.[27]
Pada bulan April 1963, penyusupan mata-mata dan serangan pertama yang tercatat terjadi di Borneo. Pasukan penyusup yang berlatih di Nangabadan dibagi dua dan dipersiapkan untuk melancarkan operasi pertama. Pada tanggal 12 April 1963, sekelompok penyusup menyerang dan merebut kantor polisi di Tebedu di Divisi 1 Sarawak, kira-kira 64 km dari Kuching dan 3,2 km dari perbatasan dengan Kalimantan.[35] Kelompok lainnya menyerang desa Gumbang, di sebelah barat daya Kuching, pada akhir bulan yang sama. Hanya sekitar separuh dari mereka yang kembali. Dari perspektif militer, konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia bisa dikatakan dimulai setelah penyerangan Tebedu.[36]
Sebelum pernyataan resmi konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia pada 20 Januari 1963, Komisi Cobbold telah melaporkan mengenai kelayakan pembentukan negara Malaysia pada tahun 1962, dengan menyimpulkan bahwa adanya dukungan yang cukup besar di koloni Borneo untuk pembentukan negara Malaysia. Namun, lantaran meningkatnya penentangan dari Indonesia dan Filipina terhadap rencana pembentukan Malaysia, fase negosiasi baru diusulkan untuk mendengarkan keberatan dari kedua negara tersebut. Untuk menyelesaikan sengketa ini, negara-negara calon anggota Federasi Malaysia bertemu dengan perwakilan Indonesia dan Filipina di Manila pada tanggal 30 Juli 1963. Beberapa hari sebelum pertemuan tersebut, pada 27 Juli 1963, Sukarno melanjutkan retorikanya yang semakin memanas, menyatakan bahwa ia akan "mengganyang Malaysia." Dalam pertemuan di Manila, Filipina dan Indonesia secara resmi sepakat untuk menerima pembentukan Malaysia jika mayoritas penduduk Borneo Utara dan Sarawak mendukungnya dalam referendum yang diselenggarakan oleh PBB.[37]
Sebelum pertemuan di Manila, Pemerintah Malaya telah menetapkan tanggal 31 Agustus sebagai tanggal pembentukan negara Malaysia (kelak diperingati sebagai hari kemerdekaan Malaya). Namun, dalam negosiasi di Manila, pemerintah Malaya dibujuk oleh pemerintah Indonesia dan Filipina untuk menunda peresmian Malaysia hingga tanggal 15 September 1963, ketika putusan PBB telah dikeluarkan. Setelah perundingan di Manila, Perdana Menteri Malaya, Tunku Abdul Rahman, mengumumkan bahwa negara Malaysia akan terbentuk pada 16 September 1963, terlepas dari hasil putusan PBB.[38]
Borneo Utara dan Sarawak, yang memperkirakan bahwa putusan PBB akan mendukung pembentukan Malaysia, memproklamirkan diri sebagai bagian dari Malaysia pada tanggal 31 Agustus 1963, sebelum putusan PBB dipublikasikan. Pada 14 September, putusan PBB diterbitkan, yang memberikan dukungan bagi pembentukan negara Malaysia. Malaysia secara resmi berdiri pada 16 September 1963. Indonesia langsung bereaksi dengan mengusir Duta Besar Malaysia dari Jakarta. Dua hari kemudian, perusuh yang diorganisir oleh PKI membakar Kedutaan Besar Inggris di Jakarta. Ratusan perusuh merusak Kedutaan Besar dan rumah diplomat Singapura di Jakarta . Di Malaysia, mata-mata Indonesia ditangkap, dan massa menyerbu Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur.[39]
Upaya penyusupan
[sunting | sunting sumber]Sewaktu perundingan perdamaian masih berlangsung alot, Indonesia tetap melanjutkan kampanye penyusupannya. Pada tanggal 14 Agustus, seorang kepala desa melaporkan adanya penyusupan di Divisi ke-3, dan tindak lanjut menunjukkan bahwa jumlah penyusup kira-kira 50 orang. Serangkaian kontak terjadi saat pasukan 2/6 Gurkha melakukan patroli dan penyergapan; setelah sebulan, 15 orang tewas dan tiga tertangkap. Gurkha melaporkan bahwa para penyusup terlatih dengan baik dan dipimpin secara profesional, tetapi penguasaan senjata mereka buruk. Para tahanan melaporkan adanya 300 penyusup dalam waktu seminggu dan 600 dalam dua minggu.[40] Pertempuran Long Jawai merupakan penyusupan besar pertama di pusat Divisi ke-3, yang dipimpin oleh Mayor RPKAD Mulyono Soerjowardojo,[41] yang dikirim ke Nangabadan pada awal tahun. Proklamasi kemerdekaan Malaysia pada September 1963 menandai dikerahkannya satuan-satuan Angkatan Bersenjata Malaysia ke Borneo (sekarang Malaysia Timur).[42]
Serangan oleh angkatan bersenjata Indonesia terhadap pasukan Malaysia tidak meningkatkan kredibilitas "antiimperialis" Sukarno. Indonesia juga mengerahkan Azahari, yang mengklaim bahwa angkatan bersenjata Indonesia tidak terlibat dalam operasi aktif. Sukarno kemudian meluncurkan usulan perdamaian, dan pada akhir Januari, ia menyatakan bahwa Indonesia siap untuk gencatan senjata. Negosiasi kemudian dimulai di Bangkok, tetapi pelanggaran perbatasan terus berlanjut, dan negosiasi tersebut gagal. Negosiasi dilanjutkan pada pertengahan 1964 di Tokyo dan juga berakhir dengan kegagalan.[43]
Sementara itu, angkatan bersenjata Indonesia yang dipimpin oleh Jenderal Ahmad Yani makin khawatir dengan memburuknya situasi dalam negeri di Indonesia dan mulai diam-diam menghubungi pemerintah Malaysia, sembari berusaha mengurangi konfrontasi hingga ke tingkat minimal.[44] Langkah tersebut diambil untuk melindungi angkatan bersenjata yang kewalahan usai melancarkan Operasi Trikora di Irian Barat, sekaligus mempertahankan posisi politiknya di dalam negeri, terutama terhadap Partai Komunis Indonesia, yang merupakan pendukung fanatik konfrontasi.[45]
Perluasan konflik ke Semenanjung Malaysia
[sunting | sunting sumber]Selagi perseteruan berkecamuk, pada tanggal 3 Mei 1964, Sukarno mengesahkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora). Dwikora berisi seruan Sukarno agar rakyat membela Revolusi Indonesia dan mendukung revolusi di Malaya, Singapura, Sarawak, dan Sabah untuk menggagalkan pembentukan Federasi Malaysia. Bertepatan dengan pengumuman Sukarno tentang 'hidup penuh bahaya' sewaktu perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia, angkatan bersenjata Indonesia memulai kampanye penyusupan udara dan laut ke Semenanjung Malaysia pada tanggal 17 Agustus 1964.[46] Pada 19 Agustus 1964, sekelompok pasukan laut, yang terdiri dari Pasukan Gerak Cepat, KKO, dan selusin komunis Malaysia, menyeberangi Selat Malaka dengan perahu, berlabuh di Pontian dalam tiga rombongan pada malam hari. Namun, mereka disergap oleh tentara Persemakmuran, dan hampir semua penyusup tertangkap.[47] Pada 2 September, tiga pesawat Lockheed C-130 Hercules berangkat dari Jakarta menuju Semenanjung Malaysia, terbang rendah untuk menghindari deteksi radar. Malam berikutnya, dua dari C-130 berhasil mencapai tujuannya, dan pasukan PGT melompat dan mendarat di dekat Labis di Johor. C-130 yang tersisa jatuh ke Selat Malaka saat berupaya menghindari penyergapan oleh RAF Javelin FAW 9 yang diluncurkan dari RAF Tengah. Akibat badai petir, penerjunan 96 pasukan payung tidak tentu arah, sehingga mereka mendarat di dekat pangkalan militer 1/10 Gurkhas, yang bergabung dengan Batalyon Pertama, Resimen Persemakmuran, yang ditempatkan di sekitar Malaka.[46][48][49][50]
Perluasan konflik Indonesia ke Semenanjung Malaysia memicu Krisis Selat Sunda, dengan berlayarnya kapal induk Inggris HMS Victorious dan dua kapal perusak melintasi Selat Sunda. Angkatan bersenjata Persemakmuran bersiap untuk melancarkan serangan udara terhadap wilayah yang menjadi basis penyusup Indonesia di Sumatra jika aksi penyusupan Indonesia masih terus berlanjut. Terjadi ketegangan selama tiga minggu sebelum krisis tersebut diselesaikan secara damai.[51]
Pada bulan-bulan terakhir tahun 1964, konflik kedua negara mulai mencapai kebuntuan. Angkatan bersenjata Persemakmuran berhasil mencegah upaya penyusupan Indonesia ke Borneo dan Semenanjung Malaysia untuk sementara waktu. Namun, situasi kembali berubah pada bulan Desember 1964 ketika intelijen Persemakmuran mulai melaporkan adanya aksi penyusupan besar-besaran oleh Indonesia melalui wilayah Kalimantan di seberang Kuching, yang berpotensi memperuncing pertikaian. Dua batalyon Inggris kemudian dikerahkan ke Borneo.[52][53] Sementara itu, karena operasi pendaratan di Malaysia dan aksi penyusupan pasukan Indonesia yang berkelanjutan, Australia dan Selandia Baru juga mulai mengerahkan pasukan tempur ke Borneo pada awal tahun 1965.[54]
Operasi Claret
[sunting | sunting sumber]Operasi Claret adalah serangkaian serangan lintas batas yang dilakukan secara rahasia oleh pasukan Persemakmuran Inggris di Borneo dari bulan Juni 1964 hingga awal 1966. Serangan ini dilakukan oleh pasukan khusus—termasuk Special Air Service Inggris , Special Air Service Regiment Australia, dan New Zealand Special Air Service—serta infanteri reguler. Pada fase awal konflik, tentara Persemakmuran Inggris dan Malaysia hanya berupaya mengontrol perbatasan dan melindungi pusat-pusat penduduk dari serangan Indonesia. Namun, pada tahun 1965, mereka memutuskan untuk mengambil tindakan lebih agresif, melintasi perbatasan untuk memperoleh informasi dan memburu para penyusup Indonesia yang mundur hingga ke perbatasan.[36] Pertama kali disetujui pada bulan Mei 1965, kemudian diekspansi sehingga termasuk penyerangan lintas batas pada bulan Juli.[55]
Operasi ini, yang disepakati pertama kali pada bulan Mei 1965, kemudian diperluas dengan melancarkan penyergapan lintas batas pada bulan Juli. Patroli rahasia ini dilakukan oleh tim pengintaian kecil yang melintasi perbatasan dari negara bagian Sarawak atau Sabah di Malaysia ke Kalimantan di Indonesia untuk menyergap tentara Indonesia yang akan memasuki Malaysia Timur. Awalnya, wilayah patroli dibatasi hingga 2.700 m, tetapi kemudian diperluas hingga 5.500 m, dan kemudian diperluas lagi hingga 9.100 m setelah pecahnya Pertempuran Plaman Mapu pada bulan April 1965. Tentara konvensional diarahkan untuk menyergap tentara Indonesia, baik saat mereka melintasi perbatasan maupun saat masih berada di wilayah Kalimantan.[55][56] Operasi Claret dilancarkan oleh tentara Persemakmuran Inggris, yang menyebabkan jatuhnya banyak korban di pihak Indonesia dan membuatnya tetap dalam posisi bertahan di sisi perbatasan. Operasi ini baru diumumkan kepada publik oleh Inggris pada tahun 1974, sedangkan pemerintah Australia tidak mengakui keterlibatannya secara resmi hingga tahun 1996.[57][58]
Akhir konfrontasi
[sunting | sunting sumber]Menjelang akhir 1965, konflik antar kedua negara mengalami kebuntuan. Presiden baru Filipina, Ferdinand Marcos, berupaya meredakan ketegangan, dan berbeda dengan pendahulunya, ia tidak menggalakkan klaim Filipina atas Sabah Utara secara gigih. Untuk menengahi pertikaian, Filipina berencana untuk mengakui Federasi Malaysia. Pada tanggal 5 Februari 1965, Filipina memberitahu Indonesia mengenai normalisasi hubungannya dengan Kuala Lumpur. Sukarno menentang dan mengecam tindakan Marcos dalam pidatonya, yang mengejutkan Manila. Pidato Sukarno memicu gelombang baru masyarakat yang mendukung konfrontasi, dan organisasi pemuda serta keagamaan mengecam rencana Marcos.[59]
"Jika Marcos ingin membantu Malaysia, itu urusannya, tetapi kami akan terus menghancurkan Malaysia, bahkan jika kami harus bertempur sendirian."
— Sukarno, menanggapi tindakan Marcos, [59]
Pada malam tanggal 30 September 1965, terjadi percobaan kudeta di Jakarta. Enam pemimpin militer senior Indonesia dibunuh, sementara Jenderal Nasution berhasil melarikan diri dari para penculiknya. Di tengah kebingungan, Sukarno setuju untuk membiarkan Suharto mengambil alih komando darurat dan mengendalikan Jakarta serta angkatan bersenjata yang ditempatkan di sana. Dalang upaya kudeta tersebut dituduhkan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI), dan dalam beberapa minggu dan bulan berikutnya, upaya penangkapan dan pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI terjadi di Jakarta dan seluruh penjuru Indonesia. Dengan makin kuatnya citra Suharto, skala dan intensitas upaya penyusupan Indonesia ke Borneo mulai mereda. Rentetan peristiwa yang dipicu oleh kegagalan kudeta tersebut menyebabkan menguatnya kekuasaan Suharto secara bertahap dan makin terpinggirnya Sukarno. Pada saat yang sama, pembersihan antikomunis menyebar di seluruh Indonesia. Penguatan kekuasaan Suharto setelah peristiwa 30 September memungkinkannya untuk membentuk pemerintahan baru dan pada bulan Maret 1967, Suharto membentuk kabinet baru.[60]
Pada tanggal 28 Mei 1966, dalam konferensi di Bangkok, pemerintah Malaysia dan Indonesia menyatakan bahwa konflik telah berakhir. Namun, kewaspadaan di Borneo belum bisa dilonggarkan. Berkat upaya Suharto, perjanjian damai ditandatangani pada tanggal 11 Agustus dan diratifikasi dua hari kemudian.[61] Pada awal pemerintahan Suharto, Operasi Claret terus berlanjut, dan pada bulan Maret 1966, batalion Gurkha terlibat dalam sejumlah pertempuran sengit di Kalimantan.Tindakan konfrontasi kecil oleh tentara Indonesia terus berlanjut di daerah perbatasan.[62]
Pada awal 1966, dengan makin stabilnya perpolitikan di Indonesia, RPKAD bekerja sama dengan PGRS membentuk pasukan gerilya di Sabah dan Sarawak. Pasukan di Sabah tidak pernah melintasi perbatasan, tetapi dua kelompok pasukan memasuki Sarawak pada bulan Februari dan Mei dan mendapatkan dukungan dari simpatisan lokal. Kelompok pertama berhasil bertahan hingga bulan Juni dan dievakuasi setelah Konfrontasi berakhir. Para penyintas dari kelompok kedua juga berhasil kembali ke Indonesia.[63]
- Daftar pertempuran
- Pertempuran Long Jawai, 28 September 1963. Long Jawai. Kalimantan. Kemenangan Indonesia, kemenangan inggris (serangan balik)
- Pendaratan di Pontian. 17 Agustus 1964, Distrik Pontian, Malaysia. Kemenangan Malaysia
- Krisis Selat Sunda. 27 Agustus – 10 September 1964. Selat Sunda, Indonesia. Keberhasilan dua belah pihak dalam Menghindari Konflik
- Pendaratan di Labis, September–Oktober 1964. Labis, Johor, Malaysia. Kemenangan Persemakmuran
- Pendaratan di Sungai Kesang. 29 Oktober 1964. Johor, Malaysia. Kemenangan Britania Raya
- Aksi 13 Desember 1964. 13 Desember 1964. Selat Singapura. Australia menang
- Pertempuran Plaman Mapu. 27 April 1965, Plaman Mapu, Sarawak, Borneo. Malaysia. Kemenangan inggris
- Pertempuran Sungei Koemba. 27 Mei – 12 Juni 1965, Sungei Koemba, Kalimantan. Kemenangan Australia
- Pertempuran Kindau. 15 June 1965. Kindau, Kalimantan, Indonesian. Kemenangan Australia
- Pertempuran Babang, 12 July 1965. Babang, Kalimantan, Indonesian. Kemenangan Australia
- Pertempuran Bau, 21 November 1965. Bau, Sarawak. Kemenangan taktis Britania Raya
Penyelesaian damai
[sunting | sunting sumber]Menjelang akhir 1965, Jenderal Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya Gerakan 30 September. Oleh karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda.
Pada 28 Mei 1966, dalam sebuah perundingan di Bangkok, Malaysia dan Indonesia mengumumkan perdamaian setelah Soeharto mengutus Adam Malik sebagai wakil untuk berunding dengan Tunku Abdul Rahman. Aksi kekerasan berakhir pada bulan Juni, dan perjanjian perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian. Indonesia secara resmi mengakhiri konfrantasi terhadap Malaysia pada tahun 1967.
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Catatan
[sunting | sunting sumber]Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ "Commonwealth Backing for Malaysia". The Sydney Morning Herald. 24 November 1964. hlm. 2. Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 November 2015. Diakses tanggal 19 February 2015.
- ^ Robert Bothwell; Jean Daudelin (17 March 2009). Canada Among Nations, 2008: 100 Years of Canadian Foreign Policy. McGill-Queen's Press – MQUP. hlm. 284–. ISBN 978-0-7735-7588-2. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 February 2017. Diakses tanggal 26 January 2017.
- ^ "Malaysian–American Relations during Indonesia's Confrontation against Malaysia, 1963–66". Cambridge University Press. 24 August 2009.
- ^ a b c d Conboy 2003, hlm. 93–95.
- ^ a b Conboy 2003, hlm. 156.
- ^ Fowler 2006, hlm. 11, 41
- ^ a b Pocock 1973, hlm. 129.
- ^ a b Corbett 1986, hlm. 124.
- ^ Sejarah Indonesia : "The Sukarno Years". Retrieved 30 May 2006.
- ^ A. Dahana (2002). "China Role's in Indonesia's "Crush Malaysia" Campaign". Universitas Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 July 2016. Diakses tanggal 19 July 2016.
- ^ John W. Garver (1 December 2015). China's Quest: The History of the Foreign Relations of the People's Republic of China. Oxford University Press. hlm. 219–. ISBN 978-0-19-026106-1.
- ^ Hamilton Fish Armstrong (July 1963). "The Troubled Birth of Malaysia". Foreign Affairs.
- ^ Kurt London (1974). The Soviet Impact on World Politics. Ardent Media. hlm. 153–. ISBN 978-0-8015-6978-4.
- ^ Mohd. Noor Mat Yazid (2013). "Malaysia-Indonesia Relations Before and After 1965: Impact on Bilateral and Regional Stability" (PDF). Programme of International Relations, School of Social Sciences, Universiti Malaysia Sabah. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 19 July 2016. Diakses tanggal 19 July 2016.
- ^ Jones 2002, hlm. 132, 146, 163.
- ^ Van der Bijl 2007, hlm. 246.
- ^ https://dbpedia.org/page/Indonesia%E2%80%93Malaysia_confrontation=. Tidak memiliki atau tanpa
|title=
(bantuan) - ^ UK Armed Forces Operational deaths post World War II (PDF) (dalam bahasa Inggris). Kementerian Pertahanan. 2015. hlm. 4.
- ^ "Indonesian Confrontation, 1963–66". Australian War Memorial (dalam bahasa Inggris).
- ^ "Confrontation in Borneo; NZHistory, New Zealand history online". nzhistory.govt.nz (dalam bahasa Inggris).
- ^ "SPEECH BY THE PRESIDENT OF THE SAF VETERANS' LEAGUE, BRIGADIER-GENERAL (NS) WINSTON TOH, AT THE KONFRONTASI MEMORIAL CEREMONY ON 10 MARCH 2016, 1825HRS |" (PDF) (dalam bahasa Inggris).
- ^ Mackie 1974, hlm. 36–37 & 174.
- ^ Dennis & Grey 1996, hlm. 25.
- ^ Edwards 1992, hlm. 306.
- ^ Dennis & Grey 1996, hlm. 318.
- ^ Cain 1997, hlm. 67.
- ^ a b Jones, M. (1999-11-01). "'Maximum disavowable aid': Britain, the United States and the Indonesian rebellion, 1957–58". The English Historical Review (dalam bahasa Inggris). 114 (459): 1179–1216. doi:10.1093/ehr/114.459.1179. ISSN 0013-8266.
- ^ Easter 2004, hlm. 46.
- ^ Conboy 2003, hlm. 102.
- ^ Reece 1993, hlm. 72.
- ^ a b Fong 2005, hlm. 183–192.
- ^ Kheng 2009, hlm. 132–152.
- ^ a b Hitoshi Hirakawa; Hiroshi Shimizu (24 June 1999). Japan and Singapore in the World Economy: Japan's Economic Advance Into Singapore 1870–1965. Routledge. hlm. 180. ISBN 978-1-134-65174-0.
- ^ Greg Poulgrain (1998). The Genesis of Konfrontasi: Malaysia, Brunei, Indonesia, 1945–1965. C. Hurst & Co. Publishers. hlm. 142. ISBN 978-1-85065-513-8.
- ^ Pocock 1973, hlm. 153.
- ^ a b Dennis et al. 2008, hlm. 152.
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaTun Hanif Omar 2007
- ^ Mackie 1974, hlm. 174–175.
- ^ Pocock 1973, hlm. 173.
- ^ Pocock 1973, hlm. 170.
- ^ van der Bijl 2007, hlm. 80–85.
- ^ Majid 2007, hlm. 154.
- ^ Pocock 1973, hlm. 179–181, 188.
- ^ Weinstein, Franklin B. (2007). Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From Sukarno to Soeharto (dalam bahasa Inggris). Equinox Publishing. ISBN 9789793780566.
- ^ Crouch, Harold (2007). The Army and Politics in Indonesia (dalam bahasa Inggris). Equinox Publishing. ISBN 9789793780504.
- ^ a b Conboy 2003, hlm. 161.
- ^ James & Sheil-Small 1971, hlm. 146.
- ^ van der Bijl 2007, hlm. 135–138.
- ^ James & Sheil-Small 1971, hlm. 148–150.
- ^ Pugsley 2003, hlm. 206–213.
- ^ Edwards 1992, hlm. 319.
- ^ Gregorian 1991, hlm. 55.
- ^ Jones 2002, hlm. 272.
- ^ van der Bijl 2007, hlm. 165.
- ^ a b Pugsley 2003, hlm. 255.
- ^ Horner 2002, hlm. 83–84.
- ^ Forbes, Mark (23 March 2005). "Truth still a casualty of our secret war". The Age. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 September 2006. Diakses tanggal 27 April 2009.
- ^ Coates 2006, hlm. 333.
- ^ a b Weinstein, Franklin B. (2009). Indonesia Abandons Confrontation: An Inquiry Into the Functions of Indonesian Foreign Policy (dalam bahasa Inggris). Equinox Publishing. ISBN 978-602-8397-45-2.
- ^ Pocock 1973, hlm. 215.
- ^ Carver 1986, hlm. 806.
- ^ Pocock 1973, hlm. 213–214.
- ^ Conboy 2003, hlm. 158–161.
Pustaka
[sunting | sunting sumber]- Van der Bijl, Nicholas (2007). Confrontation: the war with Indonesia, 1962-1966. Pen & Sword Military. ISBN 9781844155958. OL 22546200M.
Pustaka lanjutan
[sunting | sunting sumber]- Karya yang berkaitan dengan Resolusi Majelis Umum PBB 1514 mengenai Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada Masyarakat dan Negara terjajah di Wikisource
- (Inggris) Easter, D. Britain and the Confrontation with Indonesia, 1961-1965, (2004, London) I.B.Tauris, ISBN 1-85043-623-1
- (Inggris) Jones, M. Conflict and Confrontation in South East Asia, 1961-1965: Britain, the United States and the Creation of Malaysia. (2002, Cambridge) Cambridge University Press. ISBN 0-521-80111-7
- (Inggris) Mackie, J.A.C. Konfrontasia: the Indonesia-Malaysia Dispute 1963-1966'. (1974, Kuala Lumpur) Oxford University Press.
- (Inggris) Subritzky, J. Confronting Soekarno: British, American, Australian and New Zealand Diplomacy in the Malaysian-Indonesian Confrontation, 1961-1965, (2000, London) Palgrave. ISBN 0-312-22784-1
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- Atlas - Internal and external tensions: land reform and confrontation with Malaysia Diarsipkan 2012-11-13 di Wayback Machine.
- (Inggris) Konfrontasi Indonesia di National Army Museum