Lompat ke isi

Gunung Slamet: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tyo Satriany (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Tyo Satriany (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Baris 34: Baris 34:
Pada bulan Agustus 1838. Junghuhn, Fritze, Holle dan Borst memulai perjalanan dari Moga untuk mendaki Slamet dari lereng sebelah utara. Pada ketinggian sekitar 4000 kaki membangun gubuk untuk bermalam dan meninggalkan kuda untuk selanjutnya meneruskan mendaki dengan berjalan kaki. Dr. Holle menemukan bagian kerangka badak di daerah berpasir di sebelah kawah, dan tulang manusia juga ditemukan. Udara malam yang sangat dingin suhu minimum tidak turun di bawah 42" Fahrenheit, tetapi karena angin timur yang kuat. Namun, sekembalinya keesokan paginya menemukan embun beku pada tanaman 3000 hingga 4000 kaki di bawah puncak.
Pada bulan Agustus 1838. Junghuhn, Fritze, Holle dan Borst memulai perjalanan dari Moga untuk mendaki Slamet dari lereng sebelah utara. Pada ketinggian sekitar 4000 kaki membangun gubuk untuk bermalam dan meninggalkan kuda untuk selanjutnya meneruskan mendaki dengan berjalan kaki. Dr. Holle menemukan bagian kerangka badak di daerah berpasir di sebelah kawah, dan tulang manusia juga ditemukan. Udara malam yang sangat dingin suhu minimum tidak turun di bawah 42" Fahrenheit, tetapi karena angin timur yang kuat. Namun, sekembalinya keesokan paginya menemukan embun beku pada tanaman 3000 hingga 4000 kaki di bawah puncak.


Berbekal peralatan geodesi dan meteorologi yang akurat (seperti pada tahun 1838), Junghuhn bersama beberapa orang Jawa, mendaki gunung untuk kedua kalinya, pada 19 Juni 1847. Memulai pukul 7 dari Priatin, di sisi timur-utara G. Slamat, dan melintasi dataran tinggi yang sebagian besar dibudidayakan pada ketinggian sekitar 4000 kaki. Seperti yang diuraikan dalam bukunya Java, seine Gestalt, Pflanzendecke und Innere Bauart
Berbekal peralatan geodesi dan meteorologi yang akurat (seperti pada tahun 1838), Junghuhn bersama beberapa orang Jawa, mendaki gunung untuk kedua kalinya, pada 19 Juni 1847. Memulai pukul 7 dari Priatin, di sisi timur-utara G. Slamat, dan melintasi dataran tinggi yang sebagian besar dibudidayakan pada ketinggian sekitar 4000 kaki. Seperti yang diuraikan dalam bukunya Java, seine Gestalt, Pflanzendecke und Innere Bauart.


Sejarawan Belanda, [[J. Noorduyn]] berteori bahwa nama "Slamet" adalah relatif baru, yaitu setelah masuknya [[Islam]] ke [[Jawa]] (kata itu merupakan pinjaman dari [[bahasa Arab]]). Ia mengemukakan pendapat bahwa yang disebut sebagai '''Gunung Agung''' dalam naskah ber[[bahasa Sunda]] mengenai petualangan [[Bujangga Manik]] adalah Gunung Slamet, berdasarkan pemaparan lokasi yang disebutkan.<ref>Noorduyn J. 2006. ''Three Old Sundanese Poems''. KITLV Press. Leiden</ref>
Sejarawan Belanda, [[J. Noorduyn]] berteori bahwa nama "Slamet" adalah relatif baru, yaitu setelah masuknya [[Islam]] ke [[Jawa]] (kata itu merupakan pinjaman dari [[bahasa Arab]]). Ia mengemukakan pendapat bahwa yang disebut sebagai '''Gunung Agung''' dalam naskah ber[[bahasa Sunda]] mengenai petualangan [[Bujangga Manik]] adalah Gunung Slamet, berdasarkan pemaparan lokasi yang disebutkan.<ref>Noorduyn J. 2006. ''Three Old Sundanese Poems''. KITLV Press. Leiden</ref>

Revisi per 6 Mei 2022 19.38

Gunung Slamet
Titik tertinggi
Ketinggian3.432 m
Puncak3.328 m
Masuk dalam daftarRibu
Koordinat7°14′30″LS,109°12′30″BT
Geografi
LetakBanyumas, Brebes, Tegal, Purbalingga, dan Pemalang, Jawa Tengah, Indonesia
Geologi
Jenis gunungStratovolcano

Gunung Slamet (3.432 meter dpl.)[1] adalah sebuah gunung berapi kerucut Tipe A yang terdapat di Jawa Tengah, Indonesia. Gunung Slamet terletak di antara 5 kabupaten, yaitu Kabupaten Brebes, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Pemalang, Provinsi Jawa Tengah. Gunung Slamet merupakan gunung tertinggi di Jawa Tengah serta kedua tertinggi di Pulau Jawa setelah Gunung Semeru. Kawah IV merupakan kawah terakhir yang masih aktif sampai sekarang, dan terakhir aktif hingga pada level siaga medio-2009.

Gunung Slamet cukup populer sebagai sasaran pendakian meskipun medannya dikenal sulit. Di kaki gunung ini terletak kawasan wisata Baturraden yang menjadi andalan Kabupaten Banyumas karena hanya berjarak sekitar 15 km dari Purwokerto. Dan juga wisata alam pemandian air panas Guci yang berada di sisi utara.

Geologi

Gunung Slamet dari ketinggian 28.000 kaki.


Sebagaimana gunung api lainnya di Pulau Jawa, Gunung Slamet terbentuk akibat subduksi Lempeng Indo-Australia pada Lempeng Eurasia di selatan Pulau Jawa. Retakan pada lempeng membuka jalur lava ke permukaan. Catatan letusan diketahui sejak abad ke-19. Gunung ini aktif dan sering mengalami erupsi skala kecil. Aktivitas terakhir adalah pada bulan Mei 2009 dan sampai Juni masih terus mengeluarkan lava pijar.[2] Sebelumnya ia tercatat meletus pada tahun 1999.

Maret 2014 Gunung Slamet menunjukkan aktifitas dan statusnya menjadi Waspada. Berdasarkan data PVMBG, aktivitas vukanik Gunung Slamet masih fluktuatif. Setelah sempat terjadi gempa letusan hingga 171 kali pada Jumat 14 Maret 2014 dari pukul 00.00-12.00 WIB, pada durasi waktu yang sama, tercatat sebanyak 57 kali gempa letusan. Tercatat pula 51 kali embusan. Pemantauan visual, embusan asap putih tebal masih keluar dari kawah gunung ke arah timur hingga setinggi 1 km.[3]

Catatan sejarah

Gunung Slamet pada tahun 1910.

Pada bulan Agustus 1838. Junghuhn, Fritze, Holle dan Borst memulai perjalanan dari Moga untuk mendaki Slamet dari lereng sebelah utara. Pada ketinggian sekitar 4000 kaki membangun gubuk untuk bermalam dan meninggalkan kuda untuk selanjutnya meneruskan mendaki dengan berjalan kaki. Dr. Holle menemukan bagian kerangka badak di daerah berpasir di sebelah kawah, dan tulang manusia juga ditemukan. Udara malam yang sangat dingin suhu minimum tidak turun di bawah 42" Fahrenheit, tetapi karena angin timur yang kuat. Namun, sekembalinya keesokan paginya menemukan embun beku pada tanaman 3000 hingga 4000 kaki di bawah puncak.

Berbekal peralatan geodesi dan meteorologi yang akurat (seperti pada tahun 1838), Junghuhn bersama beberapa orang Jawa, mendaki gunung untuk kedua kalinya, pada 19 Juni 1847. Memulai pukul 7 dari Priatin, di sisi timur-utara G. Slamat, dan melintasi dataran tinggi yang sebagian besar dibudidayakan pada ketinggian sekitar 4000 kaki. Seperti yang diuraikan dalam bukunya Java, seine Gestalt, Pflanzendecke und Innere Bauart.

Sejarawan Belanda, J. Noorduyn berteori bahwa nama "Slamet" adalah relatif baru, yaitu setelah masuknya Islam ke Jawa (kata itu merupakan pinjaman dari bahasa Arab). Ia mengemukakan pendapat bahwa yang disebut sebagai Gunung Agung dalam naskah berbahasa Sunda mengenai petualangan Bujangga Manik adalah Gunung Slamet, berdasarkan pemaparan lokasi yang disebutkan.[4]

Ekologi

Gunung ini mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montana, dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung.

Legenda Gunung Slamet

Gunung Slamet memiliki cerita legenda yang turun temurun. Nama slamet diambil dari bahasa Jawa yang artinya selamat. Nama ini diberikan karena dipercaya gunung ini tidak pernah meletus besar dan memberi rasa aman bagi warga sekitar. Menurut kepercayaan warga sekitar, bila Gunung Slamet sampai meletus besar maka Pulau Jawa akan terbelah menjadi dua bagian.

Jalur pendakian

Pos pendakian Gunung Slamet, dukuh Bambangan

Jalur pendakian standar gunung slamet adalah dari Blambangan, Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Purbalingga. Jalur populer lain adalah dari Baturraden dan dari Desa Gambuhan, Desa Jurangmangu dan Desa Gunungsari di Kabupaten Pemalang. Selain itu ada pula jalur yang baru saja diresmikan tahun 2013 lalu, yaitu jalur Dhipajaya yang terletak di Desa Clekatakan.

Pendakian Gunung Slamet dikenal cukup sulit karena hampir di sepanjang rute pendakian tidak ditemukan air. Pendaki disarankan untuk membawa persediaan air yang cukup dari bawah. Faktor penyulit lain adalah kabut. Kabut di Gunung Slamet sangat mudah berubah-ubah dan pekat.

Jalur pendakian lainnya adalah melalui objek wisata pemandian air panas Guci, Kabupaten Tegal. Meskipun terjal, rute ini menyajikan pemandangan yang paling baik. Kawasan Guci dapat ditempuh dari Slawi menuju daerah Tuwel melewati Lebaksiu, sementara untuk jalur pendakian yang populer saat ini adalah jalur Permadi Guci dimana terdapat fasilitas Mushola Jabalussalam yang masuk dalam daftar Mushola tertinggi ke tiga di Indonesia, tersedianya air bersih yang melimpah disepanjang tahun serta tersedianya toilet umum yang berada di pos 4 amreta jalur pendakian tersebut.


Referensi

  1. ^ "G. Slamet". vsi.esdm.go.id. Diakses tanggal 2021-10-18. 
  2. ^ Mount Slamet continues spewing lava Diarsipkan 2009-06-08 di Wayback Machine.. The Jakarta Post. Edisi 4 Juni 2009.
  3. ^ "Gunung Slamet Letupkan Lava Pijar, Statusnya Tetap Waspada". detiknews. Diakses tanggal 2021-10-03. 
  4. ^ Noorduyn J. 2006. Three Old Sundanese Poems. KITLV Press. Leiden

Lihat pula