Lompat ke isi

Pengadilan: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Maskur86 (bicara | kontrib)
k Menyunting halaman referensi
OrophinBot (bicara | kontrib)
Baris 1: Baris 1:
[[Berkas:Gerichtsstätte der Batak bei Tomok.jpg|jmpl|300px|Pengadilan adat kuno di [[Tomok]], [[Pulau Samosir]], [[Sumatra Utara]]]]
[[Berkas:Gerichtsstätte der Batak bei Tomok.jpg|jmpl|300px|Pengadilan adat kuno di [[Tomok]], [[Pulau Samosir]], [[Sumatera Utara]]]]
[[Berkas:Rechtszaak in Kota Radja.jpg|jmpl|300px|Pengadilan di Kutaraja (kini [[Banda Aceh]]) pada tahun 1903]]
[[Berkas:Rechtszaak in Kota Radja.jpg|jmpl|300px|Pengadilan di Kutaraja (kini [[Banda Aceh]]) pada tahun 1903]]
'''Pengadilan''' adalah instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, pembuktian mengadili hingga memutuskan<ref>
'''Pengadilan''' adalah instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, pembuktian mengadili hingga memutuskan<ref>

Revisi per 29 September 2023 00.41

Pengadilan adat kuno di Tomok, Pulau Samosir, Sumatera Utara
Pengadilan di Kutaraja (kini Banda Aceh) pada tahun 1903

Pengadilan adalah instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, pembuktian mengadili hingga memutuskan[1]. Sedangkan Mahkamah Agung (MA) ialah suatu lembaga tinggi negara yang melaksanakan tugas kehakiman[2]. Kedua Instansi ini sebuah forum publik, resmi, di mana kekuasaan publik ditetapkan oleh otoritas hukum untuk menyelesaikan perselisihan dan pencarian keadilan dalam hal sipil, buruh, administratif, dan kriminal di bawah hukum. Dalam negara dengan sistem hukum umum, pengadilan merupakan cara utama untuk penyelesaian perselisihan, dan umumnya dimengerti bahwa semua orang memiliki hak untuk membawa klaimnya ke pengadilan. Dan juga, pihak tertuduh kejahatan memiliki hak untuk meminta perlindungan di pengadilan.

Pengadilan juga sebuah institusi yang keberadaannya merupakan keniscayaan dalam sebuah Negara hukum. Melalui lembaga peradilan yang merupakan suatu proses yang dijalankan di pengadilan yang memiliki keterkaitan memeriksa mengadili hingga memutuskan perkara, persoalan yang tidak dapat diselesaikan secara damai di luar proses persidangan, diharapkan dapat diselesaikan melalui putusan hakim. Meskipun ada paradigma yang mengatakan bahwa menyelesaikan perkara melalui jalur pengadilan akan berakhir dengan kenyataan “menang jadi arang, kalah jadi abu”. Untuk lembaga peradilan agama khususnya dan bidang perdata umumnya, melalui Perma No. 1 tahun 2008 yang diharapkan adalah munculnya win-win solution, berakhir dengan jalan damai dan tidak ada pihak yang kalah ataupun yang menang,

Secara historis, (Abdul Manan 2007; 254) peradilan agama merupakan salah satu mata rantai peradilan Islam yang berkesinambungan sejak masa Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin, Khulafah Bani Umayyah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti Turki Ustmani sampai sekarang oleh Negara-negara Islam atau Negaranegara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Peradilan Islam ini mengalami pasang surut sejalan dengan perkembangan masyarakat Islam di berbagai kawasan dan Negara. Sebagai milik bangsa Indonesia khususnya yang beragama Islam, peradilan agama lahir, tumbuh dan berkembang bersama tumbuh dan berkembangnya bangsa Indonesia, kehadirannya mutlak sangat diperlukan untuk menegakkan hukum dan keadilan bersama dengan lembaga peradilan lainnya. Peradilan Agama telah memberikan andil yang cukup besar kepada bangsa Indonesia pada umumnya, khususnya bagi umat Islam yang ada di bumi Indonesia ini[3].

Hakim dalam mengkonstatir melakukan penilaian terhadap kebenaran suatu perkara yang diajukan kepadanya sehingga melalui unsur-unsur yang telah terpenuhi hakim dapat menilai bahwa perkara tersebut benar adanya. Kemudian hakim melakukan tahapan mengkualifisir, pada tahap ini peran hakim sangat dituntut untuk dapat memandang perkara tersebut secara objektif dan dapat menemukan fakta hukum dari adanya fakta kejadian yang terungkap dalam suatu proses pemeriksaan perkara. Akhirnya kinerja hakim akan terjawab pada saat mengkonstituir; karena pada saat itu hakim harus mengeluarkan produk hukum yang pas, bernilai keadilan sekaligus memiliki kepastian hukum.

Oleh karena itu putusan harus mencerminkan nilai keadilan dan kepastian hukum. Kepastian hukum juga erat kaitannya dengan hukum materil dan hukum formil termasuk dan yang tidak kalah pentingnya adalah proses pembuktian. Prof Asikin, seorang praktisi hukum yang cara berpikirnya dapat disetarakan dengan filsuf agustinus memiliki makna yang mendalam tentang keadilan dan kepastian hukum yang menjadi tujuan penyelenggaraan peradilan oleh hakim sebagai pejabat pelaksana. (Varia Peradilan, Oktober 2010; 78)

Menurutnya, hakim memiliki peran yang sangat menentukan untuk mewujudkan putusan yang memiliki nilai keadilan dan kepastian hukum. Putusan yang mencantumkan kata-kata “Demi keadilan berdasarkan ketuhanan Ynag Maha Esa”, mengisyaratakan bahwa hakim memiliki tanggung jawab berat. Hakim adalah pejabat Pimpinan persidangan[4]. Sosok “filsuf/orang bijak” yang secara normatik ditegaskan bahwa hakim dalam memutuskan perkara wajib menggali, membuktikan, menjalankan sistem struktur persidangan sesuai dengan tahapannya serta mengikuti dengan logika kronologis kejadian yang sebenarnya dan memahami nilai-nilai hukum perdata hingga Pidana dan rasa keadilan, keamanan, kenyamanan yang di harapkan selalu hidup dalam masyarakat/rakyat.

Lihat pula

Pranala luar

Referensi

  1. ^ https://www.hukumonline.com/klinik/a/perbedaan-peradilan-dengan-pengadilan-lt548d38322cdf2/
  2. ^ https://news.detik.com/berita/d-6308712/apa-tugas-dan-fungsi-mahkamah-agung-ini-penjelasannya
  3. ^ https://rasindonews.wordpress.com/2022/06/06/peran-hakim-peradilan-agama-dalam-mewujudkan-keadilan-dan-kepastian-hukum-melalui-putusan/
  4. ^ https://jagad.id/pengertian-hakim/