Achmad Soebardjo
Achmad Soebardjo | |
---|---|
Menteri Luar Negeri Indonesia ke-1 | |
Masa jabatan 2 September 1945 – 14 November 1945 | |
Presiden | Soekarno |
Pendahulu Tidak ada (jabatan baru) | |
Masa jabatan 4 Agustus 1951 – 20 Desember 1952 | |
Presiden | Soekarno |
Perdana Menteri | Sukiman Wirjosandjojo |
Informasi pribadi | |
Lahir | Karawang, Keresidenan Batavia, Hindia Belanda | 23 Maret 1896
Meninggal | 15 Desember 1978 Jakarta, Indonesia | (umur 82)
Suami/istri | Raden Ayu Poedji Astuti Soebardjo |
Almamater | Universitas Leiden |
Profesi | Diplomat |
Sunting kotak info • L • B |
Mr Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (23 Maret 1896 – 15 Desember 1978) adalah tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat, dan seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah Menteri Luar Negeri Indonesia yang pertama. Achmad Soebardjo memiliki gelar Meester in de Rechten, yang diperoleh di Universitas Leiden Belanda pada tahun 1933.
Awal mula
[sunting | sunting sumber]Achmad Soebardjo dilahirkan di Teluk Jambe, Karawang, Keresidenan Batavia, pada 23 Maret 1896. Ayahnya bernama Teuku Muhammad Yusuf,[1] masih keturunan bangsawan Aceh dari Pidie. Kakek Achmad Soebardjo dari pihak ayah adalah Ulee Balang dan ulama di wilayah Lueng Putu, sedangkan Teuku Yusuf adalah pegawai pemerintahan dengan jabatan Mantri Polisi di wilayah Teluk Jambe, Karawang. Ibu Achmad Soebardjo bernama Wardinah. Ia keturunan Jawa-Bugis,[1] dan merupakan anak dari Camat di Telukagung, Cirebon.
Ayahnya mulanya memberinya nama Teuku Abdul Manaf, sedangkan ibunya memberinya nama Achmad Soebardjo.[1] Nama Djojoadisoerjo ditambahkannya sendiri setelah dewasa, saat ia ditahan di penjara Ponorogo karena "Peristiwa 3 Juli 1946".[2]
Ia bersekolah di Hogere Burger School, Jakarta (saat ini setara dengan Sekolah Menengah Atas) pada tahun 1917. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden, Belanda dan memperoleh ijazah Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Sarjana Hukum) di bidang undang-undang pada tahun 1933.
Riwayat perjuangan
[sunting | sunting sumber]Semasa masih menjadi mahasiswa, Soebardjo aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui beberapa organisasi seperti Jong Java dan Persatuan Mahasiswa Indonesia di Belanda. Pada bulan Februari 1927, ia pun menjadi wakil Indonesia bersama dengan Mohammad Hatta dan para ahli gerakan-gerakan Indonesia pada persidangan antarbangsa "Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Penjajah" yang pertama di Brussels dan kemudiannya di Jerman. Pada persidangan pertama itu juga ada Jawaharlal Nehru dan pemimpin-pemimpin nasionalis yang terkenal dari Asia dan Afrika.[3] Sewaktu kembalinya ke Indonesia, ia aktif menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan kemudian Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Peristiwa Rengasdengklok
[sunting | sunting sumber]Pada tanggal 16 Agustus 1945 Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana, Shudanco Singgih, dan pemuda lain, membawa Soekarno dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang.[4] Peristiwa ini dinamakan Peristiwa Rengasdengklok.
Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.[5] Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Achmad Soebardjo melakukan perundingan. Achmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta.[6] Maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Achmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Achmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru memproklamasikan kemerdekaan.[7] Bahkan Achmad Soebardjo memberikan jaminan dengan taruhan nyawa bahwa proklamasi kemerdekaan akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945 selambat-lambatnya pukul 11.30. Dengan adanya jaminan itu, Komandan Kompi Peta Rengasdengklok Cudanco Subeno bersedia melepaskan Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta.
Naskah proklamasi
[sunting | sunting sumber]Konsep naskah proklamasi disusun oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Soebardjo di rumah Laksamana Muda Maeda.[8] Setelah selesai dan beragumentasi dengan para pemuda, dinihari 17 Agustus 1945, Bung Karno pun segera memerintahkan Sayuti Melik untuk mengetik naskah proklamasi.
Masa setelah kemerdekaan
[sunting | sunting sumber]Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soebardjo dilantik sebagai Menteri Luar Negeri pada Kabinet Presidensial, kabinet Indonesia yang pertama, dan kembali menjabat menjadi Menteri Luar Negeri sekali lagi pada tahun 1951 - 1952. Selain itu, ia juga menjadi Duta Besar Republik Indonesia di Switzerland antara tahun-tahun 1957 - 1961.
Dalam bidang pendidikan, Soebardjo merupakan profesor dalam bidang Sejarah Perlembagaan dan Diplomasi Republik Indonesia di Fakultas Kesusasteraan, Universitas Indonesia.
Wafat
[sunting | sunting sumber]Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo meninggal dunia dalam usia 82 tahun (15 Desember 1978) di Rumah Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, akibat flu yang menimbulkan komplikasi. Ia dimakamkan di rumah peristirahatnya di Cipayung, Bogor.[2] Pemerintah mengangkat almarhum sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2009.[9]
Tanda Kehormatan
[sunting | sunting sumber]- Indonesia :
- Bintang Republik Indonesia Utama (12 Agustus 1992)[10]
- Bintang Mahaputera Adipradana (19 Mei 1973)[11]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c Bersama Bung Hatta Diarsipkan 2016-03-04 di Wayback Machine., Copyright 2011 TEMPOinteraktif, 26 April 1975. Diakses 7 Februari 2011.
- ^ a b Ahmad Subardjo (1896-1978) Diarsipkan 2015-12-22 di Wayback Machine., Copyright 2011 TEMPOinteraktif, 23 Desember 1978. Diakses 7 Februari 2011.
- ^ "Gerakan Nasionalis". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-10-21. Diakses tanggal 2009-11-10.
- ^ "peristiwa rengasdengklok".
- ^ ibid
- ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-02-09. Diakses tanggal 2011-11-30.
- ^ "Peran Achmad Subardjo dan Rengasdengklok".
- ^ Media, Kompas Cyber (2022-01-26). "Peran Achmad Soebardjo dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-07-20.
- ^ Yudi, Jandi, John Lie Mendapat Gelar Pahlawan Nasional Diarsipkan 2011-08-18 di Wayback Machine., Sinergi, edisi November 2009, dalam Situs Perhimpunan INTI, Senin, 09 November 2009 18:14. Diakses 2 Februari 2011.
- ^ "Daftar WNI yang Menerima Tanda Kehormatan Republik Indonesia Tahun 1959–sekarang" (PDF). Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia. 7 Januari 2020. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-07-29. Diakses tanggal 12 Agustus 2021.
- ^ Daftar WNI yang Mendapat Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera tahun 1959 s.d. 2003 (PDF). Diakses tanggal 4 Oktober 2021.
Jabatan politik | ||
---|---|---|
Posisi baru | Menteri Luar Negeri Indonesia 1945 |
Diteruskan oleh: Sutan Sjahrir |
Didahului oleh: Mohammad Roem |
Menteri Luar Negeri Indonesia 1951–1952 |
Diteruskan oleh: Wilopo |
Jabatan diplomatik | ||
Didahului oleh: Alfian Yusuf Helmi |
Duta Besar Indonesia untuk Swiss 1957–1961 |
Diteruskan oleh: Mohammad Nazir |
- Kelahiran 1896
- Kematian 1978
- Meninggal usia 82
- Pahlawan nasional Indonesia
- Anggota BPUPKI
- PPKI
- BPUPKI
- Alumni Universitas Leiden
- Tokoh Jawa
- Tokoh Aceh
- Bangsawan Aceh
- Tokoh Jawa Barat
- Tokoh dari Karawang
- Politikus Indonesia
- Duta Besar Indonesia untuk Swiss
- Menteri Kabinet Presidensial
- Menteri Luar Negeri Indonesia
- Tokoh Orde Lama
- Penerima Bintang Republik Indonesia Utama
- Penerima Bintang Mahaputera Adipradana