Lompat ke isi

Keresidenan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 5 Agustus 2020 04.13 oleh Igho (bicara | kontrib)

Keresidenan (ejaan lama: karesidenan) adalah sebuah daerah administratif yang dikepalai oleh residen.[1] Menurut sejarah, pembagian administratif jenis keresidenan hanya pernah digunakan di India Britania dan kemaharajaannya, dan Hindia Belanda serta Indonesia dengan Britania sebagai pencetusnya.

Semenjak krisis pada tahun 1950-an, sudah tidak ada keresidenan lagi dan yang muncul faktor kekuasaannya adalah kabupaten. Keresidenan kemudian dikenal dengan istilah "Pembantu Gubernur". Istilah ini sudah tidak digunakan lagi, tapi sebutan "eks-keresidenan" masih dipakai secara informal. Setelah itu, muncul nomenklatur baru yaitu Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) yang berada di bawah pemerintahan provinsi. Kepala Bakorwil tidak memiliki kewenangan otomom dan administatif karena hanya bertugas mengoordinasikan hal-hal tertentu kepada wali kota atau bupati. Cakupan Bakorwil tidak sama dengan karesidenan. Semisal Jawa Tengah, eks karesidenan Kedu, Banyumas, dan Pekalongan masuk dalam satu Bakorwil.

Sebuah sisa pemakaian keresidenan adalah tanda kendaraan bermotor (pelat nomor). Pembagiannya, terutama di pulau Jawa masih banyak berdasarkan karesidenan.

Sejarah

India dan kemaharajaannya

Kantor Pusat Keresidenan Teluk Persia di Bushehr pada 1902.

Keresidenan dalam sejarah pertama kali digunakan oleh Imperium Britania di India Britania. Pada masa ini, keresidenan adalah sebuah distrik yang menjadi bagian administratif suatu negara atau wilayah. Awalnya, keresidenan didirikan dengan tujuan perdagangan, tetapi pada abad ke-19 berubah menjadi politik secara keseluruhan. Setiap keresidenan dikepalai oleh seorang residen. Setiap residen melaporkan pekerjaannya ke Perusahaan Hindia Timur (hingga 1858), Pemerintah India (sejak 1858), atau salah satu pemerintah provinsi bawahannya. Sistrem keresidenan politik Britania tumbuh hingga 1880-an, ketika sistem ini meliputi 45% Asia Selatan dan Burma, 35% Asia Barat Daya, dan bahkan sebagian kecil Afrika Timur.[2]

Keresidenan yang menjadi bagian dari Kemaharajaan Britania pun terdapat di kawasan Timur Tengah yang dikuasai oleh Britania, yaitu Keresidenan Teluk Persia—keresidenan terbesar dan terstrategis India—yang meliputi Negara-Negara Gencatan Senjata, bagian selatan Persia, Bahrain, Kuwait, Oman, dan Qatar.[3] Pusat keresidenan ini berada di Pulau Qeshm, lalu dipindahkan ke Bushehr pada 1822, kemudian dipindahkan lagi ke Bahrain pada 1946.[4][5] Terdapat pula Keresidenan Aden (hingga Afrika Timur) yang berubah menjadi Protektorat Aden pada 1890-an, Keresidenan Arab Turki yang berpusat di Bagdad, dan Keresidenan Basra. Terdapat pula Keresidenan Nepal yang beribu kota di Kathmandu.[2]

Hindia Belanda dan Indonesia

Raffles memecah Jawa menjadi 16 keresidenan dengan tujuan untuk mengurangi kekuasaan para raja dan sultan.[6]

Hindia Belanda dikuasai Britania Raya pada 1811 dengan menempatkan Letjen Thomas Stamford Raffles. Ia memerintah bekas jajahan Belanda ini dengan membagi-bagi Pulau Jawa menjadi beberapa keresidenan (residency dalam bahasa Inggris). Keresidenan-keresidenan ini dikepalai oleh para residen bangsa Eropa. Residen-residen ini membawahi para bupati bangsa pribumi yang mengepalai wilayah kabupaten. Residen pun diberi wewenang untuk menjalankan tugas-tugas dalam bidang administrasi, pemerintahan, fiskal, peradilan, dan kepolisian. Dalam bidang peradilan, perkara besar akan dibawa ke tingkat keresidenan, sedangkan perkara kecil akan dibawa ke tingkat kabupaten.[7]

Pada 1816, Hindia Belanda diserahkan kembali ke tangan Belanda sesuai dengan Konvensi London 1814. Pada zaman ini, diadakan kembali pembentukan keresidenan (residentie dalam bahasa Belanda) dan kabupaten secara resmi, tepatnya saat van der Capellen memerintah. Menurut Peraturan Komisaris Jenderal No, 3 tanggal 9 Januari 1819 yang dimuat dalam Staatsblad No. 16 tahun 1819, dibentuklah dua puluh keresidenan di Pulau Jawa: Banten, Jakarta, Bogor, Priangan, Krawang, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Jepara dan Juana, Surabaya, Pasuruan, Besuki, Banyuwangi, Madura dan Sumenep, Rembang, dan Gresik.[8]

Pada zaman penjajahan Belanda, seorang residen menjadi penguasa penjajahan tertinggi sekaligus mewakili Gubernur Jenderal Hindia Belanda di wilayah kekuasaannya. Residen pun menjadi wakil dan lambang Pemerintah Hindia Belanda di keresidenannya dengan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif di tangannya. Dengan itu, kekuasaannya mutlak dan tak terbatas.[9]

Sejarah keresidenan terus berlanjut hingga pendudukan Jepang. Pada zaman tersebut pemerintahan provinsi ditiadakan sehingga keresidenan (syu dalam bahasa Jepang) menjadi bagian administratif tertinggi di Hindia Belanda Jepang.[10][11] Setelah kemerdekaan, pembagian adminsitratif keresidenan masih diwariskan. Keresidenan memiliki Dewan Perwakilan Rakyatnya sendiri. Hak otonomi keresidenan dicabut pada 1948; keresidenan tetap menjadi bagian administratif.[12] Pada Undang-Undang pembentukan provinsi yang dibuat pada 1950, keresidenan-keresidenan yang bergabung membentuk provinsi dihapuskan, seperti penghapusan Pemerintahan Daerah Keresidenan Banten, Jakarta, Bogor, Priangan, dan Cirebon serta pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah keresidenan-keresidenan tersebut dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Djawa Barat.[13]

Kediaman residen Kalimantan Barat di Pontianak
Kediaman residen Banyumas di Banyumas
Kediaman residen Lampung di Teluk Betung

Daftar Keresidenan di Hindia Belanda

Rujukan

  1. ^ "Keresidenan". KBBI Daring. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses tanggal 18 Januari 2019. 
  2. ^ a b Onley, James (2007). The Arabian Frontier of the British Raj: Merchants, Rulers, and the British in the Nineteenth-Century Gulf (dalam bahasa Inggris). New York: Oxford University Press, Inc. ISBN 978-0-19-922810-2. 
  3. ^ "Records of the British Residency and Agencies in the Persian Gulf". The National Archives (dalam bahasa Inggris). Pemerintah Britania Raya. Diakses tanggal 18 Januari 2019. 
  4. ^ Allday, Louis. "The British in the Gulf: an Overview". Qatar Digital Library (dalam bahasa Inggris). Perpustakaan Nasional Qatar. Diakses tanggal 18 Januari 2019. 
  5. ^ Miller, Isabel (2005). Lea, David; Rowe, Annamarie, ed. A Political Chronology of the Middle East (dalam bahasa Inggris). London: Europa Publications Limited. hlm. 19. ISBN 0-203-40305-3. 
  6. ^ Soeparmo, Yanti (2009). Hidayatullah, M. Irfan, ed. Runtuhnya Menara Azan: Jalinan Cinta dan Misteri di Tengah Pemberontakan Muslim Cilegon 1888. Bandung: PT Mizan Pustaka. hlm. 67. ISBN 978-602-8236-20-1. 
  7. ^ Nurcholis, Hanif. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Grasindo. hlm. 132. ISBN 9797597121. 
  8. ^ Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah (1978). Sejarah Daerah Jawa Timur. Direktorat Jenderal Kebudayaan. hlm. 133. 
  9. ^ Agung, Ide Anak Agung Gde (1993). Koesoemanto, H.J.; Anggraini, Th. Enny, ed. Kenangan Masa Lampau: Zaman Kolonial Hindia Belanda dan Zaman Pendudukan Jepang di Bali. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm. 73. ISBN 979-461-156-5. 
  10. ^ Setiawan, Irfan (2014). Rekonstruksi Birokrasi Pemerintahan Daerah. Institut Pemerintahan Dalam Negeri. hlm. 166. 
  11. ^ Nurcholish, Hanif (2005). Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Gramedia Widiasarana Indonesia. hlm. 53. ISBN 9797590283. 
  12. ^ Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri (PDF). Yogyakarta: Badan Pekerja Komite Nasional Pusat. 1948. hlm. 9, 11,1 dan 30. 
  13. ^ Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Djawa Barat (PDF). Yogyakarta: Badan Pekerdja Komite Nasional Pusat. 1950. hlm. 1. 

Pustaka