Shafiyyah binti Abdul Muthalib
Shafiyyah binti Abdul Muthalib | |
---|---|
Lahir | Shafiyyah binti Abdul Muthalib Makkah, Jazirah Arab (Sekarang Saudi Arabia) |
Meninggal | 20 H Madinah |
Makam | Pemakaman Baqi |
Dikenal atas | Sahabat Nabi |
Suami/istri | Al-Harits bin Harb Awwam bin Khuwailid |
Anak | Safi bin Harits Zubair As-Saib Abdul Ka'bah |
Orang tua |
|
Shafiyyah binti Abdul Muthalib (bahasa Arab: صفية بنت عبدالمطلب) (sekitar tahun 569–sekitar tahun 640)[1] adalah seorang sahabat dan bibi Nabi Muhammad.
Kehidupan awal
Shafiyyah adalah putri dari Abdul Muthalib bin Hasyim dan Halah binti Wuhaib bin Abdu Manaf bin Zuhrah,[2][3] karenanya ia merupakan saudari Hamzah dan bibi dari Nabi Muhammad dan Ali.[4]
Shafiyyah pertama kali menikah dengan Harits bin Harb,[5] dan memiliki putra yang bernama Safi bin Harits.[3] Mereka kemungkinan bercerai pada 593.[6]
Suami keduanya adalah Awwam bin Khuwailid, saudara laki-laki Khadijah, yang merupakan tetangganya.[7] Shafiyyah dan Awwam memiliki tiga putra: Zubair, As-Saib dan Abdul Ka'bah.[3] Awwam meninggal saat anak-anaknya masih kecil.[8]
Masuk Islam
Ketika Allah ﷻ mengutus Nabi Muhammad ﷺ sebagai rasul, banyak kaum Quraisy yang menentang dan sedikit sekali yang menerima dakwahnya, baik dari kerabat maupun yang lainnya. Dan ketika Allah ﷻ menurunkan ayat,
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy-Syu'ara: 214).
Rasulullah ﷺ menyeru kepada semua kerabatnya yang tua, muda, laki-laki, dan wanita. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke bukit Shafa dan berseru,
“Wahai Fatimah binti Muhammad! Wahai Shafiyyah binti Abdul Muththalib! Wahai Bani Abdul Muththalib! Aku tidak mampu menolong kalian dari adzab Allah ﷻ sedikitpun, (Jika kalian menghendaki sesuatu dariku maka, red.) mintalah hartaku sesuka kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Shafiyyah kemudian masuk Islam dan berbaiat kepada Nabi Muhammad.[9] Dia kemudian hijrah ke Madinah pada 622.[3]
Pertempuran Uhud
Walaupun telah berusia lebih kurang 56 tahun, Shafiyyah tetap bersemangat untuk bergabung bersama para wanita kaum muslimin untuk membantu merawat para mujahid yang terluka dan mengambilkan air minum, dan memperbaiki panah. Perang terus bergejolak, kemenangan awalnya berada di pihak kaum muslimin berbalik menjadi kekalahan disebabkan tidak taatnya sekelompok kaum muslimin kepada perintah Rasulullah ﷺ.
Melihat kekalahan di barisan kaum muslimin, serta diserangnya Rasulullah ﷺ oleh kaum Quraisy, akhirnya Shafiyyah pun ikut terjun ke medan perang dengan bersenjatakan tombak. Ketika Nabi ﷺ melihat Shafiyyah mendekati jasad saudara kandungnya –Singa Allah-, Hamzah bin Abdul-Muththalib, yang dibunuh oleh kaum Quraisy, beliau memerintahkan kepada Zubair untuk menjauhkan ibunya dari tempat itu. Akan tetapi, dengarlah jawaban wanita mukminah yang sabar ini,
“Mengapa (aku tidak boleh melihatnya), aku telah mendengar saudaraku telah dibunuh secara sadis, dan itu di jalan Allah ﷻ…”
Subhanallah! Seakan ia ingin berkata, “Semua musibah yang terjadi, bila itu di jalan-MU ya Allah, aku rela dan ikhlas. Tak mengapa bagiku melihat jasad saudaraku yang dibelah perutnya, diambil jantungnya, hidung dan telinganya dipotong demi membela agama-Mu ya Allah, aku rela dan sabar, karena aku tahu bahwa Engkau akan menempatkannya pada sebaik-baik tempat di sisi-Mu.”
Akhirnya Rasulullah ﷺ mengizinkan Shafiyyah melihat jasad Hamzah dan menyolatinya.
Pertempuran Khandaq
Setiap kali Rasulullah ﷺ pergi berperang selalu meninggalkan para wanita, orang tua, dan anak-anak di tempat yang aman. Dan pada saat Pertempuran Khandaq, mereka dititipkan di benteng Hassan bin Tsabit yang bangunannya terletak di tempat yang tinggi dan berpagar kuat. Di sanalah Shafiyyah dan para wanita yang lain dititipkan bersama Hassan sang pemilik benteng yang ditugaskan oleh Rasulullah ﷺ untuk menjaga mereka.
Di saat kaum muslimin sibuk di Pertempuran Khandaq, kaum Yahudi dari Bani Quraizhah yang telah melanggar perjanjian dengan Rasulullah ﷺ mengutus seorang dari mereka untuk memata-matai para wanita. Apabila tidak ada laki-laki yang melindungi mereka, maka mereka akan dijadikan tawanan, dan bila hal itu terlaksana maka akan menjadi pukulan hebat terhadap kaum muslimin.
Melihat ada orang yang mengendap-endap mendekati benteng, Shafiyyah berkata kepada Hassan bin Tsabit, “Pergilah dan bunuh orang itu!” Hassan menjawab, “Wahai binti Abdul Muththalib, engkau tahu bahwa aku tidak berani melakukannya.”
Mendengar jawaban Hassan, Shafiyyah berpaling dan pergi mengambil sebuah tiang lalu keluar dari benteng. Diam-diam ia memukul kepala orang Yahudi itu dengan tiang tersebut sampai mati. Kemudian ia kembali ke benteng dan menemui Hassan bin Tsabit sambil berkata, “Penggallah kepala Yahudi itu dan buanglah ke bawah!” Namun jawaban Hassan tetap sama seperti semula, “Aku tidak berani.”
Keluarlah Shafiyyah dan memenggal sendiri kepala Yahudi itu dan melemparnya ke bawah bukit. Melihat kepala temannya menggelinding turun dari atas benteng, nyali orang-orang Yahudi menjadi ciut dan berkata, “Sekarang kami tahu bahwa orang ini (maksudnya Rasulullah ﷺ) tidak akan meninggalkan keluarganya tanpa ada yang menjaga mereka“.
Pertempuran Khaibar
Shafiyyah termasuk di antara wanita yang hadir di Pertempuran Khaibar sebagai pembantu pertempuran pada tahun 628. Dia menyaksikan duel antara putranya Zubair dan pejuang Yahudi Yasir dan dia melihat putranya menang.[6]
Dalam pembagiannya, Nabi Muhammad memberi Shafiyyah penghasilan 40 wasaq biji-bijian dan kurma dari Khaibar.[6][3]
Meninggal
Shafiyyah wafat pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab (634-644) dan dimakamkan di al-Baqi "di halaman rumah al-Mughirah bin Syu'bah di tempat wudu."[3]
Lihat pula
Catatan kaki
- ^ "Safiyyah bint Abdul Muttalib al-Qurshiyah". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-10-27. Diakses tanggal 2009-10-27.
- ^ Ibn Hisham note 97.
- ^ a b c d e f Muhammad ibn Saad. Tabaqat vol. 8. Translated by Bewley, A. (1995). The Women of Madina. London: Ta-Ha Publishers.
- ^ "Imamate: The Vicegerency of the Prophet". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-06-05. Diakses tanggal 2021-03-03.
- ^ "His Wives, Children and Relatives". Al-Islam.org. Mei 11, 2015.
- ^ a b c Muhammad ibn Ishaq, Sirat Rasul Allah. Translated by Guillaume, A. (1955). The Life of Muhammad. Oxford: Oxford University Press.
- ^ Margoliouth, D. S. (1905). Mohammed and the Rise of Islam, hal. 68. New York & London: G. P. Putnam's Sons.
- ^ Muhammad ibn Saad. Tabaqat vol. 3. Translated by Bewley, A. (2013). The Companions of Badr. London: Ta-Ha Publishers.
- ^ Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa'l-Muluk vol. 39. Translated by Landau-Tasseron, E. (1998). Biographies of the Prophet's Companions and Their Successors, hal. 199. New York: State University of New York Press.