Khilafah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 12 Februari 2023 09.10 oleh Great achievement (bicara | kontrib) (Membalikkan revisi 22931800 oleh Great achievement (bicara) الله اكبر)

Khilafah atau khilāfah (Arab: خِلَافَة, pelafalan dalam bahasa Arab: [xi'laːfah]) merupakan sebuah bentuk pemerintahan dibawah naungan kekuasaan yang lebih besar bercorak Islam, yakni Khalifah[1][2][3] (/ˈkælɪf, ˈk-/; Arab: خَلِيفَة pelafalan dalam bahasa Arab: [xæ'liː'fæh], pelafalan). Seseorang dapat dikatakan memiliki gaya politik bercorak Islam apabila merupakan keturunan dari nabi Islam, Muhammad, dan pemimpin dari seluruh Dunia Islam (ummah).[4] Secara historis, peraturan dan hukum di Khilafah berlandaskan pada syariat Islam yang telah diterapkan kedalam kehidupan masyarakat di daerah tersebut.[5][6] Di abad pertengahan, terdapat tiga Kekhalifahan besar yang menjadi penerus dari Kekhalifahan sebelumnya, yakni: Kekhalifahan Rashidun (632–661 M), Kekhalifahan Umayyah (661–750 M), dan Kekhalifahan Abbasiyah (750–1258 M). Pada Khalifah keempat, Kekhalifahan Ottoman, pemimpin darinya menduduki pemerintahan kekhalifahan.

Etimologi

Sebelum adanya Islam, monarki Arab menggunakan istilah malik yang berarti "Raja" ataupun "pemimpin", ataupun kata-kata lain dalam akar rumpun bahasa Semitik.[4]

Istilah "Khilafah" sendiri, merupakan kata pinjam yang berasal dari bahasa Arab, yakni khalīfah (خَليفة,pelafalan), yang berarti "keturunan" yang seringkali disebut sebagai kependekan dari Khalīfat Rasūl Allāh ("Keturunan Rasul Tuhan"). Akan tetapi, jika mengacu pada teks-teks yang ditemukan ataupun tertulis pada masa pra-Islam, beberapa ahli berpendapat bahwa kalimat tersebut memiliki arti sebagai "orang [yang ditunjuk] oleh Tuhan".[4]

Secara umum, sebuah sistem pemerintahan bisa disebut sebagai Khilafah apabila menerapkan syariat sebagai dasar negara, serta mengikuti cara kepemimpinan Muhammad dan Khulafaur Rasyidin dalam menjalankan pemerintahan, meskipun dengan penamaan atau struktur yang berbeda.[7][8]

Kekhalifahan non-politik

Beberapa penganut Tarekat Sufi dan Gerakan Ahmadiyah[9] menganggap pihak mereka sebagai kekhalifahan. Pemimpin merekapun juga seringkali dikenal sebagai "Khalifah".

Kekhalifahan Sufi

Dalam Sufisme, Tarekat atau pemerintahan dipegang oleh seorang imam ataupun yang memiliki ilmu lebih dalam agama (khilafah ruhaniyyah). Khalifah utama menunjukkan Khalifah di suatu daerah bawahan untuk memerintah suatu Dayah (Arab: زاوية, translit. zāwiyah).[10]

Kekhalifahan Sufi hanya bertujuan untuk menjaga silsilah dalam mengajarkan Sufisme dan juga Tarekat.

Khalifatul Masih (1908–sekarang)

Berikut merupakan gambar bendera Ahmadiyah yang dirancang pada 1939, yakni dalam masa kepemimpinan Khalifah kedua

Khalifatul Masih atau seringkali disebut sebagai Kekhalifahan Ahmadiyah adalah gerakan kebangkitan Islam yang memproklamirkan diri pada tahun 1889. Gerakan ini didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian, India, yang mengaku sebagai Mesias dan Mahdi yang dijanjikan, yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam. Dia juga mengaku sebagai pengikut nabi Islam, Muhammad. Kelompok ini dikecam oleh kebanyakan Muslim.[11]

Setelah Hakeem Noor-ud-Din, selaku khalifah pertama, gelar khalifah Ahmadiyah berlanjut ke Mirza Mahmud Ahmad, yang memimpin komunitas tersebut selama lebih dari 50 tahun. Kemudian digantikan oleh Mirza Nasir Ahmad, dan selanjutnya Mirza Tahir Ahmad yang masing-masing adalah khalifah ketiga dan keempat. Khalifah saat ini adalah Mirza Masrur Ahmad, yang tinggal di London.[12][13]

Dasar hukum agamawi

Al-Qur'an

Al-Qur'an menggunakan istilah khalifa dua kali. Pertama, di Surah Al-Baqarah ayat 30 yang menyatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia sebagai khalifa-Nya di Bumi. Kedua, Surah Sad ayat 26 yang mengacu pada Daud (tokoh Al-Qur'an) sebagai khalifa Tuhan yang mengingatkannya akan keadilan.[14]


Sebagai tambahan, frasa berikut merupakan sebuah kutipan yang dikenal sebagai 'Kalimat Istikhlaf', yang seringkali digunakan untuk menentukan dasar dari hukum Khalifah:

وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ كَمَا ٱسْتَخْلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ ٱلَّذِى ٱرْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِى لَا يُشْرِكُونَ بِى شَيْـًٔا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ[catatan 1]

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (An-Nur, 55)

Pada frasa diatas, kalimat "Khulifa" (bentuk jamak dari Khalifa) telah diterjemahkan secara beragam.

Beberapa mazhab yurisprudensi dan pemikiran dalam Islam Sunni berpendapat bahwa memerintah negara dengan Syariah menurut definisi adalah memerintah melalui kekhalifahan dan menggunakan ayat-ayat berikut untuk mempertahankan pandangan mereka mereka.

dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan engkau terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.[catatan 2]

Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[catatan 3]

Struktur pemerintahan

Khalifah

Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan dan penerapan syariah. Sebab, Islam menjadikan hak pemerintahan dan kekuasaan sebagai milik umat. Untuk itulah umat mengangkat orang yang mewakili mereka dalam menjalankan pemerintahan dan menerapkan syariah yang diwajibkan oleh Allah kepada mereka.[15]

Dalilnya adalah af’âl (perbuatan) dan aqwâl (sabda) Nabi Muhammad serta Ijmak Sahabat tentang kewajiban mengangkat khalifah pengganti Nabi Muhammad setelah wafatnya. Bahkan Sahabat lebih mendahulukan pengangkatan khalifah daripada pemakaman Nabi Muhammad.[16]

Mu’âwinûn at-Tafwîdh

Mu’âwinûn at-Tafwîdh (Wuzarâ’ at-Tafwîdh) adalah para pembantu Khalifah dalam bidang pemerintahan. Mereka diangkat oleh Khalifah untuk bersama-sama memikul tanggung jawab pemerintahan dan kekuasaan. Mereka mendapat mandat untuk mengatur berbagai urusan serta melaksanakannya menurut pendapat dan ijtihad-nya sesuai dengan ketentuan syariah.[17]

Dalilnya adalah sabda Nabi Muhammad: “Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang amir (Imam/Khalifah), Allah menjadikan bagi dirinya seorang pembantu (wazîr) yang jujur dan benar. Jika ia lupa, wazir itu akan mengingatkannya, dan jika ia ingat, wazir itu akan membantunya. Jika Allah menghendaki atas amir itu selain yang demikian, Allah menjadikan baginya wazîr yang jahat/buruk. Jika ia lupa, wazir itu tidak mengingatkannya, dan jika ia ingat, wazir itu tidak membantunya.” (HR at-Tirmidzi).

Wuzarâ’ at-Tanfîdz

Wuzarâ’ at-Tanfîdz adalah para pembantu Khalifah dalam bidang administrasi. Pada masa Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin mereka disebut al-kâtib (sekretaris). Tugas mereka hanyalah tugas administrasi, bukan tugas pemerintahan, yakni membantu Khalifah dalam urusan implementasi kebijakan, pendampingan, dan penyampaian kebijakan.[18]

Di antara dalilnya adalah hadis dari Zaid bin Tsabit bahwa Nabi Muhammad telah menyuruh dia untuk mempelajari tulisan Yahudi hingga ia bisa menuliskan surat-surat Nabi (untuk kaum Yahudi), dan membacakannya ketika kaum Yahudi mengirim surat kepada beliau (HR al-Bukhari).

Wali (Gubernur)

Wali adalah orang yang diangkat oleh Khalifah sebagai penguasa (pejabat pemerintah) untuk suatu wilayah (propinsi). Dengan kata lain, wali adalah penguasa negara di tingkat propinsi.[19]

Dalilnya di antaranya adalah hadis dari Burdah, “Rasulullah saw mengutus Abu Musa dan Muadz bin Jabal ke Yaman. Masing-masing diutus untuk memimpin sebuah wilayah. Yaman dibagi menjadi dua wilayah.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Amîrul Jihâd

Departemen Peperangan atau Pertahanan (Dâirah al-Harbiyah) merupakan salah satu instansi negara. Kepalanya disebut Amîr al-Jihâd dan tidak disebut Mudîr al-Jihâd (Direktur Jihad). Hal itu karena Nabi Muhammad menamakan komandan pasukan sebagai amir.[20]

Di antara dalilnya adalah hadis riwayat Ibnu Saad dalam Ath-Thabaqât, bahwa Nabi Muhammad Bersabda, “Yang menjadi amir pasukan (Perang Mu’tah) adalah Zaid bin Haritsah. Jika ia gugur maka Ja‘far bin Abi Thalib; jika ia gugur maka Abdullah bin Rawahah; jika ia gugur maka hendaklah kaum Muslim memilih salah seorang laki-laki di antara mereka lalu mereka jadikan sebagai amir yang memimpin mereka.”

Departeman Keamanan Dalam Negeri

Departemen Keamanan Dalam Negeri adalah sebuah departemen yang dipimpin oleh kepala polisi. Tugasnya adalah menjaga keamanan di dalam Negara Islam. Namun, dalam kondisi tertentu, yakni ketika kepolisian tidak mampu, bisa ditangani oleh militer dengan izin Khalifah.[21]

Dalilnya adalah hadis dari Anas bin Malik, “Sesungguhnya Qais bin Saad di sisi Nabi saw. memiliki kedudukan sebagai kepala kepolisian, dan ia termasuk di antara para amir.” (HR al-Bukhari).

Departemen Luar Negeri

Departemen Luar Negeri adalah departemen yang mengurusi seluruh urusan luar negeri terkait hubungan Negara Khilafah dengan negara-negara asing, apapun jenis perkara dan bentuk hubungannya; baik perkara yang berkaitan dengan aspek politik dan turunannya, ataupun perkara yang berkaitan dengan aspek ekonomi maupun ekonomi. Semua perkara tersebut diurusi oleh Departemen Luar Negeri, karena semua itu merupakan kepentingan hubungan Negara Khilafah dengan negara-negara lain.[22]

Dalilnya adalah af’âl (perbuatan) Nabi Muhammad. Beliau—sebagai kepala negara—melakukan berbagai hubungan luar negeri dengan sejumlah negara dan institusi yang lain. Nabi Muhammad mengutus Utsman bin Affan untuk berunding dengan kaum Quraisy, sebagaimana beliau juga berunding langsung dengan delegasi kaum Quraisy. Beliau pun mengirim sejumlah utusan kepada para raja, sebagaimana beliau juga pernah menerima utusan dari para raja dan pemimpin negara. Beliau pernah menjalin berbagai kesepakatan dan perjanjian damai (bersifat sementara). Hal yang sama dilakukan juga oleh para khalifah setelah beliau. Mereka menjalin hubungan politik dengan sejumlah negara dan institusi yang lain. Para Khalifah bisa melakukan sendiri semua aktivitas tersebut atau mengangkat wakil untuk melakukannya. Hal ini menunjukkan perlunya ada satu jabatan yang akan mengurusi semua urusan tersebut.[23]

Departemen Perindustrian

Departemen Perindustrian adalah departemen yang mengurusi semua perindustrian, baik terkait industri berat maupun industri ringan; baik berupa pabrik-pabrik yang menjadi milik umum maupun pabrik-pabrik yang menjadi milik pribadi, yang memiliki hubungan dengan industri-industri militer (peperangan). Semua industri dengan berbagai jenisnya itu harus dibangun dengan berpijak pada politik perang.[24]

Dalilnya adalah: Pertama, al-Quran (QS. Al-Anfal [8]:60) [25] yang memerintahkan kaum Muslim untuk menyiapkan kekuatan yang membuat semua musuh merasa ketakutan. Kedua, as-Sunnah. Nabi Muhammad pernah memerintahkan pendirian industri manjaniq (senjata pelontar) dan dababah (semacam tank dari kayu). Ibnu Saad dalam Ath-Thabaqât, dari Makhul, berkata: “Sesungguhnya Nabi saw menggempur penduduk Thaif dengan manjaniq selama empat puluh hari.”

Ketiga, kaidah fikih “Mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihi fahuwa wâjib[un] (Suatu kewajiban tidak akan terlaksana dengan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka adanya sesuatu itu hukumnya wajib).” Artinya, perintah menyiapkan kekuatan itu akan terlaksana dengan sempurna jika ada industri persenjataan.[26]

Peradilan

Peradilan adalah lembaga yang bertugas menyampaikan keputusan hukum yang bersifat mengikat. Lembaga ini bertugas menyelesaikan perselisihan di antara sesama rakyat, mencegah hal-hal yang dapat membahayakan hak-hak jamaah (rakyat), dan mengatasi perselisihan yang terjadi antara rakyat dengan individu di dalam struktur pemerintahan, baik ia seorang penguasa, pegawai maupun pejabat pemerintah di bawah Khilafah.[27]

Peradilan ini bisa ditangani sendiri oleh Khalifah atau Khalifah mengangkat orang lain untuk menjalankannya. Kedua hal ini, masing-masing ada dalilnya dalam as-Sunnah [28] Bahkan terdapat Ijmak Sahabat tentang ketetapan mengangkat para qadhi (hakim). Ibnu Qudamah berkata, “Kaum Muslim (para Sahabat) telah berijmak atas pensyariatan mengangkat para qadhi (hakim).” [29]

Kemaslahatan Umum

Kemaslahatan Umum (Struktur Administrasi) adalah struktur pelaksana pemerintahan, yakni badan-badan pelaksana atas perkara-perkara yang wajib dilaksanakan di dalam sebuah pemerintahan guna memenuhi kepentingan-kepentingan masyarakat umum.[30]

Dalilnya adalah perbuatan (af’âl) Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin dalam mengatur negara. Saat itu urusan administrasi diurus dengan penuh sistematik. Untuk itu perlu ada struktur guna mempermudah pengaturan dalam melaksanakan seluruh kewajiban negara. Oleh karena itu, perlu adanya Departemen Pendidikan, Kesehatan, Pekerjaan, Perhubungan, Pertanian dan sebagainya. Semua ini kembali pada ijtihad dan kebijakan Khalifah mengenai apa dan berapa jumlah Kemaslahatan Umum (Struktur Administrasi) yang dibutuhkan untuk dapat menunaikan segala kewajiban negara dan memenuhi kepentingan (maslahat) masyarakat umum.[31]

Baitul Mal (Kas Negara)

Baitul Mal (Kas Negara) merupakan sebuah badan yang bertanggung jawab atas setiap pendapatan dan belanja negara yang menjadi hak kaum Muslim.[32] Baitul Mal berada di bawah pengawalan Khalifah secara langsung atau di bawah kawalan orang yang dilantik untuk mengurusinya. Nabi Muhammad kadang-kadang menyimpan, memungut dan membagikan sendiri harta kaum Muslim; kadang-kadang beliau mengangkat orang lain untuk menanganinya. Begitu juga dengan Khulafaur Rasyidin sesudah beliau, yang kadang-kadang mengurusi sendiri urusan Baitul Mal, dan kadang-kadang mengangkat orang lain untuk mengurusinya.

Dalil tentang Baitul Mal ini sudah cukup banyak dan masyhur di dalam hadis dan Ijmak Sahabat.[33]

Penerangan

Penerangan merupakan perkara penting bagi dakwah dan negara. Lembaga Penerangan tidak termasuk badan yang melayani kepentingan masyarakat umum, tetapi kedudukannya berhubungan langsung dengan Khalifah sebagai instansi yang mandiri. Dalil dalam hal ini adalah al-Quran (QS. An-Nisa’ [4]: 83) [34] dan as-Sunnah, di antaranya hadis penuturan Ibn Abbas mengenai pembebasan Makkah: “Sungguh, tidak ada kabar sama sekali bagi kaum Quraiys. Karena itu, tidak ada kabar kepada mereka tentang Rasulullah saw., dan mereka tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh Beliau.” (HR Hakim dalam Al-Mustadrak).

Ini menunjukkan bahwa Lembaga Penerangan yang terkait dengan keamanan negara berhubung langsung dengan Khalifah atau struktur yang didirikan untuk tujuan tersebut.[35]

Majelis Umat

Majlis Umat (Majelis Syura) adalah majelis yang terdiri dari para individu yang mewakili kaum Muslim dalam memberikan pendapat sebagai tempat merujuk bagi Khalifah dengan meminta masukan mereka dalam berbagai urusan. Majelis ini juga mewakili umat dalam melakukan muhâsabah (koreksi) terhadap Khalifah dan semua pegawai negara.

Keberadaan Majelis Umat ini diambil dari aktivitas Nabi Muhammad yang sering meminta pendapat sejumlah orang di antara kaum Muhajirin dan Anshar yang mewakili kaum masing-masing; diambil dari perbuatan (af’âl) khusus Nabi Muhammad terhadap beberapa orang tertentu di kalangan Sahabat untuk meminta pendapatnya; serta diambil dari perbuatan para Khulafaur Rasyidin yang sering meminta pendapat para ulama dan ahli fatwa di kalangan mereka.[36]

Kritik

Sarjana Mesir Ali Abdur Raziq menerbitkan bukunya 1925 Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan. Argumen buku ini telah diringkas sebagai "Islam tidak menganjurkan bentuk pemerintahan tertentu".[37] Dia memfokuskan kritiknya baik pada mereka yang menggunakan hukum agama sebagai larangan politik kontemporer dan pada sejarah penguasa yang mengklaim legitimasi oleh kekhalifahan.[38] Raziq menulis bahwa penguasa masa lalu menyebarkan gagasan pembenaran agama untuk kekhalifahan "sehingga mereka dapat menggunakan agama sebagai perisai yang melindungi takhta mereka dari serangan pemberontak".[39]

Buku ini sempat menggoncangkan dunia Islam, karena isinya yang kontroversial. Menurut penulisnya, syariat Islam tidak memberi aturan tentang negara. Pandangan ini memang dianggap sangat radikal, sehingga berbagai reaksi terhadap buku tersebut terus menggema sejak dipublikasikannya tahun 1925 sampai sekarang.[40] Tidak sedikit orang yang memuji isinya karena dianggap mengandung pemikiran-pemikiran baru. Namun, banyak juga yang mencelanya karena isinya dianggap hanyalah kumpulan kekeliruan.

Pokok-pokok pikiran Ali Abdul Raziq tentang Khilafah dikritik habis-habisan oleh Dhiyauddin al-Rais. Menurut Dhiyauddin, wajibnya menegakkan Khilafah merupakan ijma’ (konsensus) para sahabat dan kaum muslimin, pengakuan syara’ terhadap prinsip ijma merupakan pengakuan terhadap aspirasi ummat secara menyeluruh, seperti yang dinyatakan oleh para mujtahid, sepanjang Khilafah itu telah ditetapkan dengan prinsip ijma’, maka tidak perlu untuk membicarakannya melalui prinsip lain, sebab prinsip ijma’ itu sendiri sudah tentu berdasarkan Alquran dan hadis serta selamanya berkaitan dengan keduanya. Dengan demikian, menurut Dhiyauddin bahwa Ali Abdul Raziq tidak memahami makna prinsip ijma’ yang telah ditetapkan para ulama Islam.[41]

Perbedaan pendapat antara Ali Abdul Raziq dan Dhiyauddin disebabkan perbedaan pandangan mereka tentang ijma’. Ali Abdul Raziq memahami bahwa umat Islam sama sekali tidak pernah mencapai konsensus dalam memilih khalifah yang mana pun dan juga pada masa kapan pun.[42] Namun Dhiyauddin memandang ijma’ yang dimaksud adalah kesepakatan para sahabat dan kaum muslimin terhadap wajibnya menegakkan kekhilafahan.[43] Dengan demikian, ijma’nya berhubungan dengan kekhilafahan, bukan atas siapa orang yang akan dipilih.

Catatan

  1. ^ Alih aksara: Wa'adallāhullażīna āmanụ minkum wa 'amiluṣ-ṣāliḥāti layastakhlifannahum fil-arḍi kamastakhlafallażīna ming qablihim wa layumakkinanna lahum dīnahumullażirtaḍā lahum wa layubaddilannahum mim ba'di khaufihim amnā, ya'budụnanī lā yusyrikụna bī syai`ā, wa mang kafara ba'da żālika fa ulā`ika humul-fāsiqụn
  2. ^ Diterjemahkan dari kutipan dalam Al-Quran:

    وَاَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ اَنْ يَّفْتِنُوْكَ عَنْۢ بَعْضِ مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ اِلَيْكَۗ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ اَنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ اَنْ يُّصِيْبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوْبِهِمْ ۗوَاِنَّ كَثِيْرًا مِّنَ النَّاسِ لَفٰسِقُوْنَ

  3. ^ Diterjemahkan dari kutipan dalam Al-Quran:

    يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا

Referensi

  1. ^ Hassan, Mona. “Conceptualizing the Caliphate, 632–1517 CE.” Longing for the Lost Caliphate: A Transregional History, Princeton University Press, 2016, h. 98–141, http://www.jstor.org/stable/j.ctt1q1xrgm.9 Diarsipkan 17 January 2023 di Wayback Machine.
  2. ^ March, Andrew F. The Caliphate of Man: Popular Sovereignty in Modern Islamic Thought. Harvard University Press, 2019. https://doi.org/10.2307/j.ctvp2n3ms Diarsipkan 17 January 2023 di Wayback Machine..
  3. ^ El-Hibri, Tayeb (2021). The Abbasid Caliphate: A History. Cambridge and New York: Cambridge University Press. hlm. 284–285. ISBN 978-1-107-18324-7. Today the term "caliphate" has come to denote in journalistic use a form of political and religious tyranny, a fanatical version of the application of Islamic law, and a general intolerence toward other faiths - another interpretation, albeit a distorted one, at the beginning of the twenty-first century. It may be useful to recall that such radical perceptions of the term float mostly in the realm of media coverage and are far removed from the actual historical reality of the achievements when a caliphate existed in the medieval period. If we take a longer view of the influence of the office of the caliphate on changes in Islamic society, it may be worth noting that most of the dramatic social and legal reforms instituted by, for instance, the Ottomans in the 19th century were only feasible because of the ability of the sultan to posture as caliph. The Gulhane Reform of 1839 which established the equality of all subjects of the empire before the law, the reforms of 1856 which eliminated social distinctions based on religion, the abolition of slavery in 1857, and the suspension of the traditional penalties of Islamic law in 1858 would all have been inconceivable without the clout that the umbrella of the caliphate afforded to the office of the reforming monarch. (Terjemahan: Saat ini istilah "kekhalifahan" telah menunjukkan dalam penggunaan jurnalistik suatu bentuk tirani politik dan agama, versi fanatik dari penerapan hukum Islam, dan intoleransi umum terhadap agama lain - interpretasi lain, meskipun terdistorsi, pada awalnya. dari abad kedua puluh satu. Mungkin berguna untuk mengingat bahwa persepsi radikal tentang istilah tersebut melayang sebagian besar di ranah liputan media dan jauh dari realitas historis sebenarnya dari pencapaian ketika kekhalifahan ada pada periode abad pertengahan. Jika kita melihat lebih jauh pengaruh kantor kekhalifahan terhadap perubahan dalam masyarakat Islam, mungkin perlu dicatat bahwa sebagian besar reformasi sosial dan hukum dramatis yang dilembagakan oleh, misalnya, Ottoman pada abad ke-19 hanya dapat dilakukan. karena kemampuan sultan untuk memposisikan diri sebagai khalifah. Reformasi Gulhane tahun 1839 yang menetapkan persamaan semua subjek kekaisaran di depan hukum, reformasi tahun 1856 yang menghilangkan perbedaan sosial berdasarkan agama, penghapusan perbudakan pada tahun 1857, dan penangguhan hukuman tradisional hukum Islam pada tahun 1858 semua tidak akan terbayangkan tanpa pengaruh yang diberikan oleh payung kekhalifahan pada jabatan monarki reformasi.) 
  4. ^ a b c Kadi, Wadad; Shahin, Aram A. (2013). "Caliph, caliphate". The Princeton Encyclopedia of Islamic Political Thought: 81–86. 
  5. ^ Al-Rasheed, Madawi; Kersten, Carool; Shterin, Marat (2012). Demystifying the Caliphate: Historical Memory and Contemporary Contexts. Oxford University Press. hlm. 3. ISBN 978-0-19-932795-9. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 Januari 2023. Diakses tanggal 30 Agustus 2017. 
  6. ^ Ringmar, Erik (2020). 4. The Muslim Caliphates. OBP collection (dalam bahasa Inggris). Open Book Publishers. hlm. 73–100. ISBN 978-1-78374-024-6. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 April 2022. Diakses tanggal 7 April 2022. 
  7. ^ "Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku dan akan ada para khalifah dan mereka banyak." Para Shahabat bertanya, "Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?" Muhammad bersabda: Penuhilah bai'at yang pertama, yang pertama saja. Berikanlah kepada mereka hak mereka karena sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang mereka urus." (HR Muslim)
  8. ^ Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 60
  9. ^ Taggart, Steve (10 Juli 2014). "Islamic Caliph condemns ISIS' act of 'Un-Islamic terror'". The London Economic. 
  10. ^ Desplat, Patrick A.; Schulz, Dorothea E. (2014). Prayer in the City: The Making of Muslim Sacred Places and Urban Life. Verlag. hlm. 82. ISBN 978-3-8394-1945-8. 
  11. ^ Esposito, John L. (2004). The Oxford Dictionary of Islam. Oxford University Press. hlm. 11. ISBN 978-0-19-975726-8. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 Januari 2023. Diakses tanggal 20 November 2019. Rejected by the majority of Muslims as heretical since it believes in ongoing prophethood after the death of Muhammad. Currently based in Pakistan, but forbidden to practice, preach, or propagate their faith as Islam or their places of worship as mosques. 
  12. ^ "Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih V". The Review of Religions. Islamic Publications. Mei 2008. ISSN 0034-6721. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 Juli 2011. Diakses tanggal 9 March 2011. 
  13. ^ Linderman, Juliet (14 Juni 2017). "The Ahmadiyya Muslim Community celebrates its new cultural outpost in Kenner". NOLA.com. Advance Local Media LLC. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 June 2018. Diakses tanggal 12 Maret 2019. 
  14. ^ Sonn, Tamara (2010). Islam: A Brief History (edisi ke-2nd). Wiley-Blackwell. hlm. 38. ISBN 978-1-4051-8094-8. 
  15. ^ An-Nabhani, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, hlm. 47; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 20
  16. ^ An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 114
  17. ^ Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 55
  18. ^ An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 115; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 64
  19. ^ An-Nabhani, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 73
  20. ^ An-Nabhani, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 86
  21. ^ An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 116; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 94
  22. ^ An-Nabhani, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 105
  23. ^ An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 116; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 105
  24. ^ Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 106
  25. ^ "Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan)." (QS. Al-Anfal [8]: 60)
  26. ^ An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 117; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 82
  27. ^ Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 109
  28. ^ An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 117
  29. ^ Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 11/373
  30. ^ Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 128
  31. ^ An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 117; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 128
  32. ^ Zallum, Al-Amwâl fi Dawlah al-Khilâfah, hlm. 15
  33. ^ An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 120; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 135
  34. ^ "Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ulil amri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu)." (QS. An-Nisa' [4]: 83)
  35. ^ An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 121; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 143
  36. ^ An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 121; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 147
  37. ^ Elizabeth Suzanne Kassab. Contemporary Arab Thought: Cultural Critique in Comparative Perspective. Columbia University Press, 2010. ISBN 9780231144896 p.40
  38. ^ Bertrand Badie, Dirk Berg-Schlosser, Leonardo Morlino (eds). International Encyclopedia of Political Science, Volume 1. SAGE, 2011. ISBN 9781412959636 p.1350.
  39. ^ Kemal H. Karpat. The Politicization of Islam: Reconstructing Identity, State, Faith, and Community in the Late Ottoman State. Studies in Middle Eastern History. Oxford University Press, 2001 ISBN 9780195136180 pp.242-243.
  40. ^ Dhiyauddin al-Rais, al-Islam wa al-Khilafah fi al-‘Ashr al-Hadits, diterjemahkan oleh Afif Muhammad dengan judul, Islam dan Khilafah, Kritik Terhadap Buku Khilafah dan Pemerintahan Dalam Islam, Ali Abdul Raziq, (Bandung: Pustaka, 1985), h. vii.
  41. ^ ibid, h. 172-173.
  42. ^ Ali Abdul Raziq, al-Islam wa Ushul al-Hukm, (Cet. III; Kairo: Syirkah Mahammiyah Mishriyah, 1344 H./1925 M), h. 35
  43. ^ Dhiyauddin al-Rais, op. cit., h. 174.

Pranala luar