Lompat ke isi

Koeksistensi damai: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k cosmetic changes
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
'''Eksistensi damai''' adalah teori yang dikembangkan dan diterapkan oleh [[Uni Soviet]] pada berbagai kesempatan sepanjang [[Perang Dingin]] dalam konteks kebijakan luar negeri [[Marxis–Leninis]] dan diadopsi oleh "[[negara sosialis]]" yang dipengaruhi [[Uni Soviet|Soviet]] sehingga mereka dapat eksis secara damai bersama blok [[kapitalisme|kapitalis]] (i.e., negara non-sosialis). Ini berbeda dengan prinsip [[kontradiksi antagonis]] bahwa [[Komunisme]] dan [[kapitalisme]] tidak akan pernah eksis secara damai. [[Uni Soviet]] menerapkan kebijakan ini terhadap dunia Barat, terutama antara negara-negara [[Amerika Serikat]] dan [[NATO]] dan negara-negara [[Pakta Warsawa]].
'''Eksistensi damai''' adalah teori yang dikembangkan dan diterapkan oleh [[Uni Soviet]] pada berbagai kesempatan sepanjang [[Perang Dingin]] dalam konteks kebijakan luar negeri [[Marxis–Leninis]] dan diadopsi oleh "[[negara sosialis]]" yang dipengaruhi [[Uni Soviet|Soviet]] sehingga mereka dapat eksis secara damai bersama blok [[kapitalisme|kapitalis]] (i.e., negara non-sosialis). Ini berbeda dengan prinsip [[kontradiksi antagonis]] bahwa [[Komunisme]] dan [[kapitalisme]] tidak akan pernah eksis secara damai. [[Uni Soviet]] menerapkan kebijakan ini terhadap dunia Barat, terutama antara negara-negara [[Amerika Serikat]] dan [[NATO]] dan negara-negara [[Pakta Warsawa]].


Perdebatan mengenai interpretasi eksistensi damai merupakan salah satu aspek utama yang menyebabkan [[perpecahan Cina-Soviet]] pada 1950-an dan 1960-an. Sepanjang tahun 1960-an dan awal 1970-an, [[Republik Rakyat Cina]] di bawah kepemimpinan pendirinya, [[Mao Zedong]], berpendapat bahwa sikap bermusuhan terhadap negara-negara kapitalis harus dipertahankan. Cina pun awalnya menolak teori eksistensi damai dan mencapnya sebagai [[revisionisme Marxis]].
Perdebatan mengenai interpretasi eksistensi damai merupakan salah satu aspek utama yang menyebabkan [[perpecahan Tiongkok-Soviet]] pada 1950-an dan 1960-an. Sepanjang tahun 1960-an dan awal 1970-an, [[Republik Rakyat Tiongkok]] di bawah kepemimpinan pendirinya, [[Mao Zedong]], berpendapat bahwa sikap bermusuhan terhadap negara-negara kapitalis harus dipertahankan. Tiongkok pun awalnya menolak teori eksistensi damai dan mencapnya sebagai [[revisionisme Marxis]].


Namun demikian, keputusan mereka untuk membangun hubungan dagang dengan Amerika Serikat pada tahun 1972 membuat Cina secara berhati-hati mengadopsi teori ini dalam hubungan antara Cina dan negara non-sosialis di [[dunia berkembang]]. Sejak saat itu sampai awal 1980-an, diiringi munculnya [[sosialisme khas Cina]], Cina terus memperluas konsep eksistensi damainya ke semua negara di dunia. [[Enver Hoxha]] juga enggan menerima konsep ini dan bermusuhan dengan Cina setelah melihat semakin eratnya hubungan Cina dengan Barat lewat [[kunjungan Nixon ke Cina 1972|kunjungan Nixon ke Cina]] tahun 1972. Hari ini, partai-partai [[Hoxhais]] masih menolak konsep eksistensi damai.
Namun demikian, keputusan mereka untuk membangun hubungan dagang dengan Amerika Serikat pada tahun 1972 membuat Tiongkok secara berhati-hati mengadopsi teori ini dalam hubungan antara Tiongkok dan negara non-sosialis di [[dunia berkembang]]. Sejak saat itu sampai awal 1980-an, diiringi munculnya [[sosialisme khas Tiongkok]], Tiongkok terus memperluas konsep eksistensi damainya ke semua negara di dunia. [[Enver Hoxha]] juga enggan menerima konsep ini dan bermusuhan dengan Tiongkok setelah melihat semakin eratnya hubungan Tiongkok dengan Barat lewat [[kunjungan Nixon ke Tiongkok 1972|kunjungan Nixon ke Tiongkok]] tahun 1972. Hari ini, partai-partai [[Hoxhais]] masih menolak konsep eksistensi damai.


Eksistensi damai, dalam praktiknya ke semua negara dan gerakan sosial yang terkait dengan komunisme versi [[Uni Soviet]], dengan cepat menjadi [[modus operandi]] bagi berbagai [[partai komunis]]. Konsep ini mengangkat semangat pihak-pihak di [[dunia maju]] untuk meninggalkan misi jangka panjang mereka berupa penggalangan dukungan [[revolusi komunis]] bersenjata dan menggantinya dengan keikutsertaan penuh di [[pemilihan umum]].
Eksistensi damai, dalam praktiknya ke semua negara dan gerakan sosial yang terkait dengan komunisme versi [[Uni Soviet]], dengan cepat menjadi [[modus operandi]] bagi berbagai [[partai komunis]]. Konsep ini mengangkat semangat pihak-pihak di [[dunia maju]] untuk meninggalkan misi jangka panjang mereka berupa penggalangan dukungan [[revolusi komunis]] bersenjata dan menggantinya dengan keikutsertaan penuh di [[pemilihan umum]].
Baris 25: Baris 25:
{{Perang Dingin}}
{{Perang Dingin}}


[[Kategori:Hubungan luar negeri Cina]]
[[Kategori:Hubungan luar negeri Tiongkok]]
[[Kategori:Teori hubungan internasional]]
[[Kategori:Teori hubungan internasional]]
[[Kategori:Sejarah Republik Rakyat Cina]]
[[Kategori:Sejarah Republik Rakyat Tiongkok]]
[[Kategori:Hubungan luar negeri Uni Soviet]]
[[Kategori:Hubungan luar negeri Uni Soviet]]
[[Kategori:Fraseologi Soviet]]
[[Kategori:Fraseologi Soviet]]

Revisi per 14 Agustus 2016 07.26

Eksistensi damai adalah teori yang dikembangkan dan diterapkan oleh Uni Soviet pada berbagai kesempatan sepanjang Perang Dingin dalam konteks kebijakan luar negeri Marxis–Leninis dan diadopsi oleh "negara sosialis" yang dipengaruhi Soviet sehingga mereka dapat eksis secara damai bersama blok kapitalis (i.e., negara non-sosialis). Ini berbeda dengan prinsip kontradiksi antagonis bahwa Komunisme dan kapitalisme tidak akan pernah eksis secara damai. Uni Soviet menerapkan kebijakan ini terhadap dunia Barat, terutama antara negara-negara Amerika Serikat dan NATO dan negara-negara Pakta Warsawa.

Perdebatan mengenai interpretasi eksistensi damai merupakan salah satu aspek utama yang menyebabkan perpecahan Tiongkok-Soviet pada 1950-an dan 1960-an. Sepanjang tahun 1960-an dan awal 1970-an, Republik Rakyat Tiongkok di bawah kepemimpinan pendirinya, Mao Zedong, berpendapat bahwa sikap bermusuhan terhadap negara-negara kapitalis harus dipertahankan. Tiongkok pun awalnya menolak teori eksistensi damai dan mencapnya sebagai revisionisme Marxis.

Namun demikian, keputusan mereka untuk membangun hubungan dagang dengan Amerika Serikat pada tahun 1972 membuat Tiongkok secara berhati-hati mengadopsi teori ini dalam hubungan antara Tiongkok dan negara non-sosialis di dunia berkembang. Sejak saat itu sampai awal 1980-an, diiringi munculnya sosialisme khas Tiongkok, Tiongkok terus memperluas konsep eksistensi damainya ke semua negara di dunia. Enver Hoxha juga enggan menerima konsep ini dan bermusuhan dengan Tiongkok setelah melihat semakin eratnya hubungan Tiongkok dengan Barat lewat kunjungan Nixon ke Tiongkok tahun 1972. Hari ini, partai-partai Hoxhais masih menolak konsep eksistensi damai.

Eksistensi damai, dalam praktiknya ke semua negara dan gerakan sosial yang terkait dengan komunisme versi Uni Soviet, dengan cepat menjadi modus operandi bagi berbagai partai komunis. Konsep ini mengangkat semangat pihak-pihak di dunia maju untuk meninggalkan misi jangka panjang mereka berupa penggalangan dukungan revolusi komunis bersenjata dan menggantinya dengan keikutsertaan penuh di pemilihan umum.

Diplomasi modern

Belakangan ini, frasa "eksistensi damai" mulai digunakan di luar konteks komunisme dan telah diadopsi di dunia diplomasi. Misalnya, dalam kotbah Natalnya tahun 2004, Paus Yohanes Paulus II mendukung adanya "eksistensi damai" di Timur Tengah.[1]

Lihat pula

Referensi

Bacaan lanjutan