Koeksistensi damai
Koeksistensi damai adalah teori yang dikembangkan dan diterapkan oleh Uni Soviet pada berbagai kesempatan sepanjang Perang Dingin dalam konteks kebijakan luar negeri Marxis–Leninis dan diadopsi oleh "negara sosialis" yang dipengaruhi Soviet sehingga mereka dapat eksis secara damai bersama blok kapitalis (i.e., negara non-sosialis). Ini berbeda dengan prinsip kontradiksi antagonis bahwa Komunisme dan kapitalisme tidak akan pernah eksis secara damai. Uni Soviet menerapkan kebijakan ini terhadap dunia Barat, terutama antara negara-negara Amerika Serikat dan NATO dan negara-negara Pakta Warsawa.
Perdebatan mengenai interpretasi koeksistensi damai merupakan salah satu aspek utama yang menyebabkan perpecahan Tiongkok-Soviet pada 1950-an dan 1960-an. Sepanjang tahun 1960-an dan awal 1970-an, Republik Rakyat Tiongkok di bawah kepemimpinan pendirinya, Mao Zedong, berpendapat bahwa sikap bermusuhan terhadap negara-negara kapitalis harus dipertahankan. Tiongkok pun awalnya menolak teori koeksistensi damai dan mencapnya sebagai revisionisme Marxis.
Walaupun demikian, pada tahun 1954, Tiongkok dan India menandatangai Perjanjian Tiongkok-India 1954 yang menggunakan frasa Lima Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai atau Perjanjian Pancasila (bahasa Inggris: Five Principles of Peaceful Coexistence, Panchsheel Agreement, Hanzi: 和平共处五项原则; Pinyin: Hépíng gòngchǔ wǔ xiàng yuánzé).
Namun demikian, keputusan mereka untuk membangun hubungan dagang dengan Amerika Serikat pada tahun 1972 membuat Tiongkok secara berhati-hati mengadopsi teori ini dalam hubungan antara Tiongkok dan negara non-sosialis di dunia berkembang. Sejak saat itu sampai awal 1980-an, diiringi munculnya sosialisme khas Tiongkok, Tiongkok terus memperluas konsep koeksistensi damainya ke semua negara di dunia. Enver Hoxha juga enggan menerima konsep ini dan bermusuhan dengan Tiongkok setelah melihat semakin eratnya hubungan Tiongkok dengan Barat lewat kunjungan Nixon ke Tiongkok tahun 1972. Hari ini, partai-partai Hoxhais masih menolak konsep koeksistensi damai.
Koeksistensi damai, dalam praktiknya ke semua negara dan gerakan sosial yang terkait dengan komunisme versi Uni Soviet, dengan cepat menjadi modus operandi bagi berbagai partai komunis. Konsep ini mengangkat semangat pihak-pihak di dunia maju untuk meninggalkan misi jangka panjang mereka berupa penggalangan dukungan revolusi komunis bersenjata dan menggantinya dengan keikutsertaan penuh di pemilihan umum.
Diplomasi modern
[sunting | sunting sumber]Belakangan ini, frasa "koeksistensi damai" mulai digunakan di luar konteks komunisme dan telah diadopsi di dunia diplomasi. Misalnya, dalam kotbah Natalnya tahun 2004, Paus Yohanes Paulus II mendukung adanya "koeksistensi damai" di Timur Tengah.[1]
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]Bacaan lanjutan
[sunting | sunting sumber]- Ankerl, Guy (2000). Global communication without universal civilization. INU societal research. Vol.1: Coexisting contemporary civilizations : Arabo-Muslim, Bharati, Chinese, and Western. Geneva: INU Press. ISBN 2-88155-004-5.
- Erickson, Richard J. (January–February 1973). "Development of the Strategy of Peaceful Coexisting During the Khrushchev Era". Air University Review. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-01-13. Diakses tanggal 2015-04-05.
- Kulski, Wladyslaw W. (1959). Peaceful Coexistence: An Analysis of Soviet Foreign Policy. Chicago: Henry Regnery Company.
- Sakharov, Andrei (1968). Progress, Coëxistence, and Intellectual Freedom. Trans. by [staff of] The New York Times; with introd., afterword, and notes by Harrison E. Salisbury. New York: W.W. Norton & Co. 158 p.