Koeksistensi damai: Perbedaan antara revisi
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Menolak perubahan teks terakhir (oleh 114.142.171.18) dan mengembalikan revisi 11822767 oleh AABot |
||
Baris 1: | Baris 1: | ||
'''Eksistensi |
'''Eksistensi damai''' adalah teori yang dikembangkan dan diterapkan oleh [[Uni Soviet]] pada berbagai kesempatan sepanjang [[Perang Dingin]] dalam konteks kebijakan luar negeri [[Marxis–Leninis]] dan diadopsi oleh "[[negara sosialis]]" yang dipengaruhi [[Uni Soviet|Soviet]] sehingga mereka dapat eksis secara damai bersama blok [[kapitalisme|kapitalis]] (i.e., negara non-sosialis). Ini berbeda dengan prinsip [[kontradiksi antagonis]] bahwa [[Komunisme]] dan [[kapitalisme]] tidak akan pernah eksis secara damai. [[Uni Soviet]] menerapkan kebijakan ini terhadap dunia Barat, terutama antara negara-negara [[Amerika Serikat]] dan [[NATO]] dan negara-negara [[Pakta Warsawa]]. |
||
Perdebatan mengenai interpretasi eksistensi damai merupakan salah satu aspek utama yang menyebabkan [[perpecahan Tiongkok-Soviet]] pada 1950-an dan 1960-an. Sepanjang tahun 1960-an dan awal 1970-an, [[Republik Rakyat Tiongkok]] di bawah kepemimpinan pendirinya, [[Mao Zedong]], berpendapat bahwa sikap bermusuhan terhadap negara-negara kapitalis harus dipertahankan. Tiongkok pun awalnya menolak teori eksistensi damai dan mencapnya sebagai [[revisionisme Marxis]]. |
Perdebatan mengenai interpretasi eksistensi damai merupakan salah satu aspek utama yang menyebabkan [[perpecahan Tiongkok-Soviet]] pada 1950-an dan 1960-an. Sepanjang tahun 1960-an dan awal 1970-an, [[Republik Rakyat Tiongkok]] di bawah kepemimpinan pendirinya, [[Mao Zedong]], berpendapat bahwa sikap bermusuhan terhadap negara-negara kapitalis harus dipertahankan. Tiongkok pun awalnya menolak teori eksistensi damai dan mencapnya sebagai [[revisionisme Marxis]]. |
Revisi per 25 November 2019 13.26
Eksistensi damai adalah teori yang dikembangkan dan diterapkan oleh Uni Soviet pada berbagai kesempatan sepanjang Perang Dingin dalam konteks kebijakan luar negeri Marxis–Leninis dan diadopsi oleh "negara sosialis" yang dipengaruhi Soviet sehingga mereka dapat eksis secara damai bersama blok kapitalis (i.e., negara non-sosialis). Ini berbeda dengan prinsip kontradiksi antagonis bahwa Komunisme dan kapitalisme tidak akan pernah eksis secara damai. Uni Soviet menerapkan kebijakan ini terhadap dunia Barat, terutama antara negara-negara Amerika Serikat dan NATO dan negara-negara Pakta Warsawa.
Perdebatan mengenai interpretasi eksistensi damai merupakan salah satu aspek utama yang menyebabkan perpecahan Tiongkok-Soviet pada 1950-an dan 1960-an. Sepanjang tahun 1960-an dan awal 1970-an, Republik Rakyat Tiongkok di bawah kepemimpinan pendirinya, Mao Zedong, berpendapat bahwa sikap bermusuhan terhadap negara-negara kapitalis harus dipertahankan. Tiongkok pun awalnya menolak teori eksistensi damai dan mencapnya sebagai revisionisme Marxis.
Namun demikian, keputusan mereka untuk membangun hubungan dagang dengan Amerika Serikat pada tahun 1972 membuat Tiongkok secara berhati-hati mengadopsi teori ini dalam hubungan antara Tiongkok dan negara non-sosialis di dunia berkembang. Sejak saat itu sampai awal 1980-an, diiringi munculnya sosialisme khas Tiongkok, Tiongkok terus memperluas konsep eksistensi damainya ke semua negara di dunia. Enver Hoxha juga enggan menerima konsep ini dan bermusuhan dengan Tiongkok setelah melihat semakin eratnya hubungan Tiongkok dengan Barat lewat kunjungan Nixon ke Tiongkok tahun 1972. Hari ini, partai-partai Hoxhais masih menolak konsep eksistensi damai.
Eksistensi damai, dalam praktiknya ke semua negara dan gerakan sosial yang terkait dengan komunisme versi Uni Soviet, dengan cepat menjadi modus operandi bagi berbagai partai komunis. Konsep ini mengangkat semangat pihak-pihak di dunia maju untuk meninggalkan misi jangka panjang mereka berupa penggalangan dukungan revolusi komunis bersenjata dan menggantinya dengan keikutsertaan penuh di pemilihan umum.
Diplomasi modern
Belakangan ini, frasa "eksistensi damai" mulai digunakan di luar konteks komunisme dan telah diadopsi di dunia diplomasi. Misalnya, dalam kotbah Natalnya tahun 2004, Paus Yohanes Paulus II mendukung adanya "eksistensi damai" di Timur Tengah.[1]
Lihat pula
Referensi
Bacaan lanjutan
- Ankerl, Guy (2000). Global communication without universal civilization. INU societal research. Vol.1: Coexisting contemporary civilizations : Arabo-Muslim, Bharati, Chinese, and Western. Geneva: INU Press. ISBN 2-88155-004-5.
- Erickson, Richard J. (January–February 1973). "Development of the Strategy of Peaceful Coexisting During the Khrushchev Era". Air University Review.
- Kulski, Wladyslaw W. (1959). Peaceful Coexistence: An Analysis of Soviet Foreign Policy. Chicago: Henry Regnery Company.
- Sakharov, Andrei (1968). Progress, Coëxistence, and Intellectual Freedom. Trans. by [staff of] The New York Times; with introd., afterword, and notes by Harrison E. Salisbury. New York: W.W. Norton & Co. 158 p.