Lompat ke isi

Islam di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Islam di Indonesia merupakan mayoritas terbesar umat Muslim di dunia. Data Sensus Penduduk 2005 menunjukkan ada sekitar 85% atau 195 juta jiwa dari total 238 juta jiwa penduduk beragama Islam. Walau Islam menjadi mayoritas, tetapi Indonesia bukanlah negara yang berasaskan Islam. Bahkan, Islam hampir tidak pernah masuk dalam PERGUB dan ranah politik.

Sejarah awal

Penyebaran Islam menurut sejumlah catatan

Peta persebaran Islam di Indonesia

Menurut Thomas Walker Arnold, sulit untuk menentukan bilakah masa tepatnya Islam masuk ke Indonesia. Hanya saja, sejak abad ke-2 Sebelum Masehi orang-orang Ceylon telah berdagang dan masuk abad ke-7 Masehi, orang Ceylon mengalami kemajuan pesat dalam hal perdagangan dengan orang Cina. Hinggalah, pada pertengahan abad ke-8 orang Arab telah sampai ke Kanton.[1] Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia, di kalangan para sejarawan terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansur Suryanegara mengikhtisarkan teori masuknya Islam dalam tiga teori besar. Pertama, teori Gujarat, India. Islam dipercayai datang dari wilayah GujaratIndia melalui peran para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M. Kedua, teori Makkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M. Ketiga, teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M. Mereka berargumen akan fakta bahwa banyaknya ungkapan dan kata-kata Persia dalam hikayat-hikayat Melayu, Aceh, dan bahkan juga Jawa.[2] Selain itu pula, temuan Marco Polo juga menyatakan sebagai dampak interaksi orang-orang Perlak di Sumatra Utara, mereka telah mengenal Islam. Selama masa-masa ini, dinyatakan oleh Van Leur dan Schrieke, bahwa penyebaran Islam lebih terbantu lewat faktor-faktor politik alih-alih karena niaga.[3] Pandangan lain dari AH Johns dan SQ Fatimi menyebutkan penyebaran Islam bertumpu pada imam-imam Sufi yang cakap dalam soal kebatinan, dan bersedia menggunakan unsur-unsur kebudayaan pra Islam dan mengisinya kembali dengan semangat yang lebih Islami.[4]

Peta Indonesia berkisar tahun 1674-1745 oleh Katip Çelebi seorang geografer asal Turki Utsmani.

Di Pulau Sulawesi, Islam menyebar melalui hubungan Kerajaan-Kerajaan setempat dengan para Ulama dari Mekkah dan Madinah, yang sebelumnya pula sempat singgah di Hadramaut untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh pelosok Nusantara. Selain itu, pengaruh dari Ulama Minang di wilayah Selatan pulau Sulawesi turut mengantarkan Kesultanan Gowa dan Kesultanan Bone untuk memeluk agama Islam.[5] Sementara itu, pengaruh dari Kesultanan Ternate turut berperan penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Sulawesi bagian tengah dan Utara. Salah satu buktinya adalah eksistensi Kesultanan Gorontalo sebagai salah satu Kerajaan Islam paling berpengaruh di Semenanjung Utara Sulawesi hingga ke Sulawesi bagian Tengah dan Timur.[6] Selain pengaruh Kesultanan Ternate, Ulama-Ulama besar yang hijrah ke wilayah jazirah utara dan tengah Sulawesi pun turut mempercepat penyebaran agama Islam di wilayah ini. Selain itu, Kesultanan Tidore yang juga menguasai Tanah Papua, sejak abad ke-17, telah berhasil melakukan upaya penyebaran agama Islam hingga mencapai wilayah Semenanjung Onin di Kabupaten Fakfak, Papua Barat.

Kalau ahli sejarah Barat beranggapan bahwa Islam masuk di Indonesia mulai abad 13 adalah tidak benar, Abdul Malik Karim Amrullah berpendapat bahwa pada tahun 625 M sebuah naskah Tiongkok mengkabarkan bahwa menemukan kelompok bangsa Arab yang telah bermukim di pantai Barat Sumatra (Barus).[7] Pernyataan yang hampir senada dikemukakan Arnold, bahwa mungkin Islam telah masuk ke Indonesia sejak abad-abad awal Hijriah. Meskipun kepulauan Indonesia telah disebut-sebut dalam tulisan ahli-ahli bumi Arab, di dalam tarikh Cina telah disebutkan pada 674 M orang-orang Arab telah menetap di pantai barat Sumatra.[8]

Pada tahun 30 Hijriyah atau 651 M semasa pemerintahan Khilafah Islam Utsman bin Affan (644-656 M), memerintahkan mengirimkan utusannya (Muawiyah bin Abu Sufyan) ke tanah Jawa yaitu ke Jepara (pada saat itu namanya Kalingga). Hasil kunjungan duta Islam ini adalah raja Jay Sima, putra Ratu Sima dari Kalingga, masuk Islam.[9] Namun menurut Hamka sendiri, itu terjadi tahun 42 Hijriah atau 672 Masehi.[10]

Pada tahun 718 M raja Srivijaya Sri Indravarman setelah pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (717 - 720 M) (Dinasti Umayyah) pernah berkirim surat dengan Umar bin Abdul Aziz sekaligus berikut menyebut gelarnya dengan 1000 ekor gajah, berdayang inang pengasuh di istana 1000 putri, dan anak-anak raja yang bernaung di bawah payung panji. Baginda berucap terima kasih akan kiriman hadiah daripada Khalifah Bani Umayyah tersebut.[11] Dalam hal ini, Hamka mengutip pendapat SQ Fatimi yang membandingkan dengan The Forgotten Kingdom Schniger bahwa memang yang dimaksud adalah Sriwijaya tentang Muara Takus, yang dekat dengan daerah yang banyak gajahnya, yaitu Gunung Suliki. Apalagi dalam rangka bekas candi di sana, dibuat patung gajah yang agaknya bernilai di aana. Tahun surat itu disebutkan Fatemi bahwa ia bertarikh 718 Masehi atau 75 Hijriah. Dari situ, Hamka menepatkan bahwa Islam telah datang ke Indonesia sejak abad pertama Hijriah.[12]

Selain itu, fakta yang juga tak bisa diabaikan adalah bahwa adanya kitab Izh-harul Haqq fi Silsilah Raja Ferlak yang ditulis Abu Ishaq al-Makrani al-Fasi yang berasal dari daerah Makran, Balochistan menyebut bahwa Kerajaan Perlak didirikan pada 225 H/847 M diperintah berturut-turut oleh delapan sultan.[13]

Bukti lain memperlihatkan telah munculnya Islam pada masa awal dengan bukti Tarikh Nisan Fatimah binti Maimun (1082M) di Gresik.[14]

Umat Islam Indonesia tengah membaca Al Quran setelah menunaikan salat di Masjid Istiqlal, Jakarta. Indonesia memiliki jumlah umat Islam terbesar di dunia

Untuk menjelaskan bagaimana metode penyebaran Islam di Indonesia, Arnold mengutip catatan yang dikutip dari C. Semper bahwa para pedagang Muslim menggunakan bahasa dan adat istiadat orang tempatan. Setelah mengadakan pernikahan dengan orang setempat, pembebasan budak, maka ia mengadakan perserikatan dan tak lupa tetap memelihara hubungan persahabatan dengan golongan aristokrat yang juga telah mendukung kebebasannya.[8] Para pedagang ini, tidaklah datang sebagai penyerang, tidak pula memakai pedang, ataupun memakai kelas atas guna menekan kawula-kawula rakyat. Namun dakwah dilakukan dengan kecerdasan, dan harta perdagangan yang mereka punya lebih mereka utamakan untuk modal dakwah.[8]

Selama masa-masa abad pertengahan ini, pedagang-pedagang Muslim turut memberi andil dalam bertumbuhnya perdagangan dan kota-kota yang terlibat di sana. Bersamaan dengan kegiatan dagang orang Tionghoa dari Dinasti Ming, Gresik, Malaka, dan Makassar berubah dari kampung kecil menjadi kota-kota besar dengan penduduk 50 ribu jiwa. Begitupun untuk Aceh, Patani, dan Banten.[15]

Masa kolonial

Pada abad ke-17 masehi atau tahun 1601 kerajaan Hindia Belanda datang ke Nusantara untuk berdagang, tetapi pada perkembangan selanjutnya mereka menjajah daerah ini. Belanda datang ke Indonesia dengan kamar dagangnya, VOC, sejak itu hampir seluruh wilayah Nusantara dikuasainya kecuali Aceh. Saat itu antara kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara belum sempat membentuk aliansi atau kerja sama. Hal ini yang menyebabkan proses penyebaran dakwah terpotong.

Anak-anak mengaji Al Quran di Jawa pada masa kolonial Hindia Belanda

Dengan sumuliayatul (kesempurnaan) Islam yang tidak ada pemisahan antara aspek-aspek kehidupan tertentu dengan yang lainnya, ini telah diterapkan oleh para ulama saat itu. Ketika penjajahan datang, para ulama mengubah pesantren menjadi markas perjuangan, para santri (peserta didik pesantren) menjadi jundullah (pasukan Allah) yang siap melawan penjajah, sedangkan ulamanya menjadi panglima perang. Potensi-potensi tumbuh dan berkembang pada abad ke-13 menjadi kekuatan perlawanan terhadap penjajah. Ini dapat dibuktikan dengan adanya hikayat-hikayat pada masa kerajaan Islam yang syair-syairnya berisi seruan perjuangan. Para ulama menggelorakan jihad melawan penjajah Belanda.

Di akhir abad ke-19, muncul ideologi pembaruan Islam yang diserukan oleh Jamal-al-Din Afghani dan Muhammad Abduh. Ulama-ulama Minangkabau yang belajar di Kairo, Mesir banyak berperan dalam menyebarkan ide-ide tersebut, di antara mereka ialah Muhammad Djamil Djambek dan Abdul Karim Amrullah. Pembaruan Islam yang tumbuh begitu pesat didukung dengan berdirinya sekolah-sekolah pembaruan seperti Adabiah (1909), Diniyah Putri (1911), dan Sumatra Thawalib (1915). Pada tahun 1906, Tahir bin Jalaluddin menerbitkan koran pembaruan al-Iman di Singapura dan lima tahun kemudian, di Padang terbit koran dwi-mingguan al-Munir.[16].

Demografi

Sebagian besar ummat Islam di Indonesia berada di wilayah Indonesia bagian Barat, seperti di pulau Sumatra, Jawa, Madura dan Kalimantan. Sedangkan untuk wilayah Timur, penduduk Muslim banyak yang menetap di wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku Utara dan enklave tertentu di Indonesia Timur seperti Kabupaten Alor, Fakfak, Haruku, Banda, Tual dan lain-lain.

Selain itu, program transmigrasi dari Jawa dan Madura yang secara besar-besaran dilakukan pada masa pemerintahan Suharto selama tiga dekade ke wilayah Timur Indonesia telah menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk Muslim disana.

Arsitektur

Islam sangat banyak berpengaruh terhadap arsitektur bangunan di Indonesia. Rumah Betawi salah satunya, adalah bentuk arsitektur bangunan yang banyak dipengaruhi oleh corak Islam. Pada salah satu forum tanya jawab di situs Era Muslim[17], disebutkan bahwa Rumah Betawi yang memiliki teras lebar, dan ada bale-bale untuk tempat berkumpul, adalah salah satu ciri arsitektur peradaban Islam di Indonesia.

Masjid

Masjid Raya Medan al Ma'shun, adalah salah satu ciri bangunan berarsitektur Islam yang ada di Indonesia

Masjid adalah tempat ibadah Muslim yang dapat dijumpai diberbagai tempat di Indonesia. Menurut data Lembaga Ta'mir Masjid Indonesia, saat ini terdapat 125 ribu masjid yang dikelola oleh lembaga tersebut, sedangkan jumlah secara keseluruhan berdasarkan data Departemen Agama tahun 2004, jumlah masjid di Indonesia sebanyak 643.834 buah, jumlah ini meningkat dari data tahun 1977 yang sebanyak 392.044 buah. Diperkirakan, jumlah masjid dan mushala di Indonesia saat ini antara 600-800 ribu buah.[18] Adapun menurut penuturan Komjen Pol Syafruddin Wakil Ketum Dewan Masjid Indonesia menyebut sesuai data tahun 2017, bahwa Indonesia memiliki sekitar 800 ribu masjid. Dalam pada itu, pengelolaan masjid di Indonesia berbeda dengan masjid di negara lain. Pemerintah tak secara langsung membangun dan mengelola masjid, tetapi lewat swadaya masyarakat, begitu juga dalam hal pengelolaannya.[19]

Pendidikan

Pesantren adalah salah satu sistem pendidikan Islam yang ada di Indonesia dengan ciri yang khas dan unik, juga dianggap sebagai sistem pendidikan paling tua di Indonesia.[20] Di Indonesia, Kementerian Agama merupakan pemangku tanggung jawab pendidikan agama dan pendidikan keagamaan menyiapkan rencana strategis yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Agama Nomor 39 tahun 2015. Hal-hal yang ada di sana kemudian dituangkan dalam rumusan tugas dan fungsi Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag sesuai Peraturan Menteri Agama Nomor 42 tahun 2016. Lingkup layanan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren meliputi jalur pendidikan formal, yang mencakup pendidikan diniyah formal, satuan pendidikan muadalah, dan ma'had 'ali. Pendidikan diniyah non formal mencakup madrasah diniyah takmiliyah, pendidikan al-Quran, dan program pendidikan kesetaraan serta pondok pesantren sebagai penyelenggara maupun satuan pendidikan.[21] Selain itu, dalam pendidikan Islam di Indonesia juga dikenal adanya Madrasah Ibtidaiyah (dasar), Madrasah Tsanawiyah (lanjutan), dan Madrasah Aliyah (menengah). Untuk tingkat universitas Islam di Indonesia juga kian maju seiring dengan perkembangan zaman, hal ini dapat dilihat dari terus beragamnya universitas Islam. Hampir disetiap provinsi di Indonesia dapat dijumpai Institut Agama Islam Negeri serta beberapa universitas Islam lainnya seperti Universitas Islam Negeri (UIN) dengan nama yang berbeda-beda berdasarkan nama tokoh penyiaran Islam masa lampau semisal di Makassar dengan nama Universitas Islam Negeri Sultan Alauddin disingkat (UINAM).

Berdasar pada data dari Direktorat Jenderal Pendidikan Islam pada awal 2018, dari 326.327 lembaga pendidikan Islam yang dinaungi, 76,1% atau 248.290 lembaga merupakan pendidikan diniyah dan pondok pesantren. Terbagi lagi menjadi 28.194 pondok pesantren, 84.966 madrasah diniyah takmiliyah, serta pendidikan al-Quran sebanyak 135.130. Selebihnya 23,9% lembaga pendidikan Islam lainnya terbagi jadi raudhatul athfal (27.999), madrasah ibtidaiyah (24.560), madrasah tsanawiyah (16.934), madrasah aliyah (7.843) dan perguruan tinggi agama (756). Itu belumlah mencakup sejumlah lembaga pendidikan yang berupa program pendidikan kesetaraan pada pondok pesantren (1.508), pendidikan diniyah formal (59), pendidikan muadalah (80), dan ma'had 'aliy (29).[21]

Kemudian berbicara mengenai statistik lainnya, dari total 2.378.566 tenaga pendidik, 63% atau 1.4999.859 mengajar di pendidikan diniyah dan pondok pesantren. Para pengajar ini bertanggung jawab pada 18.196.034 siswa atau 64,2% dari semua peserta didik pendidikan Islam (28.324.088 orang).[21]

Politik

Dengan mayoritas berpenduduk Muslim, politik di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh dan peranan umat Islam. Kebangunan akan kesedaran berpolitik ini diawali kalangan kaum haji yang membawa kabar-kabar akan serangan Prancis terhadap Maroko, umat Islam Libya diserang, dan gerakan nasionalis Mesir melawan imperialis Inggris. Ini juga membentuk perasaan setia kawan sesama kaum Muslimin, dan membangkitkan ketidaksukan terhadap kolonialisme dan imperialisme Eropa.[22] Walau demikian, Indonesia bukanlah negara yang berasaskan Islam, tetapi ada beberapa daerah yang diberikan keistimewaan untuk menerapkan syariat Islam, seperti Aceh.

Seiring dengan reformasi 1998, di Indonesia jumlah partai politik Islam kian bertambah. Pada Pemilu 1999, 17 partai Islam—yaitu 12 partai Islam dan 5 partai lain berazaskan Islam dan Pancasila—ikut berlaga dalam pemilihan tersebut. Kesiapan mereka dalam hal administrasi—terkecuali PPP yang memang sudah tua—mengagumkan mengingat mereka dapat mengikuti segala syarat pemilu yang cukup ketat, serupa bahwa setiap partai harus punya cabang sekurangnya di 14 provinsi. Namun demikian, seluruh partai Islam itu kalah jauh dari PDI yang meraup sekitar 34% suara.[23] Dalam Pemilu tersebut, PPP meraih 11.329.905 suara (10,7 persen) dan bercokol pada peringkat ketiga,[24] karena itu Partai Persatuan Pembangunan meraih 5 besar. Partai Bulan Bintang mampu membentuk fraksi sendiri walau cuma 13 anggota, dan Partai Keadilan hanya memperoleh 7 kursi DPR saja.[23] Bila sebelumnya hanya ada satu partai politik Islam, yakni Partai Persatuan Pembangunan-akibat adanya kebijakan pemerintah yang membatasi jumlah partai politik, pada pemilu 2004 terdapat enam partai politik yang berasaskan Islam, yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Bintang Reformasi, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Bulan Bintang.

Referensi

  1. ^ Arnold 1985, hlm. 317.
  2. ^ Saifullah 2010, hlm. 15.
  3. ^ Reid 2019, hlm. 22.
  4. ^ Reid 2019, hlm. 23.
  5. ^ Abdullah, A. (2016). Islamisasi Di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Sejarah. Paramita: Historical Studies Journal, 26(1), 86-94.
  6. ^ Mashadi, M., & Suryani, W. (2018). Jaringan Islamisasi Gorontalo (Fenomena Keagamaan dan Perkembangan Islam di Gorontalo). Al-Ulum, 18(2), 435-458.
  7. ^ Amrullah 2017, hlm. 3-4.
  8. ^ a b c Arnold 1985, hlm. 318 – 319.
  9. ^ H Zainal Abidin Ahmad. Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya sampai sekarang; Bulan Bintang, 1979. 
  10. ^ Amrullah 2017, hlm. 3.
  11. ^ Amrullah 2017, hlm. 136.
  12. ^ Amrullah 2017, hlm. 137.
  13. ^ Saifullah 2010, hlm. 11.
  14. ^ Saifullah 2010, hlm. 10.
  15. ^ Reid 2019, hlm. 31.
  16. ^ Ricklefs 1991, hlm. 353-356.
  17. ^ Pengaruh Arsistektur Peradaban Islam di Indonesia, situs Era Muslim
  18. ^ Gerakan Memakmurkam Masjid, Institut Manajemen Masjid
  19. ^ Tejomukti 2018, hlm. 12.
  20. ^ Nurun Maksuni, Pesantren dalam wajah Islam Indonesia, nusyria.net:2007
  21. ^ a b c Tempo 7 Mei 2018, Cetak Biru
  22. ^ Anwar 2011, hlm. 19.
  23. ^ a b Usman 2001, hlm. 67.
  24. ^ Abdulsalam, Husein (25 Juni 2018). "Pemilu 1999: Parpol Islam dan Nasionalis Berlaga tanpa Komunis". Tirto.id. Diakses tanggal 28 Juli 2018. 

Daftar pustaka

  • Amrullah, Abdul Malik Karim (2017). Dari Perbendaharaan Lama: Menyingkap Sejarah Islam di Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press. ISBN 978-602-250-419-1. 
  • Anwar, Rosihan (2011) [1971]. Jatuh Bangun Pergerakan Islam di Indonesia. Jakarta: Fadli Zon Library. ISBN 978-602-99458-2-9. 
  • Arnold, Thomas W. (1985) [1979]. Sejarah Da'wah Islam. Jakarta: Widjaya. 
  • "Cetak Biru Generasi Emas Pendidikan Islam Khas Indonesia". Tempo. 7 Mei 2018. hlm. 58–59. ISSN 0126-4273. 
  • Reid, Anthony (2019) [2004]. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Jakarta: Pustaka LP3ES. ISBN 979-3330-05-8. 
  • Ricklefs, Merle Calvin (1991). A History of Modern Indonesia 1200-2004. London: MacMillan. 
  • Saifullah (2010). Sejarah & Kebudayaan Islam di Asia Tenggara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-602-8764-68-1. 
  • Tejomukti, Ratna Ajeng (5 Juli 2018). Handasah, Wachidah, ed. "DMI Apresiasi Bantuan Saudi". Republika. 
  • Usman, Syafaruddin (2001). Keterlibatan Umat Islam dalam Sejarah Politik RI. Pontianak: Yayasan Insyaf. 

Pranala luar