Lompat ke isi

Khalid bin Walid

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 24 Agustus 2022 12.46 oleh Abdul Latif Salafiyah (bicara | kontrib) (Sedang dalam perbaikian)
Khālid ibn al-Walīd
خالد بن الوليد
Kaligrafi Khalid Bin Walid
JulukanPedang Allah Yang Terhunus
Lahir585
Mekkah, Jazirah Arab
Meninggal642 (umur 57)
Homs, Syam
DikebumikanMasjid Khalid ibn al-Walid
PengabdianKekhalifahan Rasyidin
Dinas/cabangPasukan Rasyidin
Lama dinas632–638
PangkatPanglima tertinggi
KesatuanPengawal berkuda
KomandanPanglima tertinggi (632–634)
Komandan lapangan (634–638)
Komandan Pengawal berkuda (634–638)
Military Gubernur Iraq (633–634)
Gubernur Chalcis (Qinnasrin), Suriah(637–638)
Perang/pertempuranPertempuran Uhud (625)
Pertempuran Mu'tah (629)
Pembebasan Mekkah (629/30)
Pertempuran Hunain (630)
Perang Riddah

Penaklukan Islam di Suriah

Pasangan
  • Asma bint Anas ibn Mudrik
  • Umm Tamim bint al-Minhal
Anak

Abū Sulaymān Khālid ibn al-Walīd ibn al-Mughīrah al-Makhzūmī (bahasa Arab: أبو سليمان خالد بن الوليد بن المغيرة المخزومي; 585–642), meninggal 642 M) adalah seorang komandan Muslim Arab yang melayani nabi Islam Muhammad dan khalifah Rasyidun Abu Bakar (m. 632-634) dan Umar (m. 634-644). Dia memainkan peran militer utama dalam Perang Riddah melawan suku-suku pemberontak di Arabia pada tahun 632-633, kampanye awal di Irak Sasania pada tahun 633-634 dan penaklukan Bizantium Suriah pada tahun 634-638.

Khalid merupakan seorang prajurit berkuda dari klan aristokrat suku Quraisy, Makhzum, yang sebelumnya dengan gigih menentang Muhammad. Ia memainkan peran penting dalam mengalahkan pasukan Muslim di Pertempuran Uhud pada tahun 625 M. Setelah ia masuk Islam pada tahun 627 M atau 629 M, ia diangkat menjadi komandan oleh Muhammad, yang memberikan gelar Saifullah ('Pedang Allah') kepadanya. Khalid mengkoordinir penarikan pasukan Muslim secara aman selama ekspedisi yang gagal ke Mu'ta melawan sekutu Arab dari Bizantium pada tahun 629 dan memimpin kontingen Badui dari tentara Muslim selama perebutan Makkah dan Pertempuran Hunain pada sekitar tahun 630. Setelah wafatnya Muhammad, Khalid ditunjuk untuk menekan atau menundukkan suku-suku Arab di Najd dan Yamama (keduanya wilayah di Arabia tengah) yang menentang negara Muslim yang baru lahir, mengalahkan para pemimpin pemberontak Tulaihah pada Pertempuran Buzakha pada tahun 632 dan Musailamah pada Pertempuran Aqraba di tahun 633.

Khalid kemudian bergerak melawan suku-suku Arab yang sebagian besar beragama Kristen dan garnisun Persia Sasania di lembah Efrat di Irak. Dia ditugaskan kembali oleh Abu Bakar untuk memimpin pasukan Muslim di Suriah dan dia memimpin anak buahnya di sana dalam sebuah pergerakan yang tidak konvensional melintasi hamparan Gurun Suriah yang panjang dan tak berair, mendongkrak reputasinya sebagai ahli strategi militer. Sebagai hasil dari kemenangan yang menentukan melawan Bizantium di Ajnadayn (634), Fahl (634 atau 635), Damaskus (634-635) dan Yarmuk (636), kaum Muslim di bawah Khalid berhasil menguasai sebagian besar Suriah. Dia kemudian diturunkan dari komando tinggi oleh Umar. Khalid melanjutkan tugasnya sebagai letnan kunci dari penggantinya, Abu Ubayda ibn al-Jarrah dalam pengepungan Homs dan Aleppo dan Pertempuran Qinnasrin, semuanya pada tahun 637-638, yang secara kolektif memicu mundurnya pasukan kekaisaran Bizantium di bawah Kaisar Heraclius dari Suriah. Umar memberhentikan Khalid dari jabatannya sebagai gubernur Qinnasrin sesudahnya dan ia meninggal di Madinah pada tahun 642.

Khalid secara umum dianggap oleh para sejarawan sebagai salah satu jenderal Islam awal yang paling cakap dan berpengalaman. Pencapaiannya dikenang secara luas oleh umat muslim Arab. Riwayat-riwayat Islam memuji Khalid atas taktik medan perang dan kepemimpinannya yang efektif pada penaklukan-penaklukan awal yang dilancarkan oleh umat Muslim, tetapi juga menudingnya telah mengeksekusi secara ilegal anggota suku Arab yang telah memeluk Islam, yaitu anggota-anggota Bani Jadhima selama masa hidup Muhammad dan Malik bin Nuwairah selama perang Riddah, begitupula pelanggaran moral dan fiskal di Suriah. Kemasyhuran militernya meresahkan beberapa Muslim awal yang saleh, termasuk Umar, yang takut hal itu dapat berkembang menjadi kultus terhadap individu.

Leluhur dan kehidupan awal

Ayah Khalid adalah al-Walid bin al-Mughirah, seorang penengah perselisihan lokal di Makkah di Hijaz (Arabia barat).[1] Al-Walid diidentifikasi oleh sejarawan ibnn Hisyam (wafat 833), ibnu Durayd (wafat 837) dan ibnu Habib (wafat 859) sebagai "pencemooh" nabi Islam Muhammad yang disinggung dalam surah-surah Al-Qur'an yang turun ketika di Makkah.[1] Dia berasal dari Bani Makhzum, klan terkemuka dari suku Quraisy dan aristokrasi Makkah pra-Islam.[2] Bani Makhzum dianggap berjasa dalam memperkenalkan perdagangan Makkah ke pasar-pasar asing,[3] khususnya Yaman dan Abyssinia (Ethiopia),[2] dan mengembangkan reputasi di kalangan suku Quraisy karena kecerdasan, kebangsawanan dan kekayaan mereka.[3] Kemasyhuran mereka merupakan berkat kepemimpinan kakeknya Khalid dari pihak ayahnya, yakni al-Mughirah bin Abdullah.[3] Paman Khalid dari pihak ayahnya, yaitu Hisyam, dikenal sebagai 'penguasa Makkah' dan tanggal kematiannya digunakan oleh kaum Quraisy sebagai awal dari kalender mereka.[4] Sejarawan Muhammad Abdulhayy Shaban mendeskripsikan Khalid sebagai "seorang pria yang memiliki kedudukan yang cukup tinggi" di dalam klannya dan Makkah secara umum.[5]

Ibu Khalid adalah al-Asma binti al-Harith ibn Hazn, yang umumnya dikenal sebagai Lubaba as-Sughra ('Lubaba si kecil', untuk membedakannya dari kakak separuhnya, Lubaba al-Kubra) dari suku nomaden Bani Hilal.[6] Lubaba al-Sughra masuk Islam sekitar 622 M dan saudari tirinya dari pihak ayahnya, Maimunah, menjadi istri dari Muhammad. Melalui hubungan dari pihak ibunya, Khalid menjadi sangat akrab dengan gaya hidup suku Badui (Arab nomaden).[7]

Kehidupan Awal

Khalid bin Walid ( Syaifullah Al - Maslul ) dilahirkan kira-kira 17 tahun sebelum masa pembangunan Islam. Dia anggota suku Bani Makhzum. Ayahnya bernama Walid bin al-Mughirah yang memiliki jabatan sebagai kepala suku Bani Makhzum, suatu klan (bagian) dari suku Quraisy yang menetap di Mekkah. Sedangkan ibu Khalid bernama Lubabah binti al-Harith.

Setelah kelahirannya, sesuai dengan tradisi kaum Quraisy pada zaman itu, Khalid dikirim ke sebuah suku Badui di gurun, dimana ibu angkat akan merawatnya. Saat Khalid berumur 5 atau 6, dia dikembalikan ke orang tuanya di Mekkah. Pada masa kanak-kanaknya, Khalid pernah mengalami serangan cacar ringan, cacar tersebut hilang walaupun meninggalkan beberapa bekas luka di pipi kirinya.

Khalid termasuk di antara keluarga Nabi yang sangat dekat. Maimunah, bibi dari Khalid, adalah isteri Nabi. Dengan Umar sendiri pun Khalid ada hubungan keluarga, yakni saudara sepupunya. Suatu hari pada masa kanak-kanaknya kedua saudara sepupu ini main adu gulat. Khalid dapat mematahkan kaki Umar. Untunglah dengan melalui suatu perawatan kaki Umar dapat diluruskan kembali dengan baik.

Awalnya Khalid bin Walid adalah panglima perang kaum kafir Quraisy yang terkenal dengan pasukan kavalerinya. Pada saat Pertempuran Uhud, Khalidlah yang melihat celah kelemahan pasukan Muslimin yang menjadi lemah setelah bernafsu mengambil rampasan perang dan turun dari Bukit Uhud dan menghajar pasukan Muslim pada saat itu. Tetapi setelah perang itulah Khalid mulai masuk Islam.

Ayah Khalid yang bernama Walid bin Mughirah dari Bani Makhzum, adalah salah seorang pemimpin yang paling berkuasa di antara orang-orang Quraisy. Dia sangat kaya. Dia menghormati Ka'bah dengan perasaan yang sangat mendalam. Sekali dua tahun dialah yang menyediakan kain penutup Ka'bah. Pada masa ibadah Haji dia memberi makan dengan cuma-cuma bagi semua orang yang datang berkumpul di Mina.

Ketika orang Quraisy memperbaiki Ka'bah tidak seorang pun yang berani meruntuhkan dinding-dindingnya yang tua itu. Semua orang takut kalau-kalau jatuh dan mati. Melihat suasana begini Walid maju kedepan dengan bersenjatakan sekop sambil berteriak, "O, Tuhan jangan marah kepada kami. Kami berniat baik terhadap rumahMu".

Nabi mengharap-harap dengan sepenuh hati, agar Walid masuk Islam. Harapan ini timbul karena Walid seorang kesatria yang berani dimata rakyat. Karena itu dia dikagumi dan dihormati oleh orang banyak. Jika dia telah masuk Islam ratusan orang akan mengikutinya.

Dalam hati kecilnya Walid merasa, bahwa Al Qur-'an itu adalah kalimat-kalimat Allah. Dia pernah mengatakan secara jujur dan terang-terangan, bahwa dia tidak bisa berpisah dari keindahan dan kekuatan ayat-ayat suci itu.

Suku Bani Makhzum mempunyai tugas-tugas penting. Jika terjadi peperangan, Bani Makhzumlah yang mengurus gudang senjata dan gudang tenaga tempur. Suku inilah yang mengumpulkan kuda dan senjata bagi prajurit-prajurit.

Tidak ada cabang suku Quraisy lain yang bisa lebih dibanggakan seperti Bani Makhzum. Ketika diadakan kepungan maut terhadap orang-orang Islam dilembah Abu Thalib, orang-orang Bani Makhzumlah yang pertama kali mengangkat suaranya menentang pengepungan itu.

Latihan Pertama

Kita tidak banyak mengetahui mengenai Khalid pada masa kanak-kanaknya. Tetapi satu hal kita tahu dengan pasti, ayah Khalid orang berada. Dia mempunyai kebun buah-buahan yang membentang dari kota Mekah sampai ke Taif. Kekayaan ayahnya ini membuat Khalid bebas dari kewajiban- kewajibannya.

Dia lebih leluasa untuk tidak perlu belajar berdagang, bekerja untuk menambah pencaharian orang tuanya. Kehidupannya tanpa suatu ikatan sehingga memberi kesempatan kepada Khalid mengikuti kegemarannya, yakni tinju dan berkelahi.

Saat itu pekerjaan dalam seni berperang dianggap sebagai tanda seorang Kesatria. Seorang Panglima perang yang berarti pemimpin besar. Kepahlawanan adalah satu hal terhormat di mata masyarakat.

Ayah Khalid dan beberapa orang pamannya adalah orang-orang yang terpandang di mata masyarakat. Hal ini memberi dorongan besar kepada Khalid untuk mendapatkan kedudukan terhormat, seperti ayah dan paman- pamanya. Satu-satunya permintaan Khalid adalah agar menjadi orang yang dapat mengalahkan teman-temannya di dalam hal adu tenaga. Karena itulah dia meleburkan dirinya ke dalam seni peperangan dan bela diri. Di dalam mempelajari keahlian mengendarai kuda, memainkan pedang dan memanah. Dia juga memusatkan perhatiannya ke dalam hal memimpin angkatan perang. Bakat di dalam dirinya, ditambah dengan latihan yang keras, telah menempa Khalid menjadi seorang yang luar biasa dalam kemahiran dan keberaniannya yang mengagumkan.

Pengetahuan yang ditunjukkannya mengenai taktik perang sangat menakjubkan. Dengan jelas orang dapat menilai, bahwa dia akan menjadi ahli dalam seni kemiliteran.

Dari masa kanak-kanaknya dia mengharapan untuk menjadi ahli militer yang luar biasa jenialnya.

Menentang Islam

Pada masa kanak-kanaknya Khalid telah kelihatan menonjol di antara teman-temannya. Dia telah sanggup merebut tempat istimewa dalam hati masyarakat. Karier Khalid menanjak menjadi pemimpin suku Quraisy yang saat itu sedang memusuhi Islam. Mereka sangat anti dan memusuhi agama orang Islam. Orang- orang Quraisy memandang Islam adalah bahaya bagi kepercayaan dan adat istiadat orang-orang Quraisy. Orang-orang Quraisy sangat mencintai adat kebiasaannya. Karena itu mereka mengangkat senjata untuk menggempur orang-orang Islam. Tunas - tunas Islam harus dihancurkan sebelum tumbuh berurat- berakar. Khalid sebagai seorang pemuda Quraisy yang berani dan bersemangat berdiri di garis paling depan dalam penggempuran terhadap islam.

Sejak kecil pemuda Khalid bertekad menjadi pahlawan Quraisy. Kesempatan ini diperolehnya dalam pertentangan-pertentangan dengan orang- orang Islam. Untuk membuktikan bakat dan kecakapannya ini, dia selalu menonjol dalam segala pertempuran, memperlihatkan kualitasnya sebagai petarung sejati kepada sukunya.

Peristiwa Uhud

Kekalahan kaum Quraisy di dalam perang Badar membuat kemarahan yang meledak- ledak di dalam diri mereka , hampir-hampir mereka tidak percaya dengan apa yang telah terjadi dengan terbunuhnya tokoh- tokoh dan jagoan- jagoan mereka dan berniat untuk membalas kekalahan.

Sebagai seorang pemuda Quraisy, Khalid bin Walid merasakan pahitnya kekalahan itu. Dia ingin membalas dendam sukunya dalam peperangan di Uhud. Khalid bersama pasukannya bergerak ke Uhud dengan bertekad menang atau mati dalam perang. Orang-orang Islam dalam pertempuran Uhud ini mengambil posisi dengan membelakangi bukit Uhud.

Sungguhpun terjaga dengan kedudukan pertahanan baik, masih terdapat suatu kekhawatiran. Di bukit Uhud masih ada suatu lahan yang berbahaya, dimana tentara Quraisy dapat menyerang masuk ke dalam pertahanan Islam. Untuk menjaga lahan yang berbahaya ini, Nabi ﷺ menempatkan 50 orang pemanah terbaik. Nabi ﷺ memerintahkan kepada mereka agar bertahan dalam keadaan bagaimanapun agar jangan sampai meninggalkan posisinya masing-masing.

Khalid bin Walid memimpin sayap kanan tentara Quraisy empat kali lebih besar jumlahnya dari pasukan Islam. Tetapi mereka jadi ragu-ragu mengingat kekalahan- kekalahan yang telah mereka alami di Badar. Karena kekalahan ini hati mereka menjadi ciut menghadapi keberanian orang-orang Islam.

Sungguhpun begitu pasukan-pasukan Quraisy memulai pertempuran dengan baik. Tetapi setelah orang-orang Islam mulai mendobrak pertahanan mereka, mereka gagal untuk mempertahankan tanah yang mereka pijak.

Formasi pasukan menjadi terpecah-pecah. Mereka lari cerai-berai. Peristiwa Badar berulang kembali di Uhud. Saat-saat kritis sedang mengancam orang-orang Quraisy. Tetapi Khalid bin Walid tetap tenang dan syarafnya tetap membaja. Dia mengumpulkan kembali pasukannya mencari kesempatan baik melakukan pukulan yang menentukan.

Melihat orang-orang Quraisy cerai-berai, pemanah-pemanah yang bertugas tidak tahan hati. Pasukan Islam tersebut tergiur harta perang yang ada pada mayat- mayat orang-orang Quraisy. Tanpa pikir panjang akan akibatnya, sebagian besar pemanah meninggalkan posisinya dan menyerbu ke lapangan.

Khalid bin Walid dengan segera melihat kesempatan, menyerang dan mendesak masuk. Beberapa orang pemanah yang masih tinggal diserang bersama-sama. Posisi tersebut dikuasai oleh pasukan Khalid dan mereka menjadi leluasa untuk menggempur pasukan Islam dari belakang.

Dengan kecepatan melesat Khalid masuk dari garis belakang dan menggempur orang Islam di pusat pertahanan. Melihat Khalid telah masuk dari belakang, orang-orang Quraisy yang telah lari cerai- berai berkumpul kembali dan mengikuti jejak Khalid menyerbu dari belakang. Para pemenang antara beberapa menit yang lalu, telah terkepung lagi dari segenap penjuru, dan situasi mereka menjadi berbahaya.

Khalid bin Walid telah mengubah kemenangan orang Islam di Uhud menjadi suatu kekalahan. Yang tadinya orang-orang Quraisy kalah dan cerai- berai. Tetapi karena gemilangnya Khalid sebagai ahli siasat perang, kekalahan-kekalahan telah berubah menjadi satu kemenangan. Dia menemukan celah kelemahan pertahanan orang Islam.

Khalidlah yang dapat mencari saat-saat kelemahan lawannya. Dan dia pula yang sanggup menarik kembali pasukan yang telah cerai-berai dan memaksanya untuk kembali bertempur. Strategi perang yang luar biasa inilah yang mengungkap kekalahan Uhud menjadi suatu kemenangan bagi orang Quraisy.

Memeluk Islam

Ketika Khalid bin Walid bertobat dan menerima Islam, Rasulullah ﷺ sangat bersyukur, karena Khalid mempunyai kemampuan berperang yang dapat digunakan untuk membela Islam dan meninggikan kalimatullah dengan perjuangan jihad. Dalam banyak kesempatan peperangan Islam Khalid bin Walid diangkat menjadi komandan perang dan menunjukan hasil gemilang atas segala upaya jihadnya.

Pada masa pemerintahan Abu Bakar, Khalid diamanahkan untuk memperluas wilayah Islam dan membuat pasukan Romawi dan Persia berantakan. Pada tahun 636, pasukan Arab yang dipimpin Khalid berhasil menguasai Suriah dan Palestina dalam Pertempuran Yarmuk, menandai dimulainya penyebaran Islam yang cepat di luar Arab.

Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, Khalid diberhentikan tugasnya dari medan perang dan diberi tugas untuk menjadi duta besar. Hal ini dilakukan oleh Umar agar Khalid tidak terlalu didewakan oleh kaum Muslimin pada masa itu.

Referensi

  1. ^ a b Hinds 1991, hlm. 138.
  2. ^ a b Hinds 1991, hlm. 137–138.
  3. ^ a b c Lammens 1993, hlm. 171.
  4. ^ Hinds 1991, hlm. 137.
  5. ^ Shaban 1971, hlm. 23–24.
  6. ^ Landau-Tasseron 1998, hlm. 202–203.
  7. ^ Lecker 2004, hlm. 694.

Pranala luar