Lompat ke isi

Sunni

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Ahlus Sunnah Wal Jamaah)

Sunni (/ˈsni, ˈsʊni/, KBBI: Suni) adalah cabang (firkah) terbesar Islam, yang dianut 85–90% populasi penduduk Muslim. Namanya berasal dari kata Sunnah, yakni meneladani apa yang telah diajarkan Nabi Islam Muhammad.[1] Perbedaan Sunni dengan Syiah berkaitan dengan pertentangan tentang siapa yang pantas sebagai penerus Muhammad yang berujung pada perbedaan antara akidah dan fikih.[2] Menurut tradisi Sunni, Muhammad tidak memiliki penerus dan orang-orang yang terlibat dalam peristiwa Saqifah menunjuk Abu Bakar sebagai khalifah.[2][3][4] Hal ini berbeda dengan pandangan Syiah, yang menganggap bahwa Muhammad menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai penerusnya.[5]

Orang yang menganut cabang Islam ini lebih menyebut dirinya sebagai "ahli sunah", atau lebih lengkapnya ahlussunnah wal-jamāʻah ("orang yang mengikuti Sunnah dan berada dalam golongan Jamaah"). Pengikut dari ahlus-sunnah dikenal dengan sebutan Sunni. Sunni sering dijuluki sebagai "Islam Ortodoks",[6][7][8] meski banyak ulama dan pakar agama menentangnya.[9]

Al-Qur'an dan hadis (utamanya yang berada dalam Kutubussittah) dan ijma', menjadi landasan fikih Sunni. Syariah diturunkan dengan mempertimbangkan sumber-sumber tersebut, bersama dengan qiyas, istislah, dan istihsan, menggunakan metode ijtihad yang dikembangkan imam-imam mazhab. Terkait dengan akidah, Sunni berpegang teguh pada rukun iman. Terdapat dua golongan mazhab akidah dalam tradisi Sunni, yaitu Asy'ariyah dan Maturidiyah yang menganut pemahaman ilmu kalam, serta Atsariyah yamg menganut pemikiran tekstual.

Terminologi

Sunnah

Sunnah, secara bahasa bermakna "jalan, cara, atau perilaku walaupun tidak diridai".[10]

Kata bahasa Arab sunnah sudah tua dan berakar pada bahasa pra-Islam. Kata tersebut merujuk pada tradisi yang diikuti mayoritas orang.[11] Istilah tersebut mendapat signifikansi politik yang lebih besar setelah pembunuhan Khalifah ketiga Utsman bin ʿAffan . Dikatakan Malik al-Asytar, seorang sahabat terkenal Ali bin Abi Thalib, didorong selama pertempuran Shiffin melawan Muawiyah bin Abu Sufyan. Setelah pertempuran usai, dirumuskan bagaimana "Sunnah yang benar sebagai alat pemersatu umat, bukan pemecah belah umat" (as-sunna al-ʿādila al-jāmiʿa gairal-mufarriqah) untuk menyelesaikan konflik. Waktu ketika sunnah adalah bentuk pendek dari “sunnah nabi” masih belum diketahui.[12] Pada masa Kekhalifahan Umayyah, gerakan politik seperti Syiah dan Khawarij yang memberontak terhadap pembentukan negara; memimpin pertempuran mereka atas nama "kitab Allah (al-Qur'an) dan Sunnah Nabi-Nya".[13] Selama Perang Saudara Islam Kedua (680–92), istilah sunnah menerima konotasi yang kritis terhadap doktrin Syi'ah. Hal ini dicatat oleh Masrūq bin al-Ajdaʿ (w. 683), yang merupakan seorang Mufti Kufah, bahwa dua khalifah pertama, Abū Bakar ash-Shiddiq dan ʿUmar bin Khattab wajib dicintai dan diakui prioritasnya (Fadā'il). Seorang murid Masruq, asy-Sya'bi (meninggal antara 721 dan 729), yang awalnya memihak Syiah di Kufah selama Perang Saudara, tetapi membelot karena fanatisme mereka dan akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan Khalifah Umayyah ʿAbdul-Malik bin Marwan, mempopulerkan konsep sunnah.[14] Juga diriwayatkan oleh asy-Sya'bi, bahwa dia mengutuk orang-orang yang membenci ʿAisyah dan menganggapnya sebagai pelanggaran sunnah.[15]

Istilah sunnah berbeda dengan frasa yang lebih panjang panjang ahlussunnah wal-jamāʻah atau ahlussunnah, karena kedua tersebut relatif lebih muda. Kemungkinan merujuk kepada Ibnu Taimiyyah, yang menggunakan bentuk pendek tersebut untuk pertama kalinya.[16] Kemudian dipopulerkan oleh ulama pan-Islam seperti Muhammad Rasyid Ridha dalam risalahnya as-Sunnah wasy-Syiʿah au al-Wahhābīyah war-Rāfiḍah: Ḥaqāʾiq Dīnīya Taʾrīḫīyah Ijtimaʿīyah Iṣlaḥīyah ("Sunnah dan Syiah, atau Wahhabisme dan Rafidhah: Sejarah, Fakta Sosiologis, dan Orientasi Reformasinya“) yang diterbitkan pada tahun 1928–29.[17] Istilah "sunnah" biasanya sering digunakan dalam wacana Arab sebagai sebutan bagi Muslim Sunni, serta untuk membedakannya dengan Syiah. Pasangan kata "Sunnah-Syiah" juga digunakan dalam literatur penelitian Barat untuk menunjukkan kontras Sunni-Syiah.[18]

Ahlussunnah

Ahl berarti "keluarga-keluarga, pengikut, penduduk." Dengan demikian ahlussunnah berarti "orang yang mengikuti Sunnah."[19]

Salah satu dokumen pendukung paling awal untuk ahlussunnah berasal dari sarjana Bashrah, Muhammad bin Siri (wafat 728). Namanya disebutkan dalam Shahih Muslim bin al-Hajjaj: "Sebelumnya seseorang tidak bertanya tentang sanad. Tetapi saat fitnah bermula, seseorang berkata: 'Sebutkan kami perawi Anda'. Seseorang kemudian akan menjawabnya: jika mereka adalah ahlussunnah, terimalah hadis mereka. Namun jika mereka adalah ahlul-bid'ah, tolaklah hadis mereka."[20] G.H.A. Juynboll menduga, istilah fitnah dalam pernyataan ini tidak terkait dengan Perang Saudara pertama (665–661) setelah pembunuhan Utsman bin Affan, tetapi Perang Saudara kedua (680–692)[21] ketika umat Islam terpecah. menjadi empat pihak (Abdullah bin Zubair, Bani Umayyah, Syiah di bawah al-Mukhtar bin Abi Ubaid, dan Khawarij). Istilah ahlussunnah ditunjuk dalam situasi ini yang menjauh dari ajaran sesat dari berbagai pihak yang bertikai.[22]

Istilah ahlussunnah selalu dipuji. Abu Hanifah (w. 769), menegaskan bahwa orang-orang ini adalah "orang-orang saleh dan orang-orang Sunnah" (ahlul-ʿadl wa-ahlus-sunnah).[23] Menurut Josef van Ess istilah ini tidak berarti lebih dari "orang beriman yang terhormat dan benar".[24] Di kalangan mazhab Hanafi, sebutan ahlus-sunnah dan ahlul-ʿadl (orang-orang terhormat) dapat dipertukarkan untuk waktu yang lama. Oleh karena itu ulama mazhab Hanafi, Abul-Qāsim as-Samarqandī (w. 953), yang menyusun katekismus untuk Samaniyah, terkadang menggunakan satu ungkapan dan terkadang ungkapan lain untuk kelompoknya sendiri.[25]

Bentuk tunggal dari ahlus-sunna adalah ṣāḥib sunnah (individu pengikut sunnah).[26] Ungkapan ini digunakan misalnya oleh ʿAbdallāh bin al-Mubārak (w. 797) untuk seseorang, yang berlepas diri dari ajaran Syiah, Khawarij, Qadariyah, dan Murji'ah.[27] Selain itu, kata sifat nisbah sunni juga digunakan untuk individu. Demikian tercatat, ulama Quran dari Kufah Abu Bakar bin 'Auyasy (wafat 809) ditanya, bagaimana dia menjadi seorang sunni. Ia menjawab, "Orang yang, ketika firkah-firkah sesat disebutkan, tidak tertarik mengikutinya."[28] Ulama Andalusia, Ibnu Hazm (w. 1064) kemudian mengajarkan, bahwa mereka yang mengaku Islam dapat dibagi menjadi empat kelompok: Ahlussunnah, Muktazilah, Murji'ah, Syiah, dan Khawarij.[29]

Pada abad ke-9, sejumlah orang mulai menambah istilah ahlussunnah dengan tambahan-tambahan positif lainnya. Abu al-Hasan al-Asy'ari merumuskan frasa untuk kelompoknya seperti seperti ahlussunnah wal-istiqāmah ("orang-orang yang mengikuti Sunnah dan teguh pendiriannya"), ahlussunnah wal-ḥadīṡ "orang-orang yang mengikuti Sunnah dan Hadis"),[30] atau ahlul-ḥaqq was-sunnah[31] (“orang-orang yang benar dan mengikuti Sunnah”).

Ahlussunnah wal-jama'ah

Al-Jama'ah, berasal dari kata al-jam'u artinya mengumpulkan sesuatu, dengan mendekatkan sebagian ke sebagian lain, atau mengumpulkan yang bercerai-berai. Kata jama'ah juga berasal dari kata ijtima' (perkumpulan), yang merupakan lawan kata tafaruq (perceraian) dan lawan kata dari furqah (perpecahan). Jama'ah adalah sekelompok orang banyak dan sekelompok manusia yang berkumpul berdasarkan satu tujuan. Selain itu, Jama'ah juga berarti kaum yang bersepakat dalam suatu masalah, atau orang-orang yang memelihara kebersamaan dan kolektifitas dalam mencapai satu tujuan.[32]

Kemunculan ungkapan ahlussunnah wal-jama'ah tidak sepenuhnya jelas. Khalifah Abbasiyah Al-Ma'mūn (memerintah tahun 813–33) mengeluarkan dekrit tentang sekelompok orang, yang mengaku teguh kepada sunnah (nasabū anfusahum ilās-sunnah) dan mengeklaim, mereka adalah "orang-orang pengikut kebenaran, agama dan masyarakat” (ahlul-ḥaqq wad-dīn wal-jamāʿah).[33] Sunnah dan jama'ah sudah terhubung di sini. Sebagai pasangan, istilah-istilah ini sudah muncul pada abad ke-9. Tercatat bahwa murid Ahmad bin Hanbal, Harb bin Ismail (wafat 893) menulis kitab berjudul as-Sunnah wal-Jamāʿah, yang kemudian dibantah oleh ulama Muktazilah, Abu Al-Qasim al-Balkhi.[34] Al-Jubba'i (w. 916) mengisahkan dalam Kitāb al-Maqālāt nya, bahwa Ahmad bin Hanbal menggelari murid-muridnya dengan predikat sunnah wal-jama'ah.[35] Hal ini menunjukkan bahwa pengikut mazhab Hambali adalah yang pertama kali menggunakan frasa ahlus-sunnah wal-jamāʿah sebagai sebutan diri.[36]

Akan tetapi, kelompok Karramiyyah yang didirikan oleh Muhammad bin Karram (wafat 859) mengklaim sebagai as-sunnah wal-jama'ah. Mereka menyebut itu karena mereka memuji pendiri mazhab ini setelah memahami sebuah hadis, yang menurutnya nabi Muhammad menubuwatkan bahwa pada akhir zaman akan muncul seorang laki-laki bernama Muhammad bin Karram, yang akan memulihkan sunnah dan jamāʿah dan berhijrah dari Khorasan ke Yerusalem, seperti ketika Muhammad hijrah dari Makkah ke Madinah.[36] Menurut kesaksian ulama Transoksiana, Abul-Yusr al-Bazdawi (w. 1099), Kullabiyah (pengikut ulama Basrian bin Kullab (w. 855)) juga mengeklaim sebagai ahlus-sunnah wal-jama'ah.[37]

Abu al-Hasan al-Asy'ari jarang menggunakan ungkapan ahlus-sunna wal-jama'ah,[38] dan lebih menyukai kombinasi yang lain. Belakangan orang-orang Asy'ariyah seperti al-Isfaranini (w. 1027) dan Abdul-Qahir al-Baghdadi (w. 1078) juga menggunakan ungkapan ahlussunnah wal-jama'ah dan menggunakannya dalam karya-karya mereka untuk merujuk pada mazhab mereka sendiri.[39] Menurut al-Bazdawi semua orang Asy'ari pada masanya mengatakan mereka termasuk ahlus-sunnah wal-jama'ah.[37] Selama ini, istilah tersebut telah digunakan sebagai sebutan diri oleh pengikut Maturidi dan Hanafi di Transoksiana, serta sering digunakan oleh Abu al-Laits as-Samarqandi (wafat 983), Abu Syakur (wafat 1086) dan al-Bazdawi.[25] Mereka menggunakan istilah itu untuk melawan musuh mereka,[40] seperti pengikut Muktazilah.[41] Al-Bazdawī juga membedakan ahlussunnah wal-jama'ah dengan ahli hadis, "karena mereka akan menganut ajaran yang bertentangan dengan Al-Qur'an".[42]

Menurut Syamsuddin al-Maqdisī (hidup akhir abad ke-10), ungkapan ahlussunnah wal-jama'ah menjadi pujian pada masanya, mirip dengan ahlul-ʿadl wat-tauḥīd ("orang-orang yang mengikuti keadilan dan tauhid"), yang digunakan untuk Muktazilah atau sebutan umum seperti Mukminun (“Orang Beriman“) atau aṣḥābul-hudā (“orang-orang yang mendapat petunjuk”) untuk orang Muslim, yang dipandang sebagai orang-orang beriman yang benar.[43] Karena ungkapan ahlussunnah wal-jama'ah digunakan dengan tuntutan keyakinan yang benar, maka dalam penelitian akademis digunakan istilah yang diterjemahkan sebagai "ortodoks".[44]

Mengenai apa sebenarnya istilah jama'ah dalam frasa ahlussunnah wal-jama'ah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ath-Thahawi (wafat 933), dalam rangkumannya terhadap akidah Sunni, istilah jama'ah berbeda dengan istilah Arab furqah ("golongan yang berpecah belah").[45][46] Ath-Thahawi menjelaskan bahwa kata jama'ah dianggap benar dan lurus (ḥaqq wa-ṣawāb) dan furqah sebagai menyimpang dan menyesatkan (zaig wa-ʿaḍāb).[47] Ibnu Taimiyyah berpendapat, bahwa jama'ah sebagai lawan kata dari firqah mengandung makna ijtimāʿ ("kesepakatan bersam"). Selanjutnya ia menghubungkannya dengan prinsip ijmak, sumber hukum ketiga Islam setelah Al-Qur'an dan Sunnah.[48] Ulama Utsmaniyah Muslih ad Din al-Qastallani (wafat 1495) berpendapat bahwa jama'ah berarti "jalan para Sahabat” (ṭarīqat aṣ-ṣaḥābah).[49] Teolog Indonesia modern Nurcholish Madjid (w. 2005) menafsirkan jamaah sebagai konsep inklusif: terbuka untuk pluralisme dan dalam dialog tetapi tidak terlalu menekankan.[50]

Sejarah

Masjidilharam dan Ka'bah di Makkah merupakan tempat suci bagi seluruh umat Islam di dunia.

Salah satu kesalahan yang sering terjadi adalah berasumsi bahwa Islam Sunni mewakili Islam normatif yang muncul selama periode setelah kematian Muhammad, dan bahwa Sufisme dan Syiah bercabang dari Islam Sunni.[51] Persepsi ini sebagian disebabkan oleh ketergantungan pada sumber-sumber yang sangat ideologis yang telah diterima sebagai karya sejarah yang dapat diandalkan, dan juga karena sebagian besar umat Islam adalah Sunni. Baik Sunni maupun Syiah adalah produk akhir dari persaingan antara ideologi selama beberapa abad. Kedua firkah tersebut menggunakan satu sama lain untuk memperkuat identitas dan doktrin mereka sendiri.[52]

Empat khalifah pertama yang dikenal di kalangan Sunni dikenal sebagai Khulafaurrasyidin. Khalifah yang pertama adalah Abu Bakar, kedua Umar, ketiga Utsman, dan keempat Ali.[53] Sunni mengakui penguasa setelahnya sebagai khalifah, meski mereka tidak memasukkan siapa pun dalam daftar Rasyidin setelah kematian Ali, hingga kekhalifahan secara konstitusional dihapuskan di Turki pada 3 Maret 1924.

Transisi kekhalifahan menjadi dinasti monarki

Benih transisi kekhalifahan menjadi monarki kedinastian telah muncul, seperti yang ditakutkan oleh khalifah kedua Umar, sejak rezim khalifah ketiga Utsman, yang mengangkat banyak kerabatnya dari klan Bani Umayyah, seperti Marwan bin al-Hakam dan Walid bin Uqbah pada jabatan-jabatan penting di pemerintahan, sehingga menjadi penyebab utama kekacauan yang mengakibatkan pembunuhan dan pertikaian berikutnya selama masa Ali dan pemberontakan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan, salah satu kerabat Utsman. Hal ini menyebabkan pembentukan pemerintahan kedinastian yang kuat dari Bani Umayyah setelah Husain, putra bungsu Ali dari Fatimah az-Zahra, gugur dalam Pertempuran Karbala. Bangkitnya kekuasaan Bani Umayyah, suku elite Makkah yang menentang keras Muhammad di bawah kepemimpinan Abu Sufyan, ayah Muawiyah, hingga penaklukan Makkah oleh Muhammad, sebagai penggantinya dengan diangkatnya Utsman sebagai khalifah, yang semula dihuni masyarakat egaliter yang muncul sebagai hasil revolusi Muhammad, berubah menjadi masyarakat yang terstratifikasi antara yang kaya dan yang miskin sebagai akibat dari nepotisme, dan dalam kata-kata El-Hibri melalui "penggunaan pendapatan zakat untuk menyubsidi kepentingan keluarga, yang dibenarkan Utsman sebagai ash-shilah".[54][55][56]

Ali, selama masa pemerintahannya yang agak singkat, berupaya untuk mengembalikan sistem egaliter dan supremasi hukum atas penguasa yang dicita-citakan dalam dakwah Muhammad, tetapi terus menghadapi tentangan, dari perang Jamal melawan Aisyah, Thalhah, dan Zubair; perang Shiffin melawan Muawiyah; dan akhirnya Ali dibunuh oleh orang Khawarij. Setelah Ali dibunuh, para pengikutnya segera memilih Hasan bin Ali putra sulung Ali dari Fatimah untuk menggantikannya. Hasan kemudian menandatangani perjanjian dengan Muawiyah melepaskan kekuasaan demi yang terakhir, dengan syarat antara lain, bahwa salah satu dari dua yang akan hidup lebih lama dari yang lain akan menjadi khalifah, dan bahwa khalifah ini tidak akan menunjuk seorang penerus tetapi akan meninggalkan soal pemilihan khalifah kepada publik. Selanjutnya, Hasan diracun sampai mati dan Muawiyah menikmati kekuasaan yang tak tertandingi. Tidak menghormati perjanjiannya dengan Hasan, ia mencalonkan putranya Yazid untuk menggantikannya. Setelah kematian Muawiyah, Yazid meminta Husain, adik laki-laki Hasan, putra Ali dan cucu Muhammad, untuk memberikan kesetiaannya kepada Yazid, yang ditolaknya dengan jelas. Kafilahnya dikepung oleh tentara Yazid di Karbala dan dia dibunuh bersama semua rekan prianya – total 72 orang, dalam pertempuran sehari penuh setelah Yazid memantapkan dirinya sebagai penguasa, meskipun pemberontakan publik yang kuat meletus setelah kematiannya melawan dinastinya untuk membalas dendam, tetapi Bani Umayyah mampu dengan cepat menekan mereka semua dan memerintah dunia Muslim, hingga akhirnya digulingkan oleh Bani Abbās.[57][58][59][60]

Kekhalifahan dan monarki Bani Abbas

Kekuasaan dan "kekhalifahan" Bani Umayyah berakhir di tangan Bani Abbas, yang merupakan cabang dari Bani Hasyim, suku Muhammad, hanya untuk mengantarkan monarki dinasti lain yang disebut sebagai kekhalifahan dari tahun 750 M. Periode ini adalah masa-masa formatif Islam Sunni dengan lahirnya empat mazhab dari para fukaha: Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris asy-Syafi'i, dan Ahmad bin Hanbal, begitu juga Jafar ash-Shadiq yang menguraikan doktrin imamah, dasar pemikiran keagamaan Syiah. Tidak ada rumusan yang diterima dengan jelas untuk menentukan suksesi kekhalifahan Abbasiyah. Dua atau tiga putra atau kerabat lain diusulkan sebagai calon pemimpin baru, masing-masing didukung oleh partai pendukungnya sendiri. Uji kepatutan terjadi, dan pihak yang paling kuat menang serta mengharapkan bantuan dari khalifah yang mereka dukung begitu dia diangkat sebagai khalifah. Kekhalifahan dinasti ini berakhir dengan wafatnya Khalifah al-Ma'mun pada tahun 833 M, ketika periode dominasi Turki dimulai.[61]

Pada zaman modern

Setelah Perang Dunia I, Kesultanan Utsmaniyah, sebuah kekhalifahan Sunni terbesar selama enam abad, runtuh dan menandai berakhirnya kekhalifahan. Hal ini menyebabkan protes Sunni di tempat-tempat yang jauh termasuk Gerakan Khilafat di India, yang kelak memperoleh kemerdekaan dari Inggris serta terbagi menjadi Pakistan yang didominasi Sunni dan India yang sekuler. Pakistan, negara Sunni terpadat, kemudian dipisah menjadi Pakistan dan Bangladesh. Runtuhnya kekhalifahan tersebut juga mengakibatkan lahirnya Arab Saudi, sebuah monarki absolut berbasis dinasti yang terus memperjuangkan doktrin reformis Muhammad bin Abdul-Wahhab.[62][63][64][65] Hal ini juga dibarengi oleh berkembangnya gerakan Wahhabi, Salafiyah, Islamisme, dan Jihadisme yang memperjuangkan doktrin Ibnu Taimiyyah (1263–1328 M/661–728 H), seorang ulama Hambali. Perang Dingin mengakibatkan radikalisasi para pengungsi Afganistan di Pakistan yang berjuang melawan komunisme yang didukung pasukan Uni Soviet di Afganistan, sehingga lahirlah gerakan Taliban. Setelah jatuhnya rezim komunis di Afganistan dan perang saudara, Taliban merebut kekuasaan dari faksi Mujahidin di Afganistan dan membentuk pemerintahan di bawah kepemimpinan Mohammed Omar, yang disebut sebagai Amirul-Mukminin, cara yang terhormat untuk menyapa khalifah. Taliban diakui oleh Pakistan dan Arab Saudi hingga setelah Serangan 11 September 2001, yang diotaki oleh Usamah bin Ladin—seorang warga negara Saudi yang mendapat suaka oleh Taliban—terjadi, memantik perlawanan terhadap teror, termasuk melawan Taliban.[66][67][68]

Pada abad ke-20, telah banyak kebencian di beberapa kalangan komunitas Sunni karena hilangnya keunggulan di beberapa wilayah yang sebelumnya didominasi Sunni seperti Syam, Mesopotamia, Balkan, Kaukasus Utara, dan anak benua India.[69] Upaya terbaru oleh kelompok radikal jihadisme salafi untuk mendirikan kembali kekhalifahan Sunni terlihat dalam munculnya kelompok militan NIIS, dengan pemimpinnya Abu Bakar al-Baghdadi yang dikenal di kalangan pengikutnya sebagai khalifah dan Amirulmukminin, "Pemimpin Kaum Beriman".[70] Jihadisme menjadi salah satu kelompok yang selalu dilawan dari dalam umat Islam di seluruh penjuru dunia yang dibuktikan dengan kehadiran hampir 2% populasi Muslim di London yang memprotes NIIS.[71]

Mengikuti pendekatan yang lebih puritan dari Ibnu Katsir, Muhammad Rasyid Ridha, dll. banyak tafsir kontemporer mengabaikan signifikansi cerita Israiliyat, cerita yang bersumber dari Alkitab dan riwayat orang-orang Yahudi dan Nasrani. Setengah dari tafsir Arab menolak menggunakan cerita Israiliyat secara umum, sedangkan tafsir Turki biasanya sebagian membolehkan merujuk pada cerita Israiliyat. Akan tetapi, sebagian besar mufassir non-Arab menganggap Israiliyat tidak berguna atau tidak dapat diterapkan.[72] Rujukan langsung ke konflik Israel-Palestina tidak pernah ditemukan. Masih belum jelas apakah penolakan Israiliyat memiliki motif politik atau hanya sebatas pemikiran tradisionalis.[72] Penggunaan tafsir 'ilmi adalah karakteristik penting lainnya dari tafsir Sunni modern. Tafsir 'ilmi singkatan dugaan keajaiban ilmiah yang ditemukan dalam Al-Qur'an. Singkatnya, idenya adalah bahwa Al-Qur'an mengandung pengetahuan tentang hal-hal yang tidak mungkin dimiliki oleh seorang penulis abad ke-7. Penafsiran semacam itu populer di antara banyak mufassir. Beberapa ulama mufassir Universitas Al-Azhar, menolak pendekatan ini, dengan alasan Al-Qur'an adalah teks untuk petunjuk agama, bukan untuk sains dan teori ilmiah yang dapat dibantah nantinya; dengan demikian tafsir 'ilmi dapat mengarah pada penafsiran yang keliru pada ayat-ayat Al-Qur'an.[73] Kecenderungan tafsir Islam modern umumnya dipandang untuk menyesuaikan dengan audiens modern serta memurnikan Islam dari dugaan perubahan, beberapa di antaranya diyakini sebagai bentuk tahrif yang sengaja dibawa ke dalam Islam untuk melemahkan dan merusak dakwahnya.[72]

Penganut

Negara dengan lebih dari 95% populasi Muslim.[74]
  Sunni
  Syiah
  Ibadi

Para pengikut Sunni meyakini bahwa sahabat Muhammad adalah penyebar Islam yang andal, karena Allah dan Muhammad meridai mereka. Sumber abad pertengahan bahkan melarang kutukan atau fitnah mereka.[75] Keyakinan ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud, bahwa Muhammad bersabda: "Yang terbaik dari manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka, kemudian generasi setelah mereka." Dukungan untuk pandangan ini juga ditemukan dalam Al-Qur'an, menurut Sunni.[76] Oleh karena itu, riwayat para sahabat juga diperhitungkan untuk pengetahuan iman Islam. Sunni juga percaya bahwa para sahabat adalah mukmin sejati karena para sahabatlah yang diberi tugas untuk memushafkan Al-Qur'an.

Sunni tidak memiliki hierarki formal. Pemimpin agama bersifat nonformal, dan menuntut ilmu untuk menjadi ulama di bidang hukum (syariat) atau akidah (kalam). Kepemimpinan agama dan politik pada prinsipnya terbuka untuk semua umat Islam.[77] Menurut Islamic Center of Columbia, Carolina Selatan, setiap orang yang memiliki kecerdasan dan kemauan bisa menjadi ulama. Selama Salat Jumat, jemaah akan memilih orang berilmu untuk memimpin salat, yang dikenal sebagai khatib (orang yang berkhotbah).[78]

Sebuah studi yang dilakukan Pew Research Center pada tahun 2010 dan dirilis Januari 2011 [79] menemukan bahwa terdapat 1,62 miliar Muslim di seluruh dunia, dan diperkirakan lebih dari 85–90% adalah Sunni.[80]

Mazhab akidah

Tidak ada kesepakatan di antara para ulama mengenai bagaimana pandangan dogmatis yang harus dipegang oleh Sunni. Sejak periode modern awal, ada gagasan bahwa ada tiga mazhab akidah yang diakui sebagai Sunni:

  1. yang dinamai menurut Abu al-Hasan al-Asy'ari (wafat 935) sebagai Asy'ariyah (Asya'irah);
  2. yang dinamai menurut Abu Mansur al-Maturidi (wafat 941) bernama Maturidiyah;
  3. kelompok ketiga dengan nama berbeda, yang berorientasi tradisionalistis dan menolak Ilmu Kalam yang dianjurkan oleh Maturidiyah dan Asy'ariyah

Ulama Suriah Abdul-Baqi bin Faqih Fussa (w. 1661) menyebut kelompok tradisionalis ketiga ini mazhab Hambali.[81] Pemikir Ottoman İsmail Hakkı İzmirli [tr] (w. 1946), yang setuju untuk membagi Sunni menjadi tiga kelompok ini, menyebut kelompok ketiga ini sebagai "tradisionalis" atau "Salafiyah", tetapi juga menggunakan Atsariyah sebagai istilah alternatif. Untuk Maturidiyah dia memberikan Nasafiyah sebagai kemungkinan nama alternatif.[82] Istilah lain yang digunakan untuk kelompok berorientasi tradisionalis adalah "ahli hadis". Ini digunakan, misalnya, dalam dokumen akhir Muktamar Grozny. Hanya orang-orang "ahli Hadis" yang tergolong Sunni yang mempraktikkan tafwidh, yaitu yang menahan diri untuk tidak menafsirkan pernyataan-pernyataan Al-Qur'an yang rancu.[83]

Asy'ariyah

Digagas oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari (873–935), mazhab akidah ini dianut oleh banyak ulama dan terus berkembang di belahan dunia Islam sepanjang sejarah; al-Ghazali menulis tentang akidah yang membahasnya dan menyepakati beberapa prinsipnya.[84]

Akidah Asy'ariyah menekankan wahyu ilahi atas akal manusia. Berbeda dengan Mu'tazilah, mereka mengatakan bahwa etika tidak dapat diturunkan dari akal manusia, tetapi bahwa perintah Tuhan, sebagaimana diwahyukan dalam Al-Qur'an dan Sunnah (praktik-praktik Muhammad dan para sahabatnya sebagaimana dicatat dalam hadis), adalah satu-satunya sumber dari semua moralitas dan etika.

Mengenai sifat-sifat Ketuhanan, Asy'ariyah menolak posisi Muktazilah bahwa semua rujukan Al-Qur'an tentang Allah beserta sifat-sifat-Nya adalah majaz (metafor). Kaum Asy'ari menganggap bahwa sifat-sifat ini adalah "sesuai dengan sifat Ketuhanan". Karena bahasa Arab merupakan bahasa yang luas mengingat satu kata dapat memiliki 15 arti yang berbeda, Asy'ariyah berusaha untuk menemukan makna yang paling sesuai dengan Allah tanpa bertentangan dengan Al-Qur'an. Oleh karena itu, ketika Allah berfirman, "Allah tidak serupa dengan sesuatu pun", ini jelas bermakna Allah tidak berjisim karena Dia-lah yang menciptakan bagian-bagian tubuh. Asy'ariyah cenderung menekankan kemahakuasaan ilahi atas kehendak bebas manusia dan mereka percaya bahwa Al-Qur'an itu abadi dan bukan makhluk.

Maturidiyah

Digagas oleh Abu Mansur al-Maturidi (w. 944), Maturidiyah merupakan mazhab akidah utama umat Islam di Asia Tengah[85] berdasarkan fikih mazhab Hanafi. Mazhab akidah ini dipengaruhi oleh penafsiran orang Persia tentang Islam dan sedikit tradisi yang berasal dari budaya Arab.[86] Berbeda dengan pendekatan tradisionalis, Maturidiyah memungkinkan untuk menolak hadis berdasarkan akal saja.[87] Akan tetapi, wahyu tetap penting untuk menjelaskan kepada manusia tentang hal-hal yang berada di luar batas akal, seperti akhirat. Etika di sisi lain, tidak membutuhkan wahyu, tetapi dapat dipahami dengan akal saja. Salah satu suku, Turki Seljuk, bermigrasi ke Turki, tempat kelak berdirinya Kesultanan Utsmaniyah.[88] Mazhab akidah ini umumnya diikuti oleh pengikut mazhab Hanafi sementara pengikut mazhab Syafii dan Maliki di dalam kesultanan mengikuti mazhab Asy'ariyah dan Atsariyah. Dengan demikian, di mana pun dapat ditemukan pengikut Hanafi, di situ dapat ditemukan akidah Maturidiyah.[89][90]

Atsariyah

Mazhab akidah tradisionalis serta teologi skriputralis, dikenal sebagai Atsariyah, adalah mazhab akidah Islam yang menolak teologi Islam rasionalistik (ilmu kalam) dan mendukung tekstualisme yang ketat dalam menafsirkan Al-Qur'an dan Sunnah.[91] Kadang-kadang juga disebut sebagai Atsariyah, juga dengan beberapa nama lain.

Penganut mazhab akidah ini meyakini bahwa makna lahiriah Al-Qur'an dan hadis memiliki otoritas tunggal dalam masalah keyakinan dan hukum; dan bahwa penggunaan perdebatan rasional dilarang bahkan jika hanya dipakai untuk membuktikan kebenarannya.[92] Mereka memaknai Al-Qur'an secara literal, dan tidak boleh ditakwil (penafsiran majazi/metaforis). Mereka tidak berusaha mengkonseptualisasi makna ayat Al-Qur'an secara rasional, dan meyakini bahwa hal-hal semacam ini harus diserahkan kepada Allah saja (tafwidh).[93] Intinya, teks Al-Qur'an dan hadis diterima apa adanya tanpa menanyakan "bagaimana memaknainya" (bi-la kaifa).

Mazhab akidah tradisionalis muncul di kalangan ulama hadis yang akhirnya bergabung menjadi gerakan yang disebut ahli hadis, dengan Ahmad bin Hanbal sebagai pemimpinnya.[94] Dalam masalah akidah, mereka beradu dengan Muktazilah dan mazhab akidah lainnya, mengutuk banyak poin doktrin mereka serta metode rasionalistik yang mereka gunakan dalam mempertahankannya.[94] Pada abad ke-10 M al-Asy'ari dan al-Maturidi menemukan jalan tengah antara rasionalisme Muktazilah dan literalisme Hambali, dengan menggunakan metode rasionalistik yang diperjuangkan oleh Muktazilah untuk mempertahankan sebagian besar ajaran doktrin tradisionalis.[95][96] Meskipun sebagian besar ulama Hambali yang menolak sintesis ini minoritas, pendekatan mereka yang berbasis narasi dan emosional terhadap iman tetap berpengaruh di kalangan massa perkotaan di beberapa daerah, khususnya di Bagdad zaman Abbasiyah.[97]

Meskipun Asy'ariyah dan Maturidiyah sering disebut "Sunni ortodoks", mazhab akidah tradisionalis telah berkembang pesat bersamanya serta terus bersaing untuk mendapatkan predikat "Sunni Ortodoks".[98] Pada zaman modern, mazhab akidah ini memiliki dampak yang tidak proporsional pada teologi Islam, yang telah diapropriasi oleh aliran Wahhabi dan Salafi tradisionalis lainnya dan telah menyebar jauh melampaui batas-batas mazhab Hambali.[99]

Pengertian sempit

Ada ulama yang ingin membatasi istilah Sunni untuk Asy'ariyah dan Maturidiyah saja. Misalnya, Murtadha az-Zabidi (w. 1790) menulis dalam tafsir tentang kitab al-Ghazali, Ihya' 'Ulumuddin: "Kapankah ahlussunnah wal-jama'ah digunakan, yakni ketika Asy'ariyah dan Maturidiyah (digagas)".[49] Pernyataan ini juga dilontarkan Kantor Fatwa Mesir pada Juli 2013.[100] Pada masa Utsmaniyah, banyak upaya dilakukan untuk membangun keselarasan yang baik antara ajaran Asy'ariyah dan Maturidiyah.[100] Ada juga ulama yang menganggap Sunni adalah Asy'ariyah saja. Misalnya, tokoh Sufi Maroko Ahmad ibn ʿAjibah (w. 1809) menyatakan dalam tafsir Surah Al-Fatihah: “Terkait Sunni, merekalah yang mengikut Asy'ariyah serta mengikuti keyakinan yang benar.“[101]

Sebaliknya, ada juga ulama yang mendepak Asy'ariyah dari Sunni. Ulama Andalusia, Ibnu Hazm (w. 1064) mengatakan bahwa Abu al-Hasan al-Asy'ari mengikuti Murji'ah, sebuah mazhab akidah yang banyak didepak dari Sunni.[102] Ulama Suriah-Albania penganut Atsariyah-Salafiyah, Muhammad Nashiruddin al-Albani, menolak ekstremisme dalam mendepak Asy'ariyah dari Sunni. Ia meyakini bahwa meski pemahamannya berbeda dengan Atsariyah, ulama Asy'ari tidak pantas didepak dari ahlussunnah wal-jama'ah, kecuali bagi mereka yang tidak mengikuti manhaj salaf. Menurut Albani:

“Saya tidak setuju dengan pendapat sebagian ulama (rahimahullah) di masa lampau dan sekarang yang kami katakan tentang sebuah kelompok dari [banyak] kelompok Islam yang bukan Ahlussunnah karena penyimpangannya dalam satu masalah atau lainnya. ... Adapun apakah Asy'ariyah atau Maturidiyah itu dari Ahlussunnah wal-Jama'ah, saya katakan bahwa mereka itu Ahlussunnah wal-Jama'ah dalam banyak hal yang berkaitan dengan akidah tetapi dalam masalah aqidah lainnya mereka telah berbeda dengan Ahlussunnah wal Jama'ah. . Saya tidak berpendapat bahwa kita harus mengatakan bahwa mereka bukan dari Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah apapun”.[103]

Sunni dalam pengertian umum dan khusus

Ulama mazhab Hambali, Ibnu Taimiyyah (w. 1328) dalam karyanya membedakan manhaj as-sunnah antara Sunni dalam pengertian umum (ahlussunnah al-ʿāmma) dan Sunni dalam pengertian khusus (ahlus-sunnah al-khāṣṣa). Sunni dalam pengertian umum adalah semua Muslim yang mengakui kekhalifahan tiga khalifah (Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin 'Affan). Menurutnya, ini termasuk semua kelompok Islam kecuali Syiah Rafidhah. Sunni dalam arti khusus hanyalah "ahli hadis".[104]

İsmail Hakkı İzmirli, yang melanjutkan pembedaan lingkaran Sunni yang lebih luas dan lebih sempit dari Ibnu Taimiyyah, mengatakan bahwa Kullabiyah dan Asy'ariyah adalah Sunni dalam pengertian umum, sedangkan Salafiyah mewakili Sunni dalam pengertian khusus. Tentang Maturidiyah, ia hanya mengatakan bahwa mereka lebih dekat dengan Salafiyah daripada Asy'ariyah karena mereka unggul dalam fikih daripada kalam.[82] Ulama Saudi, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (w. 2001), seperti Ibnu Taimiyyah, juga membedakan antara Sunni secara umum dan khusus, juga mengecualikan Asy'ariyah dari lingkaran Sunni dalam pengertian khusus dan berpandangan bahwa hanya pengikut salafusshalih yang menyepakati sunnah termasuk golongan ini.[105]

Muktazilah

Muktazilah umumnya tidak dimasukkan sebagai Sunni. Ibnu Hazm, misalnya, membandingkan mereka dengan Sunni sebagai kelompok terpisah dalam karya heresiografinya al-Faṣl fil-Milal wal-Ahwāʾ wan-Niḥal.[102] Dalam banyak teks abad pertengahan, Ahlussunnah dibedakan dengan Muktazilah.[106] Pada tahun 2010, kantor fatwa Yordania mengeluarkan fatwa bahwa Muktazilah, seperti halnya Khawarij, merupakan doktrin yang bertentangan dengan Sunni.[107] Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa kaum Muktazilah adalah Sunni dalam pengertian umum karena mereka mengakui kekhalifahan dari tiga khalifah pertama.[108]

Mistisisme

Terdapat kesepakatan luas bahwa para Sufi juga merupakan bagian dari Sunni. Pandangan ini sudah dapat ditemukan pada ulama Syafi'i, Abu Mansur al-Baghdadi (wafat 1037). Dalam karya heresiografinya al-Farq bainal-Firaq ia membagi Sunni ke dalam delapan kategori (asnāf) orang yang berbeda:

  1. teolog dan ulama Kalam
  2. ulama fikih
  3. ulama tradisional dan hadis
  4. ulama adab dan bahasa
  5. ulama Al-Qur'an
  6. ulama sufi (az-zuhhād aṣ-ṣūfīyah)
  7. orang-orang yang melakukan ribat dan jihad melawan musuh-musuh Islam
  8. masyarakat umum yang mengikuti mereka)[109]

Menurut klasifikasi ini, para Sufi adalah salah satu dari total delapan kelompok dalam Sunni, yang didefinisikan menurut spesialisasi agama mereka.

Ulama Tunisia Muhammad bin al-Qasim al-Bakki (w. 1510) juga memasukkan kaum Sufi ke dalam Sunni. Dia membagi Sunni menjadi tiga kelompok berikut menurut pengetahuan mereka (istiqrāʾ):

  1. Ahli Hadis: Prinsip mereka didasarkan pada nash, yaitu Kitab (Al-Qur'an), Sunnah, dan Ijmak.
  2. Orang-orang yang ahli akidah, termasuk Asy'ariyah dan Maturidiyah. Mereka sepakat dalam prinsip-prinsip rasional. Mereka juga menyepakati semua pertanyaan dogmatis, kecuali soal penciptaan (takwīn) dan soal taklid.
  3. Orang-orang Sufi. Prinsip-prinsipnya pada tahap awal sesuai dengan prinsip-prinsip dari dua kelompok lainnya, tetapi pada tahap akhir mereka mengandalkan kasyf dan ilham.[110]

Demikian pula, Murtadha az-Zabidi menyatakan di tempat lain dalam tafsirnya tentang Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazzali bahwa Sunni terdiri dari empat kelompok yaitu ulama hadis, Sufi, Asy'ariyah, dan Maturidiyah.[111]

Beberapa ulama ingin mendepak Sufi dari Sunni. Ulama Yaman ʿAbbās bin Mansūr as-Saksakī (w. 1284) menjelaskan dalam karya doksografisnya al-Burhān fī Maʿrifat ʿAqāʾid Ahlul-Adyān ("Bukti Pengetahuan Keyakinan Pengikut berbagai Agama") tentang Sufi: "Mereka menamakan diri mereka pengikut Sunni, tetapi mereka tidak berhak mengeklaimnya, karena bertentangan dengan keyakinan, tindakan, dan ajaran mereka.” Hal inilah yang membedakan kaum Sufi dengan Sunni, yang menurut as-Saksakī berorientasi pada makna batin yang tersembunyi dari Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam hal ini, menurutnya, mereka menyerupai orang Batiniyyah.[112] Menurut dokumen akhir Muktamar Grozny, hanya para Sufi yang dianggap sebagai Sunni yang merupakan "orang-orang Sufisme murni" (ahlut-taṣawuf aṣ-ṣāfī) dalam pengetahuan, etika, dan pemurnian batin, menurut metode tarekat seperti yang diajarkan oleh al-Junaid Al-Baghdadi dan "Imam Pemberi Petunjuk" (aʾimma al-hudā) yang mengikuti jalannya.[83]

Pada abad ke-11, tasawuf yang sebelumnya merupakan aliran yang kurang “dikodifikasikan”, mulai “diatur dan dikristalkan” [113] menjadi tarekat yang terus berlangsung hingga saat ini [113] Semua tarekat ini didirikan oleh seorang wali besar Islam Sunni, dan beberapa tarekat terbesar dan tersebar luas termasuk Qadiriyah (oleh Abdul Qadir al-Jailani [w. 1166]), Rifa'iyah (oleh Ahmad ar-Rifa'i [w. .1182]), Chishtiyah (oleh Mu'inuddin Chishti [w. 1236]), Syadziliyah (oleh Abu al-Hasan asy-Syadzili [w. 1258]), dan Naqsyabandiyah (oleh Bahaud-Din Naqsyband [w. 1389]).[113] Berbeda dengan pandangan penggambaran orientalis populer,[114] baik pendiri tarekat maupun pengikutnya tidak menganggap diri mereka sebagai apa pun selain Muslim Sunni ortodoks,[114] Banyak pembela ortodoksi Islam yang paling terkemuka, seperti Abdul Qadir al-Jailani, al-Ghazali, Sultan Salahuddin al-Ayyubi (Saladin) sering dikaitkan tasawuf."[115] Aliran Sunni seperti Salafi dan Wahhabi tidak menerima banyak praktik mistis yang terkait dengan tarekat Sufi kontemporer.[116]

Fikih

Fikih merupakan yurisprudensi Islam, yakni menafsirkan hukum Islam dengan menurunkan aturan-aturan tertentu – seperti tata cara salat. Semua mazhab memiliki tata cara sendiri tersendiri dalam menafsirkan fikih. Mazhab-mazhab ini merepresentasikan metodologi yang dijabarkan dengan rinci untuk menafsirkan hukum Islam, ada sedikit perbedaan metodologis. Meski konflik antarmazhab pernah diwarnai kekerasan di masa lalu,[117] keempat mazhab Sunni mengakui kesahihannya satu sama lain dan mereka telah berinteraksi dalam perdebatan fikih selama berabad-abad.[118][119]

Mazhab fikih

Telah banyak tradisi intelektual dalam bidang syariat (hukum Islam), sering disebut sebagai mazhab (aliran hukum). Tradisi-tradisi ini mencerminkan sudut pandang yang berbeda tentang hukum dan kewajiban dalam beragama. Meski satu mazhab dapat memandang satu tindakan tertentu sebagai kewajiban agama, mazhab yang lain mungkin memandangnya sebagai mustahab. Mazhab-mazhab ini bukanlah firkah; mereka mewakili sudut pandang yang berbeda tentang isu-isu yang tidak dianggap sebagai inti dari keyakinan Islam. Sejarawan berbeda pendapat tentang penggambaran yang tepat dari mazhab berdasarkan prinsip-prinsip dasar yang mereka ikuti.

Banyak ulama tradisional membagi Islam Sunni dalam dua kelompok: Ahlur-Ra'y, atau "mereka yang menggunakan akal", karena menekankan penilaian dan wacana ilmiah; serta Ahlul-Hadits, atau "ahli hadis", karena menekankan pembatasan pemikiran hukum sesuai kitab suci.[120] Ibnu Khaldun mendefinisikan mazhab Sunni menjadi tiga: mazhab Hanafi yang mengikuti akal, mazhab Zhahiri yang melambangkan tradisi, dan mazhab menengah yang lebih luas yang mencakup mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hambali.[121][122]

Pada Abad Pertengahan, Kesultanan Mamluk di Mesir menetapkan bahwa mazhab Sunni yang boleh diikuti hanya Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali, tidak termasuk mazhab Zhahiri.[123] Kesultanan Utsmaniyah kemudian menegaskan lagi status resmi empat mazhab sebagai tanggapan terhadap pengaruh Syiah dari lawan ideologis dan politik mereka, Dinasti Safawiyah.[117] Di era kontemporer, mantan Perdana Menteri Sudan Al-Sadiq al-Mahdi, serta Risalah Amman yang dikeluarkan oleh Raja Abdullah II dari Yordania, mengakui Zhahiri dan mempertahankan lima mazhab Sunni.[124][125]

Rukun iman

Landasan keimanan Sunni disebut akidah, yang meringkas hal-hal penting dalam bentuk daftar. Poin pengajaran individu berbeda tergantung pada afiliasi penulis dengan tradisi pengajaran tertentu. Akidah terpenting yang secara eksplisit mengklaim mewakili ajaran Sunni meliputi:

  • Kembali ke karya Ahmad ibn Hanbal, ketika ia mendefinisikan "ciri-ciri orang beriman dari ahlussunnah wal-jama'ah". Teks tersebut dalam karya berjudul Ṭabaqāt al-Ḥanābilah oleh ulama Hambali Qadi bin Abi Yaʿla (w. 1131). Versi pertama berasal dari risalah tentang Sunnah oleh murid Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Habib al-Andarani, versi kedua berdasarkan murid Ahmad, Muhammad bin Yunus.[126]
  • Akidah Abu al-Hasan al-Asy'ari dalam karyanya Maqālāt al-islāmīyīn[127] dan Kitāb al-Ibānah.[31] Yang pertama disebut ajaran ahlul-hadiṡ was-sunnah, yang terakhir disebut ajaran ahlul-ḥaqq was-sunnah.
  • Akidah Hanafi ath-Thahawi Mesir (w. 933), juga dikenal dengan judul Bayan as-Sunnah wal-Jamāʿah. Telah beberapa kali menerima penafsiran sejak abad ke-13 dan seterusnya.[128]
  • Akidah Qadiriyah (al-iʿtiqād al-Qādirī) yang disebutkan dalam al-Muntaẓam oleh Ibnu al-Jauzi.[129]
  • Akidah al-Ghazali (w. 1111) dalam juz kedua dari kitab Ihya Ulumuddin. Judulnya adalah "Akidah Sunni dalam Dua Kalimat Syahadat" (Aqīdah ahlus-sunnah fī kalimatainisy-syahādah).[130]
  • Aqidah Wasithiyah oleh Ibnu Taimiyyah (1263–1328),[131] yang kemudian menjadi penting terutama di kalangan Wahhabisme dan Ahli Hadis. Diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh Henri Laoust,[132] oleh Merlin Swartz ke dalam bahasa Inggris,[133] dan oleh Clemens Wein ke dalam bahasa Jerman.[134]

Mayoritas yang disebutkan mengakui tentang enam poin penting tentang keimanan, yang dikenal sebagai enam rukun iman.[135] Keenam rukun ini telah disepakati Sunni hingga sekarang. Selain itu, Islam Sunni klasik juga menguraikan banyak doktrin utama lainnya sejak abad ke-8, seperti Aqidah Thahawiyah. Secara tradisional, enam rukun iman Sunni ini adalah:

  • Iman kepada Allah
  • Iman kepada malaikat
  • Iman kepada kitab-kitab Allah
  • Iman kepada Nabi dan Rasul Allah
  • Iman kepada Hari Akhir
  • Iman kepada qada dan qadar

Pandangan terhadap hadis

Al-Qur'an seperti yang ada sekarang ini, dibukukan oleh sahabat Muhammad beberapa bulan setelah kematian Muhammad, dan diterima oleh semua firkah Islam.[136] Banyak persoalan akidah dan kehidupan sehari-hari yang tidak secara langsung ditentukan dalam Al-Qur'an, tetapi merupakan tindakan yang pernah dialami Muhammad dan komunitas Muslim awal. Generasi berikutnya mencari tradisi lisan tentang sejarah awal Islam, berkaitan dengan apa yang pernah dilakukan Muhammad dan pengikut pertamanya, dan menuliskannya agar dapat dilestarikan. Tradisi lisan yang tercatat ini disebut hadis.[137] Para cendekiawan Muslim selama berabad-abad telah menyaring hadits dan mengevaluasi sanad-sanad riwayat dari setiap hadits, mencermati tingkat kepercayaan para perawi dan menilai kekuatan masing-masing hadis.[138]

Kutubussittah

Kutubussittah adalah enam kitab yang berisi kumpulan hadis. Muslim Sunni menerima koleksi hadis Bukhari dan Muslim sebagai yang paling shahih, serta menerima semua hadis shahih, dan memberikan status yang sedikit lebih rendah pada koleksi ulama hadis lainnya. Empat koleksi hadis lainnya juga digunakan secara khusus oleh Muslim Sunni, sehingga total menjadi enam:

Ada juga kumpulan hadis lainnya yang juga memuat banyak hadis shahih dan sering digunakan oleh para ulama dan ahli. Contoh koleksi ini meliputi:

Kelembagaan

Salah satu lembaga pendidikan penting dalam Islam Sunni adalah Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Pasal 32b, ayat 7 Statuta Universitas Al-Azhar Mesir Tahun 1961 menegaskan bahwa Al-Azhar mengikuti manhaj Ahlussunnah wal-Jama'ah, menyepakati dasar-dasar agama dan penerapan fikih, dengan empat mazhabnya. Hanya orang yang berpegang teguh pada keilmuan serta akhlakulkarimah yang dapat menjadi "Anggota Dewan Ulama Besar" (haiʾat kibār al-ʿulamāʾ), seperti Imam Besar al-Azhar.[139] Universitas Zaitunah di Tunisia dan Universitas al-Qarawiyyin di Maroko, juga diakui. Keduanya disebut bersama Al-Azhar dalam dokumen Muktamar Grozny.[140]

Lembaga lainnya yang juga mengakui sebagai Sunni adalah Dewan Ulama Senior Arab Saudi, dibentuk 1971. Pada awal berdirinya, majelis tersebut telah mengeluarkan banyak sekali fatwa mengenai kriteria orang yang layak disebut Sunni. Pada 1986, dewan tersebut mengeluarkan fatwa untuk mendepak Al-Ahbash dari Sunni.[141] Liga Muslim Arab di Makkah, yang juga didanai Saudi, membuat resolusi tahun 1987 bahwa Sunni merupakan ajaran yang murni pada masa Rasulullah serta kekhalifahan.[142]

Direktorat Agama Turki (Diyanet İşleri Başkanlığı), meneruskan kebijakan keagamaan pada masa Utsmaniyah serta menjelaskan apa yang dimaksud Sunni.[143] Pada 1960-an, muncul rencana Komite Penyatuan Nasional untuk mengubah Diyanet menjadi lembaga nondenominasi yang juga merangkul Alevi. Akan tetapi, rencana ini gagal karena adanya resistensi dari ulama Sunni di dalam maupun di luar DIyanet.[144] Sejak 1990-an, Diyanet menyatakan dirinya sebagai lembaga yang berdiri di atas denominasi (mezhepler üstü)[143] Pendidikan keagamaan di sekolah-sekolah Turki dirancang khusus berdasarkan Islam Sunni.[145]

Citra

Sebagai cabang Islam yang selamat

Sebuah hadis terkenal, yang ditafsirkan sebagai Vaticinium ex eventu, mengatakan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, hanya satu yang akan selamat.[146] Kaum Sunni berpendapat bahwa merekalah yang merupakan firqatun-najiyah (golongan yang diselamatkan). Misalnya, Abu Mansur al-Baghdadi (w. 1037) menjelaskan di awal karya heresiografinya al-Farq bainal-firaq ("Perbandingan Firqah-FIrqah") bahwa ada 20 Rafidhah 20 Khawarij, 20 Qadariyah, 3 Murji'ah, 3 Najjariyah, 3 Karramiyyah, dan terakhir Bakriyyah, Dirariyyah, dan Jahmiyah. Ini adalah 72 sekte yang sesat. Sekte ke-73 yang merupakan “sekte yang diselamatkan” adalah Sunni (ahlussunnah wal-jamaʿah). Menurut al-Baghdadi, mereka terdiri dari dua kelompok, yaitu pengikut Ra'y dan pengikut hadis. Mereka menyepakati dasar-dasar agama (uṣūluddīn). Yang ada hanyalah perbedaan derivasi (furūʿ) dari norma-norma mengenai pertanyaan tentang halal-haram dalam perkara fikih. Perbedaan ini tidak begitu besar sehingga mereka menganggap satu sama lain telah menyimpang dari jalan yang benar.[147]

Sebagai pusat komunitas Islam

Banyak ulama Sunni juga menjadikan Sunni sebagai pusat komunitas Muslim. Gagasan tersebut telah muncul sampai batas tertentu menurut ulama Asy'ariyah, ʿAbdul-Qāhir al-Baghdādī, yang menekankan pada beberapa pertanyaan dogmatis bahwa posisi Sunni berada di tengah-tengah antara posisi kelompok Islam lainnya.[148] Contohnya adalah pertanyaan tentang Qadar, yang menurut teori Kasb, berada tepat di tengah antara dua posisi ekstrem Jabariyah dan Qadariyah.

Ulama Hanbali Ibnu Taimiyyah (w. 1328), yang selain dikenal karena sikapnya yang tidak kenal kompromi, juga menganut pandangan ini. Ia mengatakan bahwa Sunni mewakili "bagian tengah di antara firkah umat" (al-wasaṭ fī firaq al-ummah), seperti halnya Umat Islam adalah tengah di antara komunitas agama lainnya. Ia mengilustrasikan ini dengan contoh-contoh berikut:

  • Dalam hal sifat-sifat Allah, kaum Sunni berdiri di tengah-tengah antara Jahmiyyah, yang sepenuhnya menghilangkan sifat-sifat Tuhan, dan Musyabbihah, yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
  • dalam qada dan qadar, berdiri di tengah-tengah antara Qadariyah dan Jabariyah,
  • pada pertanyaan tentang ancaman dari Tuhan (waʿid Allah), berdiri di tengah-tengah antara Murji'ah dan Waʿīdiyah, sebuah subkelompok dari Qadariyah,
  • terkait pertanyaan iman dan agama, mereka berdiri di tengah-tengah antara Haruiyya (Khawarij) dan Muktazilah di satu sisi dan Murji'ah dan Jahmiyah di sisi lain,
  • dan berkenaan dengan Sahabat Nabi mereka berdiri di tengah-tengah antara Rafidhah dan Khawarij.[149]

Ulama Hanafi Ali al-Qari (w. 1606) melanjutkan gagasan ini kemudian. Dalam kampanye anti-Syiah Syamm al-Alawāriḍ fī ḍamm ar-Rawāfiḍ dia mengutip sebuah riwayat yang dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib: "Dua kelompok yang akan dibinasakan karena aku: orang yang mencintaiku berlebihan dan orang yang membenciku berlebihan." Ia mencatat bahwa pecinta berlebihan adalah Rafidhah dan pembenci berlebihan adalah Khawarij. Sunni, di sisi lain, sangat mencintai Ali serta berada di tengah yang seimbang (al-wasaṭ allażī huwal-qisṭ ). Dalam surah Al-Baqarah 2:143, Allah berfirman bahwa Dia akan menjadikan umat Islam sebagai komunitas yang berdiri di tengah (umma wasaṭ). Karena Sunni menjauhi pernyataan berlebihan yang dijelaskan dalam riwayat, al-Qari percaya bahwa Sunni juga sebenarnya adalah "Pengikut Ali" (syīʿat ʿAlī).[150]

Sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan Islam

ʿAbdul-Qāhir al-Baghdādī menjelaskan Sunni dalam karyanya al-Farq bainal-firaq sebagai garda terdepan dalam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, usaha, dan kebudayaan yang dibanggakan umat Islam, al-Baghdadi menjelaskan bahwa Sunni memiliki andil yang besar.[151] Dalam bab terakhir bukunya, al-Baghdadi juga mengkaitkan hal ini dengan aktivitas pembangunan di negara-negara Islam. Dia percaya bahwa Sunni dengan banyaknya amal usaha seperti masjid, madrasah, istana, industri, dan rumah sakit, telah mencapai posisi yang tidak mampu dicapai firkah lainnya karena tidak ada firkah lain yang mampu menyelenggarakan amal usaha sebanyak Sunni.[152]

Persaingan antara Asy'ariyah, Maturidiyah dan Salafi

Ahmed el-Tayeb, Imam besar Al-Azhar, salah satu tokoh penting dalam Muktamar Chechnya, memilih undur diri dari keputusan muktamar.

Sejak paruh kedua abad ke-20, timbul persaingan antara kelompok Asy'ariyah dan Salafiyah, yang saling mengeluarkan lawan-lawannya dari firkah Sunni. Di Indonesia, ulama Asy'ariyah Sirajuddin Abbas (w. 1980) menulis kitab pada masa 1960-an, yang menyatakan dengan tegas bahwa Ahli Salaf (Salafiyah) bukan bagian dari Sunni. Selain itu, ia menganggap bahwa tidak ada "mazhab Salafi" pada 300 tahun pertama Islam. Sejak saat itu, ia menyimpulkan bahwa orang-orang yang menganut "mazhab Salafi" dianggap "memperkenalkan mazhab yang tidak pernah ada sebelumnya".[153] Menurutnya, hanya Asya'irah yang benar merupakan Sunni. Tulisan-tulisan Abbas sering menjadi rujukan bagi kampanye antisalafi di Aceh pada 2014.[154] Selama kampanye tersebut, banyak sekolah dan madrasah Salafi di Aceh ditutup pemerintah provinsi.[155]

Dengan adanya keraguan atas status Salafi sebagai bagian dari Sunni, Lajnah Daimah di Arab Saudi memutuskan fatwa bahwa Salafi termasuk dalam kelompok Sunni.[156] Seperti halnya Asy'ariyah, Salafi meyakini bahwa Salafi adalah ajaran Islam Sunni yang benar, dan menolak Asya'irah dan Maturidiyah sebagai bagian dari Sunni.[157] Contohnya adalah Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, dalam tafsirnya terhadap Aqidah Wasithiyah karya Ibnu Taimiyyah pada 2001 menyatakan bahwa Asya'irah dan Maturidiyah bukanlah bagian dari Sunni, karena doktrin akidahnya bertentangan dengan Nabi Muhammad dan para sahabat. Dengan alasan ini pula, kelompok-kelompok ini tidak dibenarkan menggunakan nama Sunni. Sunni adalah orang yang benar-benar mengikuti manhaj salaf, menurut pandangan mereka.[158]

Anggapan Wahhabisme bahwa Asy'ariyah bukan kelompok Sunni menjadi pokok bahasan fatwa oleh "Lembaga Fatwa Mesir" pada Juli 2013. Dalam fatwanya itu, lembaga tersebut menolak anggapan tersebut, serta menetapkan bahwa Asy'ariyah masih mewakili jumhur ulama, dan menekankan bahwa mereka adalah orang-orang yang di masa lalu menolak argumen ateis (syubuhāt al-malāḥidah). Barang siapa menyatakan mereka tidak beriman atau yang meragukan ortodoksi mereka harus takut akan agama mereka.[159] Pada hari yang sama, lembaga fatwa tersebut juga menegaskan bahwa ahlussunnah wal-jama'ah hanya berlaku bagi mereka yang mengikuti pemahaman Asya'irah maupun Maturidiyah.[160]

Kompetisi antara kelompok Salafi dan Asy'ariyah muncul lagi dalam dua muktamar Sunni tahun 2016, dalam rangka menanggapi terorisme NIIS. Muktamar yang pertama pada 2016 membahas judul "Siapakah ahlussunnah wal-jama'ah?" dilaksanakan di Grozny, Chechnya, pada Agustus 2016 dan didanai oleh Ramzan Kadyrov. Ulama Mesir, India, Syria, Yaman, dan Rusia ikut serta, seperti Imam Besar al-Azhar Ahmed el-Tayeb, serta Mufti Agung India, Sheikh Abubakr Ahmed. Menurut penyelenggara, muktamar ini diharapkan "memperbaiki penyimpangan agama yang serius dan berbahaya oleh para ekstremis yang mencoba mencoreng kehormatan ahlussunnah wal-jama'ah."[161] Muktamar ini menghasilkan deklarasi bahwa kelompok Salafi dan Islamisme seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dll. serta organisasi Takfiri seperti NIIS bukan Islam Sunni.[162] Menanggapi ini, ulama Salafi menggelar muktamar tandingan di Kuwait pada November 2016 dengan judul "Makna Sesungguhnya dari Ahlussunnah wal-Jama'ah" (al-Mafhūm aṣ-ṣaḥīḥ li-ahlussunnah wal-jama'ah). Dalam muktamar ini, mereka juga sepakat menjauhkan diri dari kelompok ekstremis, serta bersikeras bahwa Salafi bukan hanya bagian dari Sunni, melainkan mewakili Sunni sendiri. Muktamar ini dipimpin oleh Ahmad bin Murabit, Mufti Agung Mauritania.[163][164] Beberapa hari kemudian, Imam Besar al-Azhar Ahmed el-Tayeb secara terbuka undur diri dari deklarasi Muktamar Grozny, menegaskan kembali bahwa dia tidak berpartisipasi di dalamnya dan menekankan bahwa dia secara alami memandang kaum Salafi sebagai Sunni.[165]

Referensi

  1. ^ John L. Esposito, ed. (2014). "Sunni Islam". The Oxford Dictionary of Islam. Oxford: Oxford University Press. 
  2. ^ a b Tayeb El-Hibri, Maysam J. al Faruqi (2004). "Sunni Islam". Dalam Philip Mattar. The Encyclopedia of the Modern Middle East and North Africa (edisi ke-Second). MacMillan Reference. 
  3. ^ Fitzpatrick, Coeli; Walker, Adam Hani (2014). Muhammad in History, Thought, and Culture: An Encyclopedia of the Prophet of God [2 volumes]. ABC-CLIO. hlm. 3. ISBN 978-1610691789. 
  4. ^ Madelung, Wilferd (1997). The Succession to Muhammad. Cambridge University Press. hlm. xi. ISBN 0521646960. 
  5. ^ Jafri, Syed Husain Mohammad (27 August 1976). The Origins and Early Development of Shi'a Islam (Millennium (Series)) (The Millennium (Series).). Karachi, Pakistan: Oxford University Press (First Published By Longman Group Ltd and Librairie du Liban 1979). hlm. 19–21. ISBN 978-0195793871. The Shi'a unequivocally take the word in the meaning of leader, master and patron and therefore the explicitly nominated successor of the Prophet. The Sunnis, on the other hand, interpret the word mawla in the meaning of a friend or the nearest kin and confidant. 
  6. ^ John Richard Thackrah (2013). Dictionary of Terrorism (edisi ke-2, revised). Routledge. hlm. 252. ISBN 978-1135165956. 
  7. ^ Nasir, Jamal J., ed. (2009). The Status of Women Under Islamic Law and Modern Islamic Legislation (edisi ke-revised). Brill. hlm. 11. ISBN 978-9004172739. 
  8. ^ George W. Braswell (2000). What You Need to Know about Islam & Muslims (edisi ke-illustrated). B&H Publishing Group. hlm. 62. ISBN 978-0805418293. 
  9. ^ An Introduction to the Hadith. John Burton. Published by Edinburgh University Press. 1996. p. 201. Cite: "Sunni: Of or pertaining sunna, especially the Sunna of the Prophet. Used in conscious opposition to Shi'a, Shi'í. There being no ecclesia or centralized magisterium, the translation 'orthodox' is inappropriate. To the Muslim 'unorthodox' implies heretical, mubtadi, from bid'a, the contrary of sunna and so 'innovation'."
  10. ^ M. Hasyim Asy'ari, Risalah Ahlussunnah Wa al-Jama'ah. Jombang: Maktabah al-Turats al-Islami. 1418H. hlm. 5. ; dikutip dalam: Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur (2016). AM, Ahmad Muntaha, ed. Khazanah Aswaja. Surabaya: Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur. hlm. 10. ISBN 978-602-74756-0-1.  Kemudian menambahkan: Dalam istilah syariat (fikih), sunah berarti sesuatu yang dianjurkan untuk dilakukan, tetapi tidak wajib. Sedangkan menurut ulama ushul fiqh, kata Sunah berarti sesuatu yang secara khusus datang dari Nabi, bukan al-Qur'an, dan dapat dijadikan sebagai dalil dalam menetapkan sesuatu hukum-hukum agama. Dalam batasan yang agak luas, dimaksukkan pula dalam kategori Sunah adalah perbuatan, fatwa dan tradisi yang diinisiasi oleh para sahabat (atsar al-shahabi). Sedangkan Sunah dalam batasan ahli kalam (para teolog) ialah keyanikan (i'tiqad) yang didasarkan pada dalil naql (al-Qur'an, hadis, dan qawl atau ucapan Shahabi, bukan semata bersandar pada pemahaman akal (rasio). Dalam pengertian ahli politik, sunah ialah jejak yang ditinggalkan oleh Muhammad dan para Khulafa Rasyidun. Baca as-Syatibi. al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah. hlm. IV/3. , as-Syaukani. Irsyad al-Fuhul. hlm. 31. , Jalal Muhammad Musa (1975). Nasy'at al-Asyariyah wa Tathawwuruh. Bairut: Dar al-Kitab al-Lubhani. hlm. 15. , Muhammad Abu Zahrah. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah fi a-Siyasah wa al-'Aqidah. Bairut: Dar al-Fikri al-'Arabiyah,tth. hlm. 160. .
  11. ^ Ess: Der Eine und das Andere. 2011, Bd. II, S. 1271.
  12. ^ Ess: Der Eine und das Andere. 2011, Bd. II, p. 1272. (German)
  13. ^ Patricia Crone und Martin Hinds: God's Caliph. Religious authority in the first centuries of Islam. Cambridge University Press, Cambridge, 1986. S. 59–61.
  14. ^ Abū Yūsuf Yaʿqūb ibn Sufyān al-Fasawī: Kitāb al-Maʿrifa wa-t-tārīḫ. Ed. Akram Ḍiyāʾ al-ʿUmarī. 3 Bde. Bagdad: Maṭbaʿat Aršād 1975. Bd. II, p. 813. Digitalisat.
  15. ^ Šams ad-Dīn aḏ-Ḏahabī: Siyar aʿlām an-nubalāʾ. Ed. Šuʿaib al-Arnāʾūṭ. 11. Aufl. Muʾassasat ar-Risāla, Beirut, 1996. Bd. IV, S. 300. Digitalisat
  16. ^ Ibn Taimīya: Minhāǧ as-sunna an-nabawīya. Ed. Muḥammad Rašād Sālim. Ǧamiʿat al-Imām Muḥammad Ibn-Saʿid, Riad, 1986. Bd. II, S. 221, 224. Digitalisat
  17. ^ Muḥammad Rašīd Riḍā: as Sunna wa-š-šiʿa au al-Wahhābīya wa-r-Rāfiḍa: Ḥaqāʾiq dīnīya taʾrīḫīya iǧtimaʿīya iṣlaḥīya. Kairo 1928/29. Digitalisat Wikisource
  18. ^ So zum Beispiel bei Mohammad Heidari-Abkenar: Die ideologische und politische Konfrontation Schia-Sunna: am Beispiel der Stadt Rey des 10. – 12. Jh. n. Chr. Inaugural-Dissertation Köln 1992 und Ofra Bengo und Meir Litvak: The Sunna and Shi'a in history. Division and ecumenism in the Muslim Middle East. 1. Aufl. Palgrave Macmillan, New York, 2011.
  19. ^ Said Abu Jaib, al-Qamus al-Fiqhi Lughatan wa Istihalan. hlm. 29. ; dikutip dalam: Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur (2016). AM, Ahmad Muntaha, ed. Khazanah Aswaja. Surabaya: Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur. hlm. 10. ISBN 978-602-74756-0-1. .
  20. ^ Ṣaḥīḥ Muslim, Muqaddima, Bāb anna al-isnād min ad-dīn wa-ʾanna r-riwāya lā takūn illā ʿan aṯ-ṯiqāt
  21. ^ G.H.A. Juynboll: Muslim tradition. Studies in chronology, provenance and authorship of early ḥadīṯ. Cambridge University Press, Cambridge u. a. 1983. S. 17f.
  22. ^ Zaman: Religion and politics under the early ʿAbbāsids. 1997, S. 49.
  23. ^ Abū Ḥanīfa: Risāla ilā ʿUṯmān al-Battī. Ed. Muḥammad Zāhid al-Kauṯarī. Kairo, 1949. S. 38. Digitalisat.
  24. ^ Ess: Der Eine und das Andere. 2011, Bd. II, S. 1273.
  25. ^ a b Ulrich Rudolph: Al-Māturīdī und die sunnitische Theologie in Samarkand. Brill, Leiden 1997. S. 66.
  26. ^ Juynboll: “An Excursus on ahl as-sunnah”. 1998, S. 321.
  27. ^ Ibn Abī Yaʿlā: Ṭabaqāt al-Ḥanābila. 1952, Bd. II, S. 40.
  28. ^ Abū l-Qāsim Hibatallāh al-Lālakāʾī: Šarḥ uṣūl iʿtiqād ahl as-sunna wa-l-ǧamāʿa. 8. Aufl. Ed. Aḥmad Saʿd Ḥamdān. Wizārat aš-šuʾūn al-islāmīya, Riad, 2003. Bd. I, S. 65. Digitalisat – Engl. Übers. bei Juynboll: “An Excursus on ahl as-sunnah”. 1998, S. 319.
  29. ^ Ibn Ḥazm: al-Faṣl fi-l-milal wa-l-ahwāʾ wa-n-niḥal. Ed. Muḥammad Ibrāhīm Naṣr; ʿAbd-ar-Raḥmān ʿUmaira. 5 Bde. Dār al-Ǧīl, Beirut 1985. Bd. II, S. 265.
  30. ^ Ess: Der Eine und das Andere. 2011, Bd. II, S. 1274.
  31. ^ a b So al-Ašʿarī: Kitāb al-Ibāna ʿan uṣūl ad-diyāna. S. 8. – Engl. Übers. S. 49.
  32. ^ Lihat Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur (2016). AM, Ahmad Muntaha, ed. Khazanah Aswaja. Surabaya: Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur. hlm. 10. ISBN 978-602-74756-0-1.  .
  33. ^ Abū Jaʿfar Muḥammad b. Jarīr aṭ-Ṭabarī: Taʾrīḫ ar-rusul wa-l-mulūk. Hrsg. von M. J. de Goeje. Brill, Leiden, 1879–1901. Bd. III, S. 1114, Zeile 4–8 Digitalisat und Ess: Der Eine und das Andere. 2011, Bd. II, S. 1278.
  34. ^ Vgl. Yāqūt ar-Rūmī: Muʿǧam al-Buldān Ed. F. Wüstenfeld. Brockhaus, Leipzig, 1866–1870. Bd. III, S. 213f. Digitalisat und van Ess: Der Eine und das Andere. 2011, S. 332. (german)
  35. ^ Ess: Der Eine und das Andere. 2011, Bd. II, S. 1273f.
  36. ^ a b Ess: Der Eine und das Andere. 2011, Bd. II, S. 1276.
  37. ^ a b al-Bazdawī: Kitāb Uṣūl ad-Dīn. 2003, S. 250.
  38. ^ Er kommt bei ihm nur einmal vor, nämlich al-Ašʿarī: Kitāb Maqālāt al-islāmīyīn wa-iḫtilāf al-muṣallīn. 1963, S. 471, Zeile 10. Digitalisat
  39. ^ van Ess: Der Eine und das Andere. 2011, S. 681, 718.
  40. ^ Brodersen: „Sunnitische Identitätssuche im Transoxanien des 5./11. Jahrhunderts.“ 2019, S. 345.
  41. ^ Brodersen: „Sunnitische Identitätssuche im Transoxanien des 5./11. Jahrhunderts.“ 2019, S. 347. (German)
  42. ^ al-Bazdawī: Kitāb Uṣūl ad-Dīn. 2003, S. 254.
  43. ^ Šams ad-Dīn al-Muqaddasī: Kitāb Aḥsan at-taqāsīm fī maʿrifat al-aqālīm. Ed. M. J. de Goeje. 2. Aufl. Brill, Leiden 1906. S. 37. Digitalisat – Französische Übersetzung André Miquel. Institut Français de Damas, Damaskus, 1963. S. 88.
  44. ^ So Kate Chambers Seelye in ihrer Übersetzung von al-Baghdādīs Al-Farq baina l-firaq, siehe Seelye: Moslem Schisms and Sects. 1920, S. 38.
  45. ^ See z. B. aṭ-Ṭaḥāwī: al-ʿAqīda aṭ-Ṭaḥāwīya. 1995, S. 24. – Engl. Übers. Watt: Islamic creeds: a selection. 1994, S. 53.
  46. ^ Siehe z. B. aṭ-Ṭaḥāwī: al-ʿAqīda aṭ-Ṭaḥāwīya. 1995, S. 24. – Engl. Übers. Watt: Islamic creeds: a selection. 1994, S. 53.
  47. ^ aṭ-Ṭaḥāwī: al-ʿAqīda aṭ-Ṭaḥāwīya. 1995, S. 31. – Engl. Übers. Watt: Islamic creeds: a selection. 1994, S. 56.
  48. ^ Ibn Taimīya: al-ʿAqīda al-Wāsiṭīya. 1999, S. 128. – Dt. Übers. Wein S. 99.
  49. ^ a b Murtaḍā az-Zabīdī: Itḥāf as-sāda al-muttaqīn bi-šarḥ Iḥyāʾ ʿulūm ad-dīn. Muʾassasat at-taʾrīḫ al-ʿArabī, Beirut, 1994. Bd. II, S. 6 Digitalisat
  50. ^ Saleh: Modern Trends in Islamic Theological Discourse in 20th Century Indonesia. 2001, S. 91–96. (German)
  51. ^ Hughes, Aaron (2013). Muslim Identities: An Introduction to Islam. hlm. 115. ISBN 978-0231531924. It is a mistake to assume, as is frequently done, that Sunni Islam emerged as normative from the chaotic period following Muhammad's death and that the other two movements simply developed out of it. This assumption is based in... the taking of later and often highly ideological sources as accurate historical portrayals – and in part on the fact that the overwhelming majority of Muslims throughout the world follows now what emerged as Sunni Islam in the early period. 
  52. ^ Hughes, Aaron (2013). Muslim Identities: An Introduction to Islam. hlm. 116. ISBN 978-0231531924. Each of these sectarian movements... used the other to define itself more clearly and in the process to articulate its doctrinal contents and rituals. 
  53. ^ Tore Kjeilen. "Lexic Orient.com". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-06-05. Diakses tanggal 2011-06-05. 
  54. ^ El-Hibri, Tayeb (October 22, 2010). Parable and Politics in Early Islamic History:The Rashidun Caliphs. New York Chichester West Sussex: A Columbia University Press. hlm. 526 (kindle). ISBN 978-0231521659. 
  55. ^ Maududi, Abul A'la (July 2000). Khilafat o Malookiat [Caliphate and Monarchistic] (dalam bahasa Urdu). Lahore, Pakistan: Adara Tarjuman-ul-Quran (Private) Ltd, Urdu Bazar, Lahore, Pakistan. hlm. 105–153. 
  56. ^ Hazleton, Lesley (4 September 2009). After the Prophet:The Epic Story of Shia-Sunni Split in Islam. New York, London, Toronto, Sydney, Auckland: Anchor (Doubleday). hlm. 193 (kindle). ISBN 978-0385523936. 
  57. ^ Irving, Washington (1859). Lives of the Successors of Mahomet. Sunnyside: W. Clowes. hlm. 163–218. ISBN 978-1273126963. 
  58. ^ Nadvi, Syed Abul Hasan Ali. Al-Murtaza [The Murtaza] (dalam bahasa Urdu). Karachi Pakistan: Majlis-e-Nashriyat-e-Islam. hlm. 218–382. 
  59. ^ Maududi, Abul A'la (July 2000). Khilafat o Malookiat [Caliphate and Monarchistic] (dalam bahasa Urdu). Lahore, Pakistan: Adara Tarjuman-ul-Quran (Private) Ltd, Urdu Bazar, Lahore, Pakistan. hlm. 90. 
  60. ^ Jafri, Syed Husain Mohammad (976). The Origins and Early Development of Shi'a Islam (Millennium (Series)) (The Millennium (Series).). Karachi: Oxford University Press (First Published By Longman Group Ltd and Librairie du Liban 1979). hlm. 108–109. ISBN 978-0195793871. 
  61. ^ Kennedy, Hugh (2016). The Early Abbasid Caliphate: A Political History (Routledge Revivals) 1st Edition. Oxon: Routledge. hlm. 15–16. ISBN 978-1138953215. 
  62. ^ Gail Minault, The Khilafat Movement: Religious Symbolism and Political Mobilization in India (1982).
  63. ^ Rogan, Eugene (26 February 2015). The Fall of the Ottomans. UK: Penguin. ISBN 978-0141968704. 
  64. ^ Ian Harris; Stuart Mews; Paul Morris; John Shepherd (1992). Contemporary Religions: A World Guide. hlm. 369. ISBN 978-0582086951. 
  65. ^ Bowen, Wayne H. (2007). The History of Saudi Arabia. ISBN 978-0313340123. 
  66. ^ Hitti, Philip K. (1970). History of The Arabs (edisi ke-Tenth). Macmillan Education. hlm. 689–741. ISBN 978-0333098714. 
  67. ^ Kepel, Gilles (2003). Jihad: The Trail of Political Islam. ISBN 978-1845112578. 
  68. ^ Wiktorowicz, Quintan (2005). "A Genealogy of Radical Islam". Studies in Conflict & Terrorism. 28 (2): 83. doi:10.1080/10576100590905057. ISSN 1057-610X. 
  69. ^ Minahan, James (2002). Encyclopedia of the Stateless Nations. hlm. 547. 
  70. ^ "Profile: Abu Bakr al-Baghdadi". BBC News. 15 May 2015. 
  71. ^ Da Silva, Chantel (16 June 2017). "Cologne rally: As many as 10,000 Muslims to protest Islamic extremism". Independent. Cologne. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-01-06. Diakses tanggal 5 January 2018. 
  72. ^ a b c Johanna Pink (2010). Sunnitischer Tafsīr in der modernen islamischen Welt: Akademische Traditionen, Popularisierung und nationalstaatliche Interessen. Brill, ISBN 978-9004185920, pp. 114–116.
  73. ^ Johanna Pink (2010). Sunnitischer Tafsīr in der modernen islamischen Welt: Akademische Traditionen, Popularisierung und nationalstaatliche Interessen. Brill, ISBN 978-9004185920, pp. 120–121.
  74. ^ Source for distribution is the CIA World Factbook, Shiite/Sunnite distribution collected from other sources. Shiites may be underrepresented in some countries where they do not appear in official statistics.
  75. ^ Coeli Fitzpatrick Ph.D., Adam Hani Walker Muhammad in History, Thought, and Culture: An Encyclopedia of the Prophet of God [2 volumes] ABC-CLIO, 2014 ISBN 978-1610691789 pp. 106–107
  76. ^ Quran, [Qur'an At-Taubah:100]
  77. ^ Simone Chambers, Peter Nosco Dissent on Core Beliefs: Religious and Secular Perspectives Cambridge University Press, 2015 ISBN 978-1107101524 p. 138
  78. ^ Masjid al-Muslimiin. "Organizational Structure Of Islam". The Islamic Center of Columbia (South Carolina). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-10-01. Diakses tanggal 7 December 2013. 
  79. ^ "Region: Middle East-North Africa". The Future of the Global Muslim Population – Executive Summary. Pew Research Center. 2011-01-27. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-03-09. Diakses tanggal 3 April 2013. 
  80. ^ See:
  81. ^ Muḥammad ibn Aḥmad aṣ-Ṣaffārīnī Lawāmiʿ al-anwār al-bahīya wa-sawāṭiʿ al-asrār al-aṯarīya. Muʾassasat al-Ḫāfiqain, Damaskus, 1982. Bd. I, S. 73. Digitalisat
  82. ^ a b İsmail Hakkı İzmirli: Muḥaṣṣalü l-kelâm ve-l-ḥikme. Istanbul 1336h (= 1917/18 n.Chr.). S. 75. Digitalisat
  83. ^ a b Abschlussdokument der Grosny-Konferenz von 2016, arabisches Original und deutsche Übersetzung.
  84. ^ J. B. Schlubach. "Fethullah Gülen and Al-Ghazzali on Tolerance". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-03-04. Diakses tanggal 2010-01-07. 
  85. ^ Marlène Laruelle Being Muslim in Central Asia: Practices, Politics, and Identities Brill, 2018 ISBN 978-9004357242 p. 21
  86. ^ Marlène Laruelle Being Muslim in Central Asia: Practices, Politics, and Identities Brill, 2018 ISBN 978-9004357242 p. 21
  87. ^ Rico Isaacs, Alessandro Frigerio Theorizing Central Asian Politics: The State, Ideology and Power Springer, 2018 ISBN 978-3319973555 p. 108
  88. ^ "Maturidiyyah". Philtar. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-02-23. Diakses tanggal 2006-04-01. 
  89. ^ Jeffry R. Halverson (2010). Theology and Creed in Sunni Islam: The Muslim Brotherhood, Ash'arism, and Political Sunnism. Palgrave Macmillan. hlm. 23–24. ISBN 978-0230106581. 
  90. ^ Shamim Akhter (2009). Faith & Philosophy of Islam. Kalpaz Publications. hlm. 174. ISBN 978-8178357195. 
  91. ^ Abrahamov (2014). Sabine Schmidtke, ed. The Oxford Handbook of Islamic Theology. Oxford University Press. doi:10.1093/oxfordhb/9780199696703.013.025. ISBN 978-0199696703. 
  92. ^ Halverson, Jeffry R. (2010). Theology and Creed in Sunni Islam: The Muslim Brotherhood, Ash'arism, and Political SunnismAkses gratis dibatasi (uji coba), biasanya perlu berlangganan. Palgrave Macmillan. hlm. 36. ISBN 978-1137473578. 
  93. ^ Halverson, Jeffry R. (2010). Theology and Creed in Sunni Islam: The Muslim Brotherhood, Ash'arism, and Political SunnismAkses gratis dibatasi (uji coba), biasanya perlu berlangganan. Palgrave Macmillan. hlm. 36–37. ISBN 978-1137473578. 
  94. ^ a b Lapidus, Ira M. (2014). A History of Islamic Societies. Cambridge University Press (Kindle edition). hlm. 130. ISBN 978-0521514309. 
  95. ^ Lapidus, Ira M. (2014). A History of Islamic Societies. Cambridge University Press (Kindle edition). hlm. 123–124. ISBN 978-0521514309. 
  96. ^ Blankinship, Khalid (2008). "The early creed". Dalam Tim Winter. The Cambridge Companion to Classical Islamic Theology. Cambridge University Press (Kindle edition). hlm. 53. 
  97. ^ Halverson, Jeffry R. (2010). Theology and Creed in Sunni Islam: The Muslim Brotherhood, Ash'arism, and Political SunnismAkses gratis dibatasi (uji coba), biasanya perlu berlangganan. Palgrave Macmillan. hlm. 35. ISBN 978-1137473578. 
  98. ^ Brown, Jonathan A.C. (2009). Hadith: Muhammad's Legacy in the Medieval and Modern World. Oneworld Publications (Kindle edition). hlm. 180. The Ash'ari school of theology is often called the Sunni 'orthodoxy.' But the original ahl al-hadith, early Sunni creed from which Ash'arism evolved has continued to thrive alongside it as a rival Sunni 'orthodoxy' as well. 
  99. ^ Hoover (2014). Sabine Schmidtke, ed. The Oxford Handbook of Islamic Theology. 1. Oxford University Press. ISBN 978-0199696703. 
  100. ^ a b al-Murād bi-ahl as-sunna wa-l-ǧamāʿa Error in webarchive template: Check |url= value. Empty. Fatwa Nr. 2366 des ägyptischen Fatwa-Amtes vom 24. Juli 2013.
  101. ^ Aḥmad b. ʿAǧība: Tafsīr al-Fātiḥa al-kabīr. Ed. ʿĀṣim Ibrāhīm al-Kaiyālī. Dār al-kutub al-ʿilmīya, Beirut, 2005. p. 347.
  102. ^ a b Ibn Ḥazm: al-Faṣl fi-l-milal wa-l-ahwāʾ wa-n-niḥal. Ed. Muḥammad Ibrāhīm Naṣr; ʿAbd-ar-Raḥmān ʿUmaira. 5 Bde. Dār al-Jīl, Beirut 1985. Bd. II, pp. 265ff.
  103. ^ "Are the Ash'aris from Ahlus-Sunnah?". Salafi Research Institute. 14 August 2016. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 October 2021. 
  104. ^ Ibn Taimīya: Minhāǧ as-sunna an-nabawīya. Ed. Muḥammad Rašād Sālim. Ǧamiʿat al-Imām Muḥammad Ibn-Saʿid, Riad, 1986. Bd. II, S. 221f. Digitalized
  105. ^ Muḥammad ibn ʿUṯaimīn: Aš-Šarḥ al-mumtiʿ ʿalā Zād al-mustaqniʿ. Dār Ibn al-Ǧauzī, Dammam, 2006. Bd. XI, S. 306 Digitalized
  106. ^ for example: Halm: „Der Wesir al-Kundurī und die Fitna von Nišāpūr“. 1971, pp. 214, 216ff. (German)
  107. ^ Dāʾirat al-Iftāʾ fī l-Mamlaka al-Urdunnīya al-Hāšimīya: al-Ašāʿira hum ǧumhūr ahl as-sunna wa-l-ǧamāʿa Fatwa Nr. 489 vom 2. Februar 2010. Englische Übersetzung
  108. ^ Ibn Taimīya: Minhāǧ as-sunna an-nabawīya. Ed. Muḥammad Rašād Sālim. Jamiʿat al-Imām Muḥammad Ibn-Saʿid, Riad, 1986. Bd. VI, S. 379. Digitalized
  109. ^ al-Baġdādī: Al-Farq baina l-firaq. pp. 272–274. – Engl. Übers. Halkin S. 159–163.
  110. ^ Abū ʿAbdallāh Muḥammad ibn al-Qāsim al-Bakkī: Taḥrīr al-maṭālib fīmā taḍammanathū ʿAqīdat Ibn Ḥāǧib. Muʾassasat al-Maʿārif, Beirut, 2008. S. 40f. Digitalisat
  111. ^ Murtaḍā az-Zabīdī: Itḥāf as-sāda al-muttaqīn bi-šarḥ Iḥyāʾ ʿulūm ad-dīn. Muʾassasat at-taʾrīḫ al-ʿArabī, Beirut, 1994. Bd. II, S. 86 Digitalisat
  112. ^ ʿAbbās ibn Manṣūr as-Saksakī: al-Burhān fī maʿrifat ʿaqāʾid ahl al-adyān. Ed. Bassām ʿAlī Salāma al-ʿAmūš. 2. Aufl. Maktabat al-Manār, az-Zarqā', 1996. p. 101. Digitalisat
  113. ^ a b c Seyyed Hossein Nasr, The Essential Seyyed Hossein Nasr, ed. William C. Chittick (Bloomington: World Wisdom, 2007), p. 76
  114. ^ a b Martin Lings, What is Sufism? (Lahore: Suhail Academy, 2005; first imp. 1983, second imp. 1999), p. 16
  115. ^ Titus Burckhardt, Introduction to Sufi Doctrine (Bloomington: World Wisdom, 2008, p. 4, note 2
  116. ^ Jeffrey Halverson, Theology and Creed in Sunni Islam, 2010, p. 48
  117. ^ a b Chibli Mallat, Introduction to Middle Eastern Law, p. 116. Oxford: Oxford University Press, 2007. ISBN 978-0199230495
  118. ^ Rabb (2009). John L. Esposito, ed. The Oxford Encyclopedia of the Islamic World. Oxford University Press. doi:10.1093/acref/9780195305135.001.0001. ISBN 978-0195305135. 
  119. ^ Hussin (2014). Emad El-Din Shahin, ed. The Oxford Encyclopedia of Islam and Politics. Oxford University Press. doi:10.1093/acref:oiso/9780199739356.001.0001. ISBN 978-0199739356. 
  120. ^ Murtada Mutahhari. "The Role of Ijtihad in Legislation". Al-Islam.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-03-04. 
  121. ^ Meinhaj Hussain, A New Medina, The Legal System, Grande Strategy, January 5th, 2012
  122. ^ Ignác Goldziher, The Zahiris, p. 5. Trns. Wolfgang Behn, intro. Camilla Adang. Volume three of Brill Classics in Islam. Leiden: Brill Publishers, 2008. ISBN 978-9004162419
  123. ^ Encyclopedia.com. 
  124. ^ Hassan Ahmed Ibrahim, "An Overview of al-Sadiq al-Madhi's Islamic Discourse". Taken from The Blackwell Companion to Contemporary Islamic Thought, p. 172. Ed. Ibrahim Abu-Rabi'. Hoboken: Wiley-Blackwell, 2008. ISBN 978-1405178488
  125. ^ "AmmanMessage.com – The Official Site". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-02-02. Diakses tanggal 2013-09-13. 
  126. ^ Ibn Abī Yaʿlā: Ṭabaqāt al-Ḥanābila. 1952, Bd. I, S. 294f und S. 329f.
  127. ^ al-Ašʿarī: Kitāb Maqālāt al-islāmīyīn wa-iḫtilāf al-muṣallīn. 1963, p. 290–297. Digitalisat – Compare to the translations of Joseph Schacht: Der Islām mit Ausschluss des Qur'āns. Mohr/Siebeck, Tübingen 1931, pp. 54–61. Digitalisat
  128. ^ Abū Jafar aṭ-Ṭaḥāwī: al-ʿAqīda aṭ-Ṭaḥāwīya. Dār Ibn Ḥazm, Beirut, 1995. Digitalisat – Engl. Übersetzung in William Montgomery Watt: Islamic creeds: a selection. Edinburgh Univ. Press, Edinburgh, 1994. pp. 56–60.
  129. ^ Ibn al-Ǧauzī: Al-Muntaẓam fī sulūk al-mulūk wa-l-umam. 1992, Bd. XV, S. 280. – Dt. Übers. Mez 198.
  130. ^ al-Ġazālī: Iḥyāʾ ʿulūm ad-dīn. Dār Ibn Ḥazm, Beirut, 2005. S. 106–111. Digitalisat
  131. ^ Ed. Ašraf ibn ʿAbd al-Maqṣūd. Aḍwāʾ as-salaf, Riad, 1999. Digitalisat
  132. ^ Henri Laoust: La profession de foi d'Ibn Taymiyya, texte, trad. et commentaire de la Wāsiṭiyya. Geuthner, Paris, 1986.
  133. ^ Merlin L. Swartz: "A Seventh-Century (A.H.) Sunnī Creed: The ʿAqīda Wāsiṭīya of Ibn Taymīya" in Humaniora Islamica 1 (1973) 91–131.
  134. ^ Clemens Wein: Die islamische Glaubenslehre (ʿAqīda) des Ibn Taimīya. Inaugural-Dissertation Bonn 1973. S. 70–101.
  135. ^ "Dr Al-Ifta Al-Missriyyah". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-22. Diakses tanggal 2017-12-19. 
  136. ^ Muhammad Hamidullah, "Tareekh Quran Majeed", Khutbat-e-Bahawalpur pp. 1–17
  137. ^ Mufti Taqi Usmani, The Authority of Sunnah, Delhi: Kitab Bhawan, p. 6
  138. ^ Muhammad Mustafa Azmi, "Hadith Criticism: History and Methodology". Studies in Hadith Methodology and Literature, pp. 46–57
  139. ^ "Gesetz Nr. 103/1961 über die Neuordnung der Azhar und Gremien, die sie umfasst Art. 32b, Abs. 7" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 5 March 2022. Diakses tanggal 9 February 2021. 
  140. ^ Final Document of Grozn von 2016, arabisches Original and German translation.
  141. ^ Mustafa Kabha und Haggai Erlich: „Al-Ahbash and Wahhabiyya: Interpretations of Islam“ in International Journal of Middle East Studies 38/4 (2006) 519–538. Hier p. 527f. und Aḥmad ibn ʿAbd ar-Razzāq ad-Darwīš: Fatāwā al-Laǧna ad-dāʾima li-l-buḥūṯ al-ʿilmīya wal-iftāʾ. Dār al-ʿĀṣima, Riad, 1996. Bd. XII, p. 308–323. Digitalisat
  142. ^ Arbitrament10/9 Ḥukm al-ḫilāf al-ʿaqadī wa-l-fiqhī wa-t-taʿaṣṣub al-maḏhabī from 21. Oktober 1987, See: Qarārāt al-maǧmaʿ al-fiqhī al-Islāmī bi-Makka al-mukarrama fī daurātihī al-ʿišrīn (1398-1432h/1977-2010m) Rābiṭat al-ʿālam al-islāmī, Mekka o. D. p. 257–260. p. 258 Digitalized
  143. ^ a b Lord: Religious Politics in Turkey: From the Birth of the Republic to the AKP. 2018, p. 138.
  144. ^ Lord: Religious Politics in Turkey: From the Birth of the Republic to the AKP. 2018, p. 142–147.
  145. ^ Lord: Religious Politics in Turkey: From the Birth of the Republic to the AKP. 2018, p. 155.
  146. ^ Juynboll: “An Excursus on ahl as-sunnah”. 1998, p. 323f.
  147. ^ al-Baġdādī: Al-Farq baina l-firaq. S. 38f. – Engl. Übers. Chambers Seelye S. 38 (the term ahl as-sunna wa-l-ǧamāʿa is here transalted as “the orthodoxy”).
  148. ^ John B. Henderson: The construction of orthodoxy and heresy: Neo-Confucian, Islamic, Jewish, and early Christian patterns. State University of New York Press, Albany, NY, 1998. p. 107.
  149. ^ Ibn Taimīya: al-ʿAqīda al-Wāsiṭīya. 1999. S. 82. Digitalized Deutsche Übers. Cl. Wein. 1973, S. 84f.
  150. ^ ʿAlī al-Qārī: Šamm al-al-ʿawāriḍ fī ḏamm ar-rawāfiḍ. Ed. Maǧīd Ḫalaf. Markaz al-Furqān, Kairo, 2004. p. 74, 76. Digitalized
  151. ^ al-Baġdādī: Al-Farq baina l-firaq. p. 314.
  152. ^ al-Baġdādī: Al-Farq baina l-firaq. p. 317.
  153. ^ Dhuhri: „The Text of Conservatism“. 2016, p. 46f.
  154. ^ Dhuhri: „The Text of Conservatism“. 2016, p. 49.
  155. ^ Institute for Policy Analysis of Conflict: “The Anti-Salafi Campaign in Aceh”. IPAC-Report No. 32 6. Oktober 2016.
  156. ^ Aḥmad ibn ʿAbd ar-Razzāq ad-Darwīš: Fatāwā al-Laǧna ad-dāʾima li-l-buḥūṯ al-ʿilmīya wal-iftāʾ. Dār al-ʿĀṣima, Riad, 1996. Bd. II, S. 165f. digitalized
  157. ^ Namira Nahouza: Wahhabism and the Rise of the New Salafis. Theology, Power and Sunni Islam. Tauris, London, 2018. p. 144–147.
  158. ^ Muḥammad Ibn ʿUṯaimīn: Šarḥ al-Wāsiṭīya li-Ibn Taimīya. Dār Ibn al-Ǧauzī, ad-Dammām, 2001. p. 53f. Digitalized
  159. ^ Ramy al-Ašāʿira bi-l-ḫurūǧ ʿan ahl as-sunna wa-l-ǧamāʿa Diarsipkan 17 April 2021 di Wayback Machine. Fatwa Nr. 2370 des ägyptischen Fatwa-Amtes vom 24. Juli 2013.
  160. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Daralifta2366
  161. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Grozny
  162. ^ "The Conference of Ulama in Grozny: the Reaction of the Islamic World". islam.in.ua. 
  163. ^ Muʾtamar bi-l-Kuwait raddan ʿalā Ġurūznī as-salaf hum as-sunna... wa-lā li-ṯ-ṯaurāt Arabic CNN 13. November 2016.
  164. ^ ʿAbdallāh Maṣmūdī: Tauṣīyāt Muʾtamar al-Mafhūm aṣ-ṣaḥīḥ li-ahl as-sunna wa-l-ǧamāʿa wa-aṯaru-hū fī l-wiqāya min al-ġulūw wa-t-taṭarruf. Howiyapress.com 13. November 2016.
  165. ^ Aḥmad aṭ-Ṭaiyib: al-Azhar barīʾ min muʾtamar aš-Šīšān.. wa-s-Salafīyūn min ahl as-sunna wa-l-ǧamāʿa Arabic CNN 19. November 2016.

Daftar pustaka

  • Ahmed, Khaled. Sectarian war: Pakistan's Sunni-Shia violence and its links to the Middle East (Oxford University Press, 2011).
  • Branon Wheeler, Applying the Canon in Islam: The Authorization and Maintenance of Interpretive Reasoning in Ḥanafī Scholarship, SUNY Press, 1996
  • Charles River Editors. The History of the Sunni and Shia Split: Understanding the Divisions within Islam (2010) 44pp excerpt; brief introduction.
  • Farooqi, Mudassir, Sarwar Mehmood Azhar, and Rubeena Tashfeen. "Jihadist Organizations History and Analysis." Journal of Social, Political, and Economic Studies 43.1/2 (2018): 142–151. online
  • Gesink, Indira Falk. Islamic reform and conservatism: Al-Azhar and the evolution of modern Sunni Islam (Tauris Academic Studies, 2010)
  • Haddad, Fanar. Understanding 'Sectarianism': Sunni-Shi'a Relations in the Modern Arab World (Oxford UP, 2020).
  • Haddad, Fanar. "Anti-Sunnism and anti-Shiism: Minorities, majorities and the question of equivalence." Mediterranean Politics (2020): 1–7 online[pranala nonaktif].
  • Halverson, Jeffry. Theology and creed in Sunni Islam: the Muslim Brotherhood, Ash'arism, and political Sunnism (Springer, 2010).
  • Hazleton, Lesley. After the prophet: the epic story of the Shia-Sunni split in Islam (Anchor, 2010).
  • Kamolnick, Paul. The Al-Qaeda Organization and the Islamic State Organization: History, Doctrine, Modus, Operandi, and US Policy to Degrade and Defeat Terrorism Conducted in the Name of Sunni Islam (Strategic Studies Institute, United States Army War College, 2017) online.
  • Khaddour, Kheder. Localism, War, and the Fragmentation of Sunni Islam in Syria (Carnegie Endowment for International Peace., 2019) online.
  • McHugo, John. A Concise History of Sunnis and Shi'is (2018) excerpt
  • Nuruzzaman, Mohammed. "Conflicts in Sunni Political Islam and Their Implications." Strategic Analysis 41.3 (2017): 285–296 online[pranala nonaktif].
  • Nydell, Margaret K. Understanding Arabs: A guide for modern times (3rd ed. Hachette UK, 2018).
  • Patler, Nicholas (2017). From Mecca to Selma: Malcolm X, Islam, and the Journey Into the American Civil Rights Movement. The Islamic Monthly. 
  • Tezcan, Baki. "The Disenchantment of Sufism, the Rationalization of Sunni Islam, and Early Modernity." Journal of the Ottoman and Turkish Studies Association 7.1 (2020): 67–69 online.
  • Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur (2016). AM, Ahmad Muntaha, ed. Khazanah Aswaja. Surabaya: Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur. hlm. 10. ISBN 978-602-74756-0-1. 
  • Wheeler, Branon. Applying the Canon in Islam: The Authorization and Maintenance of Interpretive Reasoning in Ḥanafī Scholarship, SUNY Press, 1996.
  • Yudhi, Esha Rachman, ed. (2013). 500 tokoh muslim 500 tokoh muslim dunia paling berpengaruh saat ini. Diterjemahkan oleh Boediwardoyo, Satriyo. Jakarta: PT. Ufuk Publishing House. hlm. 38. ISBN 978-602-7689-52-7. OCLC 960422789. 
  •  "Sunnites". Encyclopædia Britannica (edisi ke-11). 1911. 

Daring

  • Sunni: Islam, in Encyclopædia Britannica Online, by The Editors of Encyclopaedia Britannica, Asma Afsaruddin, Yamini Chauhan, Aakanksha Gaur, Gloria Lotha, Matt Stefon, Noah Tesch and Adam Zeidan

Lihat pula

Pranala luar