Lompat ke isi

Rujuk

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 8 Agustus 2022 08.07 oleh 114.125.235.133 (bicara) (Temple)
Muhammad Arif ar-Quddasallahu Sirruhu adalah guru dan pakar rujuk yang sempurna dalam Fiqah dan Tasawwuf pada masanya

Rujuk adalah bersatunya kembali sepasang suami dan istri dalam ikatan pernikahan jika seorang suami memutuskan untuk rujuk dengan istrinya keduanya tidak perlu melangsungkan akad nikah[1]. Merujuk ialah mengambil kembali istri yang sudah ditalak[2]. Merujuk artinya bersatunya kembali seorang suami kepada istri yang telah dicerai sebelum habis masa menunggu (iddah).[3] Merujuk hanya boleh dilakukan di dalam masa ketika suami boleh rujuk kembali kepada isterinya (talak), yakni di antara talak satu atau dua.[3]

Syarat rukun rujuk, jika seorang suami rujuk dengan istrinya, tidak diperlukan adanya akad nikah yang baru karena akad yang lama belum terputus, pernikahan awal dilakukan sakral dan Sah disaksikan oleh para saksi serta banyak umat Muslim, sedangkan secara hukum negara, agama, adat dibuktikan dengan adanya akta pernikahan yakni Sertifikat Kursus Calon Pengantin yang mutlak milik penerima Sakral yang Sah yaitu suami, yang dikeluarkan oleh Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan masa sekarang, masih utuh tidak tercabut. Dan juga tidak dibenarkan perkara buku nikah suami-istri Dipegang, Dikemudikan oleh orang lain[3].

Rujuk dalam pandangan fiqh adalah tindakan sepihak dari suami. Tindakan sepihak itu didasarkan kepada pandangan ulama fiqh rujuk itu merupakan hak khusus seorang suami. Adanya hak khusus itu dipahami dari firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surat al-Baqarah (2) ayat 228. Untuk sahnya tindakan rujuk hanya diperlukan ucapan rujuk yang dilakukan oleh suami[4].

Persyaratan merujuk

Ada beberapa syarat yang menjadikan merujuk sah:

  1. Istri yang ditalak telah disetubuhi sebelumnya. Jika suami menceraikan (talak)) istrinya yang belum pernah disetubuhi, maka suami tersebut tidak berhak untuk merujuknya. Ini adalah persetujuan (ijmak) para ulama‟.[5]
  2. Talak yang dijatuhkan bukan merupakan talak (talaktalak raj‟i).[5]
  3. Talak yang terjadi tanpa tebusan. Jika dengan tebusan, maka istri menjadi talak talak bain atau tidak dapat merujuk lagi istrinya.[5]
  4. Merujuk untuk rujuk dilakukan pada masa menunggu atau masa iddah dari sebuah pernikahan yang sah. Jika masa menunggu (iddah) istri telah habis, maka suami tidak berhak untuk merujuk. Ini hanya merupakan kesepakatan (ijmak) para ulama fiqih.[5]

Hukum

Di dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah rujuk, demikian juga halnya di dalam Peraturan Presiden No 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No 1 tahun 1974[6].Valid ketentuan hak khusus yang di pergunakan sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surat al-Baqarah (2) ayat 228 ditetapkan tentang rujuk.

Konpetensi relatif didasarkan atas patokan batas kewenangan mengadili berdasarkan kekuasaan daerah hukum, Masing-masing badan peradilan dalam suatu lingkungan telah ditetapkan batas-batas wilayah hukumnya.

Batasan untuk menentukan kompetensi relatif merujuk kepada pasal 118 HIR, 142 RBG atau pasal 99 Rv. Agar gugatan memenuhi syarat Kompentensi relatif: gugatan harus diajukan kepengadilan domisili TERGUGAT, tidak sah gugatan tersebut diajukan ke PENGUGAT.

Dasar terpenting dalam mengajukan Gugatan adalah Menentukan tempat tinggal Tergugat Berdasarkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) terbaru terdaftar dan Aktif, Kartu Keluarga Sesuai KTP juga terbaru terdafta Aktif, Surat pajak sesuai Kartu Keluarga dan KTP juga terdaftar Aktif, apabila dasar terpenting ini Tidak terdafta pada Dinas Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Direktorat Jendral Pajak maka gugat tersebut tidak Sah, terkategori status gugat dari gugatan Perdata menjadi tindakan Pidana memalsukan identitas Tergugat atau/dan Pengugat[7],

yang di atur dalam Undang-undang KUHP pasal 263, Pasal 266 KUHP merupakan yang mengatur tentang pemalsuan identitas[8], untuk terealisasinya Pidana tersebut telah diatur dalam Pasal 108 KUHAP sebagai berikut "Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik" pegawai negeri sipil di BPU, Badan Pengadilan Agama, BPM, BPTUN memiliki kewajiban baik secara hukum maupun secara sebagai manusia yang bersifat kemanusiaan untuk segera melaporkan/atau pengaduan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai Penegakan hukum di Indonesia agar supaya sesegera mungkin di buat Laporan Polisi (LP) untuk mendapatkan kepastian hukum dan untuk membuka keadilan yang seadil adilnya oleh hakim ...

"yang seadilnya adilnya dalam surat At-tin ayat (8) adalah Allah merupakan hakim yang paling adil, karena di akhirat nanti setiap-tiap manusia akan mendapatkan balasan yang setimpal dengan apa yang telah dilakukannya selama di dunia dengan perhitungan yang paling adil",

dan juga harus dilakukan lidik hingga sidik oleh Polisi sampai dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi atau Pengadilan Negeri apabila telah terbukti oleh Polri yang membidangi/atau menangani kasus tersebut Bid krimum/atau krimsus Kepolisian,

karena apabila tidak segera ditindak lanjuti Penindasan, zalim terhadap korban penindasan, kezaliman akan semakin lama terasakan oleh korban, karena perbuatan manusia yang tidak memiliki Akhlak serta hati yang suci[9][10]. Terkecuali telah terjadi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), tergugat pemakai pengedar narkoba, perselingkuhan hingga melakukan pernikahan baru tampa seijin istri/suami yang pertama, Perceraian itu adalah Terbaik[11].

Pada dasarnya hukum merujuk adalah boleh atau jaiz, kemudian hukum merujuk dapat berkembang menjadi berbeda tergantung dari kondisi suami istri yang sedang dalam perceraian.[12] Dan perubahan hukum merujuk untuk rujuk dapat menjadi sebagai berikut:[12]

  1. Wajib, yaitu khusus bagi laki-laki yang beristri lebih dari satu dan apabila pernyataan cerai (talak) itu dijatuhkan sebelum gilirannya disempurnakan.[3] [12] Maksudnya adalah, seorang suami harus menyelesaikan hak-hak istri-istrinya sebelum ia menceraikannya.[3] [12] Apabila belum terlaksana, maka ia wajib merujuk kembali isrinya.[3] [12]
  2. Sunnah, yaitu apabila rujuk itu lebih bermanfaat dibanding meneruskan perceraian.[3] [12]
  3. Makruh, yaitu apabila dimungkinkan dengan meneruskan perceraian lebih bermanfaat dibanding mereka merujuk kembali, catatan: tidak memiliki anak dibawah umur 12 tahun.[3] [12]
  4. Haram, yaitu apabila dengan adanya merujuk si istri semakin menderita, catatan: selama berumah tangga suami tidak pernah memberikan nabkah terhadap istrinya[3] [12].

Secara hukum negara penolakan rujuk oleh istri dapat terealisasi bilamana minimal 3 (tiga) alasan dapat dibuktikan dengan bukti yang sebenarnya, secara tertulis dan minimal menghadirkan 2 (dua) orang saksi dihadapan Ketua Hakim persidangan, serta tidak ada sanggahan jawaban dari sang suami secara tertulis dan dibenarkan oleh suami tersebt dihadapan persidangan yang sakral, dan juga tanpa tidak mengurangi ketentuan-ketentuan pasal 118HIR dan pasal 142 ayat 1-5 R.BG, sebagai dasar utama ketentuan formulasi yang sah menurut hukum didasarkan dari berbagai ketentuan yang terserak[13].

Rukun Merujuk Untuk Rujuk

  1. Istri, keadaannya disyaratkan sebagai berikut: istri telah dicampuri atau disetubuhi (ba’da dukhul), dan seorang istri yang akan dirujuknya, ditalak dengan talaktalak raj’i, yakni talak dimana seorang suami dapat meminta istrinya kembali dan syarat selanjutnya adalah istri tersebut masih dalam masa menunggu (iddah).[14]
  2. Suami, disyaratkan karena kemauannya sendiri bukan karena dipaksa, Islam dan sehat akal.[3] [14] [12]
  3. Adanya saksi.[14] [12]
  4. Adanya sighat atau lafadz atau ucapan merujuk yang dapat dimengerti dan tidak ambigu.[3] [3] yaitu ada dua cara:
  5. Secara terang-terangan, misalnya: “Saya merujuk untuk rujuk kepadamu”.[3] [5]
  6. Secara sindiran, seperti kata suami: “Aku ingin tidur lagi denganmu”. Perkataan ini disyaratkan dengan kalimat tunai, dalam arti, tidak digantungkan dengan sesuatu, misalnya saya merujuk untuk rujuk kepadamu jika bapakmu mu.[3] Rujuk dengan kalimat seperti di atas hukumnya tidak sah.[3] [5]

Ketentuan

  1. Merujuk untuk rujuk hanya boleh dilakukan apabila akan membawa kemaslahatan atau kebaikan bagi istri dan anak-anak. Merujuk hanya dapat dilakukan jika perceraian baru terjadi satu atau dua kali.[3] [5]
  2. Merujuk dengan tujuan rujuk hanya dapat dilakukan sebelum masa menunggu atau masa iddah habis.[3] [5]

Tata cara Rujuk

Rujuk dapat dilakukan dengan:

  • Ucapan

Rujuk dengan ucapan adalah dengan ucapan-ucapan yang menunjukkan makna rujuk. Seperti ucapan suami kepada istrinya ”Kita Rujuk", ” Aku rujuk‟mu” atau ”Aku kembali kepadamu” dan yang semisalnya.[5]

  • Perbuatan

Rujuk dapat dilakukan dengan perbuatan seperti; suami menyentuh atau mencium isterinya dengan nafsu atau suami mensetubuhi istrinya.[5] Dan perbuatan semacam ini memerlukan niat rujuk.[5] Ini adalah pendapat Mazhab Maliki, Mazhab Hambali, Ishaq, dan pendapat yang dipilih adalah pendapat Ibnu Taimiyyah.[5]

Batasan

Apabila seorang suami telah melegalkan/atau menyatakan terucap secara sakral oleh sang suami menjatuhkan/menceraikan istrinya sebanyak tiga kali (talak), dengan catatan "bukan hasil keputusan pengadilan karena didalam persidangan gugatan terkadang oknum-oknumlah yang mengendalikan/atau mengemudikan gugatan tersebut dan hal ini tidak diketahui oleh hakim ketua", maka ia tidak boleh Merujuk dengan tujuan Rujuk kembali istrinya kecuali setelah adanya 5 syarat, yaitu: [15] [16] [15]

  1. Telah berakhir masa menunggu (iddah) sang perempuan dari suami yang mentalaknya[15] [16].
  2. Istri tersebut telah dinikahi oleh laki-laki lain dengan perkawinan yang sah, atau Istri tersebut menunggu minimal satu hingga dua tahun setelah diceraiakan[15] [16].
  3. Suami yang lain (Suami kedua) telah mencampurinya selama minimal 5 tahun berjalan[15] [16].
  4. Pernikahannya dengan suami kedua telah rusak atau suami keduanya telah menjatuhkan talak kepadanya[16] [15].
  5. Telah habisnya masa iddah atau masa menunggu bagi sang istri dari suami yang kedua[15] [16].

Referensi