Lompat ke isi

Abdullah bin Zubair

Ini adalah artikel bagus. Klik untuk informasi lebih lanjut.
Halaman yang dilindungi semi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Ibnu Zubair)

Abdullah bin Zubair
عبد الله ابن الزبير
Dirham perak bergaya Sasaniyah, dicetak atas nama Abdullah bin Zubair di Fars pada 91 H/690 M
Khalifah (diperdebatkan)[a]
Berkuasa683–692
PendahuluYazid I
PenerusAbdul Malik bin Marwan
KelahiranMei 624 M
Madinah, Hijaz, Arabia
KematianOktober/November 692 M (umur 68)
Makkah, Hijaz
Pemakaman
Pasangan
  • Tumāḍir binti Manẓūr bin Zabbān bin Sayyār al-Fazārīyyah
  • Zajlā binti Manẓūr al-Fazārīyya
  • Ummul Hasan Nafīsah binti Ḥasan bin ʿAlī
  • ʿĀʾisyah binti ʿUtsmān bin ʿAffān
  • Ḥantamah binti ʿAbdurrahmān bin al-Harīts bin Hisyām
Keturunan
Nama lengkap
Abū Khubaib ʿAbdullāh bin Zubair bin ʿAwwām bin Khuwailid bin Asad bin ʿAbdul ʿUzza
SukuQuraisy (Bani Asad)
AyahZubair bin Awwam
IbuAsma' binti Abu Bakar
AgamaIslam

Abdullah bin Zubair bin Awwam yang juga dikenal sebagai Ibnu Zubair (bahasa Arab: عبد الله ابن الزبير ابن العوام, translit. ʿAbd-Allāh ibn al-Zubayr ibn al-ʿAwwām; Mei 624 – Oktober/November 692) adalah seorang sahabat Nabi Islam Muhammad dan pemimpin kekhalifahan yang berbasis di Makkah menyaingi Kekhalifahan Umayyah dari tahun 683 sampai kematiannya. Dia adalah putra dari Zubair bin Awwam dan Asma' binti Abu Bakar.

Ibnu Zubair adalah salah satu anggota suku Quraisy, suku terkemuka di Jazirah Arab saat itu. Ibnu Zubair juga merupakan anak pertama yang lahir dari kelompok Muhajirin, mualaf paling awal. Sebagai seorang pemuda, dia berpartisipasi dalam penaklukan Muslim awal bersama ayahnya di Suriah dan Mesir. Ia juga memainkan peran penting dalam penaklukan Afrika Utara dan Iran utara pada tahun 647 dan 650. Selama Perang Saudara Muslim Pertama, dia berperang di pihak bibinya, Aisyah melawan Khalifah Ali (m. 656–661). Meskipun sedikit yang terdengar tentang Ibnu Zubair selama masa pemerintahan berikutnya dari khalifah Umayyah pertama Muawiyah I (m. 661–680), diketahui bahwa dia menentang pencalonan atas putranya, Yazid I, sebagai pengganti Muawiyah I. Ibnu Zubair, bersama dengan banyak orang Quraisy dan Anshar, kelompok Muslim terkemuka di Hijaz (Arab barat), menentang pengubahan kekhalifahan yang demokratis menjadi monarki Umayyah.

Ibnu Zubair memosisikan dirinya di Makkah dan menggalang oposisi penentangan terhadap Yazid (m. 680–683), sebelum akhirnya memproklamasikan dirinya sebagai khalifah setelah kematian Yazid pada tahun 683, yang menandai dimulainya Perang Sudara Kedua. Sementara itu, putra dan penerus Yazid meninggal beberapa minggu setelah masa pemerintahannya, memicu runtuhnya otoritas Umayyah di seluruh Kekhalifahan, yang sebagian besar provinsinya kemudian menerima kedaulatan Ibnu Zubair. Meskipun diakui secara luas sebagai khalifah, otoritasnya sebagian besar bersifat nominal di luar Hijaz. Pada tahun 685, Kekhalifahan Umayyah telah dibentuk kembali di bawah kepemimpinan Marwan I di Suriah dan Mesir, sementara otoritas Ibnu Zubair ditentang di Irak dan Arab oleh pasukan Banu Ali dan Khawarij. Saudara laki-laki Ibnu Zubair, Mush'ab menegaskan kembali kedaulatan Ibnu Zubair di Irak pada tahun 687, tetapi ia dikalahkan dan dibunuh oleh penerus Marwan, yaitu Abdul Malik pada tahun 691. Komandan Umayyah al-Hajjaj bin Yusuf menggerakkan pasukannya untuk mengepung Makkah, sehingga akhirnya Ibnu Zubair terbunuh di sana pada tahun 692.

Melalui prestise ikatan keluarganya dan hubungan sosial dengan nabi Islam Muhammad serta hubungannya yang kuat dengan kota suci Makkah, Ibnu Zubair mampu memimpin faksi Muslim yang menentang pemerintahan Umayyah. Dia berusaha untuk membangun kembali Hijaz sebagai pusat politik kekhalifahan. Namun, penolakannya untuk meninggalkan Makkah menghalangi dia untuk menjalankan kekuasaan di provinsi-provinsi yang lebih padat penduduknya sehingga dia lebih bergantung pada saudaranya, Mush'ab dan para loyalis lainnya. Dengan demikian, ia hanya memainkan peran aktif yang kecil dalam perjuangan yang dilakukan atas namanya.

Kehidupan awal dan karier

Keluarga

Abdullah bin Zubair lahir di Madinah di Hijaz (Arab barat) pada Mei 624.[1] Dia adalah putra tertua Zubair bin Awwam, seorang sahabat Muhammad dan seorang tokoh Muslim terkemuka.[1][2] Dia berasal dari klan Bani Asad dari Quraisy,[1][2] suku dominan di Makkah, pusat perdagangan di Hijaz dan lokasi Ka'bah, tempat suci paling suci dalam Islam. Nenek dari pihak ayah Ibnu Zubair adalah Shafiyyah binti Abdul Muthalib, bibi dari pihak ayah Muhammad,[2] sedangkan ibunya adalah Asma' binti Abu Bakar, putri dari khalifah pertama, Abu Bakar (m. 632–634), sekaligus saudara perempuan Aisyah, istri Muhammad.[1] Menurut sejarawan abad kesembilan Ibnu Habib dan Ibnu Qutaibah, Ibnu Zubair adalah anak pertama yang lahir dari kalangan Muhajirin, yaitu mualaf paling awal yang masuk Islam dan diasingkan dari Makkah ke Madinah.[1] Hubungan sosial, kekerabatannya dengan Muhammad, dan keluarganya yang termasuk golongan pertama Muslim semuanya meningkatkan reputasi Ibnu Zubair saat ia dewasa.[1]

Ibnu Zubair memiliki sejumlah istri dan anak. Istri pertamanya adalah Tumadir binti Manzur bin Zabban bin Sayyar bin Amr dari Bani Fazarah.[3][4] Dia dikaruniai putra sulung bernama Khubaib,[b] dan putra-putra lainnya yaitu Hamzah, Abbad, az-Zubair, dan Tsabit.[3][4] Istri Ibnu Zubair lainnya, Ummul Hasan Nafisah, adalah putri Hasan dan cucu khalifah keempat Ali (m. 656–661), yang melahirkan putri bernama Ruqayyah.[3][5] Saudari Tumadir, Zajla, pernah menikah dengan Ibnu Zubair.[6] Ia juga menikah dengan Aisyah, putri khalifah ketiga Utsman bin Affan (m. 644–656),[3][3][7] tetapi Ibnu Zubair menceraikan Aisyah setelah kelahiran putra mereka.[7] Dari istri lainnya, Hantamah binti Abdurrahman, lahirlah 'Amir.[8]

Karier militer

Sebagai seorang anak, pada masa pemerintahan Khalifah Umar (m. 634–644) pada tahun 636, Ibnu Zubair mungkin hadir bersama ayahnya di Pertempuran Yarmuk melawan Bizantium di Suriah.[1] Dia juga hadir bersama ayahnya dalam kampanye militer Amr bin Ash pada penaklukan Mesir tahun 640.[1] Pada masa pemerintahan Khalifah Utsman (m. 644–656) di tahun 647, Ibnu Zubair bergabung dalam penaklukan Muslim di Ifriqiyah (Afrika Utara) di bawah komandan Abdullah bin Sa'ad.[1] Selama kampanye itu, Ibnu Zubair menemukan titik lemah pasukan Bizantium dan akhirnya membunuh Gregorius sang Bangsawan.[1][9] Sekembalinya ke Madinah, ia dipuji oleh Khalifah Utsman yang langsung memberikan pidato kemenangan yang terkenal karena kefasihan pidato tersebut.[10][9] Kemudian, dia bergabung dengan Sa'id bin al-Ash dalam serangan terakhir di Iran utara pada tahun 650.[10]

Utsman menunjuk Ibnu Zubair sebagai anggota komisi yang ditugaskan untuk kanonisasi al-Qur'an.[10] Selama pengepungan pemberontak terhadap rumah Utsman pada bulan Juni 656, khalifah menempatkan Ibnu Zubair sebagai penanggung jawab pertahanannya dan Ibnu Zubair juga dilaporkan terluka dalam peristiwa tersebut.[11] Sebagai akibat dari pembunuhan Utsman, Ibnu Zubair berperang bersama ayahnya dan bibinya melawan penerus Utsman, Khalifah Ali (m. 656–661) pada Pertempuran Unta di Basra.[10] Zubair sendiri terbunuh, sementara Ibnu Zubair terluka saat bertarung dengan salah satu komandan Ali, Malik al-Asytar.[12] Ali menang dan Ibnu Zubair kembali bersama Aisyah ke Madinah. Selama Pertempuran Siffin, Ibnu Zubair mengambil bagian dalam merumuskan perjanjian damai untuk mengakhiri perang saudara di Daumatul Jandal.[10] Selama pembicaraan, dia menasihati Abdullah bin Umar untuk membayar dukungan Amr bin Ash.[10] Ibnu Zubair mewarisi kekayaan yang signifikan dari ayahnya.[10]

Revolusi

Oposisi terhadap Bani Umayyah

Ka'bah pada tahun 1882. Sepanjang pemberontakannya, Ibnu Zubair menggunakan tempat suci tersebut sebagai basis operasinya dan dikepung dua kali pada tahun 683 dan 692. Dia membangunnya kembali setelah kerusakan parah selama pengepungan pertama, tetapi perubahannya kemudian dibalikkan.

Ibnu Zubair tidak menentang aksesi Muawiyah I (m. 661–680) ke tampuk kekhalifahan pada tahun 661 dan tidak terlalu aktif selama masa pemerintahannya.[10] Pada masa pemerintahan Muawiyah I, Ibnu Zubair diketahui hanya mengikuti beberapa pertempuran, termasuk Pengepungan Konstantinopel di tahun 674.[13] Namun ketika Muawiyah memutuskan mencalonkan putranya, Yazid I (m. 680–683) sebagai penggantinya pada tahun 676, ia bersama sejumlah sahabat terkemuka Muhammad[c] menentang keputusan tersebut.[10] Pada akhirnya, ketika Yazid secara resmi diangkat menjadi khalifah setelah kematian ayahnya pada tahun 680, Ibnu Zubair menentang legitimasinya, meskipun Yazid mendapat dukungan dari suku Arab Suriah yang menjadi inti militer Umayyah.[16][17] Sebagai tanggapan, Yazid memerintahkan gubernur Madinah, al-Walid bin Utbah bin Abi Sufyan, untuk menangkap Ibnu Zubair dan mendapatkan baiat darinya,[18] tetapi Ibnu Zubair telah melarikan diri ke Makkah.[10] Di sana dia ditemani oleh putra Ali, Husain, yang juga menolak untuk tunduk kepada Yazid. Husain dan para pendukungnya memerangi Bani Umayyah pada Pertempuran Karbala tahun 680, tetapi pihak Husain dikalahkan dan Husain sendiri terbunuh.[10]

Setelah kematian Husain, Ibnu Zubair mulai merekrut pendukung secara sembunyi-sembunyi.[10] Pada September 683, dia telah menguasai Makkah.[19] Dia menyebut dirinya sebagai al-ʿAʾidh biʾl Bayt (buronan di tempat suci) dan mengadopsi slogan Lā ḥukma illā li-ʾllāh (tidak ada hukum kecuali milik Tuhan), tetapi tidak mengklaim kekhalifahan.[20][21] Yazid memerintahkan gubernur Madinah, al-Asydaq, untuk menangkap Ibnu Zubair.[22] Gubernur menginstruksikan saudara laki-laki Ibnu Zubair yang diasingkan sekaligus kepala syūrṭāh (pasukan keamanan) Madinah, Amr, untuk memimpin ekspedisi.[22] Namun, pasukan Umayyah disergap dan Amr ditangkap dan kemudian dibunuh saat ditawan.[23] Ibnu Zubair menyatakan tidak sahnya kekhalifahan Yazid dan bersekutu dengan kaum Anshar Madinah yang dipimpin oleh Abdullah bin Hanzhalah, yang telah menarik dukungan untuk Yazid.[10] Ibnu Zubair juga mendapat dukungan dari gerakan Khawarij di Basra dan Bahrain (Arab timur);[20] kaum Khawarij adalah penentang awal Bani Umayyah yang membelot dari Khalifah Ali karena perjanjian damai Daumatul Jandal tahun 657.[24]

Selain pengaruh Ibnu Zubair yang tumbuh di Madinah, penduduk kota kecewa dengan pemerintahan dan proyek pertanian Umayyah, termasuk penyitaan tanah mereka untuk meningkatkan pendapatan pemerintah.[25] Sementara itu, menanggapi peningkatan oposisi di seluruh Arab, Yazid mengirim pasukan ekspedisi Arab Suriah yang dipimpin oleh Muslim bin Uqbah untuk menekan Ibnu Zubair dan Anshar.[20] Kaum Anshar dikalahkan di Pertempuran al-Harrah pada musim panas tahun 683 dan Ibnu Hanzhalah terbunuh.[21][26] Tentara terus menuju Makkah, tetapi Muslim bin Uqbah meninggal dalam perjalanan dan perintah diteruskan ke wakilnya al-Hushain bin Numair as-Sakuni.[26] As-Sakuni memutuskan untuk mengepung kota Makkah pada tanggal 24 September setelah Ibnu Zubair menolak untuk menyerah.[26][10] Ka'bah rusak parah selama pengepungan as-Sakuni.[10][26] Selama pengepungan, dua kandidat potensial Qurasyi untuk kekhalifahan, Mush'ab bin Abdurrahman dan al-Miswar bin Makhramah, terbunuh atau meninggal karena sebab alamiah.[21] Pada bulan November, berita kematian Yazid mendorong as-Sakuni untuk bernegosiasi dengan Ibnu Zubair.[26] As-Sakuni mengusulkan untuk mengakuinya sebagai khalifah dengan syarat bahwa Ibnu Zubair akan memerintah dari Suriah, pusat militer dan administrasi Umayyah.[10][26] Ibnu Zubair menolak ini dan tentara as-Sakuni mundur ke Suriah, meninggalkan Ibnu Zubair yang mengendalikan Hijaz dan Makkah.[10]

Mengeklaim Kekhalifahan

Peta Kekhalifahan ca 684, selama Perang Saudara Kedua. Kedaulatan Ibnu Zubair sebagai khalifah diakui di Hijaz, Yaman, Mesir, Irak dan distrik-distrik di Fars dan Kerman (area yang diarsir hijau)

Kematian Yazid dan selanjutnya penarikan pasukan Umayyah dari Hijaz memberi kesempatan kepada Ibnu Zubair untuk mewujudkan aspirasinya untuk kekhalifahan.[10][20] Dia segera menyatakan dirinya sebagai amīrul muʾminīn (pemimpin orang-orang beriman), gelar yang secara tradisional diperuntukkan bagi khalifah, dan menyerukan semua Muslim untuk memberinya sumpah setia.[10][21] Orang-orang yang pertama kali memberikan sumpah setia kepada Ibnu Zubair adalah Abdullah bin Muthi', Abdullah bin Shafwan bin Umayyah, Ubaidullah bin Ali bin Abi Thalib, Al-Harits bin Abdullah bin Abi Rabi'ah, Ubaid bin Umair, dan Abdullah bin Ja'far bin Abi Thalib.[27] Dengan kematian kandidat Hijaz potensial lainnya, Ibnu Zubair menjadi penantang terakhir untuk kekhalifahan di antara faksi anti-Umayyah di Makkah dan Madinah dan sebagian besar kelompok mengakuinya sebagai pemimpin mereka,[21] kecuali klan Bani Hasyim yang merupakan klan asal Muhammad dan Banu Ali. Dukungan Bani Hasyim dianggap sangat penting oleh Ibnu Zubair untuk mendapatkan legitimasi sebagai khalifah.[28] Perwakilan terkemuka Bani Hasyim di Hijaz, Muhammad bin al-Hanafiyyah (saudara tiri Husain bin Ali) dan sepupu mereka Abdullah bin Abbas, menunda sumpah mereka dengan alasan perlunya konsensus yang lebih kuat di komunitas Muslim yang lebih luas.[28] Karena kesal, Ibnu Zubair mengepung lingkungan klan Bani Hasyim di Makkah dan memenjarakan Muhammad bin al-Hanafiyyah untuk menekan Bani Hasyim.[28] Sementara itu, Khawarij di bawah pimpinan Najdah bin Amir di Yamamah (Arab tengah) meninggalkan Ibnu Zubair begitu dia meneruskan klaimnya atas kekhalifahan, sebuah institusi yang mereka tolak, dan Ibnu Zubair sendiri menolak untuk meyakini doktrin mereka.[10][21][29]

Di ibu kota Umayyah, Damaskus, Yazid digantikan oleh putranya yang masih muda, Muawiyah II (m. 683–684),[30] tetapi Muawiyah II hampir tidak memegang kekuasaan dan meninggal karena sakit hanya beberapa bulan setelah pengangkatannya.[20][30] Hal ini meninggalkan kekosongan kepemimpinan di Suriah karena tidak ada penerus yang cocok di antara keluarga Muawiyah I.[20] Dalam kekacauan berikutnya, otoritas Umayyah runtuh di seluruh kekhalifahan dan Ibnu Zubair mendapat pengakuan luas.[26] Sebagian besar provinsi Islam menawarkan kesetiaan mereka, termasuk Mesir, Kufah, Yaman dan Qais 'Ailan di Suriah utara.[10][26] Demikian pula di Khurasan, gubernur de facto Abdullah bin Khazim as-Sulami menawarkan pengakuannya.[31] Ibnu Zubair menunjuk saudaranya Mush'ab sebagai gubernur Basra dan dependensinya.[26] Sebagai bukti kedaulatan Ibnu Zubair, koin-koin dicetak atas namanya sampai ke distrik Kerman dan Fars (sekarang Iran); keduanya bergantung kepada Basra pada waktu itu.[26] Meskipun demikian, otoritasnya di luar Hijaz sebagian besar bersifat nominal.[10]

Sebagian besar suku Arab di Suriah bagian pusat dan bagian selatan tetap setia kepada Bani Umayyah dan memilih Marwan bin al-Hakam (m. 684–685) dari Madinah untuk menggantikan Muawiyah II.[26][30] Proklamasi Marwan sebagai khalifah di Damaskus menandai titik balik bagi Ibnu Zubair.[30][26] Partisan Marwan, yang dipimpin oleh Ubaidullah bin Ziyad, secara meyakinkan mengalahkan suku Qaysi yang dipimpin oleh adh-Dhahhak bin Qais pada Pertempuran Marj Rahith bulan Juli 684.[10] Suku Qaysi yang masih hidup melarikan diri ke al-Jazira (Mesopotamia Atas) di bawah kepemimpinan Zufar bin al-Harits al-Kilabiyang mempertahankan pengakuannya atas kekhalifahan Ibnu Zubair.[32] Namun, pada Maret 685, Ibnu Zubair kehilangan Provinsi Mesir yang penting secara ekonomi karena Marwan.[33]

Gagalnya negosiasi antara Ibnu Zubair dan al-Mukhtar ats-Tsaqafi kemudian memberi masalah bagi hubungan Ibnu Zubair dengan keluarga Banu Ali.[34] Al-Mukhtar mendeklarasikan kekhalifahan Muhammad bin al-Hanafiyah yang kemudian mengadopsi gelar "al-Mahdi".[34] Partisan Al-Mukhtar mengusir otoritas Ibnu Zubair dari Kufah pada Oktober 685.[10][28][34] Al-Mukhtar kemudian mengirim pasukan Kufan ke Hijaz untuk membebaskan Muhammad bin al-Hanafiyah.[28] Otoritas Mush'ab di Basra dan Khurasan juga mulai goyah, tetapi akhirnya diamankan setelah Mush'ab mendapatkan dukungan dari kepala Bani Azad yang kuat dan pemimpin militer Khurasan, al-Muhallab bin Abi Sufra.[10] Mush'ab juga memperoleh dukungan dari pembelotan ribuan orang Kufah dan bersama-sama mereka mengalahkan dan membunuh al-Mukhtar pada bulan April 687.[35][36] Ibnu Zubair kemudian memberhentikan Mush'ab dari jabatannya pada 686/87 dan mengangkat putranya sendiri Hamzah sebagai Gubernur Basra.[37] Ibnu Zubair juga mengirim pasukan yang dipimpin Abdullah bin Umair al-Laitsi untuk mengusir Khawarij Najdiyah dari Bahrain setelah mereka menyerbu provinsi tersebut, tetapi pasukan Ibnu Zubair berhasil dipukul mundur.[38] Hamzah terbukti tidak kompeten dalam pemerintahannya di Irak dan setelah kegagalannya mengirimkan pendapatan provinsi ke kas negara di Makkah, dia diberhentikan dan diduga dipenjarakan oleh ayahnya.[37][39] Mush'ab diangkat kembali sebagai gubernur tak lama kemudian pada 687/688.[37][39] Pada saat itu, kaum Khawarij menaklukkan Yaman dan Hadramaut, sedangkan pada tahun 689, mereka menduduki Ta'if, tetangga selatan Makkah.[10]

Pengepungan dan kematian

Kekalahan al-Mukhtar, yang menentang Ibnu Zubair dan Bani Umayyah, menjadikan Ibnu Zubair dan pewaris Marwan, Abdul Malik (m. 685–705) sebagai dua pesaing utama untuk kekhalifahan.[35] Namun, kelompok Khawarij Arab telah mengisolasi Ibnu Zubair di Hijaz, memisahkannya dari loyalis di bagian lain dari kekhalifahan.[10] Pada tahun 691, Abdul Malik mendapatkan dukungan dari Zufar dan Qais 'Ailan dari al-Jazirah, menghilangkan hambatan utama antara tentara Suriah dengan pendukung Ibnu Zubair di Irak.[40] Belakangan pada tahun itu, pasukan Abdul Malik berhasil menaklukkan Irak dan membunuh Mush'ab pada Pertempuran Maskin.[10][40] Al-Muhallab, yang memimpin perang melawan Khawarij di Fars dan Ahwaz, kemudian mengalihkan kesetiaannya kepada Abdul Malik.[40]

Setelah menegaskan otoritas Umayyah di Irak, Abdul Malik mengirim salah satu komandannya, al-Hajjaj bin Yusuf, untuk menaklukkan Ibnu Zubair.[10] Al-Hajjaj mengepung dan membombardir Makkah selama enam bulan. Pada saat itu, sebagian besar partisan Ibnu Zubair dan putranya Khubaib dan Hamzah menyerah atas tawaran pengampunan.[10][41] Ibnu Zubair tetap bersikeras untuk bertarung dan memilih bertindak atas nasihat ibunya. Ibnu Zubair masuk ke dalam medan perang yang pada akhirnya dia dibunuh pada tanggal 3 Oktober atau 4 November 692.[1][10]

Dalam sebuah anekdot yang dicatat oleh ath-Thabari, disebutkan bahwa ketika al-Hajjaj dan letnan komandannya, Thariq bin Amr, berdiri di atas jenazah Ibnu Zubair, Thariq berkata tentang Ibnu Zubair: "Dia tidak memiliki parit pertahanan maupun benteng; namun dia menganggap dirinya setara dengan kita, dan bahkan mengalahkan kita setiap kali kita bertemu dengannya".[42] Al-Hajjaj menggantung jenazah Ibnu Zubair di gibbet dan jenazah itu tetap dibiarkan sampai Abdul Malik mengizinkan Asma' untuk mengambil jenazah anaknya.[10] Jenazahnya kemudian dimakamkan di rumah neneknya, Shafiyyah di Madinah.[10] Kemenangan Bani Umayyah dan kematian Ibnu Zubair menandai berakhirnya Fitnah Kedua.[29]

Keturunan

Setelah menang, Abdul Malik menyita tanah milik Ibnu Zubair di Madinah dan tempat lain di Hijaz.[43] Khalifah kemudian mengembalikan beberapa properti kepada putra-putra Ibnu Zubair atas permintaan Tsabit.[43] Pada masa pemerintahan Khalifah al-Walid I (m. 705–715), putra sulung Ibnu Zubair, Khubaib, dicambuk sampai mati di Madinah oleh gubernur Umar II.[44] Sementara itu, Tsabit telah mendapat dukungan khusus dari penerus al-Walid, Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik (m. 715–717), yang setuju untuk mengembalikan sisa tanah yang disita kepada putra-putra Ibnu Zubair.[45] Di bawah Kekhalifahan Abbasiyah, pada masa pemerintahan khalifah al-Mahdi (m. 775–785) dan Harun ar-Rasyid (m. 786–809), beberapa keturunan Ibnu Zubair mencapai jabatan administrasi senior, termasuk Abdullah bin Mush'ab dan Bakkar bin Abdullah yang berturut-turut menjabat sebagai gubernur Madinah.[46]

Pandangan

Ibnu Zubair dengan tegas menentang kekhalifahan menjadi warisan Bani Umayyah.[47] Sebaliknya, dia berpendapat bahwa khalifah harus dipilih melalui syūrā (konsultasi) di antara kaum Quraisy secara keseluruhan, seperti sistem yang telah berlaku selama masa Kekhalifahan Rasyidin.[47] Kaum Quraisy menentang monopoli kekuasaan oleh Bani Umayyah dan bersikeras bahwa kekuasaan harus didistribusikan di antara seluruh klan.[10][35] Namun, selain keyakinan ini, Ibnu Zubair tidak mensponsori doktrin agama atau program politik apa pun, tidak seperti gerakan Banu Ali dan Khawarij kontemporer.[29] Pada saat dia mengklaim kekhalifahan, dia telah lama muncul sebagai pemimpin suku Quraisy yang tidak terpengaruh.[10] Menurut sejarawan H.A.R. Gibb, kebencian Quraisy terhadap Bani Umayyah terbukti sebagai tema yang mendasari tradisi Islam tentang konflik Ibnu Zubair dengan Bani Umayyah dan Ibnu Zubair adalah "perwakilan utama" dari generasi kedua keluarga elit Muslim Hijaz yang mempermasalahkan "jurang kekuasaan" antara mereka dan keluarga Umayyah yang berkuasa.[10] Gibb juga menggambarkan Ibnu Zubair sebagai "pemberani, tetapi pada dasarnya mementingkan diri sendiri", permusuhan terhadap Bani Umayyah dalam sumber-sumber Muslim tradisional menyebabkan gambaran umum tentang dia sebagai "model kesalehan".[10] Meskipun demikian, sejumlah sumber Muslim menyebutnya pencemburu dan kasar serta mengkritiknya karena pelecehan fatal terhadap saudaranya 'Amr dan keputusannya untuk memenjarakan Muhammad bin al-Hanafiyyah.[10]

Ibnu Zubair menggalang perlawanan terhadap Bani Umayyah di Hijaz melalui markasnya di Makkah, kota suci utama Islam, dan prestisenya sebagai generasi pertama Muslim yang memiliki ikatan keluarga dengan Muhammad.[29] Dia bertujuan untuk mengembalikan keunggulan politik Hijaz seperti sebelumnya;[48] setelah pembunuhan Utsman, posisi Hijaz sebagai pusat politik kekhalifahan dipindahkan ke Kufah di bawah kekuasaan Ali dan kemudian dipindahkan lagi ke Damaskus atas perintah Muawiyah I.[49] Untuk itu, Ibnu Zubair mengembangkan hubungan yang kuat dengan Makkah dan Ka'bahnya yang juga digabungkan dengan penguasaannya atas kota tersuci kedua Islam di Madinah.[29] Hal ini meningkatkan prestisenya dan memberikan karakter suci pada kekhalifahannya.[48][40]

Ibnu Zubair menolak tawaran dukungan dari tentara kekhalifahan yang berbasis di Suriah di antaranya karena hal itu akan mengharuskannya pindah ke Damaskus.[29] Kota-kota lain juga tersedia baginya, tetapi Ibnu Zubair memilih untuk tetap tinggal di Makkah,[48] kota suci tempat dia memberikan arahan kepada para pendukungnya di wilayah lain.[40] Hal ini membatasi dia untuk memberikan pengaruh langsung di provinsi yang lebih besar dan berpenduduk lebih banyak, khususnya Irak, tempat saudara laki-lakinya yang lebih duniawi memerintah dengan kebebasan praktis.[10][40] Di Jazirah Arab, kekuatan Ibnu Zubair sebagian besar terbatas pada Hijaz dengan Khawarij yang memegang pengaruh lebih besar.[48] Dengan demikian, Ibnu Zubair sebenarnya menjadikan dirinya hanya sebatas figur latar belakang dalam gerakan yang diluncurkan atas namanya. Menurut sejarawan Julius Wellhausen, "perjuangan berputar di sekelilingnya secara nominal, tetapi dia tidak mengambil bagian di dalamnya dan segalanya diputuskan tanpa dia".[48]

Selama pemerintahannya, Ibnu Zubair membuat perubahan signifikan pada struktur Ka'bah. Ia mengklaim bahwa perubahan tersebut sejalan dengan otoritas Muhammad.[29] Dia menyebut dirinya "buronan di tempat suci [Ka'bah]" sementara lawan politknya dari Bani Umayyah menyebut dia sebagai "pelaku kejahatan di Makkah".[29]

Silsilah

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m (Gibb 1960, hlm. 54)
  2. ^ a b c d (Hasson 2002, hlm. 549)
  3. ^ a b c d e (Elad 2016, hlm. 335)
  4. ^ a b c (Ahmed 2010, hlm. 85)
  5. ^ (Ahmed 2010, hlm. 147)
  6. ^ (Ahmed 2010, hlm. 85), n. 404.
  7. ^ a b (Ahmed 2010, hlm. 115)
  8. ^ (Fishbein 1997, hlm. 159), n. 676.
  9. ^ a b (Madelung 1997, hlm. 105).
  10. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am (Gibb 1960, hlm. 55)
  11. ^ (Madelung 1997, hlm. 106, 133).
  12. ^ (Madelung 1997, hlm. 172)
  13. ^ (Asy-Syaibani 2009, hlm. 56)
  14. ^ (Asy-Syaibani 2009, hlm. 97–98)
  15. ^ (Asy-Syaibani 2009, hlm. 97)
  16. ^ (Hawting 1986, hlm. 46.)
  17. ^ (Wellhausen 1927, hlm. 148–150)
  18. ^ (Wellhausen 1927, hlm. 145–146)
  19. ^ (Anthony 2016, hlm. 12)
  20. ^ a b c d e f (Hawting 1986, hlm. 47)
  21. ^ a b c d e f (Ahmed 2010, hlm. 65–66)
  22. ^ a b (Ahmed 2010, hlm. 95), n. 469.
  23. ^ (Wellhausen 1927, hlm. 151)
  24. ^ (Madelung 1997, hlm. 247)
  25. ^ (Kennedy 2009, hlm. 85)
  26. ^ a b c d e f g h i j k l (Hawting 1986, hlm. 48)
  27. ^ Manshur Abdul Hakim. Hajjaj bin Yusuf Algojo Bani Umayyah (Buku elektronik). Pustaka Al-Kautsar. hlm. 32. ISBN 9789795929444, 9795929445. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-08-06. Diakses tanggal 2022-08-05. 
  28. ^ a b c d e (Anthony 2016, hlm. 12–13, 21)
  29. ^ a b c d e f g h (Hawting 1986, hlm. 49)
  30. ^ a b c d (Bosworth 1993)
  31. ^ (Zakeri 1995, hlm. 230)
  32. ^ (Kennedy 2004, hlm. 81.)
  33. ^ (Kennedy 2004, hlm. 80–81)
  34. ^ a b c (Kennedy 2004, hlm. 82)
  35. ^ a b c (Kennedy 2004, hlm. 83)
  36. ^ (Anthony 2016, hlm. 21)
  37. ^ a b c (Fishbein 1990, hlm. 118), n. 424.
  38. ^ (Fishbein 1990, hlm. 119), n. 431.
  39. ^ a b (Anthony 2016, hlm. 8)
  40. ^ a b c d e f (Kennedy 2004, hlm. 84)
  41. ^ (Fishbein 1990, hlm. 226)
  42. ^ (Peters, hlm. 100–101)
  43. ^ a b (Elad 2016, hlm. 331)
  44. ^ (Hawting 1989, hlm. 65), n. 306.
  45. ^ (Elad 2016, hlm. 332)
  46. ^ (Elad 2016, hlm. 337–338)
  47. ^ a b (Kennedy 2004, hlm. 77)
  48. ^ a b c d e (Wellhausen 1927, hlm. 200)
  49. ^ (Wellhausen 1927, hlm. 199–200)
  50. ^ a b c d (Moussavi & Crow 2005, hlm. 149)
  51. ^ a b c d e (Blankinship 1993, hlm. 140)

Catatan

  1. ^ Kekhalifahan Ibnu Zubair awalnya diakui di Hijaz, Mesir, Irak, Khurasan, al-Jazirah, Yaman dan sebagian Suriah. Pemerintahannya bertepatan dengan masa pemerintahan khalifah Umayyah saingannya Mu'awiyah II (m. 683–684), seluruh masa pemerintahan Marwan I (m. 684–685), dan tahun-tahun pertama pemerintahan Abdul Malik bin Marwan (m. 685–705).
  2. ^ Maka Ibnu Zubair' memiliki kunya (julukan) "Abu Khubaib".[4]
  3. ^ Menurut Ali asy-Syaibani, beberapa sahabat terkemuka Muhammad yang menentang pencalonan Yazid adalah Aisyah, Ibnu Umar, Husain bin Ali, Abdurrahman bin Abu Bakar dan Ibnu Zubair.[14] Abdurrahman bahkan menyamakan aksesi Yazid I dengan Heraklius sebagai kritik karena Muawiyah I dianggap telah mengganti sistem syūrā dengan monarki.[15]

Bibliografi

Pranala luar