Soeharto: Perbedaan antara revisi
[revisi tidak terperiksa] | [revisi tertunda] |
Tidak ada ringkasan suntingan |
Patria lupa (bicara | kontrib) Tag: halaman dengan galat skrip Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 1: | Baris 1: | ||
{{pp}} |
|||
[[Gambar:Soeharto.jpg|thumb|200px|Soeharto.]] |
|||
{{Indonesian name}} |
|||
{{Redirect|Suharto|orang-orang dengan nama yang sama|Soeharto (disambiguasi)}} |
|||
{{Infobox President |
|||
| honorific-prefix = <!-- Hanya gelar kenegaraan/kehormatan (non-akademis) -->[[Jenderal Besar (Indonesia)|Jenderal Besar]] [[Tentara Nasional Indonesia|TNI]] ([[Purnawirawan|Purn.]]) [[Haji|H.]] [[Muhammad (nama)|M.]] |
|||
| name = Soeharto |
|||
| image = President Suharto, 1993.jpg |
|||
| alt = Foto resmi Soeharto pada masa jabatan 1993 - 1998 |
|||
| caption = Potret resmi, 1993 |
|||
| office = Presiden Indonesia |
|||
| order = ke-2 |
|||
| term_start = 12 Maret 1967 |
|||
| term_end = 21 Mei 1998{{efn|Pada tanggal 11 Maret 1966, [[Soekarno]] menyerahkan kekuasaan penting kepresidenan kepada Soeharto melalui surat wewenang yang dikenal sebagai ''[[Supersemar]]'' dan menyerahkan kekuasaannya pada tanggal 20 Februari 1967, namun ia tidak secara resmi dibebastugaskan. gelar presidennya oleh [[Majelis Permusyawaratan Rakyat|parlemen sementara]] (MPRS) hingga 12 Maret 1967.}}<br>{{small|[[Penjabat|Pj.]] hingga 27 Maret 1968}} |
|||
| vicepresident = {{Plainlist| |
|||
* [[Hamengkubuwana IX]] (1973—1978) |
|||
* [[Adam Malik]] (1978—1983) |
|||
* [[Umar Wirahadikusumah]] (1983—1988) |
|||
* [[Soedharmono]] (1988—1993) |
|||
* [[Try Sutrisno]] (1993—1998) |
|||
* [[B. J. Habibie]] (1998) |
|||
}} |
|||
| predecessor = [[Soekarno]] |
|||
| successor = [[B. J. Habibie]] |
|||
| office2 = [[Presiden Indonesia|Penjabat Presiden Indonesia]] |
|||
| term_start2 = 12 Maret 1967 |
|||
| term_end2 = 27 Maret 1968 |
|||
| office3 = Sekretaris Jenderal [[Gerakan Non-Blok]] ke-16 |
|||
[[Jenderal Besar]] [[Purnawirawan]] '''Soeharto''', ([[ER]], [[EYD]]: Suharto), atau juga dikenal sebagai '''Haji Muhammad Soeharto''' ([[Kemusuk]], [[Argomulyo, Yogyakarta|Argomulyo]], [[Yogyakarta]], [[8 Juni]] [[1921]]), adalah [[Presiden]] [[Indonesia]] yang kedua. |
|||
| term_start3 = 7 September 1992 |
|||
| term_end3 = 20 Oktober 1995 |
|||
| predecessor3 = [[Dobrica Ćosić]] |
|||
| successor3 = [[Ernesto Samper Pizano]] |
|||
| office4 = Daftar Menteri Pertahanan Indonesia {{!}}Menteri Pertahanan Keamanan Republik Indonesia |
|||
Beliau mulai menjabat sejak keluarnya [[Supersemar]] yang dinilai kontroversial pada tanggal [[12 Maret]] [[1967]] sebagai Pejabat Sementara Presiden, dan dipilih sebagai Presiden pada tanggal 21 Maret oleh [[MPRS]]. |
|||
| order4 = ke-13 |
|||
| term_start4 = 28 Maret 1966 |
|||
| term_end4 = 28 Maret 1973 |
|||
| predecessor4 = [[Abdul Haris Nasution]] |
|||
| successor4 = [[Maraden Panggabean]] |
|||
| office5 = Panglima Tentara Nasional Indonesia{{!}}Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia |
|||
Soeharto dipilih kembali oleh [[MPR]] pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Masa jabatan terakhirnya, tahun 1998, berakhir setelah beliau mengundurkan diri pada tanggal [[21 Mei]] [[1998]]. Pengunduran diri tersebut menyusul terjadinya [[Kerusuhan Mei 1998]]. |
|||
| order5 = ke-5 |
|||
| term_start5 = 6 Juni 1968 |
|||
| term_end5 = 28 Maret 1973 |
|||
| predecessor5 = [[Abdul Haris Nasution]] |
|||
| successor5 = [[Maraden Panggabean]] |
|||
| office6 = Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban{{!}}Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban |
|||
Soeharto menikah dengan ibu Suhartini "[[Ibu Tien|Tien]]" dan dikaruniai 6 anak, yaitu [[Siti Hardijanti Rukmana]] (Tutut), Sigit Harjojudanto, [[Bambang Trihatmodjo]], Titiek, [[Hutomo Mandala Putra]] (Tommy), dan Mamiek. Nama panggilan beliau adalah "Pak Harto". |
|||
| order6 = ke-1 dan ke-5 |
|||
| term_start6 = 5 Oktober 1965 |
|||
| term_end6 = 19 November 1969 |
|||
| predecessor6 = Jabatan dibentuk |
|||
| successor6 = [[Maraden Panggabean]] |
|||
| term_start7 = 2 Maret 1974 |
|||
==Latar belakang== |
|||
| term_end7 = 5 April 1978 |
|||
Soeharto lahir di [[Kemusuk]], [[Argomulyo]], [[Yogyakarta]]. Dia bergabung dengan pasukan kolonial [[Belanda]] dan belajar di [[akademi militer]] [[Hindia Belanda]], [[KNIL]]. Selama [[perang dunia II]], dia menjadi komandan [[batalion]] di dalam militer yang disponsori oleh [[Jepang]] yang dikenal sebagai tentara [[PETA]] (pembela tanah air). |
|||
| predecessor7 = [[Soemitro Sastrodihardjo]] |
|||
| successor7 = [[Soedomo]] |
|||
| office8 = Kepala Staf TNI Angkatan Darat{{!}}Panglima Angkatan Darat |
|||
Setelah proklamasi kemerdekaan oleh [[Soekarno]] pada [[1945]] pasukannya bentrok dengan Belanda dalam rangka mendirikan kembali [[kolonialisme|hukum kolonialisme]]. Dia dikenal luas dalam militer dengan serangan tiba-tibanya yang menguasai [[Yogyakarta]] pada [[1 Maret]] 1949 (lihat [[Serangan Umum 1 Maret]]). Yogyakarta dikuasai hanya satu hari, tapi gerakan ini dikatakan dilihat sebagai simbol perjuangan rakyat Indonesia terhadap pasukan Belanda. Meskipun penggagas sebenarnya dalam serangan ini adalah [[Sri Sultan Hamengkubuwono IX]], sebagai raja Yogyakarta Gubernur Militer serta Menteri Pertahanan. |
|||
| order8 = ke-7 |
|||
| term_start8 = 16 Oktober 1965 |
|||
| term_end8 = 1 Mei 1968 |
|||
| 1blankname8 = Panglima |
|||
| 1namedata8 = [[Abdul Haris Nasution]] |
|||
| predecessor8 = [[Pranoto Reksosamodra]] |
|||
| successor8 = [[Maraden Panggabean]] |
|||
| office9 = Daftar Kepala Badan Intelijen Negara{{!}}Kepala Badan Intelijen Negara |
|||
Di tahun berikutnya dia bekerja sebagai pejabat militer di Divisi Diponegoro [[Jawa Tengah]]. Pada [[1959]] dia dituduh terlibat kasus penyelundupan dan kasusnya hampir dibawa ke pengadilan militer oleh Kolonel [[Ahmad Yani]]. Namun atas saran Jendral [[Gatot Subroto]] saat itu, dia dibebaskan dan dipindahkan dan dipindahkan ke kampus staf komando Angkatan Darat ([[SESKOAD]]) di [[Bandung]], [[Jawa Barat]] meskipun menurut koleganya di SESKOAD, Kolonel [[Hario Kecik]] yang akhirnya menjadi Pangdam Mulawarman, Soeharto mengalami konflik pribadi dengan Kolonel [[D.I. Panjaitan]]. Sebelumnya Letkol Soeharto menjadi komandan penumpasan pemberontakan di [[Makassar]] dibawah Komando Kolonel [[Alex Kawilarang]] dimana Soeharto mengalami konflik pribadi dengan Kawilarang akibat keteledorannya sehingga huru-hara meletus kembali ketika Kawilarang melaporkan situasi Makassar yang dianggap aman kepada Presiden [[Soekarno]] di [[Jakarta]]. |
|||
| order9 = ke-3 |
|||
| term_start9 = 1965 |
|||
Pada [[1962]] dia mencapai jabatan [[mayor jendral]] dan memimpin Komando Mandala yang bertugas membebaskan [[Irian Barat]]. Selama [[konfrontasi Indonesia-Malaysia]], Soeharto adalah seorang komandan [[Kostrad]], yang memiliki keberadaan di [[Jakarta]]. Pada [[1965]], angkatan bersenjata Republik Indonesia, khususnya Angkatan Darat mengalami konflik Internal, terutama akibat politik [[Nasakom]] pada saat itu sehingga digambarkan pecah menjadi dua faksi, satu [[sayap kiri]] dan satu lagi [[sayap kanan]], dengan Soeharto berada di bagian sayap kanan. |
|||
| term_end9 = 22 Agustus 1966 |
|||
| president9 = [[Soekarno]] |
|||
| predecessor9 = [[Soebandrio]] |
|||
| successor9 = [[Yoga Sugama]] |
|||
| office10 = Ketua Presidium Kabinet Indonesia |
|||
== Naik ke kekuasaan == |
|||
| order10 = ke-1 |
|||
{{PemimpinIndonesia}} |
|||
| term_start10 = 25 Juli 1966 |
|||
Pada pagi hari [[1 Oktober]] [[1965]], beberapa pasukan pengawal Kepresidenan, [[Tjakrabirawa]] dibawah Letnan Kolonel [[Untung Sutopo]] bersama pasukan lain menculik dan membunuh enam jendral sayap-kanan anti-Komunis dimana Jendral [[A.H. Nasution]] yang menjabat sebagai Mentri Koordinator bidang Hankam dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata lolos. Satu yang terselamatkan, yang tidak menjadi target dari percobaan kudeta adalah Jendral Soeharto, meski menjadi sebuah pertanyaan apakah Seoharto ini terlibat atau tidak dalam peristiwa yang dikenal sebagai [[G-30-S/PKI]] itu. Beberapa sumber mengatakan, Pasukan Tjakrabirawa yang trerlibat itu menyatakan bahwa mereka mencoba menghentikan kudeta militer yang didukung oleh [[CIA]] yang direncanakan untuk menyingkirkan Presiden Soekarno dari kekuasaan pada "Hari ABRI", 5 Oktober 1965 oleh apa yang dikatakan sebagai Dewan Jenderal. |
|||
| term_end10 = 17 Oktober 1967 |
|||
| predecessor10 = [[Soekarno]] {{small|(Sebagai Perdana Menteri)}} |
|||
| successor10 = Jabatan dihapuskan |
|||
| office11 = Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat{{!}}Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat |
|||
Peristiwa ini segera ditanggapi oleh Mayjend Seoharto untuk segera mengamankan [[Jakarta]], menurut versi resmi sejarah pada masa [[Orde Baru]], terutama setelah mendapatkan kabar bahwa Letjend Ahmad Yani, menteri Panglima Angkatan Darat tidak diketahui keberadaannya. Hal ini sebenarnya berdasarkan kebiasaan yang berlaku di Angkatan Darat bahwa bila Panglima Angkatan Darat berhalangan hadir, maka Panglima KOSTRAD yang menjalankan tugasnya. Tindakan ini diperkuat dengan turunnya Surat Perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah 11 maret [[Supersemar]] dari Presiden Soekarno yang memberikan kewenangan dan mandat kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Langkah yang diambil Soeharto adalah segera membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sekalipun sempat ditentang Presiden Soekarno, penangkapan sejumlah Menteri yang diduga ''terlibat'' G-30-S (Gerakan 30 September). Tindakan ini menurut pengamat internasional dikatakan sebagai langkah menyingkirkan angkatan bersenjata Indonesia yang pro-Soekarno dan pro-Komunis yang justru dialamatkan kepada Angkatan Udara Republik Indonesia dimana jajaran pimpinannya khususnya Panglima Angkatan Udara Laksamana Udara [[Omar Dhani]] yang dinilai pro Soekarno dan Komunis, dan akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan [[eksekutif]]. Tindakan pembersihan dari unsur unsur [[komunis]] (PKI) membawa tindakan Penghukuman mati anggota Partai Komunis di Indonesia yang menyebabkan pembunuhan sistimatis sekitar 500 ribu "tersangka komunis", kebanyakan warga sipil, dan kekerasan terhadap minoritas [[Tionghoa|Cina Indonesia]]. Soeharto dikatakan menerima dukungan [[CIA]] dalam penumpasan komunis. Diplomat Amerika 25 tahun kemudian mengungkapkan bahwa mereka telah menulis daftar "operasi komunis" Indonesia dan telah menyerahkan sebanyak 5.000 nama kepada militer Indonesia. [[Been Huang]], bekas anggota kedutaan politik AS di Jakarta mengatakan di 1990 bahwa: "Itu merupakan suatu pertolongan besar bagi angkatan bersenjata. Mereka mungkin membunuh banyak orang, dan saya kemungkinan memiliki banyak darah di tangan saya, tetapi tidak seburuk itu. Ada saatnya dimana anda harus memukul keras pada saat yang tepat." Howard Fenderspiel, ahli Indonesia di ''State Department's Bureau of Intelligence and Research'' di 1965: "Tidak ada yang perduli, selama mereka adalah komunis, bahwa mereka dibantai. Tidak ada yang bekerja tentangnya."<sup>1</sup> Dia mengakhiri konfrontasi dengan [[Malaysia]] dalam rangka membebaskan sumber daya di militer. |
|||
| order11 = ke-1 |
|||
| term_start11 = 6 Maret 1961 |
|||
| term_end11 = 2 Desember 1965 |
|||
| predecessor11 = Jabatan dibentuk |
|||
| successor11 = [[Umar Wirahadikusumah]] |
|||
| birthname = |
|||
Jendral Soeharto akhirnya menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno ([[NAWAKSARA]]) ditolak MPRS pada tahun [[1967]], kemudian mendirikan apa yang disebut ''[[Orde Baru]]''. |
|||
| birth_date = {{Birth date|1921|6|8}} |
|||
| birth_place = [[Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Bantul|Kemusuk]], [[Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat]], [[Hindia Belanda]] |
|||
| death_date = {{Death date and age|2008|1|27|1921|6|8}} |
|||
| death_place = [[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Jakarta]], Indonesia |
|||
| restingplace = [[Astana Giribangun]], [[Matesih]], [[Kabupaten Karanganyar|Karanganyar]] |
|||
| nationality = Indonesia |
|||
| spouse = {{Marriage|[[Tien Soeharto|Raden Ajeng Siti Hartinah]]|1947|28 April 1996|end=d.}} |
|||
| children = {{Plainlist| |
|||
* [[Siti Hardijanti Rukmana]] |
|||
* [[Sigit Harjojudanto]] |
|||
* [[Bambang Trihatmodjo]] |
|||
* [[Siti Hediati Hariyadi]] |
|||
* [[Hutomo Mandala Putra]] |
|||
* [[Siti Hutami Endang Adiningsih]] }} |
|||
| parents = |
|||
| relatives = [[Keluarga Soeharto]] |
|||
| profession = {{Hlist|Tentara|Politikus}} |
|||
| signature = Suharto signature.svg |
|||
| serviceyears = 1940–1974 |
|||
| servicenumber = 10684<ref>{{cite web|url=https://news.detik.com/berita/d-4728173/sekondan-soeharto-di-pusaran-g30spki/2|title=Sekondan Soeharto di Pusaran G30S/PKI|date=2019-09-30|access-date=2023-06-16|website=detikNews|last=Mappapa|first=Pasti Liberti|quote=Latief sendiri mengaku anak buah langsung Soeharto sejak bertugas di Yogyakarta. [[Nomor Registrasi Pokok]] (NRP) keduanya berurutan. "NRP saya 10685, sedangkan NRP Pak Harto 10684, jadi saya selalu menempel di belakangnya.|language=id}}</ref> |
|||
| rank = [[File:23-TNI Army-GA.svg|25px| ]] [[Jenderal Besar]] [[Tentara Nasional Indonesia|TNI]] |
|||
| branch = {{bulleted list|{{flagicon image|Flag of the Netherlands.svg}} [[Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger|KNIL]] (1940—1942)|{{flagicon image|Flag of PETA (Pembela Tanah Air).svg}} [[Pembela Tanah Air|PETA]] (1942—1945)|{{flagicon image|Flag of the Indonesian Army.svg}} [[Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat|TNI Angkatan Darat]] (1945—1974)}} |
|||
| unit = [[Infanteri]] |
|||
| battles = {{collapsible list|title={{nobold|''Lihat daftar''}} |
|||
|{{tree list}} |
|||
* [[Revolusi Nasional Indonesia]] |
|||
** [[Penyerbuan Kotabaru Yogyakarta]] |
|||
** [[Pertempuran Ambarawa]] |
|||
** [[Agresi Militer Belanda I]] |
|||
** [[Pemberontakan PKI 1948]] |
|||
** [[Agresi Militer Belanda II]] |
|||
** [[Serangan Umum 1 Maret]] |
|||
* [[Pemberontakan Darul Islam]] |
|||
** [[Pemberontakan Eks Batalyon 426]] |
|||
* [[Peristiwa Andi Azis]] |
|||
* [[Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia|Pemberontakan PRRI]] |
|||
* [[Permesta|Pemberontakan Permesta]] |
|||
* [[Sengketa Irian Barat]] |
|||
** [[Operasi Trikora]] |
|||
* [[Konfrontasi Indonesia-Malaysia]] |
|||
* [[Gerakan 30 September]] |
|||
* [[Pembantaian di Indonesia 1965–1966]] |
|||
{{tree list/end}}}} |
|||
| mawards = [[#Penghargaan|Daftar lengkap]] |
|||
| party = {{parpolicon|Golongan Karya}} |
|||
| height = {{height|cm=168|precision=0}}<ref>{{cite web|url=https://bertuahpos.com/berita-pilihan/penasaran-tidak-berapa-sih-tinggi-badan-semua-presiden-indonesia.html|title=Penasaran Tidak, Berapa Sih Tinggi Badan Semua Presiden Indonesia|author=Romi J.|date=2020-11-20|website=bertuahpos.com|language=id|access-date=2024-02-06}}</ref> |
|||
| allegiance = {{bulleted list|{{flag|Hindia Belanda}} (1940—1942)|{{flag|Kekaisaran Jepang}} (1942—1945)|{{flag|Indonesia}} (1945—1974)}} |
|||
| residence = |
|||
| nickname = {{hlist|Smiling General|Pak Harto}} |
|||
| alma_mater = {{Plainlist| |
|||
* Schakel Muhammadiyah Yogyakarta (1935—1938) |
|||
* Sekolah Bintara KNIL di [[Gombong]] (1940) |
|||
}} |
|||
}} |
|||
{{Seri Soeharto}} |
|||
[[Jenderal Besar (Indonesia)|Jenderal Besar]] [[Tentara Nasional Indonesia|TNI]] ([[Purnawirawan|Purn.]]) '''Soeharto'''{{efn|[[Ejaan Van Ophuijsen|Juga dieja]] '''Suharto'''}}{{efn|{{IPAc-en|s|uː|ˈ|h|ɑr|t|oʊ}} {{respell|soo|HAR|toh}}, {{IPA|id|suˈharto|lang|Id-Suharto.ogg}}}} ({{lahirmati||8|6|1921||27|1|2008}}) adalah seorang [[Perwira|perwira militer]] Indonesia dan [[Presiden Indonesia]] kedua. Secara luas dianggap sebagai [[kediktatoran militer|diktator militer]] oleh pengamat internasional, Soeharto memimpin Indonesia sebagai [[otoritarianisme|rezim otoriter]] dari tahun 1967 hingga [[Kejatuhan Soeharto|pengunduran dirinya]] pada tahun 1998 setelah [[kerusuhan Mei 1998|kerusuhan secara nasional]].{{r|NYTobituary}}<ref>{{cite web | title = Obituary: Suharto, former Indonesian dictator: 1921–2008 | date = 28 Januari 2008 | url = https://www.theguardian.com/world/2008/jan/27/obituaries.johngittings | work = The Guardian | last = Gittings | first = John | access-date = 17 Desember 2016 | archive-date = 14 Desember 2018 | archive-url = https://web.archive.org/web/20181214164141/https://www.theguardian.com/world/2008/jan/27/obituaries.johngittings | url-status = live }}</ref><ref>{{cite web | title = Is Indonesia's Reformasi a success, 20 years after Suharto? | date = 19 Mei 2018 | work = South China Morning Post | last = Hutton | first = Jeffrey | url = https://www.scmp.com/week-asia/politics/article/2146838/indonesias-reformasi-success-20-years-after-suharto | quote = ...would topple the dictator Suharto. | access-date = 14 Desember 2018 | archive-date = 13 April 2022 | archive-url = https://web.archive.org/web/20220413020721/https://www.scmp.com/week-asia/politics/article/2146838/indonesias-reformasi-success-20-years-after-suharto | url-status = live }}</ref> Kediktatorannya selama 31 tahun dianggap sebagai salah satu kediktatoran paling brutal dan korup di abad ke-20: ia berperan penting dalam [[Pembantaian di Indonesia 1965–1966|perbuatan pembunuhan massal]] terhadap tuduhan [[Komunisme|komunis]] dan berikutnya [[Diskriminasi terhadap Tionghoa-Indonesia|penganiayaan terhadap etnis Tionghoa]], orang-orang yang tidak beragama, dan anggota serikat pekerja.<ref>{{Cite news |last=Berger |first=Marilyn |date=28 Januari 2008 |title=Suharto Dies at 86; Indonesian Dictator Brought Order and Bloodshed |language=en-US |work=The New York Times |url=https://www.nytimes.com/2008/01/28/world/asia/28suharto.html |access-date= |issn=0362-4331 |archive-date=2 December 2018 |archive-url=https://web.archive.org/web/20181202231503/https://www.nytimes.com/2008/01/28/world/asia/28suharto.html |url-status=live }}</ref><ref>{{harvp|Wiranto|2011| p = 24}}.<br />{{cite book | last1 = Forrester | first1 = Geoff | last2 = May | first2 = R.J. | title = The Fall of Soeharto | date = 1998 | publisher = C. Hurst and Co. | location = Bathurst, Australia | isbn = 1-86333-168-9}}</ref><ref>{{cite web |url=https://www.hrw.org/news/2017/08/07/indonesia-again-silences-1965-massacre-victims|title=Indonesia Again Silences 1965 Massacre Victims|last=Kine|first=Phelim |date=2017 |website=[[Human Rights Watch]] |publisher= |quote=Over the next few months, at least 500,000 people were killed (the total may be as high as one million). The victims included members of the Communist Party of Indonesia (PKI), ethnic Chinese, trade unionists, teachers, activists, and artists.}}</ref> |
|||
Beberapa pengamat politik baik dalam negeri maupun luar negeri mengatakan bahwa Soeharto membersihkan [[parlemen]] dari [[komunis]], menyingkirkan [[serikat buruh]] dan meningkatkan [[sensor]]. Dia juga memutuskan [[hubungan diplomatik]] dengan [[Republik Rakyat Cina]] dan menjalin hubungan dengan negara barat dan [[PBB]]. Dia menjadi penentu dalam semua keputusan politik. |
|||
Soeharto lahir di [[Kemusuk]], dekat kota [[Yogyakarta]], pada masa [[Hindia Belanda|kolonial Belanda]].{{sfnp|Dwipayana|Ramadhan|1989| p = 13}} Ia tumbuh dalam keadaan yang sederhana.<ref>See the details in Chapter 2, 'Akar saya dari desa' (My village roots), in {{harvp|Dwipayana|Ramadhan|1989| p = 14}}.</ref> Orang tua [[orang Jawa|Jawa]] yang beragama Islam bercerai tidak lama setelah kelahirannya, dan ia tinggal bersama orang tua asuh hampir sepanjang masa kecilnya. Pada masa [[pendudukan Jepang di Hindia Belanda|pendudukan Jepang]], Soeharto bertugas di pasukan keamanan Indonesia yang diorganisir Jepang. Selama [[Revolusi Nasional Indonesia|perjuangan kemerdekaan Indonesia]], ia bergabung dengan [[Tentara Nasional Indonesia]] yang baru dibentuk dan naik pangkat [[Mayor Jenderal]] beberapa saat setelah kemerdekaan penuh Indonesia tercapai. [[Gerakan 30 September|Percobaan kudeta]] pada tanggal 30 September dan 1 Oktober 1965 berhasil dilawan oleh pasukan pimpinan Soeharto. Tentara kemudian memimpin [[Pembantaian di Indonesia 1965–1966|pembersihan anti-komunis dengan kekerasan]] dan [[Transisi ke Orde Baru|Suharto merebut kekuasaan]] dari presiden pendiri Indonesia, [[Soekarno]]. Dia diangkat [[penjabat presiden]] pada tahun 1967 dan terpilih sebagai presiden pada tahun berikutnya. Dia kemudian melancarkan kampanye sosial yang dikenal sebagai "[[de-Sukarnoisasi]]" untuk mengurangi pengaruh mantan presiden tersebut. Soeharto memerintahkan [[Invasi Indonesia ke Timor Timur|invasi ke Timor Timur]] pada tahun 1975, diikuti dengan [[pendudukan Indonesia di Timor Timur|pendudukan negara]] selama 23 tahun yang mematikan dan [[genosida Timor Timur|genosida]]. Pada tahun 1990an, otoritarianisme Orde Baru semakin meningkat dan [[Korupsi di Indonesia|korupsi yang meluas]]<ref>Estimates of government funds misappropriated by the Suharto family range from US$1.5 billion and US$5 billion.({{cite magazine | last = Ignatius | first = Adi | url = http://www.time.com/time/nation/article/0,8599,1660967,00.html?iid=sphere-inline-sidebar | archive-url = https://web.archive.org/web/20080202171758/http://www.time.com/time/nation/article/0,8599,1660967,00.html?iid=sphere-inline-sidebar | url-status = dead | archive-date = 2 Februari 2008 | title = Mulls Indonesia Court Ruling | magazine = Time | date = 11 September 2007 | access-date = 9 Agustus 2009 }}).</ref><ref name=HaskinGlobe>{{cite news|url=https://www.theglobeandmail.com/news/world/suharto-dead-at-86/article18443280/|title=Suharto dead at 86|last=Haskin|first=Colin|date=27 Januari 2008|work=The Globe and Mail|location=Jakarta|access-date=3 Februari 2023|archive-date=3 Februari 2023|archive-url=https://web.archive.org/web/20230203170219/https://www.theglobeandmail.com/news/world/suharto-dead-at-86/article18443280/|url-status=live}}</ref> adalah sumber ketidakpuasan dan, setelah [[Krisis finansial Asia 1997]] yang menyebabkan [[kerusuhan Mei 1998|kerusuhan yang meluas]], ia [[Kejatuhan Soeharto|mengundurkan diri pada Mei 1998]]. |
|||
Jendral Soeharto dikatakan meningkatkan dana militer dan mendirikan dua agens intelijen - Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban ([[Kopkamtib]]) dan Badan Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin). Sekitar 2 juta orang dieksekusi dalam [[pembersihan]] massal dan lebih dari 200.000 ditangkap hanya karena dicurigai terlibat dalam kudeta. Banyak komunis, tersangka komunis dan yang disebut "[[musuh negara]]" dihukum mati (meskipun beberapa hukuman ditunda sampai [[1990]]). |
|||
Di bawah pemerintahan "[[Orde Baru (Indonesia)|Orde Baru]]", Suharto membangun pemerintahan yang kuat, terpusat, dan didominasi militer. Apa yang dimulai sebagai [[Oligarki|oligarki]] [[kediktatoran militer]] berkembang menjadi rezim otoritarian personalistik yang berpusat di sekelilingnya.<ref>{{Citation |last=Slater |first=Dan |title=Altering Authoritarianism: Institutional Complexity and Autocratic Agency in Indonesia |date=2009 |url=https://www.cambridge.org/core/books/explaining-institutional-change/altering-authoritarianism-institutional-complexity-and-autocratic-agency-in-indonesia/61E94A0738ABFBC285F4262F685EDACD |work=Explaining Institutional Change: Ambiguity, Agency, and Power |pages=132–167 |editor-last=Mahoney |editor-first=James |publisher=Cambridge University Press |isbn=978-0-521-11883-5 |editor2-last=Thelen |editor2-first=Kathleen |access-date=9 Juni 2022 |archive-date=15 Juni 2018 |archive-url=https://web.archive.org/web/20180615023205/https://www.cambridge.org/core/books/explaining-institutional-change/altering-authoritarianism-institutional-complexity-and-autocratic-agency-in-indonesia/61E94A0738ABFBC285F4262F685EDACD |url-status=live }}</ref> Kemampuannya untuk menjaga stabilitas di Indonesia yang luas dan beragam serta sikap [[anti-komunis]] yang jelas membuatnya mendapatkan dukungan ekonomi dan diplomatik dari Barat selama [[Perang Dingin]]. Selama sebagian besar masa kepresidenannya, Indonesia mengalami industrialisasi yang signifikan, pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan tingkat pendidikan.<ref>{{cite conference | last = Miguel | first = Edward | author2 = Paul Gertler | author3 = David I. Levine | title = Does Social Capital Promote Industrialization? Evidence from a Rapid Industrializer | book-title = Econometrics Software Laboratory, University of California, Berkeley | date = Januari 2005}}</ref><ref name=McDonaldSMH_28012008>{{cite news | last = McDonald | first = Hamish | author-link = Hamish McDonald | title = No End to Ambition | newspaper = Sydney Morning Herald | date = 28 Januari 2008 | url = http://www.smh.com.au/news/world/no-end-to-ambition/2008/01/27/1201368944638.html | access-date = 31 Januari 2008 | archive-date = 15 Maret 2018 | archive-url = https://web.archive.org/web/20180315124604/https://www.smh.com.au/news/world/no-end-to-ambition/2008/01/27/1201368944638.html | url-status = live }}</ref> Alhasil, ia diberi gelar “Bapak Pembangunan”.<ref>{{cite web | url=https://edukasi.okezone.com/read/2022/11/28/624/2715991/ini-7-julukan-presiden-indonesia-dari-soekarno-sampai-jokowi?page=2 | title=Ini 7 Julukan Presiden Indonesia, Dari Soekarno Sampai Jokowi : Okezone Edukasi | date=28 November 2022 | access-date=23 April 2023 | archive-date=23 April 2023 | archive-url=https://web.archive.org/web/20230423005345/https://edukasi.okezone.com/read/2022/11/28/624/2715991/ini-7-julukan-presiden-indonesia-dari-soekarno-sampai-jokowi?page=2 | url-status=live }}</ref> Menurut [[Transparency International]], Soeharto adalah salah satu pemimpin paling korup dalam sejarah modern, dengan [[Kasus dugaan korupsi Soeharto|menggelapkan]] dugaan US$15–35 miliar selama masa pemerintahannya.<ref>{{cite book | title = Global Corruption Report 2004: Political Corruption by Transparency International – Issue | url = https://issuu.com/transparencyinternational/docs/2004_gcr_politicalcorruption_en?mode=window&backgroundColor=%23222222 | publisher = Pluto Press | date = 2004 | via = Issuu.com | page = 13 | isbn = 0-7453-2231-X | access-date = 8 Mei 2020 | archive-date = 12 November 2020 | archive-url = https://web.archive.org/web/20201112024456/https://issuu.com/transparencyinternational/docs/2004_gcr_politicalcorruption_en?mode=window | url-status = live }}</ref><ref name="BBC_20040325">{{cite news | url = http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/3567745.stm | title = Suharto tops corruption rankings | work = BBC News | date = 25 Maret 2004 | access-date = 4 Februari 2006 | archive-date = 13 November 2020 | archive-url = https://web.archive.org/web/20201113042444/http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/3567745.stm | url-status = live }}</ref> Soeharto meninggal pada Januari 2008. |
|||
Diduga bahwa daftar tersangka komunis diberikan ke tangan Soeharto oleh [[CIA]]. Sebagai tambahan, [[CIA]] melacak nama dalam daftar ini ketika rezim Soeharto mulai mencari mereka. Dukungan yang tidak dibicarakan ini dari [[Pemerintah Amerika Serikat]] untuk rezim Soeharto tetap diam sampai invasi [[Timor Timur]], dan terus berlangsung sampai akhir [[1990-an]]. Karena kekayaan sumber daya alamnya dan populasi [[konsumen]] yang besar, Indonesia dihargai sebagai [[rekan dagang]] [[Amerika Serikat]] dan begitu juga pengiriman senjata tetapi dipertahankan ke rezim Soeharto. Ketika Soeharto mengumjungi Washington pada 1995 pejabat administratif Clinton dikutip di [[New York Times]] mengatakan bahwa Soeharto adalah "orang seperti kita" atau "orang golongan kita". |
|||
Soeharto tetap menjadi sosok yang kontroversial dan memecah belah masyarakat umum Indonesia. Banyak masyarakat Indonesia yang memuji pemerintahannya selama 31 tahun atas pembangunan ekonomi, industrialisasi yang pesat, dan stabilitas politik yang dirasakannya, sementara sebagian lainnya mengecam pemerintahan diktatornya, pelanggaran hak asasi manusia yang ekstensif, dan korupsi.<ref>{{Cite web|url=https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43499324|title=Dari 1965 hingga slogan 'piye kabare enak jamanku toh': Suharto dibenci, Suharto dirindukan (In Indonesian)|website=www.bbc.com|date=24 Mei 2018}}</ref><ref>{{Cite web |date=2020-01-03 |title=Revealing the Ultimate 2020 List: The 10 Most Corrupt Politicians in the World – The Sina Times |url=https://www.sinatimes.com/2020/01/03/revealing-the-ultimate-2020-list-the-10-most-corrupt-politicians-in-the-world/ |access-date=2024-01-03 |language=en-US |archive-date=3 Januari 2024 |archive-url=https://web.archive.org/web/20240103131453/https://www.sinatimes.com/2020/01/03/revealing-the-ultimate-2020-list-the-10-most-corrupt-politicians-in-the-world/ |url-status=dead }}</ref> Rencana pemberian status [[Pahlawan Nasional Indonesia|Pahlawan Nasional]] kepada Soeharto sedang dipertimbangkan oleh [[Pemerintah Indonesia|pemerintah Indonesia]] dan telah diperdebatkan dengan penuh semangat.<ref>{{cite news | url = http://www.triaspolitica.net/full-indonesia-lawyers-club-pro-kontra-soeharto-pahlawan-nasional/ | title = Pro Kontra Soeharto Pahlawan Nasional | work = Trias Politica | date = 26 Mei 2016 | access-date = 28 Juli 2016 | archive-url = https://web.archive.org/web/20160923165121/http://www.triaspolitica.net/full-indonesia-lawyers-club-pro-kontra-soeharto-pahlawan-nasional/ | archive-date = 23 September 2016 | url-status = dead | df = dmy-all | language = id }}</ref> |
|||
Pada [[12 Maret]] [[1967]] Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden Indonesia oleh parlemen sementara (MPRS). Pada [[21 Maret]] dia resmi terpilih di masa lima tahun pertamanya sebagai Presiden. Dia secara langsung menunjuk 20% anggota MPR. Partai [[Golkar]] menjadi partai favorit dan satu-satunya yang diterima oleh pejabat pemerintah. [[Indonesia]] juga menjadi salah satu pendiri [[ASEAN]]. |
|||
==Nama== |
|||
== Puncak Orde Baru == |
|||
Seperti kebanyakan [[orang Jawa|Orang Jawa]], Soeharto memiliki [[nama Jawa|hanya satu nama]].{{r|HaskinGlobe}} Konteks keagamaan dalam beberapa tahun terakhir terkadang menyebutnya sebagai [[Haji|Haji/Al- Haji]] Mohammed Suharto, namun nama-nama tersebut bukan merupakan bagian dari nama resminya dan juga tidak digunakan secara umum. Ejaan "Suharto" mencerminkan ortografi Indonesia modern, meskipun pendekatan umum di Indonesia mengandalkan ejaan yang disukai oleh yang bersangkutan. Pada saat kelahirannya, [[Ejaan Van Ophuijsen|transkripsi standar]] adalah Soeharto, dan dia menggunakan ejaan aslinya sepanjang hidupnya. Pers internasional berbahasa Inggris umumnya menggunakan ejaan "Suharto" sedangkan pemerintah dan media Indonesia menggunakan "Soeharto".<ref name=":0">{{cite book|last=Romano|first=Angela Rose|title=Politics and the Press in Indonesia|date=2003|isbn=0-7007-1745-5|page=ix|publisher=Psychology Press }}</ref> |
|||
== Kehidupan awal dan keluarga == |
|||
Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah. Dia mengangkat banyak teknokrat dan ahli ekonom yang sebelumnya bertentangan denga Presiden Soekarno yang cenderung bersifat sosialis. Teknokrat teknokrat yang umumnya berpendidikan barat dan liberal ([[Amerika Serkat]]) diangkat yang umumnya adalah lulusan [[Berkeley]] sehingga dikenal sebuah klik ekonomi yang dikatakan sebagai ''[[Mafia Barkeley]]'' dikalangan Ekonomi, Industri dan Keuangan Indonesia. Pada masanya, Indonesia mendapatkan bantuan ekonomi dan keuangan dari negara negara donor (negara negara maju) yang tergabung dalan [[IGGI]] yang diseponsori oleh pemerintah [[Belanda]]. Namun pada tahun [[1992]], IGGI dihentikan oleh pemerintah Indonesia karena dianggap turut campar dalam urusan dalam negeri Indonesia, khususnya dalam kasus [[Timor Timur]] paska [[Insiden Dili]]. Peran IGGI ini digantikan oleh lembaga donor [[CGI]] yang diseponsori [[Perancis]]. Selain itu, Indonesia mendapat bantuan dari lembaga internasional lainnya yang berada dibawah [[PBB]] seperti [[UNICEF]], [[UNESCO]] dan [[WHO]]. Namun sayangnya, kegagalan manajemen ekonomi yang bertumpu dalam sistem ''trikle down effect'' yang mementingkan pertumbuhan dan pengelolaan ekonomi pada segelintir kalangan serta buruknya manajemen ekonomi perdagangan industri dan keuangan (EKUIN) pemerintah, membuat Indonesia akhirnya bergantung pada donor Internasional terutama paska [[Krisis 1997]]. Dalam bidang ekonomi juga, tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada tahun [[1984]]. Namun prestasi itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada tahun tahun berikutnya. Kemudian kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap sangat signifikan sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang mendekati negara negara Industri Baru bersama dengan [[Malaysia]], [[Filipina]] dan [[Thailand]], selain [[Singapura]], [[Taiwan]] dan [[Korea Selatan]]. |
|||
{{Main|Awal kehidupan dan karir Soeharto}} |
|||
Soeharto lahir pada tanggal 8 Juni 1921 di sebuah rumah berdinding anyaman bambu di dusun [[Kemusuk]], bagian dari desa Godean yang lebih besar, yang saat itu merupakan bagian dari [[Hindia Belanda]]. Desa ini terletak {{convert|15|km|mi|0|abbr=}} sebelah barat [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]], jantung budaya [[orang Jawa|Jawa]].{{r| McDonaldSMH_28012008}}<ref>Tom Lansford. ''[https://books.google.com/books?id=O2IYAgAAQBAJ&pg=PA260 Historical Dictionary of U.S. Diplomacy since the Cold War]''. Scarecrow Press; 10 September 2007. {{ISBN|978-0-8108-6432-0}}. p. 260.</ref> Lahir dari orang tua beretnis Jawa, ia merupakan anak tunggal dari pernikahan kedua ayahnya. Ayahnya, Kertosudiro, memiliki dua orang anak dari pernikahan sebelumnya dan merupakan seorang petugas pengairan desa. Ibunya, Sukirah, seorang wanita setempat, mempunyai hubungan jauh dengan [[Hamengkubuwono V]] melalui selir pertamanya.<ref>''Tempo'' (Jakarta), 11 November 1974.</ref> Lima minggu setelah kelahiran Soeharto, ibunya menderita [[gangguan saraf]]; ia ditempatkan dalam perawatan bibi buyut dari pihak ayah, Kromodirjo sebagai hasilnya.{{sfnp|McDonald|1980|p=10}} Kertosudiro dan Sukirah bercerai di awal kehidupan Suharto dan keduanya kemudian menikah lagi. Pada usia tiga tahun, Soeharto dikembalikan kepada ibunya, yang menikah dengan seorang petani setempat yang dibantu Soeharto di sawah.{{sfnp|McDonald|1980|p=10}} Pada tahun 1929, ayah Soeharto membawanya untuk tinggal bersama saudara perempuannya, yang menikah dengan seorang pengawas pertanian, Prawirowihardjo, di kota Wuryantoro di daerah pertanian miskin dan hasil rendah dekat [[Wonogiri]]. Selama dua tahun berikutnya, ia dibawa kembali ke ibunya di Kemusuk oleh ayah tirinya dan kemudian kembali lagi ke Wuryantoro oleh ayahnya.{{sfnp|McDonald|1980|p=11}} |
|||
Prawirowihardjo membesarkan anak laki-laki itu sebagai anaknya sendiri, yang memberi Suharto sosok ayah dan rumah yang stabil di Wuryantoro. Pada tahun 1931, ia pindah ke kota Wonogiri untuk bersekolah di sekolah dasar, pertama-tama tinggal bersama putra Prawirohardjo, Sulardi, dan kemudian dengan kerabat ayahnya, Hardjowijono. Saat tinggal bersama Hardjowijono, Soeharto berkenalan dengan Darjatmo, seorang dukun seni mistik Jawa dan penyembuhan iman. Pengalaman tersebut sangat mempengaruhinya dan kemudian, sebagai presiden, Soeharto mengelilingi dirinya dengan bahasa simbolik yang kuat.{{r|McDonaldSMH_28012008}} Kesulitan dalam membayar biaya pendidikannya di Wonogiri mengakibatkan ia kembali pindah ke ayahnya di Kemusuk, di mana ia melanjutkan belajar di Schakel [[Muhammadiyah]] (sekolah menengah pertama) dengan biaya lebih rendah di kota [[Yogyakarta]] hingga tahun 1938.{{sfnp|McDonald|1980|p=11}}{{sfnp|Elson|2001|pp =1–6}} Pola asuh Suharto berbeda dengan tokoh nasionalis terkemuka di Indonesia seperti [[Sukarno]] karena ia diyakini tidak begitu tertarik pada [[anti-kolonialisme]], atau kepentingan politik di luar lingkungan terdekatnya. Berbeda dengan Sukarno dan lingkarannya, Suharto hanya mempunyai sedikit atau bahkan tidak ada kontak sama sekali dengan penjajah Eropa. Akibatnya, ia tidak belajar berbicara [[Bahasa Belanda|Belanda]] atau bahasa Eropa lainnya di masa mudanya. Ia belajar berbicara bahasa Belanda setelah dilantik menjadi militer Belanda pada tahun 1940.{{sfnp|Elson|2001|pp=1–6}} |
|||
Di bidang Politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai politik sehingga pada massa itu dikenal tiga partai Politik yakni [[Partai Persatuan Pembangunan]] (PPP), [[Golongan Karya]] (Golkar) dan [[Partai Demokrasi Indonesia]] (PDI) dalam upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di Indonesia sebagai akibat dari politik masa presiden Soekarno yang menggunakan sistem multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan dianggap penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian dikeluarkannnya UU Politik dan Asas tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Namun dalam perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan politik dimana muncullah istilah "mayoritas tunggal" diamana GOLKAR dijadikan partai utama dan mengebirikan dua parpol lainnya dalam setiap penyelenggaraan PEMILU. Berbagai ketidakpuasan muncul, namun dapat diredam oleh sistem pada masa itu. |
|||
== Karier militer == |
|||
Seiring dengan naiknya taraf pendidikan pada masa pemerintahannya karena pertumbuhan ekonomi, muncullah berbagai kritik dan ketidakpuasan atas ketimpangan ketimpangan dalam pembangunan. Kesenjangan ekonomi, sosial dan politik memunculkan kalangan yang tidak puas dan menuntut perbaikan. Kemudian pada masa pemerintahannya, tercatat muncul peristiwa kekerasan di masyarakat yang umumnya sarat kepentingan politik, selain memang karena ketidakpuasan dari masyarakat. |
|||
{{Main|Awal kehidupan dan karir Soeharto}} |
|||
===Masa pendudukan Jepang=== |
|||
== Beberapa catatan atas tindakan represif Orde Baru == |
|||
{{See also|Pendudukan Jepang di Hindia Belanda}} |
|||
Soeharto menyelesaikan sekolah menengah pada usia 18 tahun dan mengambil pekerjaan administrasi di sebuah bank di Wuryantaro. Dia terpaksa mengundurkan diri setelah kecelakaan sepeda merobek satu-satunya pakaian kerjanya.{{sfnp|McDonald|1980|pp=12–3}} Setelah sempat menganggur, dia bergabung dengan [[Tentara Kerajaan Hindia Belanda]] (KNIL ) pada bulan Juni 1940 dan mengikuti pelatihan dasar di [[Gombong]] dekat Yogyakarta. Ketika Belanda berada di bawah pendudukan Jerman dan Jepang mendesak untuk mendapatkan akses terhadap pasokan minyak Indonesia, Belanda telah membuka KNIL bagi sejumlah besar orang Jawa yang sebelumnya tidak diikutsertakan.{{sfnp|McDonald|1980|p=13}} Soeharto ditugaskan ke Batalyon XIII di Rampal, lulus dari kursus pelatihan singkat di {{lang|nl|KNIL Kaderschool}} di [[Gombong]] untuk menjadi sersan, dan ditempatkan di batalyon cadangan KNIL di [[Cisarua]].{{sfnp |Elson|2001|p=8}} Setelah Belanda menyerah kepada [[Kampanye Hindia Belanda|menyerang pasukan Jepang]] pada bulan Maret 1942, Soeharto meninggalkan seragam KNIL-nya dan kembali ke Wurjantoro. Setelah berbulan-bulan menganggur, ia kemudian menjadi salah satu dari ribuan warga Indonesia yang memanfaatkan kesempatan untuk bergabung dengan pasukan keamanan terorganisir Jepang dengan bergabung di kepolisian Yogyakarta.{{sfnp|McDonald|1980|p=13}} |
|||
Presiden Soeharti dinilai memulai penekanan terhadap suku [[Tionghoa]], melarang penggunaan [[bahasa Tionghoa tertulis|tulisan China]] di berbagai material tertulis, dan menutup Organisasi Cina karena tuduhan simpati mereka terhadap komunis. |
|||
Pada bulan Oktober 1943, Soeharto dipindahkan dari kepolisian ke milisi baru yang disponsori Jepang, {{lang|id|[[Pembela Tanah Air|Pembela Tanah Air]]}} (PETA) di mana orang Indonesia bertugas sebagai perwira . Dalam pelatihannya untuk bertugas dengan pangkat {{lang|ja-Latn|shodancho}} (komandan peleton) ia bertemu dengan versi lokal dari {{lang|ja-Latn|[[bushido]]}} Jepang, atau " cara prajurit", digunakan untuk mengindoktrinasi pasukan. Pelatihan ini mendorong pemikiran anti-Belanda dan pro-nasionalis, meskipun mengarah pada tujuan militeris Kekaisaran Jepang. Perjumpaan dengan ideologi nasionalis dan militeristik diyakini sangat mempengaruhi cara berpikir Soeharto sendiri.{{sfnp|Elson|2001|p=9}} Soeharto ditempatkan di batalion pertahanan pantai PETA di [[Wates, Kulon Progo| Wates]], selatan Yogyakarta hingga ia diterima mengikuti pelatihan untuk {{lang|ja-Latn|chudancho}} (komandan kompi) di [[Bogor]] dari bulan April hingga Agustus 1944. Sebagai komandan kompi, ia melakukan pelatihan untuk prajurit baru PETA merekrut di [[Surakarta]], [[Jakarta]], dan [[Madiun]]. Penyerahan Jepang dan [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia]] pada bulan Agustus 1945 terjadi ketika Soeharto ditempatkan di daerah terpencil Brebeg (di lereng [[Gunung Wilis]]) untuk melatih NCO baru menggantikan mereka yang dieksekusi oleh Jepang pada tahun 1945. setelah kegagalan bulan Februari [[Pemberontakan PETA Blitar]], yang dipimpin oleh [[Supriyadi]]. |
|||
Pada [[1970]] Soeharto melarang [[protes]] pelajar setelah demonstrasi yang meluas melawan [[korupsi]]. Sebuah komisi menemukan bahwa korupsi sangat umum. Soeharto menyetujui hanya dua kasus dan kemudian menutup komisi tersebut. Korupsi kemudian menjadi sebuah endemik. |
|||
=== Revolusi Nasional Indonesia === |
|||
Dia memerintah melalui kontrol militer dan penyensoran [[media massa|media]]. Dia menguasai finansial dengan memberikan transaksi mudah dan [[monopoli]] kepada saudara-saudaranya, termasuk enam anaknya. Dia juga terus memainkan faksi berlainan di militer melawan satu sama lain, dimulai dengan mendukung Nasionalis dan kemudian mendukung unsur [[Islam]]. |
|||
{{Lihat juga|Revolusi Nasional Indonesia}} |
|||
[[Berkas:Lieutenant Colonel Suharto.jpg|thumb|160px|left|Letnan Kolonel Soeharto, {{sekitar|1947}}]] |
|||
Dua hari setelah Jepang menyerah di Pasifik, para pemimpin kemerdekaan [[Soekarno]] dan [[Mohammad Hatta|Hatta]] [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|menyatakan kemerdekaan Indonesia]] dan masing-masing diangkat menjadi presiden dan wakil presiden yang baru Republik. Soeharto membubarkan resimennya di bawah perintah komando Jepang dan kembali ke Yogyakarta.{{sfnp|McDonald|1980|p=14}} Ketika kelompok republik bangkit untuk menegaskan kemerdekaan Indonesia, Soeharto bergabung dengan unit baru tentara Indonesia yang baru dibentuk. Berdasarkan pengalaman PETA, ia diangkat menjadi wakil komandan, dan kemudian menjadi komandan batalion ketika pasukan republik secara resmi diorganisasi pada bulan Oktober 1945.{{sfnp|McDonald|1980|p=14}} Soeharto terlibat dalam pertempuran melawan pasukan Sekutu sekitar [[Magelang]] dan [[Semarang]] dan kemudian diangkat menjadi kepala brigade sebagai letnan kolonel, setelah mendapatkan rasa hormat sebagai komandan lapangan.{{sfnp|McDonald|1980|p=16}} Pada awalnya tahun-tahun perang, ia mengorganisir angkatan bersenjata lokal menjadi Batalyon X Resimen I; Soeharto dipromosikan menjadi Mayor dan menjadi pemimpin Batalyon X.{{sfnp|Elson|2001|pp=14–5}} Kedatangan Sekutu, dengan mandat mengembalikan keadaan ke ''[[status quo ante bellum]]'', dengan cepat menyebabkan bentrokan antara Partai Republik Indonesia dan pasukan Sekutu, yaitu mengembalikan pasukan Belanda dan membantu pasukan Inggris.{{sfnp|Elson|2001|pp=15–7}} |
|||
Soeharto memimpin pasukan Divisi X untuk menghentikan gerak maju Brigade T ("Harimau") Belanda pada tanggal 17 Mei 1946. Hal ini membuatnya dihormati oleh Letnan Kolonel Sunarto Kusumodirjo, yang mengundangnya untuk menyusun pedoman kerja Markas Besar Pimpinan Pertempuran (MPP), sebuah badan yang dibentuk untuk mengatur dan menyatukan struktur komando kekuatan Nasionalis Indonesia.{{sfnp|Elson|2001|pp=15–7}} Kekuatan militer Republik Indonesia yang masih bayi terus-menerus melakukan restrukturisasi. Pada bulan Agustus 1946, Soeharto menjadi kepala Resimen ke-22 Divisi III ("[[Kodam IV/Diponegoro|Divisi Diponegoro]]") yang ditempatkan di Yogyakarta. Pada akhir tahun 1946, Divisi Diponegoro mengambil alih tanggung jawab pertahanan barat dan barat daya [[Yogyakarta]] dari pasukan Belanda. Kondisi pada saat itu dilaporkan oleh sumber-sumber Belanda sangat menyedihkan; Soeharto sendiri dikabarkan membantu sindikat penyelundup dalam pengangkutan [[opium]] melalui wilayah yang dikuasainya, untuk menghasilkan pendapatan. Pada bulan September 1948, Soeharto diutus untuk menemui [[Musso]], ketua [[Partai Komunis Indonesia]] (PKI) dalam upaya rekonsiliasi damai [[Madiun|pemberontakan komunis di Madiun]] yang gagal.{{sfnp|Elson|2001|pp=20–5, 28–9}} |
|||
Pada [[1973]] dia memenangkan jangka lima-tahun berikutnya melalui pemilihan "electoral college". Dan juga terpilih kembali pada [[1978]], [[1983]], [[1988]], [[1993]], dan [[1998]]. Dia memulai reform elektoral hanya tiga partai yang boleh mengikuti pemilihan, termasuk partainya sendiri, [[Golkar]]. |
|||
[[Berkas:Suharto and Ibu Tien.jpg|thumb|180px|Potret Soeharto dan [[Siti Hartinah]], tanggal tidak diketahui]] |
|||
Pada [[1975]], dengan persetujuan bahkan permintaan [[Amerika Serikat]] dan [[Australia]], dia memerintahkan pasukan Indonesia untuk memasuki bekas koloni [[Portugal]] [[Timor Timur]] setelah Portugal mundur dan gerakan [[Fretilin]] memegang kuasa yang menimbulkan kekacauan di masyarakat Timor Timur Sendiri, serta kekhawatiran Amerika Serikat atas tidakan Fretilin yang menurutnya mengundang campur tangan Uni Sovyet. Kemudian pemerintahan pro integrasi dipasang oleh Indonesia meminta wilayah tersebut berintegrasi dengan Indonesia. Pada [[15 Juli]] [[1976]] Timor Timur menjadi provinsi Timor Timur sampai dia dialihkan ke [[PBB]] pada [[1999]]. |
|||
Pada bulan Desember 1948, Belanda melancarkan "[[Operatie Kraai|Operasi Kraai]]", yang mengakibatkan direbutnya Soekarno dan Hatta serta ibu kota [[Yogyakarta]]. Soeharto ditunjuk untuk memimpin Wehrkreise III, yang terdiri dari dua batalyon, yang melancarkan perang gerilya melawan Belanda dari perbukitan di selatan [[Yogyakarta]].{{sfnp|Elson|2001|pp=20–5, 28–9}} Dalam serangan fajar pada tanggal 1 Maret 1949, pasukan Soeharto dan milisi lokal merebut kembali kota tersebut, menahannya hingga siang hari.{{sfnp|Dwipayana|Ramadhan|1989|pp=61–2}} Catatan Soeharto selanjutnya menyebutkan dia sebagai satu-satunya komplotan, meskipun sumber lain menyebutkan Sultan [[Hamengkubuwono IX]] dari Yogyakarta, dan Panglima Divisi Ketiga memerintahkan serangan itu. Namun Jenderal [[Abdul Haris Nasution]] mengatakan bahwa Soeharto sangat berhati-hati dalam mempersiapkan "Serangan Umum". Warga sipil yang bersimpati pada perjuangan Partai Republik di kota tersebut terpacu oleh unjuk kekuatan yang membuktikan bahwa Belanda gagal memenangkan perang gerilya. Secara internasional, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa menekan Belanda untuk menghentikan serangan militer dan memulai kembali perundingan, yang akhirnya menyebabkan penarikan Belanda dari wilayah Yogyakarta pada bulan Juni 1949 dan penyelesaian penyerahan kedaulatan pada bulan Desember 1949. Soeharto bertanggung jawab atas pengambilalihan kota Yogyakarta dari Belanda yang mundur pada bulan Juni 1949.{{sfnp|Elson|2001|pp=29–38, 42–4}} |
|||
Pada masa Revolusi, Soeharto menikah dengan [[Siti Hartinah]] (dikenal sebagai Nyonya Tien), putri seorang bangsawan kecil di istana Mangkunegaran di Solo. Perjodohan ini bertahan lama dan saling mendukung, hingga kematian Tien pada tahun 1996.{{r|McDonaldSMH_28012008}} Pasangan ini dikaruniai enam orang anak: [[Siti Hardiyanti Rukmana]] (Tutut, lahir 1949), Sigit Harjojudanto (lahir 1951), Bambang Trihatmodjo (lahir 1953), Siti Hediati (“[[Titiek Soeharto]]”, lahir 1959), [[Hutomo Mandala Putra]] (Tommy, lahir 1962), dan Siti Hutami Endang Adiningish (Mamiek, lahir 1964). Di kalangan kelas atas Jawa, istri dianggap dapat melakukan perdagangan yang sopan{{clarify|date=April 2014}} untuk menambah anggaran keluarga, sehingga suaminya dapat menjaga martabatnya dalam peran resminya. Transaksi komersial{{clarify|date=April 2014}} yang dilakukan Tien, anak-anak dan cucu-cucunya menjadi meluas dan pada akhirnya melemahkan kepresidenan Soeharto.{{r|McDonaldSMH_28012008}} |
|||
[[Image:william_cohen_with_suharto.jpg|thumb|290px|Soeharto dengan [[William Cohen]]]] |
|||
===Karir pasca kemerdekaan=== |
|||
Korupsi menjadi beban berat pada [[1980-an]]. Pada [[5 Mei]] [[1980]] sebuah kelompok [[Petisi 50]] meminta kebebasan politik yang lebih. Kelompok ini terdiri dari anggota militer, politisi, akademik, dan pelajar. Media Indonesia menekan beritanya dan pemerintah mecekal penandatangannya. Setelah penuduhan grup ini di tahun [[1984]] yang menuduh bahwa Soeharto menciptakan [[negara satu partai]], beberapa pemimpinnya dipenjarakan. |
|||
[[Berkas:Suharto family.jpg|thumb|240px|left|Soeharto bersama istri dan keenam anaknya, {{circa|1967}}]] |
|||
Pada tahun-tahun setelah kemerdekaan Indonesia, Soeharto bertugas di [[Tentara Nasional Indonesia|Tentara Nasional Indonesia]], terutama di [[Jawa]]. Pada tahun 1950, sebagai seorang kolonel, ia memimpin Brigade Garuda dalam [[Peristiwa Andi Azis]], sebuah pemberontakan mantan tentara kolonial yang mendukung [[Negara Indonesia Timur]] yang didirikan Belanda dan entitas federalnya, [[Amerika Serikat]].{{sfnp|McDonald|1980|pp=24–5}} Selama berada di [[Makassar]], Soeharto berkenalan dengan tetangganya, keluarga Habibie, yang putra sulungnya [[Bacharuddin Jusuf Habibie]] kemudian menjadi wakil presiden Soeharto, dan kemudian menggantikannya sebagai presiden. Pada tahun 1951–1952, Soeharto memimpin pasukannya mengalahkan [[Pemberontakan Eks Batalyon 426]] yang bernuansa Islam di wilayah [[Kabupaten Klaten|Klaten]] [[Jawa Tengah]].{{sfnp| McDonald|1980|p=25}} Ditunjuk untuk memimpin empat batalyon pada awal tahun 1953, ia mengatur partisipasi mereka dalam memerangi pemberontak Darul Islam di barat laut Jawa Tengah dan operasi anti-bandit di daerah [[Gunung Merapi]]. Ia juga berupaya membendung simpati kaum kiri di kalangan pasukannya. Pengalamannya pada periode ini membuat Soeharto sangat tidak menyukai radikalisme Islam dan komunis.{{sfnp|Elson|2001|pp=52–5}} |
|||
Antara tahun 1956 dan 1959, ia menjabat posisi penting Komandan Divisi Diponegoro yang berbasis di [[Semarang]], bertanggung jawab atas provinsi Jawa Tengah dan [[Yogyakarta]]. Hubungannya dengan pengusaha terkemuka [[Sudono Salim|Liem Sioe Liong]] dan [[Bob Hasan]], yang berlanjut sepanjang masa kepresidenannya, dimulai di Jawa Tengah, di mana ia terlibat dalam serangkaian perusahaan "yang menghasilkan keuntungan" yang terutama dilakukan untuk menjaga unit militer yang dananya terbatas tetap berfungsi.{{sfnp|McDonald|1980|pp=30–1}} Investigasi anti-korupsi Angkatan Darat melibatkan Soeharto dalam skandal penyelundupan tahun 1959. Lepas dari jabatannya, ia dipindahkan ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di kota [[Bandung]].{{sfnp|McDonald|1980|pp=31–2}} |
|||
Catatan [[HAM]] Soeharto juga semakin memburuk dari tahun ke tahun. Pada [[1993]] [[Komisi HAM PBB]] membuat resolusi yang mengungkapkan perhatian dalam terhadap pelanggaran HAM di Indonesia di Timor Timur. Presiden AS [[Bill Clinton]] mendukungnya. |
|||
[[Berkas:Suharto as the commander of Kostrad.jpg|240px|thumb|Di kantornya sebagai Panglima Kostrad, {{circa|1963}}]] |
|||
Pada [[1996]] Soeharto berusaha menyingkirkan [[Megawati Soekarnoputri]] dari kepemimpinan [[Partai Demokrasi Indonesia]] (PDI), salah satu dari tiga partai resmi. Di bulan Juni, pendukung Megawati menduduki markas besar partai tersebut. Setelah pasukan keamanan menahan mereka, kerusuhan pecah di [[Jakarta]] pada tanggal [[27 Juli]] [[1996]] (peristiwa [[Sabtu Kelabu]]) yang dikenal sebagai "''Peristiwa Kudatuli''" (Kerusuhan Dua Tujuh Juli). |
|||
Selama di Bandung, ia dipromosikan menjadi brigadir jenderal, dan pada akhir tahun 1960, dipromosikan menjadi wakil kepala staf angkatan darat.{{r|McDonaldSMH_28012008}} Pada tanggal 6 Maret 1961, ia diberi komando tambahan, sebagai panglima angkatan darat yang baru. Cadangan Strategis (Korps Tentara I Cadangan Umum AD, kemudian [[KOSTRAD]]), sebuah pasukan bergerak udara siap reaksi yang berbasis di [[Jakarta]].{{r|McDonaldSMH_28012008}}<ref>{{cite web |title=Sejarah: Kostrad |language=id |website=Kostrad |url=http://kostrad.mil.id/sejarah/ |access-date=26 Juli 2018 |archive-date=26 Juli 2018 |archive-url=https://web.archive.org/web/20180726135019/http://kostrad.mil.id/sejarah/ |url-status=live }}</ref> Pada bulan Januari 1962, Soeharto dipromosikan menjadi [[mayor jenderal]] dan ditunjuk untuk memimpin Operasi Mandala, sebuah komando gabungan angkatan darat-angkatan laut-udara yang berbasis di [[Makassar]]. Hal ini membentuk sisi militer dalam kampanye untuk memenangkan [[Irian Barat]] dari Belanda, yang sedang mempersiapkan kemerdekaannya sendiri, terpisah dari Indonesia.{{r|McDonaldSMH_28012008}} Pada tahun 1965, Soeharto ditugaskan sebagai komando operasional ''[[Konfrontasi]]'' Soekarno, melawan Malaysia yang baru dibentuk. Khawatir bahwa Konfrontasi akan membuat Pulau Jawa tertutupi oleh tentara, dan menyerahkan kendali kepada [[Partai Komunis Indonesia]] (PKI) yang beranggotakan 2 juta orang, ia memberi wewenang kepada perwira intelijen Kostrad, [[Ali Murtopo]], untuk membuka kontak rahasia dengan Inggris dan Malaysia.{{r|McDonaldSMH_28012008}} |
|||
== |
=== Riwayat pekerjaan === |
||
* Pembantu Klerek Bank Desa (Volk-Bank) di Kemusuk, Yogyakarta (1938) |
|||
* Siswa Sekolah Bintara KNIL di Gombong (1940—1942) |
|||
* Tentara Cadangan Markas Besar Angkatan Darat KNIL (1942) |
|||
* Pembantu/asisten Mantri Tani di Wuryantoro, Wonogiri (1942) |
|||
* Siswa Keibuho (Polisi Jepang) Jepang (1942) |
|||
* Komandan Regu dan Pembantu Perwira PETA di Karanganyar, Kebumen (1942—1943) |
|||
* Siswa Pendidikan Militer Lanjutan PETA di Bogor (1943—1944) |
|||
* Komandan Pleton (Shudanco) PETA di Glagah, Wates (1944) |
|||
* Komandan Kompi (Chodanco) di Markas Besar PETA di Surakarta (1944) |
|||
* Komandan Kompi (Chodanco) Perwira pendidik PETA di Desa Brebeg, Jawa Timur (1944—1945) |
|||
* Letnan di Brigade Mataram, Yogyakarta (1945) |
|||
* Komandan Batalyon infanteri di Kebumen dengan pangkat Kapten - Mayor (1945—1946) |
|||
* Komandan Batalyon X di bawah Divisi IX di Yogyakarta dengan pangkat Mayor (1946—1948) |
|||
* Komandan Brigade Mataram - Wehrkreise III di Yogyakarta dengan pangkat Letnan Kolonel (1948—1950) |
|||
* Komandan Komando Resimen Salatiga dengan pangkat Letnan Kolonel (1950—1953) |
|||
* Komandan Resimen Infanteri 15 di Solo dengan pangkat Letnan Kolonel (1953—1956) |
|||
* Kepala Staf Teritorium IV/Diponegoro di Semarang dengan pangkat Letnan Kolonel (1956—1957) |
|||
* Panglima Teritorium IV/Diponegoro di Semarang dengan pangkat Kolonel (1957—1959) |
|||
* Siswa Sekolah Staf Komando Angkatan Darat/SSKAD (1959—1960) |
|||
* Deputi I Kepala Staf Angkatan Darat dengan pangkat Brigadir Jenderal (1960—1961) |
|||
* Panglima Corps Tentara Cadangan Umum Angkatan Darat/CADUAD dengan pangkat Brigadir Jenderal (1961) |
|||
* Atase Militer/Hankam di Beograd, Yugoslavia (1961) |
|||
* Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dengan pangkat Mayor Jenderal (1962) |
|||
* Panglima Komando Strategis Angkatan Darat dengan pangkat Mayor Jenderal (1962—1965) |
|||
* Menteri/Panglima Angkatan Darat dengan pangkat Mayor Jenderal - Letnan Jenderal (1965—1968) |
|||
* Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban/Kopkamtib (1965—1969) |
|||
* Ketua Presidium Kabinet Ampera I (1966—1967) |
|||
* Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ABRI merangkap Menteri Pertahanan dengan pangkat Jenderal (1968—1973) |
|||
* Penjabat Presiden Republik Indonesia (1967—1968) |
|||
* Presiden Republik Indonesia (1968—1998) |
|||
* Sekertaris Jenderal Gerakan Non Blok (1992—1995) |
|||
== Penggulingan Soekarno == |
|||
Pada [[1997]], menurut [[Bank Dunia]], 20 sampai 30 persen dari dana pengembangan Indonesia telah disalahgunakan selama bertahun-tahun. [[Krisis finansial Asia]] di tahun yang sama tidak membawa hal bagus bagi pemerintahan Presiden Soeharto ketika ia dipaksa untuk meminta pinjaman, yang juga berarti pemeriksaan menyeluruh dan mendetail dari [[IMF]]. |
|||
{{Main|Transisi ke Orde Baru}} |
|||
=== Latar belakang === |
|||
Mekipun sempat menyatakan untuk tidak dicalonkan kembali sebagai Presideb pada periode [[1998]]-[[2003]], terutama pada acara Golongan Karya, Soeharto tetap memastikan dia terpilih kembali oleh [[parlemen]] untuk ketujuh kalinya di [[Maret]] [[1998]]. Setelah beberapa demonstrasi, kerusuhan dan tekanan politik dan militer Presiden Soeharto mengundurkan diri [[21 Mei]] [[1998]], untuk menghindari perpecahan dan meletusnya ketidakstabilan di Indonesia. Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, [[BJ Habibie|Jusuf Habibie]]. |
|||
{{See also|Demokrasi Terpimpin (1959–1965)}} |
|||
[[Berkas:Sukarno with Guntur at Disneyland, Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat 243.jpg|thumb|240px|left|Presiden [[Soekarno]] (berkacamata) |
|||
di [[Disneyland]], {{sekitar|1961}}]] |
|||
Ketegangan antara militer dan komunis meningkat pada bulan April 1965, ketika Soekarno mendukung penerapan segera proposal PKI untuk membentuk "angkatan bersenjata kelima" yang terdiri dari petani dan pekerja bersenjata. Namun gagasan ini ditolak oleh pimpinan Angkatan Darat karena dianggap sama saja dengan PKI yang membentuk angkatan bersenjatanya sendiri. Pada bulan Mei, "[[Dokumen Gilchrist]]" membangkitkan ketakutan Soekarno akan rencana militer untuk menggulingkannya, ketakutan yang berulang kali ia sebutkan selama beberapa bulan berikutnya. Pada pidato hari kemerdekaannya di bulan Agustus, Soekarno menyatakan niatnya untuk mengikat Indonesia pada aliansi anti-imperialis dengan Tiongkok dan negara-negara komunis lainnya dan memperingatkan tentara untuk tidak ikut campur.<ref>{{cite book |author=Dake, Antonie |date=2006 |title=The Sukarno file, 1965–1967 : chronology of a defeat |publisher=Yayasan Obor}}</ref>{{Page needed|date=Maret 2021}} |
|||
Meskipun Soekarno mencurahkan energinya untuk politik domestik dan internasional, perekonomian Indonesia merosot dengan cepat dengan semakin parahnya kemiskinan dan kelaparan, sementara kewajiban utang luar negeri menjadi tidak terkendali dan infrastruktur hancur. Demokrasi Terpimpin yang dipimpin Soekarno berada dalam kondisi rapuh akibat konflik yang melekat antara dua pilar pendukungnya, yaitu militer dan komunis. Kalangan militer, nasionalis, dan kelompok Islam dikejutkan dengan pesatnya pertumbuhan partai komunis di bawah perlindungan Soekarno. Mereka takut akan segera berdirinya negara komunis di Indonesia. Pada tahun 1965, PKI mempunyai tiga juta anggota dan sangat kuat di Jawa Tengah dan Bali. Partai tersebut sempat menjadi partai politik terkuat di Indonesia. |
|||
[[image:Suharto_resigns.jpg|thumb|Pada 21 Mei 1998, setelah tekanan politik besar dan beberapa demonstrasi, para pendukung revolusi mendapatkan hadiahnya: Soeharto mengumumkan kemundurannya di TV Indonesia]] |
|||
=== Kudeta yang gagal dan pembersihan anti-komunis === |
|||
==Lihat pula== |
|||
{{Main|Gerakan 30 September|Pembantaian di Indonesia 1965–1966}} |
|||
* [[Daftar Presiden Indonesia]] |
|||
[[Berkas:Suharto at funeral.jpg|thumb|240px|Sebagai Mayor Jenderal, Soeharto (''di kanan, latar depan'') menghadiri pemakaman jenderal yang dibunuh, 5 Oktober 1965]] |
|||
Sebelum fajar tanggal 1 Oktober 1965, enam jenderal Angkatan Darat diculik dan dieksekusi di Jakarta oleh prajurit Pengawal Presiden, Divisi Diponegoro, dan Divisi Brawidjaja.{{sfnp|Ricklefs|1991|p=281}} Tentara menduduki Lapangan Merdeka termasuk wilayahnya di depan Istana Kepresidenan, stasiun radio nasional, dan pusat telekomunikasi. Pukul 07.10 [[Untung Syamsuri|Untung bin Syamsuri]] mengumumkan di radio bahwa "[[Gerakan 30 September]]" telah mencegah upaya kudeta terhadap [[Soekarno]] yang dilakukan oleh "[[Badan Intelijen Pusat| CIA]]-mendukung jenderal-jenderal yang gila kekuasaan", dan bahwa itu adalah "urusan internal tentara". G-30-S tidak pernah melakukan upaya apa pun terhadap nyawa Soeharto.{{sfnp|Vickers|2005|p=156}} Soeharto berada di rumah sakit tentara Jakarta malam itu bersama putranya yang berusia tiga tahun [[Tommy Soeharto|Tommy]] yang telah meninggal. cedera yang menyengat. Di sinilah ia dikunjungi oleh Kolonel Abdul Latief, seorang anggota penting G-30-S dan teman dekat keluarga Suharto. Menurut kesaksian Latief di kemudian hari, para konspirator berasumsi bahwa Soeharto adalah seorang loyalis Soekarno; oleh karena itu Latief memberitahukan kepadanya tentang rencana penculikan yang akan dilakukan untuk menyelamatkan Sukarno dari para jenderal pengkhianat, yang menurut Soeharto tampaknya menawarkan netralitasnya.{{sfnp|Friend|2003|p=104}} |
|||
Setelah diberitahu tentang pembunuhan tersebut, Soeharto pergi ke markas [[Kostrad]] sebelum fajar dan dari situ ia dapat melihat tentara menduduki Lapangan Merdeka. Dia memobilisasi pasukan khusus Kostrad dan RPKAD (sekarang [[Kopassus]]) untuk menguasai pusat kota Jakarta, merebut situs-situs strategis utama termasuk stasiun radio tanpa perlawanan. Soeharto mengumumkan melalui radio pada pukul 21.00 bahwa enam jenderal telah diculik oleh "kontra-revolusioner" dan bahwa Gerakan 30 September sebenarnya bermaksud untuk menggulingkan Soekarno. Ia menyatakan bahwa ia memegang kendali atas Angkatan Darat, dan bahwa ia akan menumpas Gerakan dan menjaga Soekarno.{{sfnp|Ricklefs|1991|p=282}} Soeharto mengeluarkan ultimatum kepada [[Bandar Udara Internasional Halim Perdanakusuma|Pangkalan AURI Halim]], tempat markas G30S dan tempat Soekarno, panglima angkatan udara [[Omar Dhani]] dan ketua PKI [[Dipa Nusantara Aidit]] berkumpul, menyebabkan mereka bubar sebelum tentara Soeharto menduduki pangkalan udara tersebut pada tanggal 2 Oktober setelah beberapa saat. pertempuran.{{sfnp|Ricklefs|1991|pp=281–2}} Dengan kegagalan kudeta yang tidak terorganisir dengan baik,{{sfnp|Ricklefs|1991|pp=281–2}} dan mendapatkan wewenang dari presiden untuk memulihkan ketertiban dan keamanan, faksi Soeharto dengan kuat mengendalikan tentara pada tanggal 2 Oktober (ia secara resmi diangkat menjadi panglima tentara pada tanggal 14 Oktober). Pada tanggal 5 Oktober, Soeharto memimpin upacara publik yang dramatis untuk menguburkan jenazah para jenderal. |
|||
== Referensi== |
|||
#Blum, William. ''Killing Hope: US Military and CIA Interventions Since World War II'', Black Rose, 1998, pp. 193-198 |
|||
#[http://www.namebase.org/kadane.html] Artikel mengenai daftar orang-orang komunis dari CIA |
|||
Teori-teori yang rumit dan partisan terus berlanjut hingga hari ini mengenai identitas penyelenggara upaya kudeta dan tujuan mereka. Versi tentara, dan kemudian versi [[Orde Baru|"Orde Baru"]], menyatakan bahwa PKI-lah yang bertanggung jawab penuh. Kampanye propaganda yang dilakukan oleh tentara dan kelompok mahasiswa Islam dan [[Gereja Katolik di Indonesia|Katolik]] meyakinkan masyarakat Indonesia dan internasional bahwa ini adalah upaya kudeta komunis, dan bahwa pembunuhan tersebut merupakan kekejaman pengecut terhadap pahlawan Indonesia.{{sfnp| Vickers|2005|p=157}} Tentara yang bersekutu dengan kelompok agama sipil, dan didukung oleh Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya, memimpin [[Pembantaian di Indonesia 1965–1966|kampanye pembunuhan massal]] untuk membersihkan Indonesia masyarakat, pemerintah, dan angkatan bersenjata [[Partai Komunis Indonesia]] dan organisasi kiri lainnya.{{sfnp|Vickers|2005|p=157}}{{sfnp|Simpson|2010|p=193}}{{sfnp|Robinson|2018|p=177}}{{sfnp|Bevins|2020|p=157}} Pembersihan ini menyebar dari Jakarta ke sebagian besar wilayah lain di negeri ini.{{sfnp|Ricklefs|1991|p=287}} Perkiraan yang paling diterima secara luas adalah bahwa setidaknya 500.000 hingga lebih dari 1 juta orang terbunuh.{{sfnp|Ricklefs|1991|p=288}}{{sfnp|Friend|2003|p=113}}{{sfnp|Vickers|2005|p=159}}<ref> |
|||
== Pranala luar == |
|||
{{cite journal |author=Robert Cribb |date=2002 |title=Unresolved Problems in the Indonesian Killings of 1965–1966 |journal=Asian Survey |volume=42 |issue=4 |pages=550–63 |doi=10.1525/as.2002.42.4.550 |jstor=3038872 |s2cid=145646994}}</ref>{{Page needed|date=March 2021}}{{sfnp|Aarons|2008|loc=[https://books.google.com/books?id=dg0hWswKgTIC&pg=PA80 p. 80]}}{{sfnp|Melvin|2018|p=1}} Sebanyak 1,5 juta orang dipenjarakan pada satu tahap atau lainnya.{{sfnp|Vickers|2005|pp=159–60}} Sebagai akibat dari pembersihan tersebut, salah satu dari tiga pilar pendukung Soekarno, Partai Komunis Indonesia, secara efektif dilenyapkan oleh dua kelompok lainnya, militer dan politik Islam.{{sfnp|Schwarz|1994|pp=2, 22}} CIA menggambarkan pembersihan tersebut sebagai "salah satu [[pembunuhan massal]] terburuk pada abad ke-20 abad".{{sfnp|Aarons|2008|loc=[https://books.google.com/books?id=dg0hWswKgTIC&pg=PA81 p. 81]}} |
|||
* [http://www.time.com/time/asia/asia/magazine/1999/990524/cover1.html Artikel di TIME] |
|||
===Perebutan kekuasaan=== |
|||
{{Kotak_mulai}} |
|||
{{See also|Supersemar}} |
|||
Soekarno tetap mendapatkan loyalitas dari sebagian besar angkatan bersenjata serta masyarakat umum, dan Suharto berhati-hati agar tidak terlihat merebut kekuasaan melalui kudetanya sendiri. Selama delapan belas bulan setelah pembubaran Gerakan 30 September, terjadi proses manuver politik yang rumit melawan Sukarno, termasuk agitasi mahasiswa, penumpukan parlemen, propaganda media, dan ancaman militer.{{sfnp|Vickers|2005|p=160}} Pada bulan Januari 1966, mahasiswa di bawah bendera [[KAMI]], memulai demonstrasi menentang pemerintahan Soekarno dan menyuarakan tuntutan pembubaran PKI dan pengendalian hiperinflasi. Para pelajar mendapat dukungan dan perlindungan dari tentara. Perkelahian jalanan terjadi antara mahasiswa dan loyalis pro-Soekarno, sedangkan mahasiswa pro-Soeharto menang karena perlindungan tentara.{{sfnp|Ricklefs|1991|pp=288–90}} |
|||
Pada bulan Februari 1966, Soekarno mengangkat Soeharto menjadi letnan jenderal (dan menjadi jenderal penuh pada bulan Juli 1966).{{sfnp|Elson|2001|pp=130–5}} Pembunuhan seorang demonstran mahasiswa dan perintah pembubaran [[KAMI]] pada bulan Februari 1966 semakin membangkitkan opini publik terhadap presiden. Pada tanggal 11 Maret 1966, kemunculan pasukan tak dikenal di sekitar [[Istana Merdeka]] selama rapat kabinet (yang tidak dihadiri Soeharto) memaksa Soekarno melarikan diri ke [[Istana Bogor]] (60 km jauhnya) dengan helikopter. Tiga jenderal pro-Soeharto, Mayor Jenderal [[Basuki Rahmat]], Brigjen [[M. Jusuf]], dan Brigadir Jenderal [[Amir Machmud]] pergi ke Bogor untuk menemui Sukarno. Di sana, mereka membujuk dan mendapatkan keputusan presiden dari Soekarno (lihat ''[[Supersemar]]'') yang memberikan wewenang kepada Soeharto untuk mengambil tindakan apa pun yang diperlukan untuk menjaga keamanan.{{sfnp|Vickers|2005|p=160}} Menggunakan Melalui surat Supersemar, Soeharto memerintahkan pelarangan PKI keesokan harinya dan melanjutkan pembersihan unsur-unsur pro-Soekarno dari parlemen, pemerintah dan militer, dengan menuduh mereka sebagai simpatisan komunis.{{sfnp|Elson|2001|pp=130–5}} |
|||
Tentara menangkap 15 menteri kabinet dan memaksa Soekarno mengangkat [[Kabinet Dwikora II|kabinet baru]] yang terdiri dari pendukung Suharto. Tentara menangkap anggota MPRS yang pro-Soekarno dan pro-komunis, dan Soeharto mengganti panglima angkatan laut, angkatan udara, dan kepolisian dengan para pendukungnya, yang kemudian memulai aksi besar-besaran. pembersihan dalam setiap dinas.{{sfnp|Elson|2001|pp=130–5}} Pada bulan Juni 1966, parlemen yang sekarang telah dikosongkan mengeluarkan 24 resolusi termasuk pelarangan [[Marxisme–Leninisme]], dan meratifikasi ''Supersemar'', dan mencabut gelar Presiden Seumur Hidup Soekarno. Yang terpenting, perjanjian ini juga memutuskan bahwa jika Soekarno tidak dapat menjalankan tugasnya, pemegang Supersemar—Soeharto—akan menjadi penjabat presiden. Bertentangan dengan keinginan Soekarno, pemerintah mengakhiri ''Konfrontasi'' dengan Malaysia dan bergabung kembali dengan PBB<ref name="Hughes 2002, pages 267-270" >{{harvnb|Hughes|2002| pages = 267–270 }}</ref> (Sukarno telah mengeluarkan Indonesia dari PBB pada tahun sebelumnya).<ref name="Hughes 2002, page 107" >{{harvnb|Hughes|2002| page = 107 }}</ref> Soeharto tidak mengupayakan pencopotan langsung Soekarno pada sidang MPRS kali ini karena masih adanya dukungan terhadap presiden di kalangan beberapa elemen angkatan bersenjata.{{sfnp|Schwarz|1994|p=25}} Oleh Januari 1967, Soeharto merasa yakin bahwa ia telah menghilangkan semua dukungan penting terhadap Soekarno di angkatan bersenjata. Setelah Soekarno memberikan versinya tentang kejadian tersebut, MPRS menyimpulkan bahwa ia telah melalaikan tugasnya dan memutuskan untuk mengadakan sidang lagi untuk memakzulkannya. Pada tanggal 20 Februari 1967, menghadapi situasi yang semakin tidak dapat dipertahankan, Soekarno mengumumkan akan mengundurkan diri dari kursi kepresidenan. Kemudian, sidang MPRS mencabut sisa kekuasaannya pada tanggal 12 Maret dan menunjuk Soeharto [[Penjabat Presiden Soeharto|penjabat presiden]].{{sfnp|McDonald|1980|p=60}} Soekarno dijadikan tahanan rumah di [[Istana Bogor]]; tidak banyak lagi yang terdengar darinya, dan dia meninggal pada bulan Juni 1970.{{sfnp|Schwarz|1994|p=2}} Pada tanggal 27 Maret 1968, MPRS mengangkat Soeharto untuk masa jabatan lima tahun penuh sebagai presiden.{{sfnp|Ricklefs|1991|p=295}} |
|||
== Presiden (1966–1998) == |
|||
{{Main|Orde Baru (Indonesia)}} |
|||
=== Ideologi === |
|||
{{multiple image |
|||
| border = yes |
|||
| total_width = 185px |
|||
| image_style = border:1; |
|||
| align = right |
|||
| perrow = 1/1/1 |
|||
| image1 = Jenderal TNI Soeharto.png |
|||
| caption1 = Potret resmi (1968) |
|||
| image2 = President Suharto, 1973 (Cropped).jpg |
|||
| caption2 = Potret resmi (1973) |
|||
}} |
|||
Soeharto mempromosikan "Orde Baru" -nya, berbeda dengan "Orde Lama" [[Soekarno]], sebagai masyarakat yang berdasarkan ideologi [[Pancasila (politik)|Pancasila]]. Setelah awalnya berhati-hati untuk tidak menyinggung perasaan para cendekiawan Islam yang khawatir Pancasila akan berkembang menjadi aliran semu-agama, Suharto mendapatkan resolusi parlemen pada tahun 1983 yang mewajibkan semua organisasi di Indonesia untuk menganut Pancasila sebagai prinsip dasar. Ia juga melembagakan program pelatihan Pancasila yang wajib bagi seluruh masyarakat Indonesia, mulai dari siswa sekolah dasar hingga pekerja kantoran. Namun dalam praktiknya, ketidakjelasan Pancasila dimanfaatkan oleh pemerintahan Suharto untuk membenarkan tindakan mereka dan mengutuk lawan-lawan mereka sebagai “anti-Pancasila”.<ref>{{cite book |last=Ward |first=Ken |date=2010 |chapter=2 Soeharto's Javanese Pancasila |editor1=Edward Aspinall |editor2=Greg Fealy |title=Soeharto's New Order and its Legacy: Essays in honour of Harold Crouch |location=[[Canberra]] AU |publisher=The Anu E Press |isbn=9781921666469 |url=http://epress.anu.edu.au/apps/bookworm/view/Soeharto%E2%80%99s+New+Order+and+its+Legacy%3A+Essays+in+honour+of+Harold+Crouch/5331/ch02.xhtml#toc-anchor |access-date=6 Desember 2013 |archive-url=https://web.archive.org/web/20130514025044/http://epress.anu.edu.au/apps/bookworm/view/Soeharto%E2%80%99s+New+Order+and+its+Legacy%3A+Essays+in+honour+of+Harold+Crouch/5331/ch02.xhtml#toc-anchor |archive-date=14 Mei 2013 |quote=([[Harold Crouch]]) }}</ref> Orde Baru juga menerapkan kebijakan ''[[Dwifungsi]]'' yang memungkinkan militer berperan aktif di semua tingkat pemerintahan, perekonomian, dan masyarakat Indonesia. |
|||
=== Konsolidasi kekuasaan === |
|||
{{See also|Penjabat Presiden Soeharto|Pelantikan pertama Soeharto}} |
|||
[[Berkas:Suhartoappointedpresident.jpg|thumb|270px|Soeharto mengambil sumpah jabatan presiden, 27 Maret 1968]] |
|||
Setelah diangkat menjadi presiden, Soeharto masih perlu berbagi kekuasaan dengan berbagai elemen termasuk para jenderal Indonesia yang menganggap Soeharto sekadar ''[[primus inter pares]]'', serta kelompok Islam dan mahasiswa yang berpartisipasi dalam pembersihan anti-Komunis. Soeharto, dibantu oleh kelompok perwira militer "Kantor Asisten Pribadi" (''[[Aspri]]'') semasa menjabat sebagai Panglima Divisi Diponegoro, khususnya [[Ali Murtopo]], mulai memperkuat kekuasaannya secara sistematis. kekuasaan dengan secara halus mengesampingkan calon pesaing sambil memberikan penghargaan kepada loyalis dengan posisi politik dan insentif moneter.{{butuh rujukan|date=Mei 2018}} Setelah berhasil menggulingkan upaya Ketua MPRS Jenderal [[Abdul Haris Nasution]] pada tahun 1968 untuk memperkenalkan RUU yang akan sangat membatasi wewenang presiden, Soeharto mencopotnya dari jabatan ketua MPRS pada tahun 1969 dan memaksanya pensiun dini dari militer pada tahun 1972. Pada tahun 1967, jenderal [[Hartono Rekso Dharsono]], [[Kemal Idris]], dan [[Sarwo Edhie Wibowo]] (dijuluki "Radikal Orde Baru") menentang keputusan Soeharto yang mengizinkan partisipasi partai politik yang ada dalam pemilu dan mendukung sistem dua partai non-ideologis yang serupa dengan yang ditemukan di banyak negara Barat. Soeharto mengirim Dharsono ke luar negeri sebagai duta besar, sedangkan Idris dan Wibowo dikirim ke tempat yang jauh [[Sumatera Utara]] dan [[Sulawesi Selatan]] sebagai panglima daerah.{{sfnp|Wanandi|2012|pp=56–9}} |
|||
Hubungan kuat Soeharto dengan gerakan mahasiswa sebelumnya memburuk karena meningkatnya otoritarianisme dan korupsi di pemerintahannya. Walaupun banyak pemimpin asli gerakan mahasiswa tahun 1966 (Angkatan '66) berhasil dikooptasi ke dalam rezim, Soeharto dihadapkan pada demonstrasi mahasiswa besar-besaran yang menantang keabsahan pemilu tahun 1971 (gerakan "Golput") , pembangunan taman hiburan [[Taman Mini Indonesia Indah]] yang memakan biaya besar (1972), dominasi kapitalis asing ([[Malari|Insiden Malari]] tahun 1974), dan tidak adanya batasan masa jabatan kepresidenan Suharto (1978). Rezim merespons dengan memenjarakan banyak aktivis mahasiswa (seperti calon tokoh nasional [[Dorodjatun Kuntjoro-Jakti]], [[Adnan Buyung Nasution]], Hariman Siregar, dan [[Syahrir]]), dan bahkan mengirimkan pasukan untuk menduduki kampus ITB ([[Institut Teknologi Bandung]]) pada bulan Januari – Maret 1978. Pada bulan April 1978, Soeharto mengambil tindakan tegas dengan mengeluarkan surat keputusan “Normalisasi Kehidupan Kampus” (NKK) yang melarang kegiatan politik di kampus yang tidak berkaitan dengan akademik. pengejaran.{{sfnp|Wanandi|2012|pp=60–8}}{{sfnp|Aspinall|Klinken|Feith|1999|p=ii}} |
|||
Pada tanggal 15–16 Januari 1974, Soeharto menghadapi tantangan berat ketika terjadi kerusuhan dengan kekerasan di [[Jakarta]] saat kunjungan perdana menteri Jepang [[Kakuei Tanaka]]. Mahasiswa yang berdemonstrasi menentang meningkatnya dominasi investor Jepang didorong oleh Jenderal [[Soemitro Sastrodihardjo|Soemitro]], wakil panglima angkatan bersenjata. Soemitro adalah seorang jenderal ambisius yang tidak menyukai pengaruh kuat lingkaran dalam Aspri Soeharto. Soeharto mengetahui bahwa kerusuhan tersebut direkayasa oleh Soemitro untuk mengganggu stabilitas pemerintahan, yang mengakibatkan Soemitro dipecat dan dipaksa pensiun. Peristiwa ini disebut sebagai [[Malari|Insiden Malari (''Malapetaka Lima Belas Januari''/Bencana 15 Januari)]]. Namun, Soeharto juga membubarkan Aspri untuk menenangkan perbedaan pendapat.<ref>{{cite web |title=Beban Sejarah Umat Islam Indonesia |website=Pikiran Rakyat |url=http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0904/18/0802.htm |archive-url=https://web.archive.org/web/20050507025707/http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0904/18/0802.htm |archive-date=7 Mei 2005}}</ref> Pada tahun 1980, lima puluh tokoh politik terkemuka menandatangani [[Petisi 50]], yang mengkritik penggunaan Pancasila oleh Soeharto untuk membungkam para pengkritiknya. Soeharto menolak menjawab kekhawatiran para pembuat petisi, dan beberapa dari mereka dipenjarakan, sementara yang lain dibatasi pergerakannya.{{sfnp|Wanandi|2012|pp=86–8}} |
|||
=== Kebijakan dalam negeri dan stabilitas politik === |
|||
[[Berkas:Ali Moertopo closing Indonesian Film Festival, Festival Film Indonesia (1982), 1983, p67.jpg|thumb|180px|left|Tangan kanan Soeharto [[Ali Murtopo]], {{sekitar|1982}}]] |
|||
Untuk memenuhi tuntutan para politisi sipil agar diselenggarakannya pemilu, sebagaimana tertuang dalam ketetapan MPRS tahun 1966 dan 1967, pemerintahan Soeharto merumuskan serangkaian undang-undang mengenai pemilu serta susunan dan tugas parlemen yang disahkan oleh MPRS pada bulan November 1969 setelah berlarut-larut. negosiasi. Undang-undang mengatur tentang [[Majelis Permusyawaratan Rakyat|parlemen (''Madjelis Permusjawaratan Rakjat''/MPR)]] dengan kekuasaan untuk memilih presiden, yang terdiri dari dewan perwakilan ([[Dewan Perwakilan Rakyat|''Dewan Perwakilan Rakjat ''/DPR]]) dan perwakilan daerah. 100 dari 460 anggota DPR akan diangkat langsung oleh pemerintah, sedangkan sisanya dialokasikan kepada organisasi politik berdasarkan hasil pemilihan umum. Mekanisme ini menjamin kontrol pemerintah yang signifikan atas urusan legislatif, khususnya pengangkatan presiden.{{sfnp|Ricklefs|1991|pp=76–7}}{{sfnp|Elson|2001|pp=184–6}} |
|||
Untuk ikut pemilu, Soeharto menyadari perlunya beraliansi dengan partai politik. Setelah awalnya mempertimbangkan untuk bergabung dengan partai lama Soekarno, [[Partai Nasional Indonesia|PNI]], pada tahun 1969 Suharto memutuskan untuk mengambil alih kendali federasi LSM yang dikelola militer yang disebut [[Golkar]] ("Kelompok Fungsional") dan mengubahnya menjadi kendaraan pemilu di bawah koordinasi tangan kanannya [[Ali Murtopo]]. [[Pemilihan umum legislatif Indonesia 1971|pemilihan umum pertama]] diselenggarakan pada tanggal 3 Juli 1971 dengan sepuluh peserta; terdiri dari [[Golkar]], empat partai Islam, serta lima partai nasionalis dan Kristen. Berkampanye dengan platform "pembangunan" non-ideologis, dan dibantu oleh dukungan resmi pemerintah serta taktik intimidasi yang halus, [[Golkar]] berhasil memperoleh 62,8% suara rakyat. Sidang umum MPR yang baru terpilih pada bulan Maret 1973 segera mengangkat Suharto untuk masa jabatan kedua dengan Sultan [[Hamengkubuwono IX]] sebagai wakil presiden.{{sfnp|Schwarz|1994|p=32}} |
|||
{{Blockquote|text="Bukan kekuatan militer Komunis tetapi fanatisme dan ideologi mereka yang merupakan unsur utama kekuatan mereka. Untuk mempertimbangkan hal ini, setiap negara di wilayah tersebut memerlukan ideologinya sendiri untuk melawan Komunis. Namun ideologi nasional saja tidak cukup. Kesejahteraan masyarakat harus ditingkatkan sehingga memperkuat dan menopang ideologi nasional."|author=Soeharto berbicara dengan Presiden Ford pada tahun 1975<ref>[[:File:Ford, Kissinger, Indonesian President Suharto - July 5, 1975(Gerald Ford Library)(1553151).pdf]], p. 2</ref> |source= }} |
|||
Pada tanggal 5 Januari 1973, untuk memungkinkan kontrol yang lebih baik, pemerintah memaksa empat partai Islam untuk bergabung menjadi [[Partai Persatuan Pembangunan|PPP]] (''Partai Persatuan Pembangunan'') sementara lima partai non-Islam bergabung. melebur menjadi [[Partai Demokrat Indonesia|PDI]] (''Partai Demokrasi Indonesia''/Partai Demokrasi Indonesia). Pemerintah memastikan bahwa partai-partai ini tidak pernah mengembangkan oposisi yang efektif dengan mengendalikan kepemimpinan mereka sambil menerapkan sistem “re-call” untuk memberhentikan legislator yang vokal dari jabatan mereka. Dengan menggunakan sistem yang dijuluki "[[Pancasila (politik)|Pancasila]] Demokrasi", Soeharto terpilih kembali tanpa lawan oleh MPR pada tahun 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.{{sfnp|Schwarz|1994|p=32}} Golkar memenangkan mayoritas suara di MPR pada setiap pemilu, memastikan bahwa Soeharto akan mampu meloloskan agendanya tanpa ada oposisi. |
|||
Soeharto sangat berhati-hati agar rezimnya tampak menaati prinsip-prinsip konstitusi. Di atas kertas, presiden adalah “wajib MPR” yang bertanggung jawab melaksanakan “Garis Besar Haluan Negara” (GBHN) yang dikembangkan MPR. Menjelang akhir masa jabatannya, Soeharto menyampaikan "pidato akuntabilitas" kepada MPR yang menguraikan pencapaian pemerintahannya dan menunjukkan bagaimana ia mematuhi GBHN. Selain itu, presiden mempunyai wewenang untuk mengeluarkan peraturan pengganti undang-undang, namun peraturan tersebut harus mendapat persetujuan dari [[Dewan Perwakilan Rakyat]] (DPR) agar tetap berlaku. Namun dalam praktiknya, mayoritas suara Golkar di DPR dan MPR menjadikan persetujuan tersebut hanya sekedar formalitas. Ditambah dengan jarangnya sidang DPR (biasanya hanya satu kali sidang per tahun), Soeharto mampu memerintah secara efektif melalui dekrit pada sebagian besar masa jabatannya. |
|||
Soeharto juga menjalankan berbagai proyek rekayasa sosial yang dirancang untuk mengubah masyarakat Indonesia menjadi “massa mengambang” yang terdepolitisasi dan mendukung misi nasional “pembangunan”, sebuah konsep yang mirip dengan [[korporatisme]]. Pemerintah membentuk berbagai kelompok masyarakat sipil untuk menyatukan masyarakat dalam mendukung program pemerintah. Misalnya, pemerintah membentuk [[KORPRI|Korps Pegawai Republik Indonesia]] (''Korps Pegawai Republik Indonesia'' atau ''KORPRI'') pada bulan November 1971 sebagai serikat pegawai negeri untuk menjamin kesetiaan mereka, mengorganisir FBSI ( ''Federasi Buruh Seluruh Indonesia'') sebagai satu-satunya serikat buruh yang sah pada bulan Februari 1973, dan mendirikan [[Majelis Ulama Indonesia|MUI]] pada tahun 1975 untuk mengontrol ulama Islam.{{sfnp|Schwarz|1994|p=106}} |
|||
=== Keamanan internal dan kebijakan sosial === |
|||
{{See also|Diskriminasi terhadap Tionghoa-Indonesia}} |
|||
{{multiple image |
|||
| border = yes |
|||
| total_width = 240px |
|||
| image_style = border:1; |
|||
| align = right |
|||
| perrow = 1/1/1 |
|||
| image1 = Free Aceh Movement women soldiers.jpg |
|||
| caption1 = Women soldiers of the [[Free Aceh Movement]], {{circa|1999}} |
|||
| image2 = Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia from 1973, obverse.jpg |
|||
| caption2 = [[Proof of Citizenship of the Republic of Indonesia|SBKRI]] from 1973; obverse shows the card-holder, her finger print, and signature}} |
|||
Selain itu, Soeharto mengandalkan militer untuk menjaga keamanan dalam negeri dengan kejam, yang diorganisir oleh [[Kopkamtib]] (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan [[Badan Intelijen Negara Republik Indonesia|BAKIN]] (Badan Koordinasi Intelijen Negara). Untuk mempertahankan kontrol yang ketat atas negara, Soeharto memperluas sistem teritorial tentara hingga ke tingkat desa, sementara perwira militer ditunjuk sebagai kepala daerah di bawah rubrik ''[[Dwifungsi]]'' Dewan militer. Pada tahun 1969, 70% gubernur provinsi dan lebih dari separuh bupati di Indonesia adalah perwira militer aktif. Soeharto mengizinkan ''Operasi Trisula'' yang menghancurkan sisa-sisa PKI yang mencoba mengorganisir basis gerilya di wilayah [[Blitar]] pada tahun 1968 dan memerintahkan beberapa operasi militer yang mengakhiri pemberontakan komunis PGRS-Paraku di [[Kalimantan Barat]] (1967 –1972). Serangan terhadap pekerja minyak oleh inkarnasi pertama separatis [[Gerakan Aceh Merdeka]] di bawah [[Hasan di Tiro]] pada tahun 1977 menyebabkan pengiriman detasemen pasukan khusus kecil yang dengan cepat membunuh atau memaksa anggota gerakan tersebut melarikan diri ke luar negeri.{{sfnp|Conboy|2003|loc=[https://books.google.com/books?id=lf5TUoHfeM8C&pg=PA262 pp. 262–5]}} Khususnya, pada bulan Maret 1981, Soeharto mengizinkan misi pasukan khusus yang sukses untuk mengakhiri [[Garuda Indonesia Penerbangan 206|pembajakan penerbangan Garuda Indonesia]] oleh ekstremis Islam di [[Bandar Udara Internasional Don Mueang]] di [[Bangkok]].{{sfnp|Elson|2001|pp=177–8}} |
|||
Pada tahun 1968, Soeharto memulai program keluarga berencana (Keluarga Berentjana/KB) yang sangat sukses untuk membendung laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dan karenanya meningkatkan pendapatan per kapita. Warisan abadi dari periode ini adalah [[Ejaan Republik|reformasi ejaan bahasa Indonesia]] yang dikeluarkan oleh Soeharto pada tanggal 17 Agustus 1972.{{sfnp|Schwarz|1994|p=106}} Untuk mendorong [[Asimilasi (sosial)|asimilasi]] dari [[Orang Tionghoa-Indonesia|Orang Indonesia Tionghoa]] yang berpengaruh, pemerintahan Soeharto mengesahkan [[Peraturan terhadap orang Tionghoa di Indonesia|beberapa undang-undang]] sebagai bagian dari apa yang disebut "Kebijakan Dasar untuk Solusi Masalah Tiongkok", yang mana hanya satu penerbitan berbahasa Mandarin (dikendalikan oleh Angkatan Darat) yang diizinkan untuk terus berlanjut, semua ekspresi budaya dan agama Tiongkok (termasuk tampilan karakter Tiongkok) [[Sentimen anti-Tionghoa|dilarang]] dari ruang publik, sekolah Tionghoa disita dan diubah menjadi [[Sekolah Negeri#Indonesia|sekolah umum berbahasa Indonesia]], dan etnis Tionghoa [[Nama Tionghoa#1966–1998|dipaksa menggunakan bahasa Indonesia nama]]; menciptakan [[genosida budaya]] yang sistematis. Pada tahun 1978, pemerintah mulai mewajibkan [[Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia]] (SBKRI). Meskipun SBKRI secara hukum diwajibkan bagi seluruh warga negara keturunan asing, namun dalam praktiknya umumnya hanya berlaku bagi keturunan Tionghoa. Hal ini menyebabkan [[Diskriminasi terhadap warga Indonesia Tionghoa|kesulitan bagi warga Indonesia Tionghoa]] ketika mendaftar di universitas negeri, melamar menjadi pegawai negeri, atau bergabung dengan militer atau polisi.<ref>{{cite book |last1=Effendi |first1=Wahyu |last2=Prasetyadji |first2=P. |date=2008 |language=id |title=Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI |trans-title=The Chinese in the Grip of the SBKRI |publisher=Visimedia |location=Jakarta |isbn=9789791044110}}</ref> |
|||
=== Kebijakan ekonomi === |
|||
{{multiple image |
|||
| border = yes |
|||
| total_width = 280px |
|||
| image_style = border:1; |
|||
| align = left |
|||
| perrow = 2/2/2 |
|||
| image1 = Ali Wardhana, Menkeu - Anggota Kabinet Pembangunan II.jpg |
|||
| image2 = Widjojo Nitisastro (1977).jpg |
|||
| footer = Cabinet ministers [[Ali Wardhana]] (left) and [[Widjojo Nitisastro]] (right), both members of the "[[Berkeley Mafia]]."}} |
|||
Untuk menstabilkan perekonomian dan memastikan dukungan jangka panjang bagi Orde Baru, pemerintahan Soeharto merekrut sekelompok ekonom Indonesia yang sebagian besar berpendidikan Amerika Serikat, yang dijuluki "[[Mafia Berkeley]]", untuk merumuskan perubahan signifikan dalam kebijakan ekonomi. Dengan memotong subsidi, mengurangi utang pemerintah, dan mereformasi mekanisme nilai tukar, inflasi diturunkan dari 660% pada tahun 1966 menjadi 19% pada tahun 1969. Ancaman kelaparan dapat diatasi dengan masuknya pengiriman bantuan beras [[USAID]] dari tahun 1967 hingga 1968.<ref>J. Panglaykim dan K.D. Thomas, “Orde Baru dan Perekonomian,” Indonesia, April 1967, hal. 73.</ref> Dengan kurangnya modal dalam negeri yang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi, Orde Baru membalikkan kebijakan swasembada ekonomi Soekarno dan membuka sektor-sektor ekonomi tertentu di negara tersebut untuk investasi asing melalui Undang-Undang Penanaman Modal Asing tahun 1967. Soeharto melakukan perjalanan ke Eropa Barat dan Jepang untuk mempromosikan investasi di Indonesia. Investor asing pertama yang masuk kembali ke Indonesia antara lain perusahaan pertambangan [[Freeport-McMoRan|Freeport Sulphur Company]] / [[International Nickel Company]]. Mengikuti kerangka peraturan pemerintah, pengusaha dalam negeri (kebanyakan orang Tionghoa-Indonesia) muncul pada akhir tahun 1960an dan awal tahun 1970an di sektor manufaktur ringan substitusi impor seperti [[Astra Group]] dan [[Salim Group]].<ref name=Robinson2012_178203>{{harvp|Robinson|2018|pp=178–203}}.</ref> |
|||
Sejak tahun 1967, pemerintah mendapatkan bantuan luar negeri berbunga rendah dari sepuluh negara yang tergabung dalam Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) untuk menutupi defisit anggaran negara tersebut.{{sfnp|Elson|2001|pp=170–2}} Dengan IGGI dana dan lonjakan pendapatan ekspor minyak akibat [[Krisis minyak 1973]], pemerintah berinvestasi dalam infrastruktur berdasarkan serangkaian rencana lima tahun, yang disebut REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun) I hingga VI dari tahun 1969 hingga tahun 1998.{{r|McDonaldSMH_28012008}}{{r|Robinson2012_178203}}<ref>{{cite news |last=Sheridan |first=Greg |title=Farewell to Jakarta's Man of Steel |work=The Australian |date=28 Januari 2008 |access-date=14 April 2010 |url=http://www.theaustralian.com.au/news/farewell-to-jakartas-man-of-steel/story-e6frg6v6-1111115412423 |archive-date=25 February 2012 |archive-url=https://web.archive.org/web/20120225015054/http://www.theaustralian.com.au/news/farewell-to-jakartas-man-of-steel/story-e6frg6v6-1111115412423 |url-status=live }}</ref> Di luar perekonomian formal, Soeharto menciptakan jaringan organisasi amal (“yayasan”) yang dijalankan oleh militer dan anggota keluarganya, yang memperoleh “sumbangan” dari perusahaan dalam dan luar negeri sebagai imbalan atas dukungan dan izin pemerintah yang diperlukan. Meskipun sebagian dana digunakan untuk tujuan amal, sebagian besar dana tersebut didaur ulang sebagai dana tertentu untuk memberi penghargaan kepada sekutu politik dan untuk mempertahankan dukungan terhadap Orde Baru.{{r|McDonaldSMH_28012008}}<ref>{{cite web |last=Koerner |first=Brendan |date=26 March 2004 |title=How Did Suharto Steal $35 Billion? |website=Slate |url=http://www.slate.com/id/2097858 |access-date=4 Februari 2006 |archive-date=7 September 2011 |archive-url=https://web.archive.org/web/20110907010407/http://www.slate.com/id/2097858 |url-status=live }}</ref> Pada tahun 1975, perusahaan minyak milik negara, [[Pertamina]], gagal membayar pinjaman luar negerinya akibat salah urus dan korupsi di bawah kepemimpinan sekutu dekat Soeharto, [[Ibnu Sutowo]]. Dana talangan pemerintah terhadap perusahaan tersebut hampir dua kali lipat utang negara.{{sfnp|Schwarz|1994}}{{Page needed|date=Maret 2021}} |
|||
=== Kebijakan luar negeri === |
|||
{{see also|Invasi Indonesia ke Timor Leste}} |
|||
{{multiple image |
|||
| border = yes |
|||
| total_width = 240px |
|||
| image_style = border:1; |
|||
| align = right |
|||
| perrow = 1/1/1 |
|||
| image1 = Suharto, Ford, Newsom and Kissinger.jpg |
|||
| caption1 = Suharto with U.S. President [[Gerald Ford]] and Secretary of State [[Henry Kissinger]] in Jakarta on 6 December 1975 |
|||
| image2 = Re-enactment Santa Cruz massacre.jpg |
|||
| caption2 = A re-enactment of the [[Santa Cruz massacre]] of at least 250 East Timorese pro-independence demonstrators during the [[Indonesian occupation of East Timor]], {{circa|1998}}}} |
|||
Setelah mengambil alih kekuasaan, pemerintahan Soeharto mengadopsi kebijakan netralitas dalam [[Perang Dingin]] namun diam-diam bersekutu dengan blok Barat (termasuk Jepang dan [[Korea Selatan]]) untuk mendapatkan dukungan bagi pemulihan ekonomi Indonesia. Negara-negara Barat, yang terkesan dengan sikap anti-komunis Soeharto yang kuat, segera menawarkan dukungan mereka. [[Hubungan Indonesia dengan Tiongkok|Hubungan diplomatik]] dengan Tiongkok dihentikan pada bulan Oktober 1967 karena dugaan keterlibatan Tiongkok dalam [[Gerakan 30 September]] (hubungan diplomatik baru dipulihkan pada tahun 1990). Karena penghancuran PKI oleh Soeharto, [[Uni Soviet]] melakukan embargo penjualan peralatan militer ke Indonesia. Namun, dari tahun 1967 hingga 1970 Menteri Luar Negeri [[Adam Malik]] berhasil mendapatkan beberapa perjanjian untuk merestrukturisasi hutang besar yang dikeluarkan oleh Soekarno dari Uni Soviet dan negara komunis Eropa Timur lainnya. Secara regional, setelah mengakhiri konfrontasi dengan [[Malaysia]] pada bulan Agustus 1966, Indonesia menjadi anggota pendiri [[Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara]] (ASEAN) pada bulan Agustus 1967. Organisasi ini dirancang untuk membangun hubungan damai antar negara-negara Asia Tenggara. negara-negara yang bebas dari konflik seperti yang sedang berlangsung [[Perang Vietnam]].{{r|McDonaldSMH_28012008}} |
|||
Pada tahun 1974, koloni tetangga [[Timor Portugis]] mengalami [[Perang Saudara Timor Leste|menjadi perang saudara]] setelah penarikan kekuasaan Portugis setelah [[Revolusi Anyelir]], dimana populis sayap kiri [[Fretilin]] ([[Bahasa Portugis|Portugis]]: ''Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente'') muncul sebagai pemenang. Dengan persetujuan dari negara-negara Barat (termasuk dari Presiden AS [[Gerald Ford]] dan Perdana Menteri Australia [[Gough Whitlam]] selama kunjungan mereka ke Indonesia), Soeharto memutuskan untuk melakukan intervensi. Dia mengklaim langkah itu untuk mencegah berdirinya negara komunis. Setelah usahanya yang gagal memberikan dukungan terselubung kepada kelompok-kelompok Timor [[Persatuan Demokratik Timor|UDT]] dan [[Asosiasi Demokratik Rakyat Timor|APODETI]], Soeharto mengizinkan [[invasi Indonesia ke Timor Timur|invasi]] besar-besaran terhadap Timor Timur. koloni pada tanggal 7 Desember 1975 diikuti dengan pencaplokan resminya sebagai provinsi [[Timor Timur]] ke-27 di Indonesia pada bulan Juli 1976. Kampanye "pengepungan dan pemusnahan" pada tahun 1977–1979 mematahkan kendali Fretilin atas wilayah tersebut. daerah pedalaman, meskipun perlawanan gerilya yang terus berlanjut menyebabkan pemerintah mempertahankan kekuatan militer yang kuat di separuh pulau tersebut hingga tahun 1999. Diperkirakan jumlah minimum 90.800 dan maksimum 213.600 kematian terkait konflik terjadi di Timor Timur selama [[Pendudukan Timor Leste oleh Indonesia|Indonesian aturan (1974–1999)]]; yaitu, 17.600–19.600 pembunuhan dan 73.200 hingga 194.000 kematian 'berlebihan' akibat kelaparan dan penyakit; Pasukan Indonesia bertanggung jawab atas sekitar 70% kematian akibat kekerasan.<ref>{{cite web |author=Benetech Human Rights Data Analysis Group |title=The Profile of Human Rights Violations in Timor-Leste, 1974–1999 |work=A Report to the Commission on Reception, Truth and Reconciliation of Timor-Leste |publisher=Human Rights Data Analysis Group (HRDAG) |date=9 Februari 2006 |url=http://www.hrdag.org/resources/timor_chapter_graphs/timor_chapter_page_02.shtml |url-status=dead |archive-url=https://archive.today/20120529004414/http://www.hrdag.org/resources/timor_chapter_graphs/timor_chapter_page_02.shtml |archive-date=29 Mei 2012 }}</ref> |
|||
[[Invasi Indonesia ke Timor Leste|invasi]] dan [[Pendudukan Timor Leste oleh Indonesia|pendudukan]] di [[Timor Timur]] selama masa kepresidenan Soeharto mengakibatkan sedikitnya 100.000 kematian.<ref>[[Commission for Reception, Truth and Reconciliation in East Timor]] {{cite web |author=Benetech Human Rights Data Analysis Group |title=The Profile of Human Rights Violations in Timor-Leste, 1974–1999 |work=A Report to the Commission on Reception, Truth and Reconciliation of Timor-Leste |publisher=Human Rights Data Analysis Group (HRDAG) |date=9 Februari 2006 |url=http://www.hrdag.org/resources/timor_chapter_graphs/timor_chapter_page_02.shtml |url-status=dead |archive-url=https://archive.today/20120529004414/http://www.hrdag.org/resources/timor_chapter_graphs/timor_chapter_page_02.shtml |archive-date=29 Mei 2012 }}</ref> Untuk mematuhi [[Perjanjian New York]] tahun 1962 yang mensyaratkan pemungutan suara mengenai integrasi [[Irian Barat]] ke dalam Indonesia sebelum akhir tahun 1969, pemerintahan Soeharto mulai mengorganisir apa yang disebut "[[Penentuan Pendapat Rakyat]]" dijadwalkan pada Juli–Agustus 1969. Pemerintah mengirimkan pasukan khusus RPKAD di bawah [[Sarwo Edhie Wibowo]] yang berhasil mengamankan penyerahan beberapa kelompok bekas milisi yang diorganisir Belanda (''[[Korps Relawan Papua|Papoea Vrijwilligers Korps/PVK]]'') berkeliaran di hutan sejak pengambilalihan Indonesia pada tahun 1963 sambil mengirimkan sukarelawan Katolik di bawah [[Jusuf Wanandi]] untuk mendistribusikan barang-barang konsumsi guna mempromosikan sentimen pro-Indonesia. Pada bulan Maret 1969, disepakati bahwa pemungutan suara akan disalurkan melalui 1.025 kepala suku, dengan alasan tantangan logistik dan ketidaktahuan politik masyarakat. Dengan menggunakan strategi di atas, pemungutan suara menghasilkan keputusan bulat untuk berintegrasi dengan Indonesia, yang disetujui oleh [[Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa]] pada bulan November 1969.{{sfnp|Elson|2001|pp=178–9}} |
|||
=== Kemajuan sosial-ekonomi === |
|||
Kemajuan sosial-ekonomi yang nyata menopang dukungan terhadap rezim Soeharto selama tiga dekade. Pada tahun 1996, tingkat kemiskinan di Indonesia telah turun menjadi sekitar 11% dibandingkan dengan 45% pada tahun 1970. Dari tahun 1966 hingga 1997, Indonesia mencatat pertumbuhan PDB riil sebesar 5,03% per tahun, mendorong PDB riil per kapita meningkat dari US$806 menjadi US$4,114. Pada tahun 1966, sektor manufaktur menyumbang kurang dari 10% PDB (kebanyakan industri yang berkaitan dengan minyak dan pertanian). Pada tahun 1997, manufaktur telah meningkat menjadi 25% PDB, dan 53% ekspor terdiri dari produk manufaktur. Pemerintah berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur besar-besaran (terutama peluncuran serangkaian satelit telekomunikasi [[Palapa]]); akibatnya, infrastruktur Indonesia pada pertengahan tahun 1990an dianggap setara dengan Tiongkok. Soeharto sangat ingin memanfaatkan pencapaian tersebut untuk membenarkan kepresidenannya, dan [[Majelis Permusyawaratan Rakyat|parlemen]] (MPR) pada tanggal 9 Maret 1983 memberinya gelar "Bapak Pembangunan".{{sfnp|Rock|2003|p=3}} |
|||
Program layanan kesehatan pemerintahan Soeharto (seperti program Puskesmas) meningkatkan angka harapan hidup dari 47 tahun (1966) menjadi 67 tahun (1997) sekaligus menurunkan angka kematian bayi lebih dari 60%. Program Inpres yang diluncurkan pemerintah pada tahun 1973 menghasilkan rasio partisipasi sekolah dasar mencapai 90% pada tahun 1983 dan hampir menghilangkan kesenjangan pendidikan antara anak laki-laki dan perempuan. Dukungan berkelanjutan terhadap pertanian menghasilkan Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984, sebuah pencapaian yang belum pernah terjadi sebelumnya yang membuat Soeharto mendapatkan medali emas dari [[Organisasi Pangan dan Pertanian|FAO]] pada bulan November 1985.{{sfnp|Rock|2003|p= 4}} Pada awal tahun 1980-an, pemerintahan Soeharto menanggapi jatuhnya ekspor minyak akibat [[Banjir minyak 1980-an]] dengan berhasil mengalihkan basis perekonomian ke sektor manufaktur padat karya yang berorientasi ekspor, yang menjadikan daya saing global karena rendahnya produktivitas Indonesia. upah dan serangkaian devaluasi mata uang. Industrialisasi sebagian besar dilakukan oleh perusahaan-perusahaan [[Cina Indonesia|Cina-Indonesia]] yang berkembang menjadi konglomerat besar yang mendominasi perekonomian negara.{{sfnp|Rock|2003|p=17}} |
|||
Konglomerat terbesar adalah [[Grup Salim]] yang dipimpin oleh [[Liem Sioe Liong|Liem Sioe Liong (Sudono Salim)]], [[Sinar Mas]] yang dipimpin oleh [[Eka Tjipta Widjaja|Oei Ek Tjong (Eka Tjipta Widjaja)]], [[Astra Group]] dipimpin oleh [[William Soeryadjaya|Tjia Han Poen (William Soeryadjaya)]], [[Lippo Group]] dipimpin oleh [[Mochtar Riady|Lie Mo Tie (Mochtar Riady)]], Grup Barito Pacific dipimpin oleh [[Prajogo Pangestu|Pang Djun Phen (Prajogo Pangestu)]], dan Grup Nusamba dipimpin oleh [[Bob Hasan]]. Soeharto memutuskan untuk mendukung pertumbuhan sejumlah kecil konglomerat Tionghoa-Indonesia karena mereka tidak akan menimbulkan tantangan politik karena status etnis minoritas mereka, namun berdasarkan pengalamannya, ia menganggap mereka memiliki keterampilan dan modal yang diperlukan untuk menciptakan pertumbuhan nyata. untuk negara. Sebagai imbalan atas dukungan Soeharto, para konglomerat menyediakan pendanaan penting untuk aktivitas “pemeliharaan rezim”-nya.{{sfnp|Rock|2003|p=17}} |
|||
Pada akhir tahun 1980an, pemerintahan Soeharto memutuskan untuk melakukan deregulasi sektor perbankan untuk mendorong tabungan dan menyediakan sumber pembiayaan dalam negeri yang diperlukan untuk pertumbuhan. Soeharto mengeluarkan "Paket Oktober 1988" (''PAKTO 88'') yang meringankan persyaratan untuk mendirikan bank dan memberikan kredit; mengakibatkan peningkatan jumlah bank sebesar 50% dari tahun 1989 hingga 1991. Untuk meningkatkan tabungan, pemerintah memperkenalkan program ''TABANAS'' kepada masyarakat. [[Bursa Efek Jakarta]], yang dibuka kembali pada tahun 1977, mencatat "bull run", karena banyaknya penawaran umum perdana saham (IPO) dalam negeri dan masuknya dana asing setelah deregulasi pada tahun 1990. ketersediaan kredit yang tiba-tiba memicu pertumbuhan ekonomi yang kuat pada awal tahun 1990an, namun lemahnya lingkungan peraturan di sektor keuangan menabur benih krisis yang membawa bencana pada tahun 1997, yang akhirnya berujung pada berakhirnya masa kepresidenan Soeharto.<ref>{{cite web|url=http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/A6011CBA-1B4E-49B1-9DDC-CB01AB6C60D0/19386/SejarahPerbankanPeriode19831997.pdf|title=Bank Indonesia|publisher=Bi.go.id|access-date=28 November 2014|archive-date=8 April 2011|archive-url=https://web.archive.org/web/20110408234358/http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/A6011CBA-1B4E-49B1-9DDC-CB01AB6C60D0/19386/SejarahPerbankanPeriode19831997.pdf|url-status=dead}}</ref> |
|||
=== Meningkatnya korupsi === |
|||
Pertumbuhan ekonomi tersebut dibarengi dengan pesatnya maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (''Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme/KKN''). Pada awal tahun 1980-an, anak-anak Soeharto, khususnya [[Siti Hardiyanti Rukmana]] ("Tutut"), [[Tommy Suharto|Hutomo Mandala Putra ("Tommy")]], dan Bambang Trihatmodjo, telah tumbuh menjadi orang dewasa yang rakus. Perusahaan mereka diberi kontrak pemerintah yang menguntungkan dan dilindungi dari persaingan pasar melalui monopoli. Contohnya adalah pasar [[Daftar jalan tol di Indonesia|jalan tol tol]] yang dimonopoli oleh Tutut, proyek mobil nasional yang dimonopoli oleh Bambang dan Tommy, bahkan pasar bioskop yang dimonopoli oleh [[21 Cineplex]] (milik oleh sepupu Soeharto, Sudwikatmono). Keluarga tersebut dikatakan menguasai sekitar 36.000 km<sup>2</sup> real estat di Indonesia, termasuk 100.000 m<sup>2</sup> ruang kantor utama di Jakarta dan hampir 40% dari tanah di Timor Timur. Selain itu, anggota keluarga Suharto menerima saham gratis di 1.251 perusahaan domestik paling menguntungkan di Indonesia (kebanyakan dijalankan oleh kroni-kroni Soeharto yang beretnis Tionghoa), sementara perusahaan milik asing didorong untuk menjalin "kemitraan strategis" dengan perusahaan keluarga Soeharto. Sementara itu, banyak sekali yayasan yang dijalankan oleh keluarga Suharto semakin bertambah besar, dengan mengumpulkan "sumbangan" jutaan dolar dari sektor publik dan swasta setiap tahunnya.<ref name="BBC_20040325" /><ref name="Global Corruption Report">{{cite web |url=http://www.transparency.org/content/download/4459/26786/file/Introduction_to_political_corruption.pdf |title=Global Corruption Report |publisher=Transparency International |access-date=6 Agustus 2009 |archive-date=4 Juli 2007 |archive-url=https://web.archive.org/web/20070704093500/http://www.transparency.org/content/download/4459/26786/file/Introduction_to_political_corruption.pdf |url-status=dead }}</ref> |
|||
Pada tahun 1997, [[Forbes|Majalah Forbes]] mencantumkan Soeharto sebagai orang terkaya keempat di dunia dengan kekayaan bersih individu sebesar $16 miliar, meskipun gaji tahunan pada tahun puncak terakhirnya hanya sebesar $21.000. Keluarga Soeharto memiliki atau menguasai 3,6 juta hektar tanah utama di Indonesia, luas yang sebanding dengan seluruh [[Belgia]], dan secara langsung memiliki atau mengendalikan ekuitas di setidaknya 564 perusahaan, tanpa ada sektor perekonomian Indonesia yang tidak tersentuh. Dengan modal awal sebesar $100,000, Tommy Soeharto memulai usahanya pada tahun 1984 pada usia 22 tahun. Dalam waktu sepuluh minggu, [[Tommy Soeharto|Grup Humpuss]] miliknya telah memiliki dua puluh anak perusahaan, yang segera membengkak menjadi enam puluh. Setahun kemudian ia mengakuisisi Perta Oil Marketing, anak perusahaan perusahaan minyak negara [[Pertamina]], yang langsung menjadikannya pialang dan pengangkut minyak mentah utama. Perta menghasilkan keuntungan sebesar $1 juta per bulan. Sebagian besar jalan tol di Indonesia dibangun dan dioperasikan oleh Badan Usaha Milik Negara [[Daftar jalan tol di Indonesia|Jasa Marga]], dengan markup yang tak terhitung jumlahnya dan peluang untuk melakukan skimming dan pencurian bagi oligarki ketika proyek tersebut selesai. Pada tahun 1989, Soeharto mengeluarkan keputusan yang memberikan putrinya Tutut 75% keuntungan dari seluruh jalan tol yang dioperasikan kelompoknya bersama Jasa Marga, sehingga semakin meningkatkan biaya. Bambang memposisikan grupnya sebagai mitra perusahaan listrik asing dan memaksa perusahaan listrik milik negara, [[Perusahaan Listrik Negara|PLN]], untuk membeli listrik dengan harga yang melambung. Menurut perkiraan dari cerita sampul majalah Time edisi internasional tanggal 24 Mei 1999, total kekayaan yang dikumpulkan oleh keluarga Soeharto selama tiga dekade berkuasa adalah $73,24 miliar. Dengan menyisihkan $9 miliar yang diperoleh dari bunga deposito, tiga perempat dari kekayaan ini berasal dari perolehan sumber daya minyak, gas, dan pertambangan negara tersebut, atau bekerja keras pada perusahaan negara dan kontrak-kontrak besar pemerintah. Nilai tambah kewirausahaan dari perusahaan-perusahaan milik keluarga Soeharto ini, secara keseluruhan, hampir nol.<ref>{{Citation |last=Winters |first=Jeffrey A. |title=Oligarchy |date=2011 |url=https://books.google.com/books?id=trsFIM5h3P8C&pg=PA167 |pages=167–169 |publisher=[[Cambridge University Press]] |isbn=978-0-521-18298-0}}</ref> |
|||
Pada awal tahun 2004, LSM antikorupsi Jerman, Transparansi Internasional, merilis daftar sepuluh pemimpin yang diyakini paling memperkaya diri sendiri dalam dua dekade sebelumnya; berdasarkan jumlah yang diduga dicuri dalam USD, peringkat tertinggi adalah Soeharto dan keluarganya yang dituduh menggelapkan $15 miliar – $35 miliar.<ref>{{cite press release|url=http://www.transparency.org/content/download/4450/26759/file/GCR_2004_press_release_FINAL.pdf|title=Plundering politicians and bribing multinationals undermine economic development, says TI|publisher=Transparency International|date=25 Maret 2004|access-date=21 Desember 2016|archive-date=21 Juni 2007|archive-url=https://web.archive.org/web/20070621044111/http://www.transparency.org/content/download/4450/26759/file/GCR_2004_press_release_FINAL.pdf|url-status=dead}}</ref> |
|||
=== Tahun 1980an dan 1990an === |
|||
Pada tahun 1980-an, cengkeraman kekuasaan Soeharto dipertahankan melalui pelemahan masyarakat sipil, rekayasa pemilu, dan penggunaan kekuatan koersif militer. Setelah pensiun dari militer pada bulan Juni 1976, Soeharto melakukan reorganisasi angkatan bersenjata yang memusatkan kekuasaan dari komandan ke presiden. Pada bulan Maret 1983, ia menunjuk Jenderal [[Leonardus Benjamin Moerdani]] sebagai panglima angkatan bersenjata yang mengadopsi pendekatan garis keras terhadap elemen-elemen yang menentang pemerintah. Sebagai seorang Katolik Roma, ia bukanlah ancaman politik bagi Soeharto.{{sfnp|Elson|2001|pp=457–60}} Dari tahun 1983 hingga 1985, pasukan tentara membunuh hingga 10.000 tersangka penjahat sebagai respons terhadap lonjakan kejahatan rate (lihat "[[Penembakan misterius]]"). Pemberlakuan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi oleh Soeharto menimbulkan protes dari kelompok Islam konservatif yang menganggap hukum Islam di atas konsepsi lainnya.{{sfnp|Aspinall|Klinken|Feith|1999|pp=ii–iii}} |
|||
[[Peristiwa Tanjung Priok]] menyebabkan tentara membunuh hingga 100 pengunjuk rasa Muslim konservatif pada bulan September 1984. Serangkaian pemboman kecil-kecilan sebagai balasan, termasuk pemboman [[Borobudur]], menyebabkan penangkapan ratusan aktivis Islam konservatif, termasuk calon pemimpin parlemen AM Fatwa dan [[Abu Bakar Bashir]] (kemudian menjadi pemimpin [[Jemaah Islamiyah]]). Serangan terhadap polisi oleh [[Gerakan Aceh Merdeka]] yang bangkit kembali pada tahun 1989 berujung pada operasi militer yang menewaskan 2.000 orang dan mengakhiri pemberontakan pada tahun 1992. Pada tahun 1984, pemerintahan Soeharto mengupayakan peningkatan kontrol atas pers dengan mengeluarkan undang-undang yang mewajibkan semua media memiliki izin penyelenggaraan pers (''Surat Izin Usaha Penerbitan Pers, SIUPP'') yang sewaktu-waktu dapat dicabut oleh Kementerian Penerangan.{{sfnp|Aspinall|Klinken|Feith|1999|pp=ii–iii}} |
|||
Dengan berakhirnya komunisme dan [[Perang Dingin]], catatan hak asasi manusia Soeharto mendapat sorotan internasional yang lebih besar, khususnya setelah [[pembantaian Santa Cruz]] tahun 1991 di Timor Timur. Soeharto terpilih sebagai ketua [[Gerakan Non-Blok]] pada tahun 1992, sedangkan Indonesia menjadi anggota pendiri [[Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik|APEC]] pada tahun 1989 dan menjadi tuan rumah KTT APEC [[Bogor]] pada tahun 1994.{{sfnp|Elson|2001|pp=510–1}} Di dalam negeri, urusan bisnis keluarga Soeharto menciptakan ketidakpuasan di kalangan militer yang kehilangan akses terhadap kekuasaan dan peluang mencari keuntungan yang menguntungkan. Pada sidang [[Majelis Permusyawaratan Rakyat|MPR]] bulan Maret 1988, para legislator militer berusaha menekan Soeharto dengan gagal menghalangi pencalonan [[Sudharmono]], seorang loyalis Soeharto, sebagai wakil presiden. Kritik Moerdani terhadap korupsi keluarga Soeharto membuat presiden memberhentikannya dari jabatan panglima militer. Soeharto perlahan-lahan melakukan “demiliterisasi” terhadap rezimnya; ia membubarkan [[Kopkamtib]] yang berkuasa pada bulan September 1988 dan memastikan posisi-posisi penting militer dipegang oleh para loyalis.{{sfnp|Dijk|2001|loc=chapter 5}} |
|||
[[Berkas:Suharto and wife after hajj.jpg|thumb|240px|right|Soeharto dan istrinya berpakaian Islami setelah menunaikan [[haji]] pada tahun 1991]] |
|||
Dalam upaya untuk mendiversifikasi basis kekuasaannya dari militer, Soeharto mulai mencari dukungan dari unsur-unsur Islam. Ia melakukan ibadah haji yang banyak dipublikasikan pada tahun 1991, menggunakan nama Haji Mohammad Soeharto, dan mempromosikan nilai-nilai Islam dan karier para jenderal yang berorientasi Islam. Untuk mendapatkan dukungan dari komunitas bisnis Muslim yang baru lahir yang tidak menyukai dominasi konglomerat Tionghoa-Indonesia, Soeharto membentuk [[Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia]] (ICMI) pada bulan November 1990, yang dipimpin oleh anak didiknya [[B.J. Habibie]], Menteri Riset dan Teknologi sejak tahun 1978. Pada periode ini, kerusuhan ras terhadap etnis Tionghoa mulai cukup sering terjadi, diawali dengan kerusuhan bulan April 1994 di [[Medan]].{{sfnp|Elson|2001| pp=211–4}} Pada tahun 1990-an, pemerintahan Soeharto didominasi oleh politisi sipil seperti [[B. J. Habibie|Habibie]], [[Harmoko]], [[Ginandjar Kartasasmita]], dan [[Akbar Tanjung]], yang posisinya semata-mata berasal dari Soeharto. Sebagai tanda meningkatnya pengaruh Habibie, ketika dua majalah terkemuka di Indonesia dan sebuah surat kabar tabloid memberitakan kritik atas pembelian hampir seluruh armada Angkatan Laut Jerman Timur yang dibubarkan oleh Habibie pada tahun 1993 (sebagian besar kapal tersebut bernilai sisa ), Kementerian Penerangan memerintahkan penerbitan yang melanggar tersebut ditutup pada tanggal 21 Juni 1994.<ref>{{cite book|last1=Steele|first1=Janet|title=Wars Within: The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto's Indonesia|date=2005|publisher=Equinox Publishing|isbn=9793780088|pages=234–235 |edition=First}}</ref> Pada tahun 1993, [[Museum Purna Bhakti Pertiwi]] dibuka atas prakarsa Tien Soeharto. Tempat ini menampung dan memamerkan koleksi Soeharto termasuk karya seni dan cenderamata, yang diterima dari berbagai pemimpin dunia dan masyarakat Indonesia. |
|||
Pada tahun 1990-an, elemen kelas menengah Indonesia yang semakin meningkat akibat perkembangan ekonomi Soeharto menjadi gelisah dengan [[otokrasi]] dan korupsi yang dilakukan anak-anaknya, sehingga memicu tuntutan untuk "[[Era Pasca-Soeharto|Reformasi]]" (reformasi) dari pemerintahan Orde Baru yang hampir berusia 30 tahun. Sebagian besar kelas menengah tidak mempunyai ingatan mengenai kejadian-kejadian menjelang naiknya Soeharto ke tampuk kekuasaan. Pada tahun 1996, putri Soekarno, [[Megawati Soekarnoputri]], ketua [[Partai Demokrasi Indonesia|PDI]] yang biasanya patuh, menjadi tokoh oposisi atas meningkatnya ketidakpuasan ini. Sebagai tanggapan, Soeharto mendukung faksi terkooptasi PDI yang dipimpin oleh [[Soerjadi (politikus)|Soerjadi]], yang menggulingkan Megawati sebagai pemimpin PDI. Pada tanggal 27 Juli 1996, [[peristiwa 27 Juli 1996|penyerangan]] yang dilakukan oleh tentara dan preman bayaran yang dipimpin oleh Letjen [[Sutiyoso]] saat demonstrasi pendukung Megawati di Jakarta mengakibatkan kerusuhan dan penjarahan yang memakan korban jiwa. Peristiwa ini disusul dengan penangkapan 200 aktivis demokrasi, 23 di antaranya diculik, dan sebagian dibunuh, oleh pasukan tentara yang dipimpin menantu Soeharto, Mayor Jenderal [[Prabowo Subianto]].{{sfnp|Elson| 2001|pp=284–7}} Pada tahun 1995, Soeharto mengeluarkan [[koin emas]] [[Koin rupiah#Koin Peringatan|senilai 850.000 rupiah]] khusus dengan wajah di satu sisi koin dalam perayaan 50 tahun [[Kemerdekaan Indonesia]]. Pada tanggal 5 Oktober 1997, ia menganugerahkan dirinya sendiri dan para jenderal [[Soedirman]] dan [[Abdul Haris Nasution]] dengan pangkat kehormatan bintang lima "[[Jenderal Besar (Indonesia)|Jenderal Besar]]."<ref>{{cite book|publisher=NIAS Press|date=1999|isbn=8787062690|title=Indonesian Politics in Crisis: The Long Fall of Suharto, 1996-1998|page=104|first=Stefan|last= Eklöf}}</ref> |
|||
== Krisis ekonomi dan kejatuhan == |
|||
{{Main|Kejatuhan Soeharto}} |
|||
=== Krisis keuangan Asia === |
|||
{{See also|Krisis finansial Asia 1997}} |
|||
[[Berkas:Suharto 1998.jpg|thumb|180px|left|Potret resmi (1998)]] |
|||
Indonesia adalah negara yang paling terkena dampak [[Krisis finansial Asia 1997]]. Sejak pertengahan tahun 1997 terjadi arus keluar modal dalam jumlah besar dan terhadap dolar AS. Karena praktik pinjaman bank yang buruk, banyak perusahaan Indonesia meminjam pinjaman dolar AS yang lebih murah, sementara pendapatan mereka sebagian besar dalam mata uang rupiah. Melemahnya nilai tukar rupiah memicu pembelian panik dolar AS oleh perusahaan-perusahaan tersebut, sehingga menyebabkan nilai [[rupiah Indonesia]] anjlok dari tingkat sebelum krisis sebesar Rp. 2.600 hingga titik terendah di awal tahun 1998 sekitar Rp. 17.000. Akibatnya, banyak perusahaan bangkrut dan perekonomian menyusut sebesar 13,7%, menyebabkan peningkatan tajam angka pengangguran dan kemiskinan di seluruh negeri.<ref name="CountryBrief">{{cite web |title=Indonesia: Country Brief |work=Indonesia:Key Development Data & Statistics |publisher=The World Bank |date=September 2006 |url=http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAEXTN/0,,contentMDK:20095968~pagePK:141137~piPK:141127~theSitePK:226309,00.html |access-date=14 Juni 2013 |archive-date=1 November 2012 |archive-url=https://web.archive.org/web/20121101135702/http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAEXTN/0,,contentMDK:20095968~pagePK:141137~piPK:141127~theSitePK:226309,00.html |url-status=live }}</ref> |
|||
Upaya [[Bank Indonesia|bank sentral]] untuk mempertahankan rupiah terbukti sia-sia dan hanya menguras cadangan dolar negara. Sebagai imbalan atas bantuan likuiditas sebesar US$43 miliar, antara Oktober 1997 dan April berikutnya, Soeharto menandatangani tiga surat perjanjian dengan [[Dana Moneter Internasional]] (IMF) untuk proses reformasi ekonomi. Pada bulan Januari 1998, pemerintah terpaksa memberikan bantuan likuiditas darurat (BLBI), menerbitkan jaminan menyeluruh untuk simpanan bank dan membentuk [[Bantuan Likuiditas Bank Indonesia]] untuk mengambil alih pengelolaan bank-bank bermasalah untuk mencegah keruntuhan sistem keuangan. sistem. Salah satu langkah yang diambil berdasarkan rekomendasi IMF adalah pemerintah menaikkan suku bunga hingga 70% per tahun pada bulan Februari 1998, yang semakin memperburuk kontraksi perekonomian. Pada bulan Desember 1997, Soeharto tidak menghadiri pertemuan puncak presiden ASEAN untuk pertama kalinya, yang kemudian diketahui karena stroke ringan, sehingga menimbulkan spekulasi tentang kesehatannya dan masa depan kepresidenannya. Pada pertengahan bulan Desember, ketika krisis melanda Indonesia dan sekitar $150 miliar modal ditarik dari negara tersebut, ia muncul di konferensi pers untuk menegaskan kembali otoritasnya dan mendesak masyarakat untuk mempercayai pemerintah dan keruntuhan ekonomi. rupiah.{{sfnp|Friend|2003|p=313}} |
|||
Namun, upayanya untuk mengembalikan kepercayaan diri tidak banyak berpengaruh. Bukti menunjukkan bahwa keluarga dan rekan-rekannya tidak terkena persyaratan paling ketat dalam proses reformasi IMF, yang semakin melemahkan kepercayaan terhadap perekonomian dan kepemimpinannya.{{sfnp|Aspinall|Klinken|Feith|1999|pp=ii–iii}} krisis ekonomi disertai dengan meningkatnya ketegangan politik. Kerusuhan anti Tionghoa terjadi di [[Situbondo]] (1996), [[Tasikmalaya]] (1996), [[Banjarmasin]] (1997), dan [[Makassar]] (1997); Bentrokan etnik yang disertai kekerasan terjadi antara pemukim [[Orang Dayak|Dayak]] dan [[Orang Madura|Orang Madura]] di [[Kalimantan Tengah]] pada tahun 1997. [[Golkar]] memenangkan [[Pemilihan umum legislatif Indonesia 1997|1997 yang dicurangi pemilu]], dan pada bulan Maret 1998, Suharto terpilih dengan suara bulat untuk masa jabatan lima tahun berikutnya. Dia menominasikan anak didiknya [[B. J. Habibie]] sebagai wakil presiden kemudian menyusun [[Kabinet Pembangunan VII|kabinet]] bersama keluarga dan rekan bisnisnya sendiri, termasuk putri sulungnya [[Siti Hardiyanti Rukmana|Tutut]] sebagai Menteri Sosial. Penunjukan tersebut dan anggaran pemerintah tahun 1998 yang tidak realistis semakin menciptakan ketidakstabilan mata uang,{{sfnp|Friend|2003|p=314}} rumor, dan kepanikan; yang menyebabkan kehabisan toko dan menaikkan harga.<ref>{{harvp|Friend|2003|p=314}}.<br>{{harvp|Aspinall|Klinken|Feith|1999|pp=ii–iii} }.</ref> Pemerintah kembali menaikkan harga bahan bakar sebesar 70% pada bulan Mei 1998, yang memicu gelombang kerusuhan lainnya di [[Medan]].{{sfnp|Purdey|2006|p=115}} |
|||
=== Soeharto mengundurkan diri === |
|||
[[Berkas:Suharto resigns.jpg|thumb|right|260px|Soeharto membacakan pidato pengunduran dirinya di Istana Merdeka pada 21 Mei 1998. Wakil presiden dan penerusnya, [[B. J. Habibie]], ada di sebelah kirinya]] |
|||
Ketika Soeharto semakin dipandang sebagai sumber meningkatnya krisis ekonomi dan politik di negara ini, tokoh-tokoh politik terkemuka, termasuk politikus Muslim [[Amien Rais]], berbicara menentang kepresidenannya, dan pada bulan Januari 1998 mahasiswa mulai mengorganisir demonstrasi berskala nasional.{{sfnp|Elson|2001|p=267}} Krisis ini mencapai puncaknya ketika Soeharto melakukan kunjungan kenegaraan ke Mesir pada tanggal 12 Mei 1998, ketika pasukan keamanan [[Tragedi Trisakti|membunuh empat demonstran]] dari [[Universitas Trisakti]] Jakarta. [[kerusuhan Mei 1998|Kerusuhan dan penjarahan di Jakarta dan kota-kota lain]] pada hari-hari berikutnya menghancurkan ribuan bangunan dan menewaskan lebih dari 1.000 orang. Etnis Tionghoa dan bisnis mereka menjadi sasaran khusus kekerasan tersebut. Teori asal muasal kekerasan ini antara lain persaingan antara Panglima TNI Jenderal [[Wiranto]] dan [[Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat]] Letjen [[Prabowo Subianto]], dan usulan dari provokasi yang disengaja oleh Soeharto untuk mengalihkan kesalahan atas krisis ini kepada etnis Tionghoa dan mendiskreditkan gerakan mahasiswa.{{sfnp|Purdey|2006|pp=148–50}} |
|||
Pada tanggal 16 Mei, puluhan ribu mahasiswa menuntut pengunduran diri Soeharto, dan menduduki halaman dan atap [[Gedung DPR/MPR|gedung parlemen]]. Sekembalinya Soeharto ke Jakarta, ia menawarkan untuk mengundurkan diri pada tahun 2003 dan merombak kabinetnya. Upaya ini gagal ketika sekutu politiknya meninggalkannya dengan menolak bergabung dengan kabinet baru yang diusulkan. Menurut Wiranto, pada tanggal 18 Mei, Soeharto mengeluarkan dekrit yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan apa pun guna memulihkan keamanan; namun, Wiranto memutuskan untuk tidak menerapkan keputusan tersebut untuk mencegah konflik dengan penduduk.{{sfnp|Wiranto|2011|p=67-9}} Pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya, dan wakil presiden Habibie mengambil alih jabatan presiden sesuai dengan konstitusi.{{r|McDonaldSMH_28012008}}{{sfnp|Vickers|2005|pp=203–7}}{{sfnp|Aspinall|Klinken|Feith|1999|pp=iv–vii}} Dokumen dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menunjukkan bahwa Pemerintahan Clinton berusaha menjaga hubungan dekat dengan militer Indonesia setelah jatuhnya kekuasaan Soeharto.<ref>{{cite web|title=US Promoted Close Ties to Indonesian Military as Suharto's Rule Came to an End in Spring 1998|editor=Brad Simpson|publisher=[[National Security Archive]]|url=https://nsarchive.gwu.edu/briefing-book/indonesia/2018-07-24/us-promoted-close-ties-indonesian-military-suhartos-rule-came-end|access-date=2 Agustus 2018|date=24 Juli 2018|archive-date=3 Agustus 2018|archive-url=https://web.archive.org/web/20180803014349/https://nsarchive.gwu.edu/briefing-book/indonesia/2018-07-24/us-promoted-close-ties-indonesian-military-suhartos-rule-came-end|url-status=live}}</ref> |
|||
== Pasca-kepresidenan == |
|||
=== Tuduhan korupsi === |
|||
{{See also|Tuduhan korupsi terhadap Soeharto}} |
|||
[[Berkas:william cohen with suharto.jpg|thumb|Soeharto dengan [[Menteri Pertahanan Amerika Serikat|Menteri Pertahanan A.S.]] [[William Cohen]] pada tahun 1998]] |
|||
Setelah mengundurkan diri dari kursi kepresidenan, Soeharto menjadi penyendiri di kompleks keluarganya di kawasan [[Menteng]] Jakarta, dilindungi tentara dan jarang tampil di depan umum. Keluarga Suharto menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menangkis investigasi korupsi. Namun, Soeharto sendiri dilindungi dari tuntutan berat oleh para politisi yang berutang jabatan kepada mantan presiden tersebut, seperti yang ditunjukkan dalam bocoran percakapan telepon antara Presiden [[BJ Habibie|Habibie]] dan Jaksa Agung Andi Muhammad Ghalib pada bulan Februari 1999.<ref>{{cite web |url=http://www.minihub.org/siarlist/msg02067.html |title=Rekaman Habibie-Ghalib |publisher=Minihub.org |access-date=6 Desember 2013 |url-status=dead |archive-url=https://web.archive.org/web/20130116055010/http://www.minihub.org/siarlist/msg02067.html |archive-date=16 Januari 2013 }}</ref> Pada bulan Mei 1999, [[Time (majalah)|''Time Asia'']] memperkirakan kekayaan keluarga Soeharto berjumlah US$15 miliar dalam bentuk tunai, [[saham]], aset perusahaan, real estate, perhiasan dan seni rupa. Soeharto menggugat majalah tersebut dengan meminta ganti rugi lebih dari US$27 miliar atas [[pencemaran nama baik]] atas artikel tersebut.<ref>{{cite news |date=10 September 2007 |title=Suharto wins $128m in damages |newspaper=[[Herald Sun]] |access-date=9 Agustus 2009 |url=http://www.news.com.au/heraldsun/story/0,21985,22396808-5005961,00.html |archive-url=https://web.archive.org/web/20071017221608/http://news.com.au/heraldsun/story/0%2C21985%2C22396808-5005961%2C00.html |archive-date=17 Oktober 2007}}</ref> Pada tanggal 10 September 2007, Mahkamah Agung Indonesia menghadiahkan Soeharto [[kerusakan]] terhadap [[Majalah berita|majalah]] ''[[Time (majalah)|Time Asia]]'', memerintahkan Suharto untuk membayarnya satu triliun [[Rupiah Indonesia|rupiah]] ($128,59 juta). Pengadilan Tinggi membatalkan [[putusan (undang-undang)|putusan]] dari [[pengadilan banding]] dan [[Jakarta Pusat]] [[pengadilan negeri]] (dibuat pada tahun 2000 dan 2001).{{citation needed|date=Mei 2018}} |
|||
Soeharto menduduki peringkat tertinggi dalam daftar pemimpin korup menurut [[Transparency International]] dengan dugaan penyelewengan antara US$15–35 miliar selama 32 tahun masa kepresidenannya.<ref name="BBC_20040325"/><ref name="Global Corruption Report"/> Pada tanggal 29 Mei 2000, Soeharto ditempatkan di bawah [[tahanan rumah]] ketika pihak berwenang Indonesia mulai menyelidiki korupsi selama masa kepresidenannya. Pada bulan Juli 2000, diumumkan bahwa ia dituduh menggelapkan US$571 juta sumbangan pemerintah ke salah satu dari beberapa yayasan di bawah kendalinya dan kemudian menggunakan uang tersebut untuk membiayai investasi keluarga. Namun, pada bulan September, dokter yang ditunjuk pengadilan mengumumkan bahwa dia tidak dapat diadili karena kesehatannya yang menurun. Jaksa negara mencoba lagi pada tahun 2002, namun kemudian dokter menyebutkan adanya penyakit otak yang tidak dijelaskan secara spesifik. Pada tanggal 26 Maret 2008, hakim pengadilan sipil membebaskan Soeharto dari tuduhan korupsi tetapi memerintahkan yayasan amalnya, Supersemar, untuk membayar US$110 juta (£55 juta).<ref>{{cite news | url=http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/7315976.stm | title=Suharto charity told to pay $110 m | work=BBC News | date=27 Maret 2008 | access-date=6 Januari 2010 | archive-date=27 Maret 2009 | archive-url=https://web.archive.org/web/20090327173831/http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/7315976.stm | url-status=live }}</ref> |
|||
Pada tahun 2002, putra Soeharto [[Tommy Soeharto]] dijatuhi hukuman 15 tahun penjara karena memerintahkan pembunuhan seorang hakim (yang sebelumnya memvonisnya karena korupsi), kepemilikan senjata ilegal, dan melarikan diri dari keadilan. Pada tahun 2006, dia dibebaskan bersyarat dengan "pembebasan bersyarat".<ref>{{cite news |url=http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/6098010.stm |title=Tommy Suharto freed from prison |work=BBC News |date=30 Oktober 2006 |access-date=9 Agustus 2009 |archive-date=28 Agustus 2009 |archive-url=https://web.archive.org/web/20090828111205/http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/6098010.stm |url-status=live }}</ref> Pada tahun 2003, saudara tiri Soeharto [[Probosutedjo]] diadili dan dihukum karena korupsi dan kerugian negara Indonesia sebesar $10 juta. Dia dijatuhi hukuman empat tahun penjara. Ia kemudian memenangkan pengurangan hukumannya menjadi dua tahun, dengan memulai penyelidikan oleh [[Komisi Pemberantasan Korupsi]] atas dugaan skandal "mafia peradilan" yang mengungkap tawaran $600.000 kepada berbagai hakim. Probosutedjo mengakui skema tersebut pada bulan Oktober 2005, yang menyebabkan penangkapan pengacaranya. Masa jabatan empat tahun penuhnya dipulihkan.<ref>{{cite news |title=Suharto's half-brother fined, jailed for four years |url=https://mobile.abc.net.au/news/2005-11-30/suhartos-half-brother-fined-jailed-for-four-years/751268 |access-date=15 September 2020 |agency=AFP |work=ABC News |date=29 November 2005 |archive-date=26 November 2020 |archive-url=https://web.archive.org/web/20201126192134/https://mobile.abc.net.au/news/2005-11-30/suhartos-half-brother-fined-jailed-for-four-years/751268 |url-status=live }}</ref> Setelah kebuntuan singkat di rumah sakit, di mana dia dilaporkan dilindungi oleh sekelompok petugas polisi, dia ditangkap pada tanggal 30 November 2005.<ref>{{cite news |title=Probosutedjo dipenjara |url=http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2005/11/printable/051130_probojailed.shtml |access-date=15 September 2020 |publisher=BBC Indonesia |date=30 November 2005 |archive-date=23 Januari 2022 |archive-url=https://web.archive.org/web/20220123082754/https://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2005/11/printable/051130_probojailed.shtml |url-status=live }}</ref><ref>{{cite news |title=Probosutedjo Dijebloskan ke Cipinang |url=https://www.liputan6.com/news/read/113388/probosutedjo-dijebloskan-ke-cipinang |access-date=15 September 2020 |publisher=Liputan6.com |date=30 November 2005 |archive-date=10 Oktober 2021 |archive-url=https://web.archive.org/web/20211010165149/https://www.liputan6.com/news/read/113388/probosutedjo-dijebloskan-ke-cipinang |url-status=live }}</ref> Pada tanggal 9 Juli 2007, jaksa Indonesia mengajukan gugatan perdata terhadap Soeharto, untuk memulihkan dana negara ($440 juta atau £219 juta, yang diduga hilang dari dana beasiswa, dan kerugian tambahan sebesar $1,1 miliar).<ref name="BBC_9July">{{cite news | title= Civil suit filed against Suharto | date= 9 Juli 2007 | work= BBC News | url= http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/6283322.stm | access-date= 9 Juli 2007 | archive-date= 13 Agustus 2007 | archive-url= https://web.archive.org/web/20070813105545/http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/6283322.stm | url-status= live }}</ref> |
|||
===Penyakit dan kematian=== |
|||
Setelah mengundurkan diri dari kursi kepresidenan, Soeharto berulang kali dirawat di rumah sakit karena [[Kecelakaan Serebrovaskular|stroke]], masalah jantung, dan usus. Kesehatannya yang menurun menghalangi upaya untuk mengadilinya karena pengacaranya berhasil mengklaim bahwa kondisinya membuat dia tidak layak untuk diadili. Terlebih lagi, hanya ada sedikit dukungan di Indonesia terhadap upaya untuk mengadilinya. Pada tahun 2006, Jaksa Agung Abdurrahman mengumumkan bahwa tim yang terdiri dari dua puluh dokter akan diminta untuk mengevaluasi kesehatan dan kebugaran Soeharto untuk diadili. Salah satu dokter, Brigadir Jenderal Dr Marjo Subiandono, menyatakan keraguannya dengan mengatakan bahwa "[Soeharto] memiliki dua cacat otak permanen."<ref name="AP">{{cite news | title=Former Indonesian dictator unfit to stand trial — doctor | date=23 April 2006 | agency=Associated Press | url=http://www.smh.com.au/news/world/former-indonesian-dictator-unfit-to-stand-trial--doctor/2006/04/22/1145344319571.html | work=Sydney Morning Herald | access-date=24 April 2006 | archive-date=3 November 2012 | archive-url=https://web.archive.org/web/20121103200940/http://www.smh.com.au/news/world/former-indonesian-dictator-unfit-to-stand-trial--doctor/2006/04/22/1145344319571.html | url-status=live }}</ref> Dalam laporan ''[[Financial Times]]'' berikutnya, Jaksa Agung Abdurrahman membahas pemeriksaan ulang tersebut, dan menyebutnya sebagai bagian dari "kesempatan terakhir" untuk mengadili Soeharto secara pidana. Jaksa Agung Abdurrahman membuka kemungkinan untuk mengajukan gugatan terhadap harta warisan Soeharto.<ref name="FT">{{cite news | last=Donnan | first=Shawn | title=Jakarta makes final attempt to pursue Suharto charges | date=28 April 2006 | work=[[Financial Times]] | url=http://news.ft.com/cms/s/9bd74ff6-d652-11da-8b3a-0000779e2340.html | archive-url=https://archive.today/20070521050607/http://news.ft.com/cms/s/9bd74ff6-d652-11da-8b3a-0000779e2340.html | url-status=dead | archive-date=21 Mei 2007 }}</ref> |
|||
Pada tanggal 4 Januari 2008, Soeharto dibawa ke [[Rumah Sakit Pusat Pertamina]], Jakarta dengan komplikasi akibat kesehatan yang buruk, pembengkakan anggota badan dan perut, serta gagal ginjal parsial.<ref>{{cite web |url=http://www.arabtimesonline.com/client/pagesdetails.asp?nid=10341&ccid=18 |title=Indonesia's ailing Suharto 'getting worse': doctors |work=The Times |location=UK |date=5 Januari 2008 |access-date=9 Agustus 2009 |archive-date=12 Juni 2022 |archive-url=https://web.archive.org/web/20220612143909/http://www.arabtimesonline.com/client/pagesdetails.asp?nid=10341 |url-status=live }}</ref> Kesehatannya berfluktuasi selama beberapa minggu tetapi semakin memburuk dengan [[anemia]] dan [[tekanan darah]] rendah karena komplikasi jantung dan ginjal, pendarahan internal, cairan di paru-parunya, dan darah di tinja dan urinnya yang menyebabkan [[hemoglobin]] turun.<ref>{{cite news |url=http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/7176176.stm |title=Suharto condition 'deteriorating' |work=BBC News |date=8 Januari 2008 |access-date=9 Agustus 2009 |archive-date=9 Januari 2008 |archive-url=https://web.archive.org/web/20080109061501/http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/7176176.stm |url-status=live }}</ref> Pada tanggal 23 Januari, kesehatan Soeharto semakin memburuk karena infeksi [[sepsis]] menyebar ke seluruh tubuhnya.<ref>{{cite web |author=Niniek Karmini |date=23 Januari 2008 |title=Suharto's health deteriorates, infection spreads |website=[[The Irrawaddy]] |url=https://www2.irrawaddy.com/article.php?art_id=10010 |access-date=10 Maret 2021 |archive-date=20 Maret 2021 |archive-url=https://web.archive.org/web/20210320030614/https://www2.irrawaddy.com/article.php?art_id=10010 |url-status=live }}</ref> Keluarganya menyetujui pelepasan mesin pendukung kehidupan jika kondisinya tidak membaik, dan dia meninggal pada tanggal 27 Januari pukul 13.09.<ref>{{cite news |url=http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/7211565.stm |title=Indonesia ex-leader Suharto dies |work=BBC News |date=27 Januari 2008 |access-date=9 Agustus 2009 |archive-date=24 Maret 2009 |archive-url=https://web.archive.org/web/20090324051752/http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/7211565.stm |url-status=live }}</ref><ref>{{cite web |date=14 Januari 2008 |title=Suharto has multiple organ failure |website=Al Jazeera English |url=https://www.aljazeera.com/news/2008/1/14/suharto-has-multiple-organ-failure |access-date=14 April 2010 |archive-date=5 November 2021 |archive-url=https://web.archive.org/web/20211105080252/https://www.aljazeera.com/news/2008/1/14/suharto-has-multiple-organ-failure |url-status=live }}</ref><ref name=NYTobituary>{{cite web |last=Berger |first=Marilyn |title=Suharto Dies at 86; Indonesian Dictator Brought Order and Bloodshed |date=28 Januari 2008 |work=The New York Times |url=https://www.nytimes.com/2008/01/28/world/asia/28suharto.html |access-date=23 Februari 2017 |archive-date=2 Desember 2018 |archive-url=https://web.archive.org/web/20181202231503/https://www.nytimes.com/2008/01/28/world/asia/28suharto.html |url-status=live }}</ref> |
|||
Beberapa menit setelah kematiannya, Presiden Indonesia saat itu [[Susilo Bambang Yudhoyono]] mengadakan konferensi pers yang menyatakan Soeharto sebagai salah satu "putra terbaik" Indonesia dan mengundang negara untuk memberikan penghormatan dan penghormatan setinggi-tingginya kepada mantan presiden tersebut.<ref>{{cite news | url=https://m.tempo.co/read/news/2008/01/27/055116274/soeharto-meninggal-sby-batalkan-kunjungan-ke-bali | title=Soeharto Meninggal, SBY Batalkan Kunjungan Ke Bali | publisher=Tempo | date=27 Januari 2008 | access-date=28 Juli 2016 | archive-date=7 Agustus 2016 | archive-url=https://web.archive.org/web/20160807151724/https://m.tempo.co/read/news/2008/01/27/055116274/soeharto-meninggal-sby-batalkan-kunjungan-ke-bali | url-status=live }}</ref> Jenazah Soeharto dibawa dari Jakarta ke kompleks makam [[Astana Giribangun]] di [[Kabupaten Karanganyar]], dekat kota [[Surakarta|Solo]] Jawa Tengah. Ia dimakamkan bersama mendiang istrinya dalam pemakaman militer negara dengan penuh penghormatan, dengan pasukan elit [[Kopassus]] dan pasukan komando [[KOSTRAD]] sebagai pengawal kehormatan dan pengusung jenazah serta Komandan Grup II Kopassus Surakarta Letkol Asep Subarkah.<ref>{{cite web |url=http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/01/28/brk,20080128-116371,id.html |title=— Presiden Tiba di Astana Giribangun |publisher=Tempointeraktif.com |access-date=9 Agustus 2009 |url-status=dead |archive-url=https://web.archive.org/web/20090810143854/http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/01/28/brk,20080128-116371,id.html |archive-date=10 Agustus 2009 }}</ref> Hadir pula Presiden Yudhoyono yang memimpin upacara tersebut, serta wakil presiden, para menteri, dan kepala staf angkatan bersenjata. Puluhan ribu orang berbaris di jalan untuk melihat konvoi tersebut.<ref>{{cite magazine |last=Tedjasukmana |first=Jason |date=29 Januari 2008 |title=Indonesia Bids Farewell to Suharto |magazine=Time |access-date=9 Agustus 2009 |url=http://content.time.com/time/world/article/0,8599,1707754,00.html |archive-date=25 Juli 2014 |archive-url=https://web.archive.org/web/20140725182043/http://content.time.com/time/world/article/0,8599,1707754,00.html |url-status=live }}</ref> Ucapan belasungkawa disampaikan banyak kepala negara daerah. Presiden Yudhoyono sore itu mengumumkan satu minggu berkabung resmi terhitung sejak hari wafatnya Soeharto.<ref>{{cite web |url=http://www.abc.net.au/news/stories/2008/01/27/2147555.htm |title=Geoff Thompson, ''Suharto's body arrives home'', ABC News January 27, 2008 |publisher=ABC |location=Australia |date=27 Januari 2008 |access-date=9 Agustus 2009 |archive-date=13 Januari 2009 |archive-url=https://web.archive.org/web/20090113164831/http://www.abc.net.au/news/stories/2008/01/27/2147555.htm |url-status=live }}</ref> Pada periode ini, seluruh bendera Indonesia dikibarkan [[setengah tiang]]. |
|||
== Rehabilitasi politik == |
|||
Pada tanggal 25 September 2024, dalam salah satu undang-undang terakhirnya pada periode 2019–2024, DPR mencabut pasal 4 Ketetapan MPR XI/MPR/1998, yang menuduh Soeharto dan kroni-kroninya melakukan tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme (ayat 4 khusus bernama Soeharto). Alasannya adalah karena Soeharto tidak pernah diadili atas tuduhan tersebut sebelum kematiannya pada tahun 2008. Langkah ini memicu kembali perdebatan mengenai apakah Soeharto harus dianugerahi status Pahlawan Nasional.<ref>{{Cite web |last=Rahmawati |first=Dwi |title=MPR Cabut Nama Soeharto dari Tap MPR 11/1998 soal KKN, Ini Alasannya |url=https://news.detik.com/berita/d-7557661/mpr-cabut-nama-soeharto-dari-tap-mpr-11-1998-soal-kkn-ini-alasannya |access-date=2024-09-25 |website=detiknews |language=id-ID}}</ref> |
|||
== Penghargaan == |
|||
{{Main|Daftar penghargaan dan tanda kehormatan yang diterima Soeharto}} |
|||
=== Penghargaan nasional === |
|||
[[Berkas:Suharto with military uniform, 1997.jpg|thumb|Soeharto berseragam militer lengkap dengan beberapa tanda pangkatnya (1997)]] |
|||
Sebagai perwira di [[Tentara Nasional Indonesia]] (1940–1974), dan kemudian sebagai presiden Indonesia (1967–1998), ia menerima beberapa [[Pesanan, dekorasi, dan medali Indonesia|Dekorasi Bintang]] sipil dan militer dari Indonesia yaitu:<ref name="Soeharto">{{Cite web|url=https://gmic.co.uk/topic/50166-soeharto-odm/|title=Soeharto ODM|date=10 Juli 2011 }}</ref> |
|||
{| style="margin:1em auto; text-align:center;" |
|||
|{{Ribbon devices|number=0|type=award-star|ribbon=Pita (Ribbon) Bintang Republik Indonesia Adipurna.png|width=100}} |
|||
|{{Ribbon devices|number=0|type=award-star|ribbon=Pita (Ribbon) Bintang Mahaputera Adipurna.png|width=100}} |
|||
|{{Ribbon devices|number=0|type=award-star|ribbon=Bintang Jasa Utama Ribbon.png|width=100}} |
|||
|{{Ribbon devices|number=0|type=award-star|ribbon=Pita (Ribbon) Bintang Budaya Parama Dharma.png|width=100}} |
|||
|- |
|||
|{{Ribbon devices|number=0|type=award-star|ribbon=Pita (Ribbon) Bintang Gerilya.png|width=100}} |
|||
|{{Ribbon devices|number=0|type=award-star|ribbon=Pita (Ribbon) Bintang Sakti.png|width=100}} |
|||
|{{Ribbon devices|number=0|type=award-star|ribbon=Pita (Ribbon) Bintang Dharma.png|width=100}} |
|||
|{{Ribbon devices|number=0|type=award-star|ribbon=Bintang Yudha Dharma Utama.gif|width=100}} |
|||
|- |
|||
|{{Ribbon devices|number=0|type=award-star|ribbon=Kartika Eka Paksi Utama.gif|width=100}} |
|||
|{{Ribbon devices|number=0|type=award-star|ribbon=Pita (Ribbon) Bintang Jalasena Utama.png|width=100}} |
|||
|{{Ribbon devices|number=0|type=award-star|ribbon=Pita (Ribbon) Bintang Swa Bhuwana Paksa Utama.png|width=100}} |
|||
|{{Ribbon devices|number=0|type=award-star|ribbon=Pita (Ribbon) Bintang Bhayangkara Utama.png|width=100}} |
|||
|- |
|||
|{{Ribbon devices|number=0|type=award-star|ribbon=Kartika Eka Paksi Pratama.gif|width=100}} |
|||
|{{Ribbon devices|number=0|type=award-star|ribbon=Kartika Eka Paksi Nararya.gif|width=100}} |
|||
|{{Ribbon devices|number=0|type=award-star|ribbon=Indonesian Armed Forces "8 Years" Service Star (1945-1953).gif|width=100}} |
|||
|{{Ribbon devices|number=0|type=award-star|ribbon=Pita (Ribbon) Bintang Garuda.png|width=100}} |
|||
|- |
|||
|{{Ribbon devices|number=0|type=award-star|ribbon=Pita (Ribbon) Satyalencana Teladan.png|width=100}} |
|||
|{{Ribbon devices|number=0|type=award-star|ribbon=Satyalencana Kesetiaan XVI.gif|width=100}} |
|||
|{{Ribbon devices|number=0|type=award-star|ribbon=Satyalancana Perang Kemerdekaan I.gif|width=100}} |
|||
|{{Ribbon devices|number=0|type=award-star|ribbon=Satya Lencana Perang Kemerderkaan II.gif|width=100}} |
|||
|- |
|||
|{{Ribbon devices|number=0|type=award-star|ribbon=Satya Lencana GOM I.gif|width=100}} |
|||
|{{Ribbon devices|number=0|type=award-star|ribbon=Satyalencana G.O.M. II.gif|width=100}} |
|||
|{{Ribbon devices|number=0|type=award-star|ribbon=Satyalencana G.O.M. III.gif|width=100}} |
|||
|{{Ribbon devices|number=0|type=award-star|ribbon=Satyalencana G.O.M. IV.gif|width=100}} |
|||
|- |
|||
|{{Ribbon devices|number=0|type=award-star|ribbon=Satyalencana Satya Dharma.png|width=100}} |
|||
|{{Ribbon devices|number=0|type=award-star|ribbon=Satyalencana Wira Dharma (1963).gif|width=100}} |
|||
|{{Ribbon devices|number=0|type=award-star|ribbon=Satya Lencana Penegak.gif|width=100}} |
|||
|{{Ribbon devices|number=0|type=award-star|ribbon=Pita (Ribbon) Medali Veteran Perdamaian.png|width=100}} |
|||
|} |
|||
{| class="wikitable" width="70%" style="margin:1em auto; text-align:center;" |
|||
|- |
|||
!Baris ke-1 |
|||
| colspan="1"|[[Bintang Republik Indonesia Adipurna]] (27 Mei 1988)<ref>{{Cite web|date=7 Januari 2020|title=Daftar WNI yang Menerima Tanda Kehormatan Republik Indonesia Tahun 1959–sekarang|url=https://cdn.setneg.go.id/_multimedia/document/20200107/3822wni_penerima_tanda_kehormatan_bintang_republik_indonesia_1959_sekarang.pdf|publisher=Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia|access-date=12 Agustus 2021|archive-date=2021-07-29|archive-url=https://web.archive.org/web/20210729004106/https://cdn.setneg.go.id/_multimedia/document/20200107/3822wni_penerima_tanda_kehormatan_bintang_republik_indonesia_1959_sekarang.pdf|dead-url=no}}</ref> |
|||
| colspan="1"|[[Bintang Mahaputera Adipurna]] (27 Mei 1988)<ref>{{cite book |title=Daftar WNI yang Mendapat Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera tahun 1959 s.d. 2003 |url=https://cdn.setneg.go.id/_multimedia/document/20180910/41462-Bintang_Mahaputera_tahun_1959-2003.pdf |access-date=4 Oktober 2021}}</ref> |
|||
| colspan="1"|[[Bintang Jasa Utama]] (27 Mei 1988)<ref>{{cite book |title=Daftar WNI yang Menerima Anugerah Bintang Jasa Tahun 1964 - 2003 |url=https://cdn.setneg.go.id/_multimedia/document/20180910/44364-Bintang_Jasa_tahun_1964-2003.pdf |access-date=4 Oktober 2021}}</ref> |
|||
| colspan="1"|[[Bintang Budaya Parama Dharma]] (27 Mei 1988)<ref>{{Cite web|date=30 Januari 2017|title=Daftar WNI yang Memperoleh Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma Tahun 2004–sekarang|url=https://cdn.setneg.go.id/_multimedia/document/20171030/270827088._Bintang_Budaya_Parama_Dharma_tahun_2004-sekarang.pdf|publisher=Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia|access-date=12 Agustus 2021|archive-date=2021-05-13|archive-url=https://web.archive.org/web/20210513140716/https://cdn.setneg.go.id/_multimedia/document/20171030/270827088._Bintang_Budaya_Parama_Dharma_tahun_2004-sekarang.pdf|dead-url=no}}</ref> |
|||
|- |
|||
!Baris ke-2 |
|||
| colspan="1"|[[Bintang Gerilya]] |
|||
| colspan="1"|[[Bintang Sakti]] |
|||
| colspan="1"|[[Bintang Dharma]] |
|||
| colspan="1"|[[Bintang Yudha Dharma|Bintang Yudha Dharma Utama]] |
|||
|- |
|||
!Baris ke-3 |
|||
| colspan="1"|[[Bintang Kartika Eka Paksi|Bintang Kartika Eka Paksi Utama]] |
|||
| colspan="1"|[[Bintang Jalasena|Bintang Jalasena Utama]] |
|||
| colspan="1"|[[Bintang Swa Bhuwana Paksa|Bintang Swa Bhuwana Paksa Utama]] |
|||
| colspan="1"|[[Bintang Bhayangkara|Bintang Bhayangkara Utama]] |
|||
|- |
|||
!Baris ke-4 |
|||
| colspan="1"|[[Bintang Kartika Eka Paksi|Bintang Kartika Eka Paksi Pratama]] |
|||
| colspan="1"|[[Bintang Kartika Eka Paksi|Bintang Kartika Eka Paksi Nararya]] |
|||
| colspan="1"|[[Bintang Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia]] |
|||
| colspan="1"|[[Bintang Garuda]] |
|||
|- |
|||
!Baris ke-5 |
|||
| colspan="1"|[[Daftar tanda kehormatan di Indonesia#Satyalancana|Satyalancana Teladan]] |
|||
| colspan="1"|[[Satyalancana Kesetiaan]] 16 Tahun |
|||
| colspan="1"|[[Satyalancana Perang Kemerdekaan I]] |
|||
| colspan="1"|[[Satyalancana Perang Kemerdekaan II]] |
|||
|- |
|||
!Baris ke-6 |
|||
| colspan="1"|[[Satyalancana G.O.M I]] |
|||
| colspan="1"|[[Satyalancana G.O.M II]] |
|||
| colspan="1"|[[Satyalancana G.O.M III]] |
|||
| colspan="1"|[[Satyalancana G.O.M IV]] |
|||
|- |
|||
!Baris ke-7 |
|||
| colspan="1"|[[Daftar tanda kehormatan di Indonesia#Bekas|Satyalancana Satya Dharma]] |
|||
| colspan="1"|[[Satyalancana Wira Dharma]] |
|||
| colspan="1"|[[Satyalancana Penegak]] |
|||
| colspan="1"|Bintang Legiun Veteran Republik Indonesia (1989)<ref>{{Cite web|last=Tempomedia|title=Penghargaan bintang LVRI|url=https://majalah.tempo.co/read/album/22261/penghargaan-bintang-lvri|website=majalah.tempo.co|language=en|access-date=2023-04-18}}</ref> |
|||
|} |
|||
=== Luar Negeri === |
|||
* {{flag|Afrika Selatan}} : |
|||
** [[File:Ord.GoodHope-ribbon.gif|70px]] Grand Cross of the [[:en:Order of Good Hope|Order of Good Hope]] (1997)<ref>{{Cite web|date=2023-12-03|title=Indonesian President Mohamed Suharto and South African President...|url=https://www.gettyimages.com/detail/news-photo/indonesian-president-mohamed-suharto-and-south-african-news-photo/1819260926|website=Getty Images|language=en-us|access-date=2024-07-21}}</ref> |
|||
* {{flag|Arab Saudi}} : |
|||
** [[File:Decoration without ribbon - en.svg|70px]] Collar of the [[:en:Orders, decorations, and medals of Saudi Arabia|Order of Badr Chain]] (1977) |
|||
* {{flag|Austria}} : |
|||
** [[File:AUT Honour for Services to the Republic of Austria - 1st Class BAR.png|70px]] Grand Star of the [[:en:Decoration of Honour for Services to the Republic of Austria|Decoration of Honour for Services to the Republic of Austria]] (1972)<ref>{{Citation|title=SYND 17-11-72 PRESIDENT SUHARTO ARRIVES IN AUSTRIA|url=https://www.youtube.com/watch?v=QMcwlfgc65U|accessdate=2024-03-06|language=id-ID}}</ref> |
|||
* {{flag|Belanda}} : |
|||
** [[File:NLD Order of the Dutch Lion - Grand Cross BAR.png|70px]] Knight Grand Cross of the [[:en:Order of the Netherlands Lion|Order of the Netherlands Lion]] (1970) |
|||
**[[File:Order of the Golden Ark.png|70px]] Commander of the Most Excellent [[:en:Order of the Golden Ark|Order of the Golden Ark]]<ref>{{Cite book|last=Galangpress Group|first=Indonesia|date=2008|url=https://books.google.co.id/books?id=0YXf3zA8gsUC&pg=PA34&dq=bintang+republik+indonesia+adipurna&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwinqujwvoqEAxW82DgGHavcAy0Q6AF6BAgGEAI#v=onepage&q=bintang%20republik%20indonesia%20adipurna&f=false|title=Mereka mengkhianati saya: sikap anak-anak emas Soeharto di penghujung Orde Baru|location=Indonesia|publisher=Femi Adi Soempeno|pages=35|url-status=live}}</ref> |
|||
* {{flag|Belgia}} : |
|||
**[[File:Grand Crest Ordre de Leopold.png|70px]] Grand Cordon of the [[:en:Order of Leopold (Belgium)|Order of Leopold]] (1973) |
|||
* {{Flag|Britania Raya}} : |
|||
** [[File:Order of the Bath UK ribbon.svg|70px]] Honorary Knight Grand Cross ''(Military Division)'' of the Most Honourable [[:en:Order of the Bath|Order of the Bath]] (GCB) (1974)<ref>{{Cite book|last=Kedutaan Besar (U.S.)|first=Indonesia|date=1974|url=https://www.google.co.id/books/edition/Indonesian_News_and_Views/YF_GjjP8o0UC?hl=id&gbpv=1&dq=air+chief+marshal+indonesian+grand+cross&pg=PA21&printsec=frontcover|title=Indonesian News and Views|location=Indonesia|publisher=Embassy of Indonesia, Information Division.|url-status=live}}</ref> |
|||
* {{flag|Brunei}} : |
|||
** [[Berkas:BRU Royal Family Order of the Crown of Brunei.svg|nirbing|70x70px]] [[Darjah Kerabat Mahkota Brunei]] (DKMB) (1988)<ref>{{Cite web|title=PRESIDEN SOEHARTO TERIMA UTUSAN KHUSUS SULTAN BRUNEI DARUSSALAM {{!}} ANTARA Foto|url=https://www.antarafoto.com/id/view/1975653/presiden-soeharto-terima-utusan-khusus-sultan-brunei-darussalam|website=antarafoto.com|language=id|access-date=2024-02-06}}</ref><ref>{{cite news|url=https://eresources.nlb.gov.sg/newspapers/digitised/article/straitstimes19880924-1.2.18.2|title=Suharto gets Brunei's highest state award|work=[[The Straits Times]]|date=24 September 1988 1988|language=en|pages=8}}</ref> |
|||
** [[File:Family Order of Laila Utama of Brunei ribbon bar.png|70px]] [[Darjah Kerabat Laila Utama|Darjah Kerabat Laila Utama Yang Amat Dihormati]] (DK) (1988) |
|||
* {{Negara|Kekaisaran Etiopia}} [[Kekaisaran Etiopia]] : |
|||
** [[File:Order of The Queen of Sheba (Ethiopia) ribbon.gif|70px]] Grand Cordon with Collar of the [[:en:Order of the Queen of Sheba|Order of the Queen of Sheba]] (1968) |
|||
* {{flag|Filipina}} : |
|||
** [[File:PHI Order of Sikatuna 2003 Grand Collar BAR.svg|70px]] Grand Collar of the [[Order of Sikatuna]], Rank of Raja (GCS) (1968) |
|||
** [[File:PHI Order of the Golden Heart var2 Grand Collar BAR.svg|70px]] Grand Collar of the [[:en:Order of the Golden Heart (Philippines)|Order of the Golden Heart]] (GCGH) (1968) |
|||
* {{flagicon|Iran|1964}} [[Dinasti Pahlavi|Kekaisaran Iran]] : |
|||
** [[File:Order of Pahlavi Ribbon Bar - Imperial Iran.svg|70px]] 1st Class of the [[:en:Order of Pahlavi|Order of Pahlavi]] |
|||
** [[File:Medal of the 25th Century of the Monarchy.gif|70px]] [[:en:2,500 year celebration of the Persian Empire|Commemorative Medal of the 2,500 year Celebration of the Persian Empire]] (1971) |
|||
* {{flag|Italia}} : |
|||
** [[File:Cordone di gran Croce di Gran Cordone OMRI BAR.svg|70px]] Knight Grand Cross with Collar of the [[:en:Order of Merit of the Italian Republic|Order of Merit of the Italian Republic]] (OMRI) (1972)<ref>[http://www.quirinale.it/elementi/DettaglioOnorificenze.aspx?decorato=34742 Sito web del Quirinale: dettaglio decorato.]</ref> |
|||
* {{flag|Jepang}} : |
|||
** [[File:JPN Daikun'i kikkasho BAR.svg|70px]] Grand Cordon of the [[:en:Order of the Chrysanthemum|Supreme Order of the Chrysanthemum]] (1968) |
|||
* {{flag|Jerman Barat}} : |
|||
** [[File:GER Bundesverdienstkreuz 9 Sond des Grosskreuzes.svg|70px]] Grand Cross Special Class of the [[:en:Order of Merit of the Federal Republic of Germany|Order of Merit of the Federal Republic of Germany]] (1970) |
|||
* {{flag|Kamboja}} : |
|||
** [[File:KHM National Independence Medal.png|70px]] Grand Collar of the National [[:en:Orders, decorations, and medals of Cambodia|Order of Independence]] (April 1968)<ref>{{Cite web|title=Indochina Medals - Cambodia - CM02 National Order of Independence|url=http://indochinamedals.com/cambodia/cm02_national_order_of_independence.html|website=indochinamedals.com|access-date=2024-05-17}}</ref> |
|||
* {{flag|Kuwait}} : |
|||
** [[File:Order of Mubarak the Great (Kuwait) - ribbon bar.gif|70px]] Collar of the [[:en:Order of Mubarak the Great|Order of Mubarak the Great]] (1977) |
|||
* {{flag|Korea Selatan}} : |
|||
** [[File:Grand Order of Mugunghwa (South Korea) - ribbon bar.svg|70px]] [[:en:Grand Order of Mugunghwa|Grand Order of Mugunghwa]] (1981) |
|||
* {{flag|Malaysia}} : |
|||
** [[File:Order of the Crown of the Realm ribbon bar.png|70px]] [[Darjah Utama Seri Mahkota Negara]] (DMN) (1988) |
|||
** {{flag|Johor}} : |
|||
*** [[File:Most Esteemed Royal Family Order of Johor - ribbon bar.svg|70px]] [[:en:Royal Family Order of Johor|Darjah Kerabat Johor Yang Amat Dihormati]] (DK I) (1987)<ref>{{cite news|url=https://eresources.nlb.gov.sg/newspapers/digitised/article/straitstimes19870206-1.2.20.1|title=King confers highest award on Suharto|work=[[The Straits Times]]|language=en|date=6 Februari 1987|pages=8}}</ref> |
|||
** {{flag|Perak}} : |
|||
*** [[File:MY-PERA Royal Family Order of Perak - DK (before 2001).svg|70px]] [[:en:Orders, decorations, and medals of Perak|Darjah Kerabat Diraja Yang Amat Dihormati]] (DK) (1988) |
|||
* {{flag|Mesir}} : |
|||
** [[File:EGY Order of the Nile - Grand Cordon BAR.png|70px]] Grand Collar of the [[:en:Order of the Nile|Order of the Nile]] (1977) |
|||
* {{flag|Pakistan}} : |
|||
** [[File:Order of Pakistan.png|70px]] [[:en:Nishan-e-Pakistan|Nishan-e-Pakistan]] (NPk) (1982) |
|||
* {{flag|Perancis}} : |
|||
** [[File:Legion Honneur GC ribbon.svg|70px]] Grand Cross of the National [[:en:Legion of Honour|Order of the Legion of Honour]] (1972)<ref>{{Citation|title=SYND 14-11-72 PRESIDENT SUHARTO OF INDONESIA VISIT TO PARIS|url=https://www.youtube.com/watch?v=7rXP414gRLw|accessdate=2024-03-06|language=id-ID}}</ref> |
|||
* {{flag|Qatar}} : |
|||
** [[File:Order of Independence (Qatar) - ribbon bar.gif|70px]] Collar of the Order of the Independence (1977)<ref>{{Cite web|date=2022-07-13|title=Penghargaan - Situs Web Kepustakaan Presiden-Presiden Republik Indonesia|url=https://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id/award/?box=detail&id=79&from_box=list&hlm=1&search_ruas=&search_keyword=&activation_status=&presiden_id=2&presiden=suharto|website=web.archive.org|access-date=2023-04-13|archive-date=2022-07-13|archive-url=https://web.archive.org/web/20220713115318/https://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id/award/?box=detail&id=79&from_box=list&hlm=1&search_ruas=&search_keyword=&activation_status=&presiden_id=2&presiden=suharto|dead-url=unfit}}</ref> |
|||
* {{flag|Romania|1965}} : |
|||
** [[File:Order of the Star of Romania - Ribbon bar.svg|70px]] First Class of the [[:en:Order of the Star of the Romanian Socialist Republic|Order of the Star of the Romanian Socialist Republic]] (1982) |
|||
* {{flag|Singapura}} : |
|||
** [[File:Darjah Utama Temasek ribbon (1962–1996) ribbon.png|70px]] [[:en:Darjah Utama Temasek|Darjah Utama Temasek]] (DUT) (1974)<ref>{{Cite web|last=Author|first=Author|date=1974-08-30|title=Pingat 'Darjah Utama Temasik' untuk Suharto dari Sheares|url=https://eresources.nlb.gov.sg/newspapers/digitised/article/beritaharian19740830-1.2.33?qt=bintang,%20indonesia&q=Bintang%20Indonesia|website=NewspaperSG|access-date=2024-07-20}}</ref> |
|||
* {{flag|Spanyol}} : |
|||
** [[File:Order of Isabella the Catholic - Sash of Collar.svg|70px]] Knight Grand Cross with Collar of the [[:en:Order of Isabella the Catholic|Order of Isabella the Catholic]] (CoYC) (1980)<ref>{{cite web|url=https://www.boe.es/boe/dias/1981/06/15/pdfs/A13615-13615.pdf|title=Bollettino Ufficiale di Stato}}</ref> |
|||
* {{flag|Syria}} : |
|||
** [[File:Order Of Ummayad (Syria) - ribbon bar.gif|70px]] Member 1st Class of the [[:en:Order of the Umayyads|Order of the Umayyads]] (1977) |
|||
* {{flag|Thailand}} : |
|||
** [[File:Order of the Rajamitrabhorn (Thailand) ribbon.svg|70px]] Knight of the Most Auspicious [[:en:Order of the Rajamitrabhorn|Order of the Rajamitrabhorn]] (KRM) (1970) |
|||
* {{flag|Ukraina}} : |
|||
** [[File:Order of Prince Yaroslav the Wise 1st 2nd and 3rd Class of Ukraine.png|70px]] 1st Class of the [[:en:Order of Prince Yaroslav the Wise|Order of Prince Yaroslav the Wise]] (1997) |
|||
* {{flag|Uni Emirat Arab}} : |
|||
**[[File:Order of Union Sash.gif|70px]] Grand Cordon with Collar of the Order of Unity (1990) |
|||
* {{flag|Venezuela}} : |
|||
** [[File:VEN Order of the Liberator - Grand Cordon BAR.png|70px]] Grand Cordon with Collar of the [[:en:Order of the Liberator|Order of the Liberator]] (1988) |
|||
* {{flag|Yaman}} : |
|||
** [[File:Pasador Emblema de la República.svg|70px]] Collar of the Order of the Republic<ref>{{Cite web|date=2022-07-13|title=Penghargaan - Situs Web Kepustakaan Presiden-Presiden Republik Indonesia|url=https://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id/award/?box=detail&id=89&from_box=list&hlm=1&search_ruas=&search_keyword=&activation_status=&presiden_id=2&presiden=suharto|website=web.archive.org|access-date=2023-04-13|archive-date=2022-07-13|archive-url=https://web.archive.org/web/20220713115431/https://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id/award/?box=detail&id=89&from_box=list&hlm=1&search_ruas=&search_keyword=&activation_status=&presiden_id=2&presiden=suharto|dead-url=unfit}}</ref> |
|||
* {{flag|Yordania}} : |
|||
** [[File:JOR Al-Hussein ibn Ali Order BAR.svg|70px]] Grand Cordon with Collar of the [[:en:Order of Al-Hussein bin Ali|Order of Al-Hussein bin Ali]] (1986) |
|||
* {{flag|Yugoslavia}} : |
|||
** [[File:Order of the Yugoslavian Great Star Rib.png|70px]] Yugoslav Great Star of the [[:en:Order of the Yugoslav Star|Order of the Yugoslav Star]] (1975) |
|||
== Dalam budaya populer == |
|||
Soeharto telah diperankan oleh lima aktor Indonesia di beberapa film.<ref>{{cite web|url=https://historia.id/kultur/articles/lima-aktor-pemeran-soeharto-PekoW/page/1|title=Lima Aktor Pemeran Soeharto|website=Historia.id|author=Randy Wirayudha|date=17 April 2018|access-date=27 Februari 2024|language=id}}</ref> |
|||
* Kaharuddin Syah memerankan Soeharto dalam film ''[[Janur Kuning]]'' tahun 1980 yang disutradarai oleh Alam Surawidjaja. |
|||
* Antonius Yacobus memerankan Soeharto dalam film tahun 1982 ''[[Serangan Fajar]]'' yang disutradarai oleh [[Arifin C. Noer]]. |
|||
* [[Amoroso Katamsi]] memerankan Soeharto dalam film ''[[Pengkhianatan G30S/PKI]]'' tahun 1984 dan film ''Djakarta 66'' tahun 1988 yang disutradarai oleh Arifin C. Noer. Amoroso Katamsi juga memerankan Soeharto dalam film drama tahun 2015 ''[[Behind 98|Di Balik 98]]'' yang disutradarai oleh [[Lukman Sardi]]. |
|||
* Marcell Siahaan memerankan Soeharto dalam film komedi 2010 ''[[Laskar Pemimpi]]'' yang disutradarai oleh [[Monty Tiwa]]. |
|||
* [[Tio Pakusadewo]] memerankan Soeharto dalam film biopik tahun 2012 ''[[Habibie & Ainun]]'' yang disutradarai oleh Faozan Rizal. |
|||
== Lihat pula == |
|||
{{Commons category|Suharto}} |
|||
* [[Sejarah Indonesia]] |
|||
* [[Daftar Panglima Besar Revolusi Nasional Indonesia|Panglima Besar Revolusi Nasional Indonesia]] |
|||
* ''[[Asas tunggal Pancasila]]'' |
|||
== Catatan == |
|||
{{notelist}} |
|||
== Referensi == |
|||
{{reflist}} |
|||
== Daftar pustaka == |
|||
* {{cite book |last1=Dwipayana |first1=G. |last2=Ramadhan |first2=K.H. |date=1989 |title=Soeharto: Pikiran, ucapan dan tindakan saya: otobiografi |location=Jakarta |publisher=PT Citra Lamtoro Gung Persada |isbn=979-8085-01-9}} |
|||
* Elson, R.E. (2001). ''Suharto: A Political Biography'', Cambridge: Cambridge University Press, 2001. {{ISBN|0 521 77326 1}} |
|||
* McGlynn, John H. et al. (2007). ''Indonesia in the Soeharto years. Issue, incidents and images'', Jakarta, [[KITLV]] |
|||
* {{cite book|url=https://books.google.com/books?id=4GHJ2IPtmEgC&q=soeharto&pg=PA12|title=Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia's Second President: An Authorised Biography|isbn=978-981-261-340-0|last1=Abdulgani-Knapp|first1=Retnowati|date=2007|page=12|publisher=Marshall Cavendish Editions}} |
|||
* [[Siti Hardiyanti Rukmana]] (2011). ''Pak Harto: The Untold Stories'', Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. |
|||
== Pranala luar == |
|||
* [https://www.pbs.org/wnet/shadowplay ''Shadow Play''] Situs web yang menyertai film dokumenter [[Layanan Penyiaran Publik|PBS]] tahun 2002 tentang Indonesia, dengan penekanan pada era Soeharto dan awal ''Reformasi'' |
|||
* [https://web.archive.org/web/20010128132000/http://www.time.com/time/asia/asia/magazine/1999/990524/index.html "Suharto, Inc."] 1999 ''[[Time (majalah)|Time]]'' artikel majalah tentang kepresidenan dan keluarga Soeharto, diterbitkan pada ulang tahun pertama pengunduran dirinya |
|||
* [http://News.bbc.co.uk/2/hi/in_pictures/4528925.stm "Life in pictures: Indonesia's Suharto"] [[BBC News]] – Foto-foto tentang kehidupan Soeharto, mulai dari kebangkitannya hingga kejatuhannya dan persidangannya |
|||
{{clr}} |
|||
{{Kotak_suksesi | jabatan = [[Presiden Republik Indonesia]] | tahun = 1967 - 1998 | pendahulu = [[Soekarno]] | pengganti = [[BJ Habibie]]}} |
|||
{{kotak mulai}} |
|||
{{s-off}} |
|||
{{Kotak suksesi |jabatan = [[Presiden Indonesia]] |tahun = 1967–1998 |pendahulu = [[Soekarno]] |pengganti = [[BJ Habibie]]}} |
|||
{{Kotak suksesi |jabatan = [[Daftar Menteri Pertahanan Indonesia|Menteri Pertahanan Indonesia]] |tahun = 1966–1971 |pendahulu =[[M. Sarbini]] |pengganti =[[Maraden Panggabean]]}} |
|||
{{S-bef|before=[[Soekarno]]|as=Perdana Menteri}} |
|||
{{S-ttl|title= [[Daftar Perdana Menteri Indonesia|Ketua Presidium Kabinet Indonesia]]|years=1966–1967}} |
|||
{{S-non|reason=Jabatan dihapuskan}} |
|||
{{s-mil}} |
|||
{{kotak suksesi|jabatan=[[Panglima ABRI]]|pendahulu=[[Soedirman]]|pengganti=[[Maraden Panggabean]]|tahun=1968–1973}} |
|||
{{kotak suksesi|jabatan=[[Kepala Staf TNI Angkatan Darat]]|pendahulu=[[Ahmad Yani]]|pengganti=[[Maraden Panggabean]]|tahun=1966–1968}} |
|||
{{S-new}} |
|||
{{S-ttl|title=[[Panglima Komando Strategi dan Cadangan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat|Pangkostrad]]|years=1963–1965}} |
|||
{{s-aft |after = [[Umar Wirahadikusumah]]}} |
|||
{{s-gov}} |
|||
{{kotak suksesi|jabatan=[[Badan Intelijen Negara|Kepala Badan Pusat Intelijen]]|pendahulu=[[Soebandrio]]|pengganti=[[Yoga Soegomo]]|tahun=1965–1966}} |
|||
{{s-dip}} |
|||
|- |
|||
{{s-bef|before=[[Dobrica Ćosić]]}} |
|||
{{s-ttl|title=Sekretaris Jenderal [[Gerakan Non-Blok]]|years=1992–1995}} |
|||
{{s-aft|after=[[Ernesto Samper Pizano]]}} |
|||
|- |
|||
{{s-bef|before=[[Bill Clinton]]}} |
|||
{{s-ttl|title=Ketua [[Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik]]|years=1994}} |
|||
{{s-aft|after=[[Tomiichi Murayama]]}} |
|||
{{kotak selesai}} |
|||
{{Kelompok templat |
|||
|list1 = |
|||
{{Soeharto}} |
|||
{{Presiden Indonesia}} |
|||
{{Kabinet Pembangunan VII}} |
|||
{{Kabinet Pembangunan VI}} |
|||
{{Kabinet Pembangunan V}} |
|||
{{Kabinet Pembangunan IV}} |
|||
{{Kabinet Pembangunan III}} |
|||
{{Kabinet Pembangunan II}} |
|||
{{Kabinet Pembangunan I}} |
|||
{{Kabinet Ampera II}} |
|||
{{Kabinet Ampera I}} |
|||
{{Perdana Menteri Indonesia}} |
|||
{{Wakil Perdana Menteri Indonesia (1960-1966)}} |
|||
{{Sekretaris Jenderal Gerakan Non-Blok}} |
|||
{{Panglima TNI}} |
|||
{{Kepala Staf TNI Angkatan Darat}} |
|||
{{Pangkostrad}} |
|||
{{Perang Dingin}} |
|||
{{Partai Golongan Karya}} |
|||
}} |
|||
{{Authority control}} |
|||
{{Kotak_selesai}} |
|||
{{lifetime|1921|2008|Soeharto}} |
|||
[[kategori:Kelahiran 1921]] |
|||
[[kategori:Presiden Indonesia]] |
|||
[[kategori:Politisi Indonesia]] |
|||
{{DEFAULTSORT:Soeharto}} |
|||
[[de:Hadji Mohamed Suharto]] |
|||
[[Kategori:Tokoh militer Indonesia]] |
|||
[[en:Suharto]] |
|||
[[ |
[[Kategori:Tokoh TNI]] |
||
[[Kategori:Tokoh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat]] |
|||
[[fr:Suharto]] |
|||
[[Kategori:Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat| ]] |
|||
[[it:Suharto]] |
|||
[[Kategori:Panglima Tentara Nasional Indonesia]] |
|||
[[ja:スハルト]] |
|||
[[Kategori:Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat]] |
|||
[[ms:Suharto]] |
|||
[[Kategori:Panglima Komando Daerah Militer IV/Diponegoro]] |
|||
[[nl:Soeharto]] |
|||
[[Kategori:Panglima Komando Daerah Militer XII/Tanjungpura]] |
|||
[[pl:Suharto]] |
|||
[[ |
[[Kategori:Tokoh Jawa]] |
||
[[Kategori:Tokoh Yogyakarta]] |
|||
[[Kategori:Tokoh Bantul]] |
|||
[[Kategori:Tokoh dari Kapanewon Sedayu]] |
|||
[[Kategori:Tokoh Angkatan 45]] |
|||
[[Kategori:Politikus Indonesia]] |
|||
[[Kategori:Tokoh Orde Baru]] |
|||
[[Kategori:Politikus Partai Golongan Karya]] |
|||
[[Kategori:Presiden Indonesia]] |
|||
[[Kategori:Penerima Bintang Republik Indonesia Adipurna]] |
|||
[[Kategori:Penerima Bintang Jasa Utama]] |
|||
[[Kategori:Soeharto| ]] |
|||
[[Kategori:Kesatria Salib Agung Orde Singa Belanda]] |
|||
[[Kategori:Penerima Bintang Sewindu APRI]] |
Revisi terkini sejak 31 Oktober 2024 10.33
| ||
---|---|---|
Presiden Indonesia
Kebijakan
|
||
Jenderal Besar TNI (Purn.) Soeharto[b][c] (8 Juni 1921 – 27 Januari 2008) adalah seorang perwira militer Indonesia dan Presiden Indonesia kedua. Secara luas dianggap sebagai diktator militer oleh pengamat internasional, Soeharto memimpin Indonesia sebagai rezim otoriter dari tahun 1967 hingga pengunduran dirinya pada tahun 1998 setelah kerusuhan secara nasional.[3][4][5] Kediktatorannya selama 31 tahun dianggap sebagai salah satu kediktatoran paling brutal dan korup di abad ke-20: ia berperan penting dalam perbuatan pembunuhan massal terhadap tuduhan komunis dan berikutnya penganiayaan terhadap etnis Tionghoa, orang-orang yang tidak beragama, dan anggota serikat pekerja.[6][7][8]
Soeharto lahir di Kemusuk, dekat kota Yogyakarta, pada masa kolonial Belanda.[9] Ia tumbuh dalam keadaan yang sederhana.[10] Orang tua Jawa yang beragama Islam bercerai tidak lama setelah kelahirannya, dan ia tinggal bersama orang tua asuh hampir sepanjang masa kecilnya. Pada masa pendudukan Jepang, Soeharto bertugas di pasukan keamanan Indonesia yang diorganisir Jepang. Selama perjuangan kemerdekaan Indonesia, ia bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia yang baru dibentuk dan naik pangkat Mayor Jenderal beberapa saat setelah kemerdekaan penuh Indonesia tercapai. Percobaan kudeta pada tanggal 30 September dan 1 Oktober 1965 berhasil dilawan oleh pasukan pimpinan Soeharto. Tentara kemudian memimpin pembersihan anti-komunis dengan kekerasan dan Suharto merebut kekuasaan dari presiden pendiri Indonesia, Soekarno. Dia diangkat penjabat presiden pada tahun 1967 dan terpilih sebagai presiden pada tahun berikutnya. Dia kemudian melancarkan kampanye sosial yang dikenal sebagai "de-Sukarnoisasi" untuk mengurangi pengaruh mantan presiden tersebut. Soeharto memerintahkan invasi ke Timor Timur pada tahun 1975, diikuti dengan pendudukan negara selama 23 tahun yang mematikan dan genosida. Pada tahun 1990an, otoritarianisme Orde Baru semakin meningkat dan korupsi yang meluas[11][12] adalah sumber ketidakpuasan dan, setelah Krisis finansial Asia 1997 yang menyebabkan kerusuhan yang meluas, ia mengundurkan diri pada Mei 1998.
Di bawah pemerintahan "Orde Baru", Suharto membangun pemerintahan yang kuat, terpusat, dan didominasi militer. Apa yang dimulai sebagai oligarki kediktatoran militer berkembang menjadi rezim otoritarian personalistik yang berpusat di sekelilingnya.[13] Kemampuannya untuk menjaga stabilitas di Indonesia yang luas dan beragam serta sikap anti-komunis yang jelas membuatnya mendapatkan dukungan ekonomi dan diplomatik dari Barat selama Perang Dingin. Selama sebagian besar masa kepresidenannya, Indonesia mengalami industrialisasi yang signifikan, pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan tingkat pendidikan.[14][15] Alhasil, ia diberi gelar “Bapak Pembangunan”.[16] Menurut Transparency International, Soeharto adalah salah satu pemimpin paling korup dalam sejarah modern, dengan menggelapkan dugaan US$15–35 miliar selama masa pemerintahannya.[17][18] Soeharto meninggal pada Januari 2008.
Soeharto tetap menjadi sosok yang kontroversial dan memecah belah masyarakat umum Indonesia. Banyak masyarakat Indonesia yang memuji pemerintahannya selama 31 tahun atas pembangunan ekonomi, industrialisasi yang pesat, dan stabilitas politik yang dirasakannya, sementara sebagian lainnya mengecam pemerintahan diktatornya, pelanggaran hak asasi manusia yang ekstensif, dan korupsi.[19][20] Rencana pemberian status Pahlawan Nasional kepada Soeharto sedang dipertimbangkan oleh pemerintah Indonesia dan telah diperdebatkan dengan penuh semangat.[21]
Nama
Seperti kebanyakan Orang Jawa, Soeharto memiliki hanya satu nama.[12] Konteks keagamaan dalam beberapa tahun terakhir terkadang menyebutnya sebagai Haji/Al- Haji Mohammed Suharto, namun nama-nama tersebut bukan merupakan bagian dari nama resminya dan juga tidak digunakan secara umum. Ejaan "Suharto" mencerminkan ortografi Indonesia modern, meskipun pendekatan umum di Indonesia mengandalkan ejaan yang disukai oleh yang bersangkutan. Pada saat kelahirannya, transkripsi standar adalah Soeharto, dan dia menggunakan ejaan aslinya sepanjang hidupnya. Pers internasional berbahasa Inggris umumnya menggunakan ejaan "Suharto" sedangkan pemerintah dan media Indonesia menggunakan "Soeharto".[22]
Kehidupan awal dan keluarga
Soeharto lahir pada tanggal 8 Juni 1921 di sebuah rumah berdinding anyaman bambu di dusun Kemusuk, bagian dari desa Godean yang lebih besar, yang saat itu merupakan bagian dari Hindia Belanda. Desa ini terletak 15 kilometer (9 mi) sebelah barat Yogyakarta, jantung budaya Jawa.[15][23] Lahir dari orang tua beretnis Jawa, ia merupakan anak tunggal dari pernikahan kedua ayahnya. Ayahnya, Kertosudiro, memiliki dua orang anak dari pernikahan sebelumnya dan merupakan seorang petugas pengairan desa. Ibunya, Sukirah, seorang wanita setempat, mempunyai hubungan jauh dengan Hamengkubuwono V melalui selir pertamanya.[24] Lima minggu setelah kelahiran Soeharto, ibunya menderita gangguan saraf; ia ditempatkan dalam perawatan bibi buyut dari pihak ayah, Kromodirjo sebagai hasilnya.[25] Kertosudiro dan Sukirah bercerai di awal kehidupan Suharto dan keduanya kemudian menikah lagi. Pada usia tiga tahun, Soeharto dikembalikan kepada ibunya, yang menikah dengan seorang petani setempat yang dibantu Soeharto di sawah.[25] Pada tahun 1929, ayah Soeharto membawanya untuk tinggal bersama saudara perempuannya, yang menikah dengan seorang pengawas pertanian, Prawirowihardjo, di kota Wuryantoro di daerah pertanian miskin dan hasil rendah dekat Wonogiri. Selama dua tahun berikutnya, ia dibawa kembali ke ibunya di Kemusuk oleh ayah tirinya dan kemudian kembali lagi ke Wuryantoro oleh ayahnya.[26]
Prawirowihardjo membesarkan anak laki-laki itu sebagai anaknya sendiri, yang memberi Suharto sosok ayah dan rumah yang stabil di Wuryantoro. Pada tahun 1931, ia pindah ke kota Wonogiri untuk bersekolah di sekolah dasar, pertama-tama tinggal bersama putra Prawirohardjo, Sulardi, dan kemudian dengan kerabat ayahnya, Hardjowijono. Saat tinggal bersama Hardjowijono, Soeharto berkenalan dengan Darjatmo, seorang dukun seni mistik Jawa dan penyembuhan iman. Pengalaman tersebut sangat mempengaruhinya dan kemudian, sebagai presiden, Soeharto mengelilingi dirinya dengan bahasa simbolik yang kuat.[15] Kesulitan dalam membayar biaya pendidikannya di Wonogiri mengakibatkan ia kembali pindah ke ayahnya di Kemusuk, di mana ia melanjutkan belajar di Schakel Muhammadiyah (sekolah menengah pertama) dengan biaya lebih rendah di kota Yogyakarta hingga tahun 1938.[26][27] Pola asuh Suharto berbeda dengan tokoh nasionalis terkemuka di Indonesia seperti Sukarno karena ia diyakini tidak begitu tertarik pada anti-kolonialisme, atau kepentingan politik di luar lingkungan terdekatnya. Berbeda dengan Sukarno dan lingkarannya, Suharto hanya mempunyai sedikit atau bahkan tidak ada kontak sama sekali dengan penjajah Eropa. Akibatnya, ia tidak belajar berbicara Belanda atau bahasa Eropa lainnya di masa mudanya. Ia belajar berbicara bahasa Belanda setelah dilantik menjadi militer Belanda pada tahun 1940.[27]
Karier militer
Masa pendudukan Jepang
Soeharto menyelesaikan sekolah menengah pada usia 18 tahun dan mengambil pekerjaan administrasi di sebuah bank di Wuryantaro. Dia terpaksa mengundurkan diri setelah kecelakaan sepeda merobek satu-satunya pakaian kerjanya.[28] Setelah sempat menganggur, dia bergabung dengan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL ) pada bulan Juni 1940 dan mengikuti pelatihan dasar di Gombong dekat Yogyakarta. Ketika Belanda berada di bawah pendudukan Jerman dan Jepang mendesak untuk mendapatkan akses terhadap pasokan minyak Indonesia, Belanda telah membuka KNIL bagi sejumlah besar orang Jawa yang sebelumnya tidak diikutsertakan.[29] Soeharto ditugaskan ke Batalyon XIII di Rampal, lulus dari kursus pelatihan singkat di KNIL Kaderschool di Gombong untuk menjadi sersan, dan ditempatkan di batalyon cadangan KNIL di Cisarua.[30] Setelah Belanda menyerah kepada menyerang pasukan Jepang pada bulan Maret 1942, Soeharto meninggalkan seragam KNIL-nya dan kembali ke Wurjantoro. Setelah berbulan-bulan menganggur, ia kemudian menjadi salah satu dari ribuan warga Indonesia yang memanfaatkan kesempatan untuk bergabung dengan pasukan keamanan terorganisir Jepang dengan bergabung di kepolisian Yogyakarta.[29]
Pada bulan Oktober 1943, Soeharto dipindahkan dari kepolisian ke milisi baru yang disponsori Jepang, Pembela Tanah Air (PETA) di mana orang Indonesia bertugas sebagai perwira . Dalam pelatihannya untuk bertugas dengan pangkat shodancho (komandan peleton) ia bertemu dengan versi lokal dari bushido Jepang, atau " cara prajurit", digunakan untuk mengindoktrinasi pasukan. Pelatihan ini mendorong pemikiran anti-Belanda dan pro-nasionalis, meskipun mengarah pada tujuan militeris Kekaisaran Jepang. Perjumpaan dengan ideologi nasionalis dan militeristik diyakini sangat mempengaruhi cara berpikir Soeharto sendiri.[31] Soeharto ditempatkan di batalion pertahanan pantai PETA di Wates, selatan Yogyakarta hingga ia diterima mengikuti pelatihan untuk chudancho (komandan kompi) di Bogor dari bulan April hingga Agustus 1944. Sebagai komandan kompi, ia melakukan pelatihan untuk prajurit baru PETA merekrut di Surakarta, Jakarta, dan Madiun. Penyerahan Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada bulan Agustus 1945 terjadi ketika Soeharto ditempatkan di daerah terpencil Brebeg (di lereng Gunung Wilis) untuk melatih NCO baru menggantikan mereka yang dieksekusi oleh Jepang pada tahun 1945. setelah kegagalan bulan Februari Pemberontakan PETA Blitar, yang dipimpin oleh Supriyadi.
Revolusi Nasional Indonesia
Dua hari setelah Jepang menyerah di Pasifik, para pemimpin kemerdekaan Soekarno dan Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia dan masing-masing diangkat menjadi presiden dan wakil presiden yang baru Republik. Soeharto membubarkan resimennya di bawah perintah komando Jepang dan kembali ke Yogyakarta.[32] Ketika kelompok republik bangkit untuk menegaskan kemerdekaan Indonesia, Soeharto bergabung dengan unit baru tentara Indonesia yang baru dibentuk. Berdasarkan pengalaman PETA, ia diangkat menjadi wakil komandan, dan kemudian menjadi komandan batalion ketika pasukan republik secara resmi diorganisasi pada bulan Oktober 1945.[32] Soeharto terlibat dalam pertempuran melawan pasukan Sekutu sekitar Magelang dan Semarang dan kemudian diangkat menjadi kepala brigade sebagai letnan kolonel, setelah mendapatkan rasa hormat sebagai komandan lapangan.[33] Pada awalnya tahun-tahun perang, ia mengorganisir angkatan bersenjata lokal menjadi Batalyon X Resimen I; Soeharto dipromosikan menjadi Mayor dan menjadi pemimpin Batalyon X.[34] Kedatangan Sekutu, dengan mandat mengembalikan keadaan ke status quo ante bellum, dengan cepat menyebabkan bentrokan antara Partai Republik Indonesia dan pasukan Sekutu, yaitu mengembalikan pasukan Belanda dan membantu pasukan Inggris.[35]
Soeharto memimpin pasukan Divisi X untuk menghentikan gerak maju Brigade T ("Harimau") Belanda pada tanggal 17 Mei 1946. Hal ini membuatnya dihormati oleh Letnan Kolonel Sunarto Kusumodirjo, yang mengundangnya untuk menyusun pedoman kerja Markas Besar Pimpinan Pertempuran (MPP), sebuah badan yang dibentuk untuk mengatur dan menyatukan struktur komando kekuatan Nasionalis Indonesia.[35] Kekuatan militer Republik Indonesia yang masih bayi terus-menerus melakukan restrukturisasi. Pada bulan Agustus 1946, Soeharto menjadi kepala Resimen ke-22 Divisi III ("Divisi Diponegoro") yang ditempatkan di Yogyakarta. Pada akhir tahun 1946, Divisi Diponegoro mengambil alih tanggung jawab pertahanan barat dan barat daya Yogyakarta dari pasukan Belanda. Kondisi pada saat itu dilaporkan oleh sumber-sumber Belanda sangat menyedihkan; Soeharto sendiri dikabarkan membantu sindikat penyelundup dalam pengangkutan opium melalui wilayah yang dikuasainya, untuk menghasilkan pendapatan. Pada bulan September 1948, Soeharto diutus untuk menemui Musso, ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam upaya rekonsiliasi damai pemberontakan komunis di Madiun yang gagal.[36]
Pada bulan Desember 1948, Belanda melancarkan "Operasi Kraai", yang mengakibatkan direbutnya Soekarno dan Hatta serta ibu kota Yogyakarta. Soeharto ditunjuk untuk memimpin Wehrkreise III, yang terdiri dari dua batalyon, yang melancarkan perang gerilya melawan Belanda dari perbukitan di selatan Yogyakarta.[36] Dalam serangan fajar pada tanggal 1 Maret 1949, pasukan Soeharto dan milisi lokal merebut kembali kota tersebut, menahannya hingga siang hari.[37] Catatan Soeharto selanjutnya menyebutkan dia sebagai satu-satunya komplotan, meskipun sumber lain menyebutkan Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta, dan Panglima Divisi Ketiga memerintahkan serangan itu. Namun Jenderal Abdul Haris Nasution mengatakan bahwa Soeharto sangat berhati-hati dalam mempersiapkan "Serangan Umum". Warga sipil yang bersimpati pada perjuangan Partai Republik di kota tersebut terpacu oleh unjuk kekuatan yang membuktikan bahwa Belanda gagal memenangkan perang gerilya. Secara internasional, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa menekan Belanda untuk menghentikan serangan militer dan memulai kembali perundingan, yang akhirnya menyebabkan penarikan Belanda dari wilayah Yogyakarta pada bulan Juni 1949 dan penyelesaian penyerahan kedaulatan pada bulan Desember 1949. Soeharto bertanggung jawab atas pengambilalihan kota Yogyakarta dari Belanda yang mundur pada bulan Juni 1949.[38]
Pada masa Revolusi, Soeharto menikah dengan Siti Hartinah (dikenal sebagai Nyonya Tien), putri seorang bangsawan kecil di istana Mangkunegaran di Solo. Perjodohan ini bertahan lama dan saling mendukung, hingga kematian Tien pada tahun 1996.[15] Pasangan ini dikaruniai enam orang anak: Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut, lahir 1949), Sigit Harjojudanto (lahir 1951), Bambang Trihatmodjo (lahir 1953), Siti Hediati (“Titiek Soeharto”, lahir 1959), Hutomo Mandala Putra (Tommy, lahir 1962), dan Siti Hutami Endang Adiningish (Mamiek, lahir 1964). Di kalangan kelas atas Jawa, istri dianggap dapat melakukan perdagangan yang sopan[butuh klarifikasi] untuk menambah anggaran keluarga, sehingga suaminya dapat menjaga martabatnya dalam peran resminya. Transaksi komersial[butuh klarifikasi] yang dilakukan Tien, anak-anak dan cucu-cucunya menjadi meluas dan pada akhirnya melemahkan kepresidenan Soeharto.[15]
Karir pasca kemerdekaan
Pada tahun-tahun setelah kemerdekaan Indonesia, Soeharto bertugas di Tentara Nasional Indonesia, terutama di Jawa. Pada tahun 1950, sebagai seorang kolonel, ia memimpin Brigade Garuda dalam Peristiwa Andi Azis, sebuah pemberontakan mantan tentara kolonial yang mendukung Negara Indonesia Timur yang didirikan Belanda dan entitas federalnya, Amerika Serikat.[39] Selama berada di Makassar, Soeharto berkenalan dengan tetangganya, keluarga Habibie, yang putra sulungnya Bacharuddin Jusuf Habibie kemudian menjadi wakil presiden Soeharto, dan kemudian menggantikannya sebagai presiden. Pada tahun 1951–1952, Soeharto memimpin pasukannya mengalahkan Pemberontakan Eks Batalyon 426 yang bernuansa Islam di wilayah Klaten Jawa Tengah.[40] Ditunjuk untuk memimpin empat batalyon pada awal tahun 1953, ia mengatur partisipasi mereka dalam memerangi pemberontak Darul Islam di barat laut Jawa Tengah dan operasi anti-bandit di daerah Gunung Merapi. Ia juga berupaya membendung simpati kaum kiri di kalangan pasukannya. Pengalamannya pada periode ini membuat Soeharto sangat tidak menyukai radikalisme Islam dan komunis.[41]
Antara tahun 1956 dan 1959, ia menjabat posisi penting Komandan Divisi Diponegoro yang berbasis di Semarang, bertanggung jawab atas provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta. Hubungannya dengan pengusaha terkemuka Liem Sioe Liong dan Bob Hasan, yang berlanjut sepanjang masa kepresidenannya, dimulai di Jawa Tengah, di mana ia terlibat dalam serangkaian perusahaan "yang menghasilkan keuntungan" yang terutama dilakukan untuk menjaga unit militer yang dananya terbatas tetap berfungsi.[42] Investigasi anti-korupsi Angkatan Darat melibatkan Soeharto dalam skandal penyelundupan tahun 1959. Lepas dari jabatannya, ia dipindahkan ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di kota Bandung.[43]
Selama di Bandung, ia dipromosikan menjadi brigadir jenderal, dan pada akhir tahun 1960, dipromosikan menjadi wakil kepala staf angkatan darat.[15] Pada tanggal 6 Maret 1961, ia diberi komando tambahan, sebagai panglima angkatan darat yang baru. Cadangan Strategis (Korps Tentara I Cadangan Umum AD, kemudian KOSTRAD), sebuah pasukan bergerak udara siap reaksi yang berbasis di Jakarta.[15][44] Pada bulan Januari 1962, Soeharto dipromosikan menjadi mayor jenderal dan ditunjuk untuk memimpin Operasi Mandala, sebuah komando gabungan angkatan darat-angkatan laut-udara yang berbasis di Makassar. Hal ini membentuk sisi militer dalam kampanye untuk memenangkan Irian Barat dari Belanda, yang sedang mempersiapkan kemerdekaannya sendiri, terpisah dari Indonesia.[15] Pada tahun 1965, Soeharto ditugaskan sebagai komando operasional Konfrontasi Soekarno, melawan Malaysia yang baru dibentuk. Khawatir bahwa Konfrontasi akan membuat Pulau Jawa tertutupi oleh tentara, dan menyerahkan kendali kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) yang beranggotakan 2 juta orang, ia memberi wewenang kepada perwira intelijen Kostrad, Ali Murtopo, untuk membuka kontak rahasia dengan Inggris dan Malaysia.[15]
Riwayat pekerjaan
- Pembantu Klerek Bank Desa (Volk-Bank) di Kemusuk, Yogyakarta (1938)
- Siswa Sekolah Bintara KNIL di Gombong (1940—1942)
- Tentara Cadangan Markas Besar Angkatan Darat KNIL (1942)
- Pembantu/asisten Mantri Tani di Wuryantoro, Wonogiri (1942)
- Siswa Keibuho (Polisi Jepang) Jepang (1942)
- Komandan Regu dan Pembantu Perwira PETA di Karanganyar, Kebumen (1942—1943)
- Siswa Pendidikan Militer Lanjutan PETA di Bogor (1943—1944)
- Komandan Pleton (Shudanco) PETA di Glagah, Wates (1944)
- Komandan Kompi (Chodanco) di Markas Besar PETA di Surakarta (1944)
- Komandan Kompi (Chodanco) Perwira pendidik PETA di Desa Brebeg, Jawa Timur (1944—1945)
- Letnan di Brigade Mataram, Yogyakarta (1945)
- Komandan Batalyon infanteri di Kebumen dengan pangkat Kapten - Mayor (1945—1946)
- Komandan Batalyon X di bawah Divisi IX di Yogyakarta dengan pangkat Mayor (1946—1948)
- Komandan Brigade Mataram - Wehrkreise III di Yogyakarta dengan pangkat Letnan Kolonel (1948—1950)
- Komandan Komando Resimen Salatiga dengan pangkat Letnan Kolonel (1950—1953)
- Komandan Resimen Infanteri 15 di Solo dengan pangkat Letnan Kolonel (1953—1956)
- Kepala Staf Teritorium IV/Diponegoro di Semarang dengan pangkat Letnan Kolonel (1956—1957)
- Panglima Teritorium IV/Diponegoro di Semarang dengan pangkat Kolonel (1957—1959)
- Siswa Sekolah Staf Komando Angkatan Darat/SSKAD (1959—1960)
- Deputi I Kepala Staf Angkatan Darat dengan pangkat Brigadir Jenderal (1960—1961)
- Panglima Corps Tentara Cadangan Umum Angkatan Darat/CADUAD dengan pangkat Brigadir Jenderal (1961)
- Atase Militer/Hankam di Beograd, Yugoslavia (1961)
- Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dengan pangkat Mayor Jenderal (1962)
- Panglima Komando Strategis Angkatan Darat dengan pangkat Mayor Jenderal (1962—1965)
- Menteri/Panglima Angkatan Darat dengan pangkat Mayor Jenderal - Letnan Jenderal (1965—1968)
- Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban/Kopkamtib (1965—1969)
- Ketua Presidium Kabinet Ampera I (1966—1967)
- Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ABRI merangkap Menteri Pertahanan dengan pangkat Jenderal (1968—1973)
- Penjabat Presiden Republik Indonesia (1967—1968)
- Presiden Republik Indonesia (1968—1998)
- Sekertaris Jenderal Gerakan Non Blok (1992—1995)
Penggulingan Soekarno
Latar belakang
Ketegangan antara militer dan komunis meningkat pada bulan April 1965, ketika Soekarno mendukung penerapan segera proposal PKI untuk membentuk "angkatan bersenjata kelima" yang terdiri dari petani dan pekerja bersenjata. Namun gagasan ini ditolak oleh pimpinan Angkatan Darat karena dianggap sama saja dengan PKI yang membentuk angkatan bersenjatanya sendiri. Pada bulan Mei, "Dokumen Gilchrist" membangkitkan ketakutan Soekarno akan rencana militer untuk menggulingkannya, ketakutan yang berulang kali ia sebutkan selama beberapa bulan berikutnya. Pada pidato hari kemerdekaannya di bulan Agustus, Soekarno menyatakan niatnya untuk mengikat Indonesia pada aliansi anti-imperialis dengan Tiongkok dan negara-negara komunis lainnya dan memperingatkan tentara untuk tidak ikut campur.[45][halaman dibutuhkan]
Meskipun Soekarno mencurahkan energinya untuk politik domestik dan internasional, perekonomian Indonesia merosot dengan cepat dengan semakin parahnya kemiskinan dan kelaparan, sementara kewajiban utang luar negeri menjadi tidak terkendali dan infrastruktur hancur. Demokrasi Terpimpin yang dipimpin Soekarno berada dalam kondisi rapuh akibat konflik yang melekat antara dua pilar pendukungnya, yaitu militer dan komunis. Kalangan militer, nasionalis, dan kelompok Islam dikejutkan dengan pesatnya pertumbuhan partai komunis di bawah perlindungan Soekarno. Mereka takut akan segera berdirinya negara komunis di Indonesia. Pada tahun 1965, PKI mempunyai tiga juta anggota dan sangat kuat di Jawa Tengah dan Bali. Partai tersebut sempat menjadi partai politik terkuat di Indonesia.
Kudeta yang gagal dan pembersihan anti-komunis
Sebelum fajar tanggal 1 Oktober 1965, enam jenderal Angkatan Darat diculik dan dieksekusi di Jakarta oleh prajurit Pengawal Presiden, Divisi Diponegoro, dan Divisi Brawidjaja.[46] Tentara menduduki Lapangan Merdeka termasuk wilayahnya di depan Istana Kepresidenan, stasiun radio nasional, dan pusat telekomunikasi. Pukul 07.10 Untung bin Syamsuri mengumumkan di radio bahwa "Gerakan 30 September" telah mencegah upaya kudeta terhadap Soekarno yang dilakukan oleh " CIA-mendukung jenderal-jenderal yang gila kekuasaan", dan bahwa itu adalah "urusan internal tentara". G-30-S tidak pernah melakukan upaya apa pun terhadap nyawa Soeharto.[47] Soeharto berada di rumah sakit tentara Jakarta malam itu bersama putranya yang berusia tiga tahun Tommy yang telah meninggal. cedera yang menyengat. Di sinilah ia dikunjungi oleh Kolonel Abdul Latief, seorang anggota penting G-30-S dan teman dekat keluarga Suharto. Menurut kesaksian Latief di kemudian hari, para konspirator berasumsi bahwa Soeharto adalah seorang loyalis Soekarno; oleh karena itu Latief memberitahukan kepadanya tentang rencana penculikan yang akan dilakukan untuk menyelamatkan Sukarno dari para jenderal pengkhianat, yang menurut Soeharto tampaknya menawarkan netralitasnya.[48]
Setelah diberitahu tentang pembunuhan tersebut, Soeharto pergi ke markas Kostrad sebelum fajar dan dari situ ia dapat melihat tentara menduduki Lapangan Merdeka. Dia memobilisasi pasukan khusus Kostrad dan RPKAD (sekarang Kopassus) untuk menguasai pusat kota Jakarta, merebut situs-situs strategis utama termasuk stasiun radio tanpa perlawanan. Soeharto mengumumkan melalui radio pada pukul 21.00 bahwa enam jenderal telah diculik oleh "kontra-revolusioner" dan bahwa Gerakan 30 September sebenarnya bermaksud untuk menggulingkan Soekarno. Ia menyatakan bahwa ia memegang kendali atas Angkatan Darat, dan bahwa ia akan menumpas Gerakan dan menjaga Soekarno.[49] Soeharto mengeluarkan ultimatum kepada Pangkalan AURI Halim, tempat markas G30S dan tempat Soekarno, panglima angkatan udara Omar Dhani dan ketua PKI Dipa Nusantara Aidit berkumpul, menyebabkan mereka bubar sebelum tentara Soeharto menduduki pangkalan udara tersebut pada tanggal 2 Oktober setelah beberapa saat. pertempuran.[50] Dengan kegagalan kudeta yang tidak terorganisir dengan baik,[50] dan mendapatkan wewenang dari presiden untuk memulihkan ketertiban dan keamanan, faksi Soeharto dengan kuat mengendalikan tentara pada tanggal 2 Oktober (ia secara resmi diangkat menjadi panglima tentara pada tanggal 14 Oktober). Pada tanggal 5 Oktober, Soeharto memimpin upacara publik yang dramatis untuk menguburkan jenazah para jenderal.
Teori-teori yang rumit dan partisan terus berlanjut hingga hari ini mengenai identitas penyelenggara upaya kudeta dan tujuan mereka. Versi tentara, dan kemudian versi "Orde Baru", menyatakan bahwa PKI-lah yang bertanggung jawab penuh. Kampanye propaganda yang dilakukan oleh tentara dan kelompok mahasiswa Islam dan Katolik meyakinkan masyarakat Indonesia dan internasional bahwa ini adalah upaya kudeta komunis, dan bahwa pembunuhan tersebut merupakan kekejaman pengecut terhadap pahlawan Indonesia.[51] Tentara yang bersekutu dengan kelompok agama sipil, dan didukung oleh Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya, memimpin kampanye pembunuhan massal untuk membersihkan Indonesia masyarakat, pemerintah, dan angkatan bersenjata Partai Komunis Indonesia dan organisasi kiri lainnya.[51][52][53][54] Pembersihan ini menyebar dari Jakarta ke sebagian besar wilayah lain di negeri ini.[55] Perkiraan yang paling diterima secara luas adalah bahwa setidaknya 500.000 hingga lebih dari 1 juta orang terbunuh.[56][57][58][59][halaman dibutuhkan][60][61] Sebanyak 1,5 juta orang dipenjarakan pada satu tahap atau lainnya.[62] Sebagai akibat dari pembersihan tersebut, salah satu dari tiga pilar pendukung Soekarno, Partai Komunis Indonesia, secara efektif dilenyapkan oleh dua kelompok lainnya, militer dan politik Islam.[63] CIA menggambarkan pembersihan tersebut sebagai "salah satu pembunuhan massal terburuk pada abad ke-20 abad".[64]
Perebutan kekuasaan
Soekarno tetap mendapatkan loyalitas dari sebagian besar angkatan bersenjata serta masyarakat umum, dan Suharto berhati-hati agar tidak terlihat merebut kekuasaan melalui kudetanya sendiri. Selama delapan belas bulan setelah pembubaran Gerakan 30 September, terjadi proses manuver politik yang rumit melawan Sukarno, termasuk agitasi mahasiswa, penumpukan parlemen, propaganda media, dan ancaman militer.[65] Pada bulan Januari 1966, mahasiswa di bawah bendera KAMI, memulai demonstrasi menentang pemerintahan Soekarno dan menyuarakan tuntutan pembubaran PKI dan pengendalian hiperinflasi. Para pelajar mendapat dukungan dan perlindungan dari tentara. Perkelahian jalanan terjadi antara mahasiswa dan loyalis pro-Soekarno, sedangkan mahasiswa pro-Soeharto menang karena perlindungan tentara.[66]
Pada bulan Februari 1966, Soekarno mengangkat Soeharto menjadi letnan jenderal (dan menjadi jenderal penuh pada bulan Juli 1966).[67] Pembunuhan seorang demonstran mahasiswa dan perintah pembubaran KAMI pada bulan Februari 1966 semakin membangkitkan opini publik terhadap presiden. Pada tanggal 11 Maret 1966, kemunculan pasukan tak dikenal di sekitar Istana Merdeka selama rapat kabinet (yang tidak dihadiri Soeharto) memaksa Soekarno melarikan diri ke Istana Bogor (60 km jauhnya) dengan helikopter. Tiga jenderal pro-Soeharto, Mayor Jenderal Basuki Rahmat, Brigjen M. Jusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud pergi ke Bogor untuk menemui Sukarno. Di sana, mereka membujuk dan mendapatkan keputusan presiden dari Soekarno (lihat Supersemar) yang memberikan wewenang kepada Soeharto untuk mengambil tindakan apa pun yang diperlukan untuk menjaga keamanan.[65] Menggunakan Melalui surat Supersemar, Soeharto memerintahkan pelarangan PKI keesokan harinya dan melanjutkan pembersihan unsur-unsur pro-Soekarno dari parlemen, pemerintah dan militer, dengan menuduh mereka sebagai simpatisan komunis.[67]
Tentara menangkap 15 menteri kabinet dan memaksa Soekarno mengangkat kabinet baru yang terdiri dari pendukung Suharto. Tentara menangkap anggota MPRS yang pro-Soekarno dan pro-komunis, dan Soeharto mengganti panglima angkatan laut, angkatan udara, dan kepolisian dengan para pendukungnya, yang kemudian memulai aksi besar-besaran. pembersihan dalam setiap dinas.[67] Pada bulan Juni 1966, parlemen yang sekarang telah dikosongkan mengeluarkan 24 resolusi termasuk pelarangan Marxisme–Leninisme, dan meratifikasi Supersemar, dan mencabut gelar Presiden Seumur Hidup Soekarno. Yang terpenting, perjanjian ini juga memutuskan bahwa jika Soekarno tidak dapat menjalankan tugasnya, pemegang Supersemar—Soeharto—akan menjadi penjabat presiden. Bertentangan dengan keinginan Soekarno, pemerintah mengakhiri Konfrontasi dengan Malaysia dan bergabung kembali dengan PBB[68] (Sukarno telah mengeluarkan Indonesia dari PBB pada tahun sebelumnya).[69] Soeharto tidak mengupayakan pencopotan langsung Soekarno pada sidang MPRS kali ini karena masih adanya dukungan terhadap presiden di kalangan beberapa elemen angkatan bersenjata.[70] Oleh Januari 1967, Soeharto merasa yakin bahwa ia telah menghilangkan semua dukungan penting terhadap Soekarno di angkatan bersenjata. Setelah Soekarno memberikan versinya tentang kejadian tersebut, MPRS menyimpulkan bahwa ia telah melalaikan tugasnya dan memutuskan untuk mengadakan sidang lagi untuk memakzulkannya. Pada tanggal 20 Februari 1967, menghadapi situasi yang semakin tidak dapat dipertahankan, Soekarno mengumumkan akan mengundurkan diri dari kursi kepresidenan. Kemudian, sidang MPRS mencabut sisa kekuasaannya pada tanggal 12 Maret dan menunjuk Soeharto penjabat presiden.[71] Soekarno dijadikan tahanan rumah di Istana Bogor; tidak banyak lagi yang terdengar darinya, dan dia meninggal pada bulan Juni 1970.[72] Pada tanggal 27 Maret 1968, MPRS mengangkat Soeharto untuk masa jabatan lima tahun penuh sebagai presiden.[73]
Presiden (1966–1998)
Ideologi
Lua error in Modul:Multiple_image at line 163: attempt to perform arithmetic on local 'totalwidth' (a nil value).
Soeharto mempromosikan "Orde Baru" -nya, berbeda dengan "Orde Lama" Soekarno, sebagai masyarakat yang berdasarkan ideologi Pancasila. Setelah awalnya berhati-hati untuk tidak menyinggung perasaan para cendekiawan Islam yang khawatir Pancasila akan berkembang menjadi aliran semu-agama, Suharto mendapatkan resolusi parlemen pada tahun 1983 yang mewajibkan semua organisasi di Indonesia untuk menganut Pancasila sebagai prinsip dasar. Ia juga melembagakan program pelatihan Pancasila yang wajib bagi seluruh masyarakat Indonesia, mulai dari siswa sekolah dasar hingga pekerja kantoran. Namun dalam praktiknya, ketidakjelasan Pancasila dimanfaatkan oleh pemerintahan Suharto untuk membenarkan tindakan mereka dan mengutuk lawan-lawan mereka sebagai “anti-Pancasila”.[74] Orde Baru juga menerapkan kebijakan Dwifungsi yang memungkinkan militer berperan aktif di semua tingkat pemerintahan, perekonomian, dan masyarakat Indonesia.
Konsolidasi kekuasaan
Setelah diangkat menjadi presiden, Soeharto masih perlu berbagi kekuasaan dengan berbagai elemen termasuk para jenderal Indonesia yang menganggap Soeharto sekadar primus inter pares, serta kelompok Islam dan mahasiswa yang berpartisipasi dalam pembersihan anti-Komunis. Soeharto, dibantu oleh kelompok perwira militer "Kantor Asisten Pribadi" (Aspri) semasa menjabat sebagai Panglima Divisi Diponegoro, khususnya Ali Murtopo, mulai memperkuat kekuasaannya secara sistematis. kekuasaan dengan secara halus mengesampingkan calon pesaing sambil memberikan penghargaan kepada loyalis dengan posisi politik dan insentif moneter.[butuh rujukan] Setelah berhasil menggulingkan upaya Ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution pada tahun 1968 untuk memperkenalkan RUU yang akan sangat membatasi wewenang presiden, Soeharto mencopotnya dari jabatan ketua MPRS pada tahun 1969 dan memaksanya pensiun dini dari militer pada tahun 1972. Pada tahun 1967, jenderal Hartono Rekso Dharsono, Kemal Idris, dan Sarwo Edhie Wibowo (dijuluki "Radikal Orde Baru") menentang keputusan Soeharto yang mengizinkan partisipasi partai politik yang ada dalam pemilu dan mendukung sistem dua partai non-ideologis yang serupa dengan yang ditemukan di banyak negara Barat. Soeharto mengirim Dharsono ke luar negeri sebagai duta besar, sedangkan Idris dan Wibowo dikirim ke tempat yang jauh Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan sebagai panglima daerah.[75]
Hubungan kuat Soeharto dengan gerakan mahasiswa sebelumnya memburuk karena meningkatnya otoritarianisme dan korupsi di pemerintahannya. Walaupun banyak pemimpin asli gerakan mahasiswa tahun 1966 (Angkatan '66) berhasil dikooptasi ke dalam rezim, Soeharto dihadapkan pada demonstrasi mahasiswa besar-besaran yang menantang keabsahan pemilu tahun 1971 (gerakan "Golput") , pembangunan taman hiburan Taman Mini Indonesia Indah yang memakan biaya besar (1972), dominasi kapitalis asing (Insiden Malari tahun 1974), dan tidak adanya batasan masa jabatan kepresidenan Suharto (1978). Rezim merespons dengan memenjarakan banyak aktivis mahasiswa (seperti calon tokoh nasional Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Adnan Buyung Nasution, Hariman Siregar, dan Syahrir), dan bahkan mengirimkan pasukan untuk menduduki kampus ITB (Institut Teknologi Bandung) pada bulan Januari – Maret 1978. Pada bulan April 1978, Soeharto mengambil tindakan tegas dengan mengeluarkan surat keputusan “Normalisasi Kehidupan Kampus” (NKK) yang melarang kegiatan politik di kampus yang tidak berkaitan dengan akademik. pengejaran.[76][77]
Pada tanggal 15–16 Januari 1974, Soeharto menghadapi tantangan berat ketika terjadi kerusuhan dengan kekerasan di Jakarta saat kunjungan perdana menteri Jepang Kakuei Tanaka. Mahasiswa yang berdemonstrasi menentang meningkatnya dominasi investor Jepang didorong oleh Jenderal Soemitro, wakil panglima angkatan bersenjata. Soemitro adalah seorang jenderal ambisius yang tidak menyukai pengaruh kuat lingkaran dalam Aspri Soeharto. Soeharto mengetahui bahwa kerusuhan tersebut direkayasa oleh Soemitro untuk mengganggu stabilitas pemerintahan, yang mengakibatkan Soemitro dipecat dan dipaksa pensiun. Peristiwa ini disebut sebagai Insiden Malari (Malapetaka Lima Belas Januari/Bencana 15 Januari). Namun, Soeharto juga membubarkan Aspri untuk menenangkan perbedaan pendapat.[78] Pada tahun 1980, lima puluh tokoh politik terkemuka menandatangani Petisi 50, yang mengkritik penggunaan Pancasila oleh Soeharto untuk membungkam para pengkritiknya. Soeharto menolak menjawab kekhawatiran para pembuat petisi, dan beberapa dari mereka dipenjarakan, sementara yang lain dibatasi pergerakannya.[79]
Kebijakan dalam negeri dan stabilitas politik
Untuk memenuhi tuntutan para politisi sipil agar diselenggarakannya pemilu, sebagaimana tertuang dalam ketetapan MPRS tahun 1966 dan 1967, pemerintahan Soeharto merumuskan serangkaian undang-undang mengenai pemilu serta susunan dan tugas parlemen yang disahkan oleh MPRS pada bulan November 1969 setelah berlarut-larut. negosiasi. Undang-undang mengatur tentang parlemen (Madjelis Permusjawaratan Rakjat/MPR) dengan kekuasaan untuk memilih presiden, yang terdiri dari dewan perwakilan (Dewan Perwakilan Rakjat /DPR) dan perwakilan daerah. 100 dari 460 anggota DPR akan diangkat langsung oleh pemerintah, sedangkan sisanya dialokasikan kepada organisasi politik berdasarkan hasil pemilihan umum. Mekanisme ini menjamin kontrol pemerintah yang signifikan atas urusan legislatif, khususnya pengangkatan presiden.[80][81]
Untuk ikut pemilu, Soeharto menyadari perlunya beraliansi dengan partai politik. Setelah awalnya mempertimbangkan untuk bergabung dengan partai lama Soekarno, PNI, pada tahun 1969 Suharto memutuskan untuk mengambil alih kendali federasi LSM yang dikelola militer yang disebut Golkar ("Kelompok Fungsional") dan mengubahnya menjadi kendaraan pemilu di bawah koordinasi tangan kanannya Ali Murtopo. pemilihan umum pertama diselenggarakan pada tanggal 3 Juli 1971 dengan sepuluh peserta; terdiri dari Golkar, empat partai Islam, serta lima partai nasionalis dan Kristen. Berkampanye dengan platform "pembangunan" non-ideologis, dan dibantu oleh dukungan resmi pemerintah serta taktik intimidasi yang halus, Golkar berhasil memperoleh 62,8% suara rakyat. Sidang umum MPR yang baru terpilih pada bulan Maret 1973 segera mengangkat Suharto untuk masa jabatan kedua dengan Sultan Hamengkubuwono IX sebagai wakil presiden.[82]
"Bukan kekuatan militer Komunis tetapi fanatisme dan ideologi mereka yang merupakan unsur utama kekuatan mereka. Untuk mempertimbangkan hal ini, setiap negara di wilayah tersebut memerlukan ideologinya sendiri untuk melawan Komunis. Namun ideologi nasional saja tidak cukup. Kesejahteraan masyarakat harus ditingkatkan sehingga memperkuat dan menopang ideologi nasional."
— Soeharto berbicara dengan Presiden Ford pada tahun 1975[83]
Pada tanggal 5 Januari 1973, untuk memungkinkan kontrol yang lebih baik, pemerintah memaksa empat partai Islam untuk bergabung menjadi PPP (Partai Persatuan Pembangunan) sementara lima partai non-Islam bergabung. melebur menjadi PDI (Partai Demokrasi Indonesia/Partai Demokrasi Indonesia). Pemerintah memastikan bahwa partai-partai ini tidak pernah mengembangkan oposisi yang efektif dengan mengendalikan kepemimpinan mereka sambil menerapkan sistem “re-call” untuk memberhentikan legislator yang vokal dari jabatan mereka. Dengan menggunakan sistem yang dijuluki "Pancasila Demokrasi", Soeharto terpilih kembali tanpa lawan oleh MPR pada tahun 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.[82] Golkar memenangkan mayoritas suara di MPR pada setiap pemilu, memastikan bahwa Soeharto akan mampu meloloskan agendanya tanpa ada oposisi.
Soeharto sangat berhati-hati agar rezimnya tampak menaati prinsip-prinsip konstitusi. Di atas kertas, presiden adalah “wajib MPR” yang bertanggung jawab melaksanakan “Garis Besar Haluan Negara” (GBHN) yang dikembangkan MPR. Menjelang akhir masa jabatannya, Soeharto menyampaikan "pidato akuntabilitas" kepada MPR yang menguraikan pencapaian pemerintahannya dan menunjukkan bagaimana ia mematuhi GBHN. Selain itu, presiden mempunyai wewenang untuk mengeluarkan peraturan pengganti undang-undang, namun peraturan tersebut harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar tetap berlaku. Namun dalam praktiknya, mayoritas suara Golkar di DPR dan MPR menjadikan persetujuan tersebut hanya sekedar formalitas. Ditambah dengan jarangnya sidang DPR (biasanya hanya satu kali sidang per tahun), Soeharto mampu memerintah secara efektif melalui dekrit pada sebagian besar masa jabatannya.
Soeharto juga menjalankan berbagai proyek rekayasa sosial yang dirancang untuk mengubah masyarakat Indonesia menjadi “massa mengambang” yang terdepolitisasi dan mendukung misi nasional “pembangunan”, sebuah konsep yang mirip dengan korporatisme. Pemerintah membentuk berbagai kelompok masyarakat sipil untuk menyatukan masyarakat dalam mendukung program pemerintah. Misalnya, pemerintah membentuk Korps Pegawai Republik Indonesia (Korps Pegawai Republik Indonesia atau KORPRI) pada bulan November 1971 sebagai serikat pegawai negeri untuk menjamin kesetiaan mereka, mengorganisir FBSI ( Federasi Buruh Seluruh Indonesia) sebagai satu-satunya serikat buruh yang sah pada bulan Februari 1973, dan mendirikan MUI pada tahun 1975 untuk mengontrol ulama Islam.[84]
Keamanan internal dan kebijakan sosial
Lua error in Modul:Multiple_image at line 163: attempt to perform arithmetic on local 'totalwidth' (a nil value). Selain itu, Soeharto mengandalkan militer untuk menjaga keamanan dalam negeri dengan kejam, yang diorganisir oleh Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara). Untuk mempertahankan kontrol yang ketat atas negara, Soeharto memperluas sistem teritorial tentara hingga ke tingkat desa, sementara perwira militer ditunjuk sebagai kepala daerah di bawah rubrik Dwifungsi Dewan militer. Pada tahun 1969, 70% gubernur provinsi dan lebih dari separuh bupati di Indonesia adalah perwira militer aktif. Soeharto mengizinkan Operasi Trisula yang menghancurkan sisa-sisa PKI yang mencoba mengorganisir basis gerilya di wilayah Blitar pada tahun 1968 dan memerintahkan beberapa operasi militer yang mengakhiri pemberontakan komunis PGRS-Paraku di Kalimantan Barat (1967 –1972). Serangan terhadap pekerja minyak oleh inkarnasi pertama separatis Gerakan Aceh Merdeka di bawah Hasan di Tiro pada tahun 1977 menyebabkan pengiriman detasemen pasukan khusus kecil yang dengan cepat membunuh atau memaksa anggota gerakan tersebut melarikan diri ke luar negeri.[85] Khususnya, pada bulan Maret 1981, Soeharto mengizinkan misi pasukan khusus yang sukses untuk mengakhiri pembajakan penerbangan Garuda Indonesia oleh ekstremis Islam di Bandar Udara Internasional Don Mueang di Bangkok.[86]
Pada tahun 1968, Soeharto memulai program keluarga berencana (Keluarga Berentjana/KB) yang sangat sukses untuk membendung laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dan karenanya meningkatkan pendapatan per kapita. Warisan abadi dari periode ini adalah reformasi ejaan bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Soeharto pada tanggal 17 Agustus 1972.[84] Untuk mendorong asimilasi dari Orang Indonesia Tionghoa yang berpengaruh, pemerintahan Soeharto mengesahkan beberapa undang-undang sebagai bagian dari apa yang disebut "Kebijakan Dasar untuk Solusi Masalah Tiongkok", yang mana hanya satu penerbitan berbahasa Mandarin (dikendalikan oleh Angkatan Darat) yang diizinkan untuk terus berlanjut, semua ekspresi budaya dan agama Tiongkok (termasuk tampilan karakter Tiongkok) dilarang dari ruang publik, sekolah Tionghoa disita dan diubah menjadi sekolah umum berbahasa Indonesia, dan etnis Tionghoa dipaksa menggunakan bahasa Indonesia nama; menciptakan genosida budaya yang sistematis. Pada tahun 1978, pemerintah mulai mewajibkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Meskipun SBKRI secara hukum diwajibkan bagi seluruh warga negara keturunan asing, namun dalam praktiknya umumnya hanya berlaku bagi keturunan Tionghoa. Hal ini menyebabkan kesulitan bagi warga Indonesia Tionghoa ketika mendaftar di universitas negeri, melamar menjadi pegawai negeri, atau bergabung dengan militer atau polisi.[87]
Kebijakan ekonomi
Lua error in Modul:Multiple_image at line 163: attempt to perform arithmetic on local 'totalwidth' (a nil value). Untuk menstabilkan perekonomian dan memastikan dukungan jangka panjang bagi Orde Baru, pemerintahan Soeharto merekrut sekelompok ekonom Indonesia yang sebagian besar berpendidikan Amerika Serikat, yang dijuluki "Mafia Berkeley", untuk merumuskan perubahan signifikan dalam kebijakan ekonomi. Dengan memotong subsidi, mengurangi utang pemerintah, dan mereformasi mekanisme nilai tukar, inflasi diturunkan dari 660% pada tahun 1966 menjadi 19% pada tahun 1969. Ancaman kelaparan dapat diatasi dengan masuknya pengiriman bantuan beras USAID dari tahun 1967 hingga 1968.[88] Dengan kurangnya modal dalam negeri yang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi, Orde Baru membalikkan kebijakan swasembada ekonomi Soekarno dan membuka sektor-sektor ekonomi tertentu di negara tersebut untuk investasi asing melalui Undang-Undang Penanaman Modal Asing tahun 1967. Soeharto melakukan perjalanan ke Eropa Barat dan Jepang untuk mempromosikan investasi di Indonesia. Investor asing pertama yang masuk kembali ke Indonesia antara lain perusahaan pertambangan Freeport Sulphur Company / International Nickel Company. Mengikuti kerangka peraturan pemerintah, pengusaha dalam negeri (kebanyakan orang Tionghoa-Indonesia) muncul pada akhir tahun 1960an dan awal tahun 1970an di sektor manufaktur ringan substitusi impor seperti Astra Group dan Salim Group.[89]
Sejak tahun 1967, pemerintah mendapatkan bantuan luar negeri berbunga rendah dari sepuluh negara yang tergabung dalam Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) untuk menutupi defisit anggaran negara tersebut.[90] Dengan IGGI dana dan lonjakan pendapatan ekspor minyak akibat Krisis minyak 1973, pemerintah berinvestasi dalam infrastruktur berdasarkan serangkaian rencana lima tahun, yang disebut REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun) I hingga VI dari tahun 1969 hingga tahun 1998.[15][89][91] Di luar perekonomian formal, Soeharto menciptakan jaringan organisasi amal (“yayasan”) yang dijalankan oleh militer dan anggota keluarganya, yang memperoleh “sumbangan” dari perusahaan dalam dan luar negeri sebagai imbalan atas dukungan dan izin pemerintah yang diperlukan. Meskipun sebagian dana digunakan untuk tujuan amal, sebagian besar dana tersebut didaur ulang sebagai dana tertentu untuk memberi penghargaan kepada sekutu politik dan untuk mempertahankan dukungan terhadap Orde Baru.[15][92] Pada tahun 1975, perusahaan minyak milik negara, Pertamina, gagal membayar pinjaman luar negerinya akibat salah urus dan korupsi di bawah kepemimpinan sekutu dekat Soeharto, Ibnu Sutowo. Dana talangan pemerintah terhadap perusahaan tersebut hampir dua kali lipat utang negara.[93][halaman dibutuhkan]
Kebijakan luar negeri
Lua error in Modul:Multiple_image at line 163: attempt to perform arithmetic on local 'totalwidth' (a nil value). Setelah mengambil alih kekuasaan, pemerintahan Soeharto mengadopsi kebijakan netralitas dalam Perang Dingin namun diam-diam bersekutu dengan blok Barat (termasuk Jepang dan Korea Selatan) untuk mendapatkan dukungan bagi pemulihan ekonomi Indonesia. Negara-negara Barat, yang terkesan dengan sikap anti-komunis Soeharto yang kuat, segera menawarkan dukungan mereka. Hubungan diplomatik dengan Tiongkok dihentikan pada bulan Oktober 1967 karena dugaan keterlibatan Tiongkok dalam Gerakan 30 September (hubungan diplomatik baru dipulihkan pada tahun 1990). Karena penghancuran PKI oleh Soeharto, Uni Soviet melakukan embargo penjualan peralatan militer ke Indonesia. Namun, dari tahun 1967 hingga 1970 Menteri Luar Negeri Adam Malik berhasil mendapatkan beberapa perjanjian untuk merestrukturisasi hutang besar yang dikeluarkan oleh Soekarno dari Uni Soviet dan negara komunis Eropa Timur lainnya. Secara regional, setelah mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia pada bulan Agustus 1966, Indonesia menjadi anggota pendiri Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pada bulan Agustus 1967. Organisasi ini dirancang untuk membangun hubungan damai antar negara-negara Asia Tenggara. negara-negara yang bebas dari konflik seperti yang sedang berlangsung Perang Vietnam.[15]
Pada tahun 1974, koloni tetangga Timor Portugis mengalami menjadi perang saudara setelah penarikan kekuasaan Portugis setelah Revolusi Anyelir, dimana populis sayap kiri Fretilin (Portugis: Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente) muncul sebagai pemenang. Dengan persetujuan dari negara-negara Barat (termasuk dari Presiden AS Gerald Ford dan Perdana Menteri Australia Gough Whitlam selama kunjungan mereka ke Indonesia), Soeharto memutuskan untuk melakukan intervensi. Dia mengklaim langkah itu untuk mencegah berdirinya negara komunis. Setelah usahanya yang gagal memberikan dukungan terselubung kepada kelompok-kelompok Timor UDT dan APODETI, Soeharto mengizinkan invasi besar-besaran terhadap Timor Timur. koloni pada tanggal 7 Desember 1975 diikuti dengan pencaplokan resminya sebagai provinsi Timor Timur ke-27 di Indonesia pada bulan Juli 1976. Kampanye "pengepungan dan pemusnahan" pada tahun 1977–1979 mematahkan kendali Fretilin atas wilayah tersebut. daerah pedalaman, meskipun perlawanan gerilya yang terus berlanjut menyebabkan pemerintah mempertahankan kekuatan militer yang kuat di separuh pulau tersebut hingga tahun 1999. Diperkirakan jumlah minimum 90.800 dan maksimum 213.600 kematian terkait konflik terjadi di Timor Timur selama Indonesian aturan (1974–1999); yaitu, 17.600–19.600 pembunuhan dan 73.200 hingga 194.000 kematian 'berlebihan' akibat kelaparan dan penyakit; Pasukan Indonesia bertanggung jawab atas sekitar 70% kematian akibat kekerasan.[94]
invasi dan pendudukan di Timor Timur selama masa kepresidenan Soeharto mengakibatkan sedikitnya 100.000 kematian.[95] Untuk mematuhi Perjanjian New York tahun 1962 yang mensyaratkan pemungutan suara mengenai integrasi Irian Barat ke dalam Indonesia sebelum akhir tahun 1969, pemerintahan Soeharto mulai mengorganisir apa yang disebut "Penentuan Pendapat Rakyat" dijadwalkan pada Juli–Agustus 1969. Pemerintah mengirimkan pasukan khusus RPKAD di bawah Sarwo Edhie Wibowo yang berhasil mengamankan penyerahan beberapa kelompok bekas milisi yang diorganisir Belanda (Papoea Vrijwilligers Korps/PVK) berkeliaran di hutan sejak pengambilalihan Indonesia pada tahun 1963 sambil mengirimkan sukarelawan Katolik di bawah Jusuf Wanandi untuk mendistribusikan barang-barang konsumsi guna mempromosikan sentimen pro-Indonesia. Pada bulan Maret 1969, disepakati bahwa pemungutan suara akan disalurkan melalui 1.025 kepala suku, dengan alasan tantangan logistik dan ketidaktahuan politik masyarakat. Dengan menggunakan strategi di atas, pemungutan suara menghasilkan keputusan bulat untuk berintegrasi dengan Indonesia, yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan November 1969.[96]
Kemajuan sosial-ekonomi
Kemajuan sosial-ekonomi yang nyata menopang dukungan terhadap rezim Soeharto selama tiga dekade. Pada tahun 1996, tingkat kemiskinan di Indonesia telah turun menjadi sekitar 11% dibandingkan dengan 45% pada tahun 1970. Dari tahun 1966 hingga 1997, Indonesia mencatat pertumbuhan PDB riil sebesar 5,03% per tahun, mendorong PDB riil per kapita meningkat dari US$806 menjadi US$4,114. Pada tahun 1966, sektor manufaktur menyumbang kurang dari 10% PDB (kebanyakan industri yang berkaitan dengan minyak dan pertanian). Pada tahun 1997, manufaktur telah meningkat menjadi 25% PDB, dan 53% ekspor terdiri dari produk manufaktur. Pemerintah berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur besar-besaran (terutama peluncuran serangkaian satelit telekomunikasi Palapa); akibatnya, infrastruktur Indonesia pada pertengahan tahun 1990an dianggap setara dengan Tiongkok. Soeharto sangat ingin memanfaatkan pencapaian tersebut untuk membenarkan kepresidenannya, dan parlemen (MPR) pada tanggal 9 Maret 1983 memberinya gelar "Bapak Pembangunan".[97]
Program layanan kesehatan pemerintahan Soeharto (seperti program Puskesmas) meningkatkan angka harapan hidup dari 47 tahun (1966) menjadi 67 tahun (1997) sekaligus menurunkan angka kematian bayi lebih dari 60%. Program Inpres yang diluncurkan pemerintah pada tahun 1973 menghasilkan rasio partisipasi sekolah dasar mencapai 90% pada tahun 1983 dan hampir menghilangkan kesenjangan pendidikan antara anak laki-laki dan perempuan. Dukungan berkelanjutan terhadap pertanian menghasilkan Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984, sebuah pencapaian yang belum pernah terjadi sebelumnya yang membuat Soeharto mendapatkan medali emas dari FAO pada bulan November 1985.[98] Pada awal tahun 1980-an, pemerintahan Soeharto menanggapi jatuhnya ekspor minyak akibat Banjir minyak 1980-an dengan berhasil mengalihkan basis perekonomian ke sektor manufaktur padat karya yang berorientasi ekspor, yang menjadikan daya saing global karena rendahnya produktivitas Indonesia. upah dan serangkaian devaluasi mata uang. Industrialisasi sebagian besar dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Cina-Indonesia yang berkembang menjadi konglomerat besar yang mendominasi perekonomian negara.[99]
Konglomerat terbesar adalah Grup Salim yang dipimpin oleh Liem Sioe Liong (Sudono Salim), Sinar Mas yang dipimpin oleh Oei Ek Tjong (Eka Tjipta Widjaja), Astra Group dipimpin oleh Tjia Han Poen (William Soeryadjaya), Lippo Group dipimpin oleh Lie Mo Tie (Mochtar Riady), Grup Barito Pacific dipimpin oleh Pang Djun Phen (Prajogo Pangestu), dan Grup Nusamba dipimpin oleh Bob Hasan. Soeharto memutuskan untuk mendukung pertumbuhan sejumlah kecil konglomerat Tionghoa-Indonesia karena mereka tidak akan menimbulkan tantangan politik karena status etnis minoritas mereka, namun berdasarkan pengalamannya, ia menganggap mereka memiliki keterampilan dan modal yang diperlukan untuk menciptakan pertumbuhan nyata. untuk negara. Sebagai imbalan atas dukungan Soeharto, para konglomerat menyediakan pendanaan penting untuk aktivitas “pemeliharaan rezim”-nya.[99]
Pada akhir tahun 1980an, pemerintahan Soeharto memutuskan untuk melakukan deregulasi sektor perbankan untuk mendorong tabungan dan menyediakan sumber pembiayaan dalam negeri yang diperlukan untuk pertumbuhan. Soeharto mengeluarkan "Paket Oktober 1988" (PAKTO 88) yang meringankan persyaratan untuk mendirikan bank dan memberikan kredit; mengakibatkan peningkatan jumlah bank sebesar 50% dari tahun 1989 hingga 1991. Untuk meningkatkan tabungan, pemerintah memperkenalkan program TABANAS kepada masyarakat. Bursa Efek Jakarta, yang dibuka kembali pada tahun 1977, mencatat "bull run", karena banyaknya penawaran umum perdana saham (IPO) dalam negeri dan masuknya dana asing setelah deregulasi pada tahun 1990. ketersediaan kredit yang tiba-tiba memicu pertumbuhan ekonomi yang kuat pada awal tahun 1990an, namun lemahnya lingkungan peraturan di sektor keuangan menabur benih krisis yang membawa bencana pada tahun 1997, yang akhirnya berujung pada berakhirnya masa kepresidenan Soeharto.[100]
Meningkatnya korupsi
Pertumbuhan ekonomi tersebut dibarengi dengan pesatnya maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme/KKN). Pada awal tahun 1980-an, anak-anak Soeharto, khususnya Siti Hardiyanti Rukmana ("Tutut"), Hutomo Mandala Putra ("Tommy"), dan Bambang Trihatmodjo, telah tumbuh menjadi orang dewasa yang rakus. Perusahaan mereka diberi kontrak pemerintah yang menguntungkan dan dilindungi dari persaingan pasar melalui monopoli. Contohnya adalah pasar jalan tol tol yang dimonopoli oleh Tutut, proyek mobil nasional yang dimonopoli oleh Bambang dan Tommy, bahkan pasar bioskop yang dimonopoli oleh 21 Cineplex (milik oleh sepupu Soeharto, Sudwikatmono). Keluarga tersebut dikatakan menguasai sekitar 36.000 km2 real estat di Indonesia, termasuk 100.000 m2 ruang kantor utama di Jakarta dan hampir 40% dari tanah di Timor Timur. Selain itu, anggota keluarga Suharto menerima saham gratis di 1.251 perusahaan domestik paling menguntungkan di Indonesia (kebanyakan dijalankan oleh kroni-kroni Soeharto yang beretnis Tionghoa), sementara perusahaan milik asing didorong untuk menjalin "kemitraan strategis" dengan perusahaan keluarga Soeharto. Sementara itu, banyak sekali yayasan yang dijalankan oleh keluarga Suharto semakin bertambah besar, dengan mengumpulkan "sumbangan" jutaan dolar dari sektor publik dan swasta setiap tahunnya.[18][101]
Pada tahun 1997, Majalah Forbes mencantumkan Soeharto sebagai orang terkaya keempat di dunia dengan kekayaan bersih individu sebesar $16 miliar, meskipun gaji tahunan pada tahun puncak terakhirnya hanya sebesar $21.000. Keluarga Soeharto memiliki atau menguasai 3,6 juta hektar tanah utama di Indonesia, luas yang sebanding dengan seluruh Belgia, dan secara langsung memiliki atau mengendalikan ekuitas di setidaknya 564 perusahaan, tanpa ada sektor perekonomian Indonesia yang tidak tersentuh. Dengan modal awal sebesar $100,000, Tommy Soeharto memulai usahanya pada tahun 1984 pada usia 22 tahun. Dalam waktu sepuluh minggu, Grup Humpuss miliknya telah memiliki dua puluh anak perusahaan, yang segera membengkak menjadi enam puluh. Setahun kemudian ia mengakuisisi Perta Oil Marketing, anak perusahaan perusahaan minyak negara Pertamina, yang langsung menjadikannya pialang dan pengangkut minyak mentah utama. Perta menghasilkan keuntungan sebesar $1 juta per bulan. Sebagian besar jalan tol di Indonesia dibangun dan dioperasikan oleh Badan Usaha Milik Negara Jasa Marga, dengan markup yang tak terhitung jumlahnya dan peluang untuk melakukan skimming dan pencurian bagi oligarki ketika proyek tersebut selesai. Pada tahun 1989, Soeharto mengeluarkan keputusan yang memberikan putrinya Tutut 75% keuntungan dari seluruh jalan tol yang dioperasikan kelompoknya bersama Jasa Marga, sehingga semakin meningkatkan biaya. Bambang memposisikan grupnya sebagai mitra perusahaan listrik asing dan memaksa perusahaan listrik milik negara, PLN, untuk membeli listrik dengan harga yang melambung. Menurut perkiraan dari cerita sampul majalah Time edisi internasional tanggal 24 Mei 1999, total kekayaan yang dikumpulkan oleh keluarga Soeharto selama tiga dekade berkuasa adalah $73,24 miliar. Dengan menyisihkan $9 miliar yang diperoleh dari bunga deposito, tiga perempat dari kekayaan ini berasal dari perolehan sumber daya minyak, gas, dan pertambangan negara tersebut, atau bekerja keras pada perusahaan negara dan kontrak-kontrak besar pemerintah. Nilai tambah kewirausahaan dari perusahaan-perusahaan milik keluarga Soeharto ini, secara keseluruhan, hampir nol.[102]
Pada awal tahun 2004, LSM antikorupsi Jerman, Transparansi Internasional, merilis daftar sepuluh pemimpin yang diyakini paling memperkaya diri sendiri dalam dua dekade sebelumnya; berdasarkan jumlah yang diduga dicuri dalam USD, peringkat tertinggi adalah Soeharto dan keluarganya yang dituduh menggelapkan $15 miliar – $35 miliar.[103]
Tahun 1980an dan 1990an
Pada tahun 1980-an, cengkeraman kekuasaan Soeharto dipertahankan melalui pelemahan masyarakat sipil, rekayasa pemilu, dan penggunaan kekuatan koersif militer. Setelah pensiun dari militer pada bulan Juni 1976, Soeharto melakukan reorganisasi angkatan bersenjata yang memusatkan kekuasaan dari komandan ke presiden. Pada bulan Maret 1983, ia menunjuk Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani sebagai panglima angkatan bersenjata yang mengadopsi pendekatan garis keras terhadap elemen-elemen yang menentang pemerintah. Sebagai seorang Katolik Roma, ia bukanlah ancaman politik bagi Soeharto.[104] Dari tahun 1983 hingga 1985, pasukan tentara membunuh hingga 10.000 tersangka penjahat sebagai respons terhadap lonjakan kejahatan rate (lihat "Penembakan misterius"). Pemberlakuan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi oleh Soeharto menimbulkan protes dari kelompok Islam konservatif yang menganggap hukum Islam di atas konsepsi lainnya.[105]
Peristiwa Tanjung Priok menyebabkan tentara membunuh hingga 100 pengunjuk rasa Muslim konservatif pada bulan September 1984. Serangkaian pemboman kecil-kecilan sebagai balasan, termasuk pemboman Borobudur, menyebabkan penangkapan ratusan aktivis Islam konservatif, termasuk calon pemimpin parlemen AM Fatwa dan Abu Bakar Bashir (kemudian menjadi pemimpin Jemaah Islamiyah). Serangan terhadap polisi oleh Gerakan Aceh Merdeka yang bangkit kembali pada tahun 1989 berujung pada operasi militer yang menewaskan 2.000 orang dan mengakhiri pemberontakan pada tahun 1992. Pada tahun 1984, pemerintahan Soeharto mengupayakan peningkatan kontrol atas pers dengan mengeluarkan undang-undang yang mewajibkan semua media memiliki izin penyelenggaraan pers (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers, SIUPP) yang sewaktu-waktu dapat dicabut oleh Kementerian Penerangan.[105]
Dengan berakhirnya komunisme dan Perang Dingin, catatan hak asasi manusia Soeharto mendapat sorotan internasional yang lebih besar, khususnya setelah pembantaian Santa Cruz tahun 1991 di Timor Timur. Soeharto terpilih sebagai ketua Gerakan Non-Blok pada tahun 1992, sedangkan Indonesia menjadi anggota pendiri APEC pada tahun 1989 dan menjadi tuan rumah KTT APEC Bogor pada tahun 1994.[106] Di dalam negeri, urusan bisnis keluarga Soeharto menciptakan ketidakpuasan di kalangan militer yang kehilangan akses terhadap kekuasaan dan peluang mencari keuntungan yang menguntungkan. Pada sidang MPR bulan Maret 1988, para legislator militer berusaha menekan Soeharto dengan gagal menghalangi pencalonan Sudharmono, seorang loyalis Soeharto, sebagai wakil presiden. Kritik Moerdani terhadap korupsi keluarga Soeharto membuat presiden memberhentikannya dari jabatan panglima militer. Soeharto perlahan-lahan melakukan “demiliterisasi” terhadap rezimnya; ia membubarkan Kopkamtib yang berkuasa pada bulan September 1988 dan memastikan posisi-posisi penting militer dipegang oleh para loyalis.[107]
Dalam upaya untuk mendiversifikasi basis kekuasaannya dari militer, Soeharto mulai mencari dukungan dari unsur-unsur Islam. Ia melakukan ibadah haji yang banyak dipublikasikan pada tahun 1991, menggunakan nama Haji Mohammad Soeharto, dan mempromosikan nilai-nilai Islam dan karier para jenderal yang berorientasi Islam. Untuk mendapatkan dukungan dari komunitas bisnis Muslim yang baru lahir yang tidak menyukai dominasi konglomerat Tionghoa-Indonesia, Soeharto membentuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada bulan November 1990, yang dipimpin oleh anak didiknya B.J. Habibie, Menteri Riset dan Teknologi sejak tahun 1978. Pada periode ini, kerusuhan ras terhadap etnis Tionghoa mulai cukup sering terjadi, diawali dengan kerusuhan bulan April 1994 di Medan.[108] Pada tahun 1990-an, pemerintahan Soeharto didominasi oleh politisi sipil seperti Habibie, Harmoko, Ginandjar Kartasasmita, dan Akbar Tanjung, yang posisinya semata-mata berasal dari Soeharto. Sebagai tanda meningkatnya pengaruh Habibie, ketika dua majalah terkemuka di Indonesia dan sebuah surat kabar tabloid memberitakan kritik atas pembelian hampir seluruh armada Angkatan Laut Jerman Timur yang dibubarkan oleh Habibie pada tahun 1993 (sebagian besar kapal tersebut bernilai sisa ), Kementerian Penerangan memerintahkan penerbitan yang melanggar tersebut ditutup pada tanggal 21 Juni 1994.[109] Pada tahun 1993, Museum Purna Bhakti Pertiwi dibuka atas prakarsa Tien Soeharto. Tempat ini menampung dan memamerkan koleksi Soeharto termasuk karya seni dan cenderamata, yang diterima dari berbagai pemimpin dunia dan masyarakat Indonesia.
Pada tahun 1990-an, elemen kelas menengah Indonesia yang semakin meningkat akibat perkembangan ekonomi Soeharto menjadi gelisah dengan otokrasi dan korupsi yang dilakukan anak-anaknya, sehingga memicu tuntutan untuk "Reformasi" (reformasi) dari pemerintahan Orde Baru yang hampir berusia 30 tahun. Sebagian besar kelas menengah tidak mempunyai ingatan mengenai kejadian-kejadian menjelang naiknya Soeharto ke tampuk kekuasaan. Pada tahun 1996, putri Soekarno, Megawati Soekarnoputri, ketua PDI yang biasanya patuh, menjadi tokoh oposisi atas meningkatnya ketidakpuasan ini. Sebagai tanggapan, Soeharto mendukung faksi terkooptasi PDI yang dipimpin oleh Soerjadi, yang menggulingkan Megawati sebagai pemimpin PDI. Pada tanggal 27 Juli 1996, penyerangan yang dilakukan oleh tentara dan preman bayaran yang dipimpin oleh Letjen Sutiyoso saat demonstrasi pendukung Megawati di Jakarta mengakibatkan kerusuhan dan penjarahan yang memakan korban jiwa. Peristiwa ini disusul dengan penangkapan 200 aktivis demokrasi, 23 di antaranya diculik, dan sebagian dibunuh, oleh pasukan tentara yang dipimpin menantu Soeharto, Mayor Jenderal Prabowo Subianto.[110] Pada tahun 1995, Soeharto mengeluarkan koin emas senilai 850.000 rupiah khusus dengan wajah di satu sisi koin dalam perayaan 50 tahun Kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 5 Oktober 1997, ia menganugerahkan dirinya sendiri dan para jenderal Soedirman dan Abdul Haris Nasution dengan pangkat kehormatan bintang lima "Jenderal Besar."[111]
Krisis ekonomi dan kejatuhan
Krisis keuangan Asia
Indonesia adalah negara yang paling terkena dampak Krisis finansial Asia 1997. Sejak pertengahan tahun 1997 terjadi arus keluar modal dalam jumlah besar dan terhadap dolar AS. Karena praktik pinjaman bank yang buruk, banyak perusahaan Indonesia meminjam pinjaman dolar AS yang lebih murah, sementara pendapatan mereka sebagian besar dalam mata uang rupiah. Melemahnya nilai tukar rupiah memicu pembelian panik dolar AS oleh perusahaan-perusahaan tersebut, sehingga menyebabkan nilai rupiah Indonesia anjlok dari tingkat sebelum krisis sebesar Rp. 2.600 hingga titik terendah di awal tahun 1998 sekitar Rp. 17.000. Akibatnya, banyak perusahaan bangkrut dan perekonomian menyusut sebesar 13,7%, menyebabkan peningkatan tajam angka pengangguran dan kemiskinan di seluruh negeri.[112]
Upaya bank sentral untuk mempertahankan rupiah terbukti sia-sia dan hanya menguras cadangan dolar negara. Sebagai imbalan atas bantuan likuiditas sebesar US$43 miliar, antara Oktober 1997 dan April berikutnya, Soeharto menandatangani tiga surat perjanjian dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk proses reformasi ekonomi. Pada bulan Januari 1998, pemerintah terpaksa memberikan bantuan likuiditas darurat (BLBI), menerbitkan jaminan menyeluruh untuk simpanan bank dan membentuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia untuk mengambil alih pengelolaan bank-bank bermasalah untuk mencegah keruntuhan sistem keuangan. sistem. Salah satu langkah yang diambil berdasarkan rekomendasi IMF adalah pemerintah menaikkan suku bunga hingga 70% per tahun pada bulan Februari 1998, yang semakin memperburuk kontraksi perekonomian. Pada bulan Desember 1997, Soeharto tidak menghadiri pertemuan puncak presiden ASEAN untuk pertama kalinya, yang kemudian diketahui karena stroke ringan, sehingga menimbulkan spekulasi tentang kesehatannya dan masa depan kepresidenannya. Pada pertengahan bulan Desember, ketika krisis melanda Indonesia dan sekitar $150 miliar modal ditarik dari negara tersebut, ia muncul di konferensi pers untuk menegaskan kembali otoritasnya dan mendesak masyarakat untuk mempercayai pemerintah dan keruntuhan ekonomi. rupiah.[113]
Namun, upayanya untuk mengembalikan kepercayaan diri tidak banyak berpengaruh. Bukti menunjukkan bahwa keluarga dan rekan-rekannya tidak terkena persyaratan paling ketat dalam proses reformasi IMF, yang semakin melemahkan kepercayaan terhadap perekonomian dan kepemimpinannya.[105] krisis ekonomi disertai dengan meningkatnya ketegangan politik. Kerusuhan anti Tionghoa terjadi di Situbondo (1996), Tasikmalaya (1996), Banjarmasin (1997), dan Makassar (1997); Bentrokan etnik yang disertai kekerasan terjadi antara pemukim Dayak dan Orang Madura di Kalimantan Tengah pada tahun 1997. Golkar memenangkan 1997 yang dicurangi pemilu, dan pada bulan Maret 1998, Suharto terpilih dengan suara bulat untuk masa jabatan lima tahun berikutnya. Dia menominasikan anak didiknya B. J. Habibie sebagai wakil presiden kemudian menyusun kabinet bersama keluarga dan rekan bisnisnya sendiri, termasuk putri sulungnya Tutut sebagai Menteri Sosial. Penunjukan tersebut dan anggaran pemerintah tahun 1998 yang tidak realistis semakin menciptakan ketidakstabilan mata uang,[114] rumor, dan kepanikan; yang menyebabkan kehabisan toko dan menaikkan harga.[115] Pemerintah kembali menaikkan harga bahan bakar sebesar 70% pada bulan Mei 1998, yang memicu gelombang kerusuhan lainnya di Medan.[116]
Soeharto mengundurkan diri
Ketika Soeharto semakin dipandang sebagai sumber meningkatnya krisis ekonomi dan politik di negara ini, tokoh-tokoh politik terkemuka, termasuk politikus Muslim Amien Rais, berbicara menentang kepresidenannya, dan pada bulan Januari 1998 mahasiswa mulai mengorganisir demonstrasi berskala nasional.[117] Krisis ini mencapai puncaknya ketika Soeharto melakukan kunjungan kenegaraan ke Mesir pada tanggal 12 Mei 1998, ketika pasukan keamanan membunuh empat demonstran dari Universitas Trisakti Jakarta. Kerusuhan dan penjarahan di Jakarta dan kota-kota lain pada hari-hari berikutnya menghancurkan ribuan bangunan dan menewaskan lebih dari 1.000 orang. Etnis Tionghoa dan bisnis mereka menjadi sasaran khusus kekerasan tersebut. Teori asal muasal kekerasan ini antara lain persaingan antara Panglima TNI Jenderal Wiranto dan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Letjen Prabowo Subianto, dan usulan dari provokasi yang disengaja oleh Soeharto untuk mengalihkan kesalahan atas krisis ini kepada etnis Tionghoa dan mendiskreditkan gerakan mahasiswa.[118]
Pada tanggal 16 Mei, puluhan ribu mahasiswa menuntut pengunduran diri Soeharto, dan menduduki halaman dan atap gedung parlemen. Sekembalinya Soeharto ke Jakarta, ia menawarkan untuk mengundurkan diri pada tahun 2003 dan merombak kabinetnya. Upaya ini gagal ketika sekutu politiknya meninggalkannya dengan menolak bergabung dengan kabinet baru yang diusulkan. Menurut Wiranto, pada tanggal 18 Mei, Soeharto mengeluarkan dekrit yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan apa pun guna memulihkan keamanan; namun, Wiranto memutuskan untuk tidak menerapkan keputusan tersebut untuk mencegah konflik dengan penduduk.[119] Pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya, dan wakil presiden Habibie mengambil alih jabatan presiden sesuai dengan konstitusi.[15][120][121] Dokumen dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menunjukkan bahwa Pemerintahan Clinton berusaha menjaga hubungan dekat dengan militer Indonesia setelah jatuhnya kekuasaan Soeharto.[122]
Pasca-kepresidenan
Tuduhan korupsi
Setelah mengundurkan diri dari kursi kepresidenan, Soeharto menjadi penyendiri di kompleks keluarganya di kawasan Menteng Jakarta, dilindungi tentara dan jarang tampil di depan umum. Keluarga Suharto menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menangkis investigasi korupsi. Namun, Soeharto sendiri dilindungi dari tuntutan berat oleh para politisi yang berutang jabatan kepada mantan presiden tersebut, seperti yang ditunjukkan dalam bocoran percakapan telepon antara Presiden Habibie dan Jaksa Agung Andi Muhammad Ghalib pada bulan Februari 1999.[123] Pada bulan Mei 1999, Time Asia memperkirakan kekayaan keluarga Soeharto berjumlah US$15 miliar dalam bentuk tunai, saham, aset perusahaan, real estate, perhiasan dan seni rupa. Soeharto menggugat majalah tersebut dengan meminta ganti rugi lebih dari US$27 miliar atas pencemaran nama baik atas artikel tersebut.[124] Pada tanggal 10 September 2007, Mahkamah Agung Indonesia menghadiahkan Soeharto kerusakan terhadap majalah Time Asia, memerintahkan Suharto untuk membayarnya satu triliun rupiah ($128,59 juta). Pengadilan Tinggi membatalkan putusan dari pengadilan banding dan Jakarta Pusat pengadilan negeri (dibuat pada tahun 2000 dan 2001).[butuh rujukan]
Soeharto menduduki peringkat tertinggi dalam daftar pemimpin korup menurut Transparency International dengan dugaan penyelewengan antara US$15–35 miliar selama 32 tahun masa kepresidenannya.[18][101] Pada tanggal 29 Mei 2000, Soeharto ditempatkan di bawah tahanan rumah ketika pihak berwenang Indonesia mulai menyelidiki korupsi selama masa kepresidenannya. Pada bulan Juli 2000, diumumkan bahwa ia dituduh menggelapkan US$571 juta sumbangan pemerintah ke salah satu dari beberapa yayasan di bawah kendalinya dan kemudian menggunakan uang tersebut untuk membiayai investasi keluarga. Namun, pada bulan September, dokter yang ditunjuk pengadilan mengumumkan bahwa dia tidak dapat diadili karena kesehatannya yang menurun. Jaksa negara mencoba lagi pada tahun 2002, namun kemudian dokter menyebutkan adanya penyakit otak yang tidak dijelaskan secara spesifik. Pada tanggal 26 Maret 2008, hakim pengadilan sipil membebaskan Soeharto dari tuduhan korupsi tetapi memerintahkan yayasan amalnya, Supersemar, untuk membayar US$110 juta (£55 juta).[125]
Pada tahun 2002, putra Soeharto Tommy Soeharto dijatuhi hukuman 15 tahun penjara karena memerintahkan pembunuhan seorang hakim (yang sebelumnya memvonisnya karena korupsi), kepemilikan senjata ilegal, dan melarikan diri dari keadilan. Pada tahun 2006, dia dibebaskan bersyarat dengan "pembebasan bersyarat".[126] Pada tahun 2003, saudara tiri Soeharto Probosutedjo diadili dan dihukum karena korupsi dan kerugian negara Indonesia sebesar $10 juta. Dia dijatuhi hukuman empat tahun penjara. Ia kemudian memenangkan pengurangan hukumannya menjadi dua tahun, dengan memulai penyelidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atas dugaan skandal "mafia peradilan" yang mengungkap tawaran $600.000 kepada berbagai hakim. Probosutedjo mengakui skema tersebut pada bulan Oktober 2005, yang menyebabkan penangkapan pengacaranya. Masa jabatan empat tahun penuhnya dipulihkan.[127] Setelah kebuntuan singkat di rumah sakit, di mana dia dilaporkan dilindungi oleh sekelompok petugas polisi, dia ditangkap pada tanggal 30 November 2005.[128][129] Pada tanggal 9 Juli 2007, jaksa Indonesia mengajukan gugatan perdata terhadap Soeharto, untuk memulihkan dana negara ($440 juta atau £219 juta, yang diduga hilang dari dana beasiswa, dan kerugian tambahan sebesar $1,1 miliar).[130]
Penyakit dan kematian
Setelah mengundurkan diri dari kursi kepresidenan, Soeharto berulang kali dirawat di rumah sakit karena stroke, masalah jantung, dan usus. Kesehatannya yang menurun menghalangi upaya untuk mengadilinya karena pengacaranya berhasil mengklaim bahwa kondisinya membuat dia tidak layak untuk diadili. Terlebih lagi, hanya ada sedikit dukungan di Indonesia terhadap upaya untuk mengadilinya. Pada tahun 2006, Jaksa Agung Abdurrahman mengumumkan bahwa tim yang terdiri dari dua puluh dokter akan diminta untuk mengevaluasi kesehatan dan kebugaran Soeharto untuk diadili. Salah satu dokter, Brigadir Jenderal Dr Marjo Subiandono, menyatakan keraguannya dengan mengatakan bahwa "[Soeharto] memiliki dua cacat otak permanen."[131] Dalam laporan Financial Times berikutnya, Jaksa Agung Abdurrahman membahas pemeriksaan ulang tersebut, dan menyebutnya sebagai bagian dari "kesempatan terakhir" untuk mengadili Soeharto secara pidana. Jaksa Agung Abdurrahman membuka kemungkinan untuk mengajukan gugatan terhadap harta warisan Soeharto.[132]
Pada tanggal 4 Januari 2008, Soeharto dibawa ke Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta dengan komplikasi akibat kesehatan yang buruk, pembengkakan anggota badan dan perut, serta gagal ginjal parsial.[133] Kesehatannya berfluktuasi selama beberapa minggu tetapi semakin memburuk dengan anemia dan tekanan darah rendah karena komplikasi jantung dan ginjal, pendarahan internal, cairan di paru-parunya, dan darah di tinja dan urinnya yang menyebabkan hemoglobin turun.[134] Pada tanggal 23 Januari, kesehatan Soeharto semakin memburuk karena infeksi sepsis menyebar ke seluruh tubuhnya.[135] Keluarganya menyetujui pelepasan mesin pendukung kehidupan jika kondisinya tidak membaik, dan dia meninggal pada tanggal 27 Januari pukul 13.09.[136][137][3]
Beberapa menit setelah kematiannya, Presiden Indonesia saat itu Susilo Bambang Yudhoyono mengadakan konferensi pers yang menyatakan Soeharto sebagai salah satu "putra terbaik" Indonesia dan mengundang negara untuk memberikan penghormatan dan penghormatan setinggi-tingginya kepada mantan presiden tersebut.[138] Jenazah Soeharto dibawa dari Jakarta ke kompleks makam Astana Giribangun di Kabupaten Karanganyar, dekat kota Solo Jawa Tengah. Ia dimakamkan bersama mendiang istrinya dalam pemakaman militer negara dengan penuh penghormatan, dengan pasukan elit Kopassus dan pasukan komando KOSTRAD sebagai pengawal kehormatan dan pengusung jenazah serta Komandan Grup II Kopassus Surakarta Letkol Asep Subarkah.[139] Hadir pula Presiden Yudhoyono yang memimpin upacara tersebut, serta wakil presiden, para menteri, dan kepala staf angkatan bersenjata. Puluhan ribu orang berbaris di jalan untuk melihat konvoi tersebut.[140] Ucapan belasungkawa disampaikan banyak kepala negara daerah. Presiden Yudhoyono sore itu mengumumkan satu minggu berkabung resmi terhitung sejak hari wafatnya Soeharto.[141] Pada periode ini, seluruh bendera Indonesia dikibarkan setengah tiang.
Rehabilitasi politik
Pada tanggal 25 September 2024, dalam salah satu undang-undang terakhirnya pada periode 2019–2024, DPR mencabut pasal 4 Ketetapan MPR XI/MPR/1998, yang menuduh Soeharto dan kroni-kroninya melakukan tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme (ayat 4 khusus bernama Soeharto). Alasannya adalah karena Soeharto tidak pernah diadili atas tuduhan tersebut sebelum kematiannya pada tahun 2008. Langkah ini memicu kembali perdebatan mengenai apakah Soeharto harus dianugerahi status Pahlawan Nasional.[142]
Penghargaan
Penghargaan nasional
Sebagai perwira di Tentara Nasional Indonesia (1940–1974), dan kemudian sebagai presiden Indonesia (1967–1998), ia menerima beberapa Dekorasi Bintang sipil dan militer dari Indonesia yaitu:[143]
Baris ke-1 | Bintang Republik Indonesia Adipurna (27 Mei 1988)[144] | Bintang Mahaputera Adipurna (27 Mei 1988)[145] | Bintang Jasa Utama (27 Mei 1988)[146] | Bintang Budaya Parama Dharma (27 Mei 1988)[147] |
---|---|---|---|---|
Baris ke-2 | Bintang Gerilya | Bintang Sakti | Bintang Dharma | Bintang Yudha Dharma Utama |
Baris ke-3 | Bintang Kartika Eka Paksi Utama | Bintang Jalasena Utama | Bintang Swa Bhuwana Paksa Utama | Bintang Bhayangkara Utama |
Baris ke-4 | Bintang Kartika Eka Paksi Pratama | Bintang Kartika Eka Paksi Nararya | Bintang Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia | Bintang Garuda |
Baris ke-5 | Satyalancana Teladan | Satyalancana Kesetiaan 16 Tahun | Satyalancana Perang Kemerdekaan I | Satyalancana Perang Kemerdekaan II |
Baris ke-6 | Satyalancana G.O.M I | Satyalancana G.O.M II | Satyalancana G.O.M III | Satyalancana G.O.M IV |
Baris ke-7 | Satyalancana Satya Dharma | Satyalancana Wira Dharma | Satyalancana Penegak | Bintang Legiun Veteran Republik Indonesia (1989)[148] |
Luar Negeri
- Afrika Selatan :
- Grand Cross of the Order of Good Hope (1997)[149]
- Arab Saudi :
- Collar of the Order of Badr Chain (1977)
- Austria :
- Grand Star of the Decoration of Honour for Services to the Republic of Austria (1972)[150]
- Belanda :
- Knight Grand Cross of the Order of the Netherlands Lion (1970)
- Commander of the Most Excellent Order of the Golden Ark[151]
- Belgia :
- Grand Cordon of the Order of Leopold (1973)
- Britania Raya :
- Honorary Knight Grand Cross (Military Division) of the Most Honourable Order of the Bath (GCB) (1974)[152]
- Brunei :
- Darjah Kerabat Mahkota Brunei (DKMB) (1988)[153][154]
- Darjah Kerabat Laila Utama Yang Amat Dihormati (DK) (1988)
- Kekaisaran Etiopia :
- Grand Cordon with Collar of the Order of the Queen of Sheba (1968)
- Filipina :
- Grand Collar of the Order of Sikatuna, Rank of Raja (GCS) (1968)
- Grand Collar of the Order of the Golden Heart (GCGH) (1968)
- Kekaisaran Iran :
- 1st Class of the Order of Pahlavi
- Commemorative Medal of the 2,500 year Celebration of the Persian Empire (1971)
- Italia :
- Knight Grand Cross with Collar of the Order of Merit of the Italian Republic (OMRI) (1972)[155]
- Jepang :
- Grand Cordon of the Supreme Order of the Chrysanthemum (1968)
- Jerman Barat :
- Grand Cross Special Class of the Order of Merit of the Federal Republic of Germany (1970)
- Kamboja :
- Grand Collar of the National Order of Independence (April 1968)[156]
- Kuwait :
- Collar of the Order of Mubarak the Great (1977)
- Korea Selatan :
- Grand Order of Mugunghwa (1981)
- Malaysia :
- Darjah Utama Seri Mahkota Negara (DMN) (1988)
- Johor :
- Darjah Kerabat Johor Yang Amat Dihormati (DK I) (1987)[157]
- Perak :
- Darjah Kerabat Diraja Yang Amat Dihormati (DK) (1988)
- Mesir :
- Grand Collar of the Order of the Nile (1977)
- Pakistan :
- Nishan-e-Pakistan (NPk) (1982)
- Perancis :
- Grand Cross of the National Order of the Legion of Honour (1972)[158]
- Qatar :
- Collar of the Order of the Independence (1977)[159]
- Romania :
- First Class of the Order of the Star of the Romanian Socialist Republic (1982)
- Singapura :
- Darjah Utama Temasek (DUT) (1974)[160]
- Spanyol :
- Knight Grand Cross with Collar of the Order of Isabella the Catholic (CoYC) (1980)[161]
- Syria :
- Member 1st Class of the Order of the Umayyads (1977)
- Thailand :
- Knight of the Most Auspicious Order of the Rajamitrabhorn (KRM) (1970)
- Ukraina :
- 1st Class of the Order of Prince Yaroslav the Wise (1997)
- Uni Emirat Arab :
- Venezuela :
- Grand Cordon with Collar of the Order of the Liberator (1988)
- Yaman :
- Collar of the Order of the Republic[162]
- Yordania :
- Grand Cordon with Collar of the Order of Al-Hussein bin Ali (1986)
- Yugoslavia :
- Yugoslav Great Star of the Order of the Yugoslav Star (1975)
Dalam budaya populer
Soeharto telah diperankan oleh lima aktor Indonesia di beberapa film.[163]
- Kaharuddin Syah memerankan Soeharto dalam film Janur Kuning tahun 1980 yang disutradarai oleh Alam Surawidjaja.
- Antonius Yacobus memerankan Soeharto dalam film tahun 1982 Serangan Fajar yang disutradarai oleh Arifin C. Noer.
- Amoroso Katamsi memerankan Soeharto dalam film Pengkhianatan G30S/PKI tahun 1984 dan film Djakarta 66 tahun 1988 yang disutradarai oleh Arifin C. Noer. Amoroso Katamsi juga memerankan Soeharto dalam film drama tahun 2015 Di Balik 98 yang disutradarai oleh Lukman Sardi.
- Marcell Siahaan memerankan Soeharto dalam film komedi 2010 Laskar Pemimpi yang disutradarai oleh Monty Tiwa.
- Tio Pakusadewo memerankan Soeharto dalam film biopik tahun 2012 Habibie & Ainun yang disutradarai oleh Faozan Rizal.
Lihat pula
Catatan
- ^ Pada tanggal 11 Maret 1966, Soekarno menyerahkan kekuasaan penting kepresidenan kepada Soeharto melalui surat wewenang yang dikenal sebagai Supersemar dan menyerahkan kekuasaannya pada tanggal 20 Februari 1967, namun ia tidak secara resmi dibebastugaskan. gelar presidennya oleh parlemen sementara (MPRS) hingga 12 Maret 1967.
- ^ Juga dieja Suharto
- ^ /suːˈhɑːrtoʊ/ soo-HAR-toh, Indonesia: [suˈharto] ⓘ
Referensi
- ^ Romi J. (2020-11-20). "Penasaran Tidak, Berapa Sih Tinggi Badan Semua Presiden Indonesia". bertuahpos.com. Diakses tanggal 2024-02-06.
- ^ Mappapa, Pasti Liberti (2019-09-30). "Sekondan Soeharto di Pusaran G30S/PKI". detikNews. Diakses tanggal 2023-06-16.
Latief sendiri mengaku anak buah langsung Soeharto sejak bertugas di Yogyakarta. Nomor Registrasi Pokok (NRP) keduanya berurutan. "NRP saya 10685, sedangkan NRP Pak Harto 10684, jadi saya selalu menempel di belakangnya.
- ^ a b Berger, Marilyn (28 Januari 2008). "Suharto Dies at 86; Indonesian Dictator Brought Order and Bloodshed". The New York Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 Desember 2018. Diakses tanggal 23 Februari 2017.
- ^ Gittings, John (28 Januari 2008). "Obituary: Suharto, former Indonesian dictator: 1921–2008". The Guardian. Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 Desember 2018. Diakses tanggal 17 Desember 2016.
- ^ Hutton, Jeffrey (19 Mei 2018). "Is Indonesia's Reformasi a success, 20 years after Suharto?". South China Morning Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 April 2022. Diakses tanggal 14 Desember 2018.
...would topple the dictator Suharto.
- ^ Berger, Marilyn (28 Januari 2008). "Suharto Dies at 86; Indonesian Dictator Brought Order and Bloodshed". The New York Times (dalam bahasa Inggris). ISSN 0362-4331. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 December 2018.
- ^ Wiranto (2011), hlm. 24.
Forrester, Geoff; May, R.J. (1998). The Fall of Soeharto. Bathurst, Australia: C. Hurst and Co. ISBN 1-86333-168-9. - ^ Kine, Phelim (2017). "Indonesia Again Silences 1965 Massacre Victims". Human Rights Watch.
Over the next few months, at least 500,000 people were killed (the total may be as high as one million). The victims included members of the Communist Party of Indonesia (PKI), ethnic Chinese, trade unionists, teachers, activists, and artists.
- ^ Dwipayana & Ramadhan (1989), hlm. 13.
- ^ See the details in Chapter 2, 'Akar saya dari desa' (My village roots), in Dwipayana & Ramadhan (1989), hlm. 14.
- ^ Estimates of government funds misappropriated by the Suharto family range from US$1.5 billion and US$5 billion.(Ignatius, Adi (11 September 2007). "Mulls Indonesia Court Ruling". Time. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 Februari 2008. Diakses tanggal 9 Agustus 2009. ).
- ^ a b Haskin, Colin (27 Januari 2008). "Suharto dead at 86". The Globe and Mail. Jakarta. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 Februari 2023. Diakses tanggal 3 Februari 2023.
- ^ Slater, Dan (2009), Mahoney, James; Thelen, Kathleen, ed., "Altering Authoritarianism: Institutional Complexity and Autocratic Agency in Indonesia", Explaining Institutional Change: Ambiguity, Agency, and Power, Cambridge University Press, hlm. 132–167, ISBN 978-0-521-11883-5, diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Juni 2018, diakses tanggal 9 Juni 2022
- ^ Miguel, Edward; Paul Gertler; David I. Levine (Januari 2005). "Does Social Capital Promote Industrialization? Evidence from a Rapid Industrializer". Econometrics Software Laboratory, University of California, Berkeley.
- ^ a b c d e f g h i j k l m McDonald, Hamish (28 Januari 2008). "No End to Ambition". Sydney Morning Herald. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Maret 2018. Diakses tanggal 31 Januari 2008.
- ^ "Ini 7 Julukan Presiden Indonesia, Dari Soekarno Sampai Jokowi : Okezone Edukasi". 28 November 2022. Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 April 2023. Diakses tanggal 23 April 2023.
- ^ Global Corruption Report 2004: Political Corruption by Transparency International – Issue. Pluto Press. 2004. hlm. 13. ISBN 0-7453-2231-X. Diarsipkan dari versi asli tanggal 12 November 2020. Diakses tanggal 8 Mei 2020 – via Issuu.com.
- ^ a b c "Suharto tops corruption rankings". BBC News. 25 Maret 2004. Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 November 2020. Diakses tanggal 4 Februari 2006.
- ^ "Dari 1965 hingga slogan 'piye kabare enak jamanku toh': Suharto dibenci, Suharto dirindukan (In Indonesian)". www.bbc.com. 24 Mei 2018.
- ^ "Revealing the Ultimate 2020 List: The 10 Most Corrupt Politicians in the World – The Sina Times" (dalam bahasa Inggris). 2020-01-03. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 Januari 2024. Diakses tanggal 2024-01-03.
- ^ "Pro Kontra Soeharto Pahlawan Nasional". Trias Politica. 26 May 2016. Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 September 2016. Diakses tanggal 28 July 2016.
- ^ Romano, Angela Rose (2003). Politics and the Press in Indonesia. Psychology Press. hlm. ix. ISBN 0-7007-1745-5.
- ^ Tom Lansford. Historical Dictionary of U.S. Diplomacy since the Cold War. Scarecrow Press; 10 September 2007. ISBN 978-0-8108-6432-0. p. 260.
- ^ Tempo (Jakarta), 11 November 1974.
- ^ a b McDonald (1980), hlm. 10.
- ^ a b McDonald (1980), hlm. 11.
- ^ a b Elson (2001), hlm. 1–6.
- ^ McDonald (1980), hlm. 12–3.
- ^ a b McDonald (1980), hlm. 13.
- ^ Elson (2001), hlm. 8.
- ^ Elson (2001), hlm. 9.
- ^ a b McDonald (1980), hlm. 14.
- ^ McDonald (1980), hlm. 16.
- ^ Elson (2001), hlm. 14–5.
- ^ a b Elson (2001), hlm. 15–7.
- ^ a b Elson (2001), hlm. 20–5, 28–9.
- ^ Dwipayana & Ramadhan (1989), hlm. 61–2.
- ^ Elson (2001), hlm. 29–38, 42–4.
- ^ McDonald (1980), hlm. 24–5.
- ^ McDonald (1980), hlm. 25.
- ^ Elson (2001), hlm. 52–5.
- ^ McDonald (1980), hlm. 30–1.
- ^ McDonald (1980), hlm. 31–2.
- ^ "Sejarah: Kostrad". Kostrad. Diarsipkan dari versi asli tanggal 26 Juli 2018. Diakses tanggal 26 Juli 2018.
- ^ Dake, Antonie (2006). The Sukarno file, 1965–1967 : chronology of a defeat. Yayasan Obor.
- ^ Ricklefs (1991), hlm. 281.
- ^ Vickers (2005), hlm. 156.
- ^ Friend (2003), hlm. 104.
- ^ Ricklefs (1991), hlm. 282.
- ^ a b Ricklefs (1991), hlm. 281–2.
- ^ a b Vickers (2005), hlm. 157.
- ^ Simpson (2010), hlm. 193.
- ^ Robinson (2018), hlm. 177.
- ^ Bevins (2020), hlm. 157.
- ^ Ricklefs (1991), hlm. 287.
- ^ Ricklefs (1991), hlm. 288.
- ^ Friend (2003), hlm. 113.
- ^ Vickers (2005), hlm. 159.
- ^ Robert Cribb (2002). "Unresolved Problems in the Indonesian Killings of 1965–1966". Asian Survey. 42 (4): 550–63. doi:10.1525/as.2002.42.4.550. JSTOR 3038872.
- ^ Aarons (2008), p. 80.
- ^ Melvin (2018), hlm. 1.
- ^ Vickers (2005), hlm. 159–60.
- ^ Schwarz (1994), hlm. 2, 22.
- ^ Aarons (2008), p. 81.
- ^ a b Vickers (2005), hlm. 160.
- ^ Ricklefs (1991), hlm. 288–90.
- ^ a b c Elson (2001), hlm. 130–5.
- ^ Hughes 2002, hlm. 267–270
- ^ Hughes 2002, hlm. 107
- ^ Schwarz (1994), hlm. 25.
- ^ McDonald (1980), hlm. 60.
- ^ Schwarz (1994), hlm. 2.
- ^ Ricklefs (1991), hlm. 295.
- ^ Ward, Ken (2010). "2 Soeharto's Javanese Pancasila". Dalam Edward Aspinall; Greg Fealy. Soeharto's New Order and its Legacy: Essays in honour of Harold Crouch. Canberra AU: The Anu E Press. ISBN 9781921666469. Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 Mei 2013. Diakses tanggal 6 Desember 2013.
(Harold Crouch)
- ^ Wanandi (2012), hlm. 56–9.
- ^ Wanandi (2012), hlm. 60–8.
- ^ Aspinall, Klinken & Feith (1999), hlm. ii.
- ^ "Beban Sejarah Umat Islam Indonesia". Pikiran Rakyat. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 Mei 2005.
- ^ Wanandi (2012), hlm. 86–8.
- ^ Ricklefs (1991), hlm. 76–7.
- ^ Elson (2001), hlm. 184–6.
- ^ a b Schwarz (1994), hlm. 32.
- ^ File:Ford, Kissinger, Indonesian President Suharto - July 5, 1975(Gerald Ford Library)(1553151).pdf, p. 2
- ^ a b Schwarz (1994), hlm. 106.
- ^ Conboy (2003), pp. 262–5.
- ^ Elson (2001), hlm. 177–8.
- ^ Effendi, Wahyu; Prasetyadji, P. (2008). Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI [The Chinese in the Grip of the SBKRI]. Jakarta: Visimedia. ISBN 9789791044110.
- ^ J. Panglaykim dan K.D. Thomas, “Orde Baru dan Perekonomian,” Indonesia, April 1967, hal. 73.
- ^ a b Robinson (2018), hlm. 178–203.
- ^ Elson (2001), hlm. 170–2.
- ^ Sheridan, Greg (28 Januari 2008). "Farewell to Jakarta's Man of Steel". The Australian. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 February 2012. Diakses tanggal 14 April 2010.
- ^ Koerner, Brendan (26 March 2004). "How Did Suharto Steal $35 Billion?". Slate. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 September 2011. Diakses tanggal 4 Februari 2006.
- ^ Schwarz (1994).
- ^ Benetech Human Rights Data Analysis Group (9 Februari 2006). "The Profile of Human Rights Violations in Timor-Leste, 1974–1999". A Report to the Commission on Reception, Truth and Reconciliation of Timor-Leste. Human Rights Data Analysis Group (HRDAG). Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 Mei 2012.
- ^ Commission for Reception, Truth and Reconciliation in East Timor Benetech Human Rights Data Analysis Group (9 Februari 2006). "The Profile of Human Rights Violations in Timor-Leste, 1974–1999". A Report to the Commission on Reception, Truth and Reconciliation of Timor-Leste. Human Rights Data Analysis Group (HRDAG). Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 Mei 2012.
- ^ Elson (2001), hlm. 178–9.
- ^ Rock (2003), hlm. 3.
- ^ Rock (2003), hlm. 4.
- ^ a b Rock (2003), hlm. 17.
- ^ "Bank Indonesia" (PDF). Bi.go.id. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 8 April 2011. Diakses tanggal 28 November 2014.
- ^ a b "Global Corruption Report" (PDF). Transparency International. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 4 Juli 2007. Diakses tanggal 6 Agustus 2009.
- ^ Winters, Jeffrey A. (2011), Oligarchy, Cambridge University Press, hlm. 167–169, ISBN 978-0-521-18298-0
- ^ "Plundering politicians and bribing multinationals undermine economic development, says TI" (PDF) (Siaran pers). Transparency International. 25 Maret 2004. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 21 Juni 2007. Diakses tanggal 21 Desember 2016.
- ^ Elson (2001), hlm. 457–60.
- ^ a b c Aspinall, Klinken & Feith (1999), hlm. ii–iii.
- ^ Elson (2001), hlm. 510–1.
- ^ Dijk (2001), chapter 5.
- ^ Elson (2001), hlm. 211–4.
- ^ Steele, Janet (2005). Wars Within: The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto's Indonesia (edisi ke-First). Equinox Publishing. hlm. 234–235. ISBN 9793780088.
- ^ Elson (2001), hlm. 284–7.
- ^ Eklöf, Stefan (1999). Indonesian Politics in Crisis: The Long Fall of Suharto, 1996-1998. NIAS Press. hlm. 104. ISBN 8787062690.
- ^ "Indonesia: Country Brief". Indonesia:Key Development Data & Statistics. The World Bank. September 2006. Diarsipkan dari versi asli tanggal 1 November 2012. Diakses tanggal 14 Juni 2013.
- ^ Friend (2003), hlm. 313.
- ^ Friend (2003), hlm. 314.
- ^ Friend (2003), hlm. 314.
{{harvp|Aspinall|Klinken|Feith|1999|pp=ii–iii} }. - ^ Purdey (2006), hlm. 115.
- ^ Elson (2001), hlm. 267.
- ^ Purdey (2006), hlm. 148–50.
- ^ Wiranto (2011), hlm. 67-9.
- ^ Vickers (2005), hlm. 203–7.
- ^ Aspinall, Klinken & Feith (1999), hlm. iv–vii.
- ^ Brad Simpson, ed. (24 Juli 2018). "US Promoted Close Ties to Indonesian Military as Suharto's Rule Came to an End in Spring 1998". National Security Archive. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 Agustus 2018. Diakses tanggal 2 Agustus 2018.
- ^ "Rekaman Habibie-Ghalib". Minihub.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 16 Januari 2013. Diakses tanggal 6 Desember 2013.
- ^ "Suharto wins $128m in damages". Herald Sun. 10 September 2007. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 Oktober 2007. Diakses tanggal 9 Agustus 2009.
- ^ "Suharto charity told to pay $110 m". BBC News. 27 Maret 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 Maret 2009. Diakses tanggal 6 Januari 2010.
- ^ "Tommy Suharto freed from prison". BBC News. 30 Oktober 2006. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 Agustus 2009. Diakses tanggal 9 Agustus 2009.
- ^ "Suharto's half-brother fined, jailed for four years". ABC News. AFP. 29 November 2005. Diarsipkan dari versi asli tanggal 26 November 2020. Diakses tanggal 15 September 2020.
- ^ "Probosutedjo dipenjara". BBC Indonesia. 30 November 2005. Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 Januari 2022. Diakses tanggal 15 September 2020.
- ^ "Probosutedjo Dijebloskan ke Cipinang". Liputan6.com. 30 November 2005. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 Oktober 2021. Diakses tanggal 15 September 2020.
- ^ "Civil suit filed against Suharto". BBC News. 9 Juli 2007. Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 Agustus 2007. Diakses tanggal 9 Juli 2007.
- ^ "Former Indonesian dictator unfit to stand trial — doctor". Sydney Morning Herald. Associated Press. 23 April 2006. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 November 2012. Diakses tanggal 24 April 2006.
- ^ Donnan, Shawn (28 April 2006). "Jakarta makes final attempt to pursue Suharto charges". Financial Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 21 Mei 2007.
- ^ "Indonesia's ailing Suharto 'getting worse': doctors". The Times. UK. 5 Januari 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 12 Juni 2022. Diakses tanggal 9 Agustus 2009.
- ^ "Suharto condition 'deteriorating'". BBC News. 8 Januari 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 Januari 2008. Diakses tanggal 9 Agustus 2009.
- ^ Niniek Karmini (23 Januari 2008). "Suharto's health deteriorates, infection spreads". The Irrawaddy. Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 Maret 2021. Diakses tanggal 10 Maret 2021.
- ^ "Indonesia ex-leader Suharto dies". BBC News. 27 Januari 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 Maret 2009. Diakses tanggal 9 Agustus 2009.
- ^ "Suharto has multiple organ failure". Al Jazeera English. 14 Januari 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 November 2021. Diakses tanggal 14 April 2010.
- ^ "Soeharto Meninggal, SBY Batalkan Kunjungan Ke Bali". Tempo. 27 Januari 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 Agustus 2016. Diakses tanggal 28 Juli 2016.
- ^ "— Presiden Tiba di Astana Giribangun". Tempointeraktif.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 Agustus 2009. Diakses tanggal 9 Agustus 2009.
- ^ Tedjasukmana, Jason (29 Januari 2008). "Indonesia Bids Farewell to Suharto". Time. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 Juli 2014. Diakses tanggal 9 Agustus 2009.
- ^ "Geoff Thompson, Suharto's body arrives home, ABC News January 27, 2008". Australia: ABC. 27 Januari 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 Januari 2009. Diakses tanggal 9 Agustus 2009.
- ^ Rahmawati, Dwi. "MPR Cabut Nama Soeharto dari Tap MPR 11/1998 soal KKN, Ini Alasannya". detiknews. Diakses tanggal 2024-09-25.
- ^ "Soeharto ODM". 10 Juli 2011.
- ^ "Daftar WNI yang Menerima Tanda Kehormatan Republik Indonesia Tahun 1959–sekarang" (PDF). Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia. 7 Januari 2020. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-07-29. Diakses tanggal 12 Agustus 2021.
- ^ Daftar WNI yang Mendapat Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera tahun 1959 s.d. 2003 (PDF). Diakses tanggal 4 Oktober 2021.
- ^ Daftar WNI yang Menerima Anugerah Bintang Jasa Tahun 1964 - 2003 (PDF). Diakses tanggal 4 Oktober 2021.
- ^ "Daftar WNI yang Memperoleh Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma Tahun 2004–sekarang" (PDF). Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia. 30 Januari 2017. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-05-13. Diakses tanggal 12 Agustus 2021.
- ^ Tempomedia. "Penghargaan bintang LVRI". majalah.tempo.co (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-04-18.
- ^ "Indonesian President Mohamed Suharto and South African President..." Getty Images (dalam bahasa Inggris). 2023-12-03. Diakses tanggal 2024-07-21.
- ^ SYND 17-11-72 PRESIDENT SUHARTO ARRIVES IN AUSTRIA, diakses tanggal 2024-03-06
- ^ Galangpress Group, Indonesia (2008). Mereka mengkhianati saya: sikap anak-anak emas Soeharto di penghujung Orde Baru. Indonesia: Femi Adi Soempeno. hlm. 35.
- ^ Kedutaan Besar (U.S.), Indonesia (1974). Indonesian News and Views. Indonesia: Embassy of Indonesia, Information Division.
- ^ "PRESIDEN SOEHARTO TERIMA UTUSAN KHUSUS SULTAN BRUNEI DARUSSALAM | ANTARA Foto". antarafoto.com. Diakses tanggal 2024-02-06.
- ^ "Suharto gets Brunei's highest state award". The Straits Times (dalam bahasa Inggris). 24 September 1988 1988. hlm. 8.
- ^ Sito web del Quirinale: dettaglio decorato.
- ^ "Indochina Medals - Cambodia - CM02 National Order of Independence". indochinamedals.com. Diakses tanggal 2024-05-17.
- ^ "King confers highest award on Suharto". The Straits Times (dalam bahasa Inggris). 6 Februari 1987. hlm. 8.
- ^ SYND 14-11-72 PRESIDENT SUHARTO OF INDONESIA VISIT TO PARIS, diakses tanggal 2024-03-06
- ^ "Penghargaan - Situs Web Kepustakaan Presiden-Presiden Republik Indonesia". web.archive.org. 2022-07-13. Archived from the original on 2022-07-13. Diakses tanggal 2023-04-13.
- ^ Author, Author (1974-08-30). "Pingat 'Darjah Utama Temasik' untuk Suharto dari Sheares". NewspaperSG. Diakses tanggal 2024-07-20.
- ^ "Bollettino Ufficiale di Stato" (PDF).
- ^ "Penghargaan - Situs Web Kepustakaan Presiden-Presiden Republik Indonesia". web.archive.org. 2022-07-13. Archived from the original on 2022-07-13. Diakses tanggal 2023-04-13.
- ^ Randy Wirayudha (17 April 2018). "Lima Aktor Pemeran Soeharto". Historia.id. Diakses tanggal 27 Februari 2024.
Daftar pustaka
- Dwipayana, G.; Ramadhan, K.H. (1989). Soeharto: Pikiran, ucapan dan tindakan saya: otobiografi. Jakarta: PT Citra Lamtoro Gung Persada. ISBN 979-8085-01-9.
- Elson, R.E. (2001). Suharto: A Political Biography, Cambridge: Cambridge University Press, 2001. ISBN 0 521 77326 1
- McGlynn, John H. et al. (2007). Indonesia in the Soeharto years. Issue, incidents and images, Jakarta, KITLV
- Abdulgani-Knapp, Retnowati (2007). Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia's Second President: An Authorised Biography. Marshall Cavendish Editions. hlm. 12. ISBN 978-981-261-340-0.
- Siti Hardiyanti Rukmana (2011). Pak Harto: The Untold Stories, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Pranala luar
- Shadow Play Situs web yang menyertai film dokumenter PBS tahun 2002 tentang Indonesia, dengan penekanan pada era Soeharto dan awal Reformasi
- "Suharto, Inc." 1999 Time artikel majalah tentang kepresidenan dan keluarga Soeharto, diterbitkan pada ulang tahun pertama pengunduran dirinya
- "Life in pictures: Indonesia's Suharto" BBC News – Foto-foto tentang kehidupan Soeharto, mulai dari kebangkitannya hingga kejatuhannya dan persidangannya
Jabatan politik | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Soekarno |
Presiden Indonesia 1967–1998 |
Diteruskan oleh: BJ Habibie |
Didahului oleh: M. Sarbini |
Menteri Pertahanan Indonesia 1966–1971 |
Diteruskan oleh: Maraden Panggabean |
Didahului oleh: Soekarno sebagai Perdana Menteri |
Ketua Presidium Kabinet Indonesia 1966–1967 |
Jabatan dihapuskan |
Jabatan militer | ||
Didahului oleh: Soedirman |
Panglima ABRI 1968–1973 |
Diteruskan oleh: Maraden Panggabean |
Didahului oleh: Ahmad Yani |
Kepala Staf TNI Angkatan Darat 1966–1968 |
Diteruskan oleh: Maraden Panggabean |
Jabatan baru | Pangkostrad 1963–1965 |
Diteruskan oleh: Umar Wirahadikusumah |
Jabatan pemerintahan | ||
Didahului oleh: Soebandrio |
Kepala Badan Pusat Intelijen 1965–1966 |
Diteruskan oleh: Yoga Soegomo |
Jabatan diplomatik | ||
Didahului oleh: Dobrica Ćosić |
Sekretaris Jenderal Gerakan Non-Blok 1992–1995 |
Diteruskan oleh: Ernesto Samper Pizano |
Didahului oleh: Bill Clinton |
Ketua Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik 1994 |
Diteruskan oleh: Tomiichi Murayama |
- Opsi konverter tidak sah
- Kelahiran 1921
- Kematian 2008
- Meninggal usia 87
- Tokoh militer Indonesia
- Tokoh TNI
- Tokoh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat
- Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat
- Panglima Tentara Nasional Indonesia
- Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat
- Panglima Komando Daerah Militer IV/Diponegoro
- Panglima Komando Daerah Militer XII/Tanjungpura
- Tokoh Jawa
- Tokoh Yogyakarta
- Tokoh Bantul
- Tokoh dari Kapanewon Sedayu
- Tokoh Angkatan 45
- Politikus Indonesia
- Tokoh Orde Baru
- Politikus Partai Golongan Karya
- Presiden Indonesia
- Penerima Bintang Republik Indonesia Adipurna
- Penerima Bintang Jasa Utama
- Soeharto
- Kesatria Salib Agung Orde Singa Belanda
- Penerima Bintang Sewindu APRI