Soeharto: Perbedaan antara revisi
[revisi tidak terperiksa] | [revisi tidak terperiksa] |
Patria lupa (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan Tag: halaman dengan galat skrip Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Patria lupa (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan Tag: halaman dengan galat skrip Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 307: | Baris 307: | ||
| image2 = Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia from 1973, obverse.jpg |
| image2 = Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia from 1973, obverse.jpg |
||
| caption2 = [[Proof of Citizenship of the Republic of Indonesia|SBKRI]] from 1973; obverse shows the card-holder, her finger print, and signature}} |
| caption2 = [[Proof of Citizenship of the Republic of Indonesia|SBKRI]] from 1973; obverse shows the card-holder, her finger print, and signature}} |
||
Selain itu, Soeharto mengandalkan militer untuk menjaga keamanan dalam negeri dengan kejam, yang diorganisir oleh [[Kopkamtib]] (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan [[Badan Intelijen Negara|BAKIN]] (Badan Koordinasi Intelijen Negara). Untuk mempertahankan kontrol yang ketat atas negara, Soeharto memperluas sistem teritorial tentara hingga ke tingkat desa, sementara perwira militer ditunjuk sebagai kepala daerah di bawah rubrik ''[[Dwifungsi]]'' Dewan militer. Pada tahun 1969, 70% gubernur provinsi dan lebih dari separuh bupati di Indonesia adalah perwira militer aktif. Soeharto mengizinkan ''Operasi Trisula'' yang menghancurkan sisa-sisa PKI yang mencoba mengorganisir basis gerilya di wilayah [[Blitar]] pada tahun 1968 dan memerintahkan beberapa operasi militer yang mengakhiri pemberontakan komunis PGRS-Paraku di [[Kalimantan Barat]] (1967 –1972). Serangan terhadap pekerja minyak oleh inkarnasi pertama separatis [[Gerakan Aceh Merdeka]] di bawah [[Hasan di Tiro]] pada tahun 1977 menyebabkan pengiriman detasemen pasukan khusus kecil yang dengan cepat membunuh atau memaksa anggota gerakan tersebut melarikan diri ke luar negeri.{{sfnp|Conboy|2003|loc=[https://books.google.com/books?id=lf5TUoHfeM8C&pg=PA262 pp. 262–5]}} Khususnya, pada bulan Maret 1981, Soeharto mengizinkan misi pasukan khusus yang sukses untuk mengakhiri [[Garuda Indonesia Penerbangan 206|pembajakan penerbangan Garuda Indonesia]] oleh ekstremis Islam di [[Bandar Udara Internasional Don Mueang]] di [[Bangkok]].{{sfnp|Elson|2001|pp=177–8}} |
Selain itu, Soeharto mengandalkan militer untuk menjaga keamanan dalam negeri dengan kejam, yang diorganisir oleh [[Kopkamtib]] (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan [[Badan Intelijen Negara Republik Indonesia|BAKIN]] (Badan Koordinasi Intelijen Negara). Untuk mempertahankan kontrol yang ketat atas negara, Soeharto memperluas sistem teritorial tentara hingga ke tingkat desa, sementara perwira militer ditunjuk sebagai kepala daerah di bawah rubrik ''[[Dwifungsi]]'' Dewan militer. Pada tahun 1969, 70% gubernur provinsi dan lebih dari separuh bupati di Indonesia adalah perwira militer aktif. Soeharto mengizinkan ''Operasi Trisula'' yang menghancurkan sisa-sisa PKI yang mencoba mengorganisir basis gerilya di wilayah [[Blitar]] pada tahun 1968 dan memerintahkan beberapa operasi militer yang mengakhiri pemberontakan komunis PGRS-Paraku di [[Kalimantan Barat]] (1967 –1972). Serangan terhadap pekerja minyak oleh inkarnasi pertama separatis [[Gerakan Aceh Merdeka]] di bawah [[Hasan di Tiro]] pada tahun 1977 menyebabkan pengiriman detasemen pasukan khusus kecil yang dengan cepat membunuh atau memaksa anggota gerakan tersebut melarikan diri ke luar negeri.{{sfnp|Conboy|2003|loc=[https://books.google.com/books?id=lf5TUoHfeM8C&pg=PA262 pp. 262–5]}} Khususnya, pada bulan Maret 1981, Soeharto mengizinkan misi pasukan khusus yang sukses untuk mengakhiri [[Garuda Indonesia Penerbangan 206|pembajakan penerbangan Garuda Indonesia]] oleh ekstremis Islam di [[Bandar Udara Internasional Don Mueang]] di [[Bangkok]].{{sfnp|Elson|2001|pp=177–8}} |
||
Pada tahun 1968, Soeharto memulai program keluarga berencana (Keluarga Berentjana/KB) yang sangat sukses untuk membendung laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dan karenanya meningkatkan pendapatan per kapita. Warisan abadi dari periode ini adalah [[Peningkatan Sistem Ejaan Indonesia|reformasi ejaan bahasa Indonesia]] yang dikeluarkan oleh Suharto pada tanggal 17 Agustus 1972.{{sfnp|Schwarz|1994|p=106}} Untuk mendorong [[Asimilasi Budaya|asimilasi]] dari [[Orang Tionghoa Indonesia|Orang Indonesia Tionghoa]] yang berpengaruh, pemerintahan Suharto mengesahkan [[Undang-undang tentang Orang Indonesia Tionghoa|beberapa undang-undang]] sebagai bagian dari apa yang disebut "Kebijakan Dasar untuk Solusi Masalah Tiongkok", yang mana hanya satu penerbitan berbahasa Mandarin (dikendalikan oleh Angkatan Darat) yang diizinkan untuk terus berlanjut, semua ekspresi budaya dan agama Tiongkok (termasuk tampilan karakter Tiongkok) [[Sentimen Anti-Tionghoa|dilarang]] dari ruang publik, sekolah Tionghoa disita dan diubah menjadi [[Sekolah Negeri#Indonesia|sekolah umum berbahasa Indonesia]], dan etnis Tionghoa [[Nama keluarga Tionghoa Indonesia#1966–1998|dipaksa menggunakan bahasa Indonesia nama]]; menciptakan [[genosida budaya]] yang sistematis. Pada tahun 1978, pemerintah mulai mewajibkan [[Sertifikat Kewarganegaraan (Indonesia)|Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia]] ({{lang-id|Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia}}, atau SBKRI). Meskipun SBKRI secara hukum diwajibkan bagi seluruh warga negara keturunan asing, namun dalam praktiknya umumnya hanya berlaku bagi keturunan Tionghoa. Hal ini menyebabkan [[Diskriminasi terhadap warga Indonesia Tionghoa|kesulitan bagi warga Indonesia Tionghoa]] ketika mendaftar di universitas negeri, melamar menjadi pegawai negeri, atau bergabung dengan militer atau polisi.<ref>{{cite book |last1=Effendi |first1=Wahyu |last2=Prasetyadji |first2=P. |date=2008 |language=id |title=Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI |trans-title=The Chinese in the Grip of the SBKRI |publisher=Visimedia |location=Jakarta |isbn=9789791044110}}</ref> |
Pada tahun 1968, Soeharto memulai program keluarga berencana (Keluarga Berentjana/KB) yang sangat sukses untuk membendung laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dan karenanya meningkatkan pendapatan per kapita. Warisan abadi dari periode ini adalah [[Peningkatan Sistem Ejaan Indonesia|reformasi ejaan bahasa Indonesia]] yang dikeluarkan oleh Suharto pada tanggal 17 Agustus 1972.{{sfnp|Schwarz|1994|p=106}} Untuk mendorong [[Asimilasi Budaya|asimilasi]] dari [[Orang Tionghoa Indonesia|Orang Indonesia Tionghoa]] yang berpengaruh, pemerintahan Suharto mengesahkan [[Undang-undang tentang Orang Indonesia Tionghoa|beberapa undang-undang]] sebagai bagian dari apa yang disebut "Kebijakan Dasar untuk Solusi Masalah Tiongkok", yang mana hanya satu penerbitan berbahasa Mandarin (dikendalikan oleh Angkatan Darat) yang diizinkan untuk terus berlanjut, semua ekspresi budaya dan agama Tiongkok (termasuk tampilan karakter Tiongkok) [[Sentimen Anti-Tionghoa|dilarang]] dari ruang publik, sekolah Tionghoa disita dan diubah menjadi [[Sekolah Negeri#Indonesia|sekolah umum berbahasa Indonesia]], dan etnis Tionghoa [[Nama keluarga Tionghoa Indonesia#1966–1998|dipaksa menggunakan bahasa Indonesia nama]]; menciptakan [[genosida budaya]] yang sistematis. Pada tahun 1978, pemerintah mulai mewajibkan [[Sertifikat Kewarganegaraan (Indonesia)|Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia]] ({{lang-id|Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia}}, atau SBKRI). Meskipun SBKRI secara hukum diwajibkan bagi seluruh warga negara keturunan asing, namun dalam praktiknya umumnya hanya berlaku bagi keturunan Tionghoa. Hal ini menyebabkan [[Diskriminasi terhadap warga Indonesia Tionghoa|kesulitan bagi warga Indonesia Tionghoa]] ketika mendaftar di universitas negeri, melamar menjadi pegawai negeri, atau bergabung dengan militer atau polisi.<ref>{{cite book |last1=Effendi |first1=Wahyu |last2=Prasetyadji |first2=P. |date=2008 |language=id |title=Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI |trans-title=The Chinese in the Grip of the SBKRI |publisher=Visimedia |location=Jakarta |isbn=9789791044110}}</ref> |
Revisi per 30 Oktober 2024 23.12
| ||
---|---|---|
Presiden Indonesia
Kebijakan
|
||
Jenderal Besar TNI (Purn.) Soeharto[b][c] (8 Juni 1921 – 27 Januari 2008) adalah seorang perwira militer Indonesia dan Presiden Indonesia kedua. Secara luas dianggap sebagai diktator militer oleh pengamat internasional, Soeharto memimpin Indonesia sebagai rezim otoriter dari tahun 1967 hingga pengunduran dirinya pada tahun 1998 setelah kerusuhan secara nasional.[3][4][5] Kediktatorannya selama 31 tahun dianggap sebagai salah satu kediktatoran paling brutal dan korup di abad ke-20: ia berperan penting dalam perbuatan pembunuhan massal terhadap tuduhan komunis dan berikutnya penganiayaan terhadap etnis Tionghoa, orang-orang yang tidak beragama, dan anggota serikat pekerja.[6][7][8]
Soeharto lahir di Kemusuk, dekat kota Yogyakarta, pada masa kolonial Belanda.[9] Ia tumbuh dalam keadaan yang sederhana.[10] Orang tua Jawa yang beragama Islam bercerai tidak lama setelah kelahirannya, dan ia tinggal bersama orang tua asuh hampir sepanjang masa kecilnya. Pada masa pendudukan Jepang, Soeharto bertugas di pasukan keamanan Indonesia yang diorganisir Jepang. Selama perjuangan kemerdekaan Indonesia, ia bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia yang baru dibentuk dan naik pangkat Mayor Jenderal beberapa saat setelah kemerdekaan penuh Indonesia tercapai. Percobaan kudeta pada tanggal 30 September dan 1 Oktober 1965 berhasil dilawan oleh pasukan pimpinan Soeharto. Tentara kemudian memimpin pembersihan anti-komunis dengan kekerasan dan Suharto merebut kekuasaan dari presiden pendiri Indonesia, Soekarno. Dia diangkat penjabat presiden pada tahun 1967 dan terpilih sebagai presiden pada tahun berikutnya. Dia kemudian melancarkan kampanye sosial yang dikenal sebagai "de-Sukarnoisasi" untuk mengurangi pengaruh mantan presiden tersebut. Soeharto memerintahkan invasi ke Timor Timur pada tahun 1975, diikuti dengan pendudukan negara selama 23 tahun yang mematikan dan genosida. Pada tahun 1990an, otoritarianisme Orde Baru semakin meningkat dan korupsi yang meluas[11][12] adalah sumber ketidakpuasan dan, setelah Krisis finansial Asia 1997 yang menyebabkan kerusuhan yang meluas, ia mengundurkan diri pada Mei 1998.
Di bawah pemerintahan "Orde Baru", Suharto membangun pemerintahan yang kuat, terpusat, dan didominasi militer. Apa yang dimulai sebagai oligarki kediktatoran militer berkembang menjadi rezim otoritarian personalistik yang berpusat di sekelilingnya.[13] Kemampuannya untuk menjaga stabilitas di Indonesia yang luas dan beragam serta sikap anti-komunis yang jelas membuatnya mendapatkan dukungan ekonomi dan diplomatik dari Barat selama Perang Dingin. Selama sebagian besar masa kepresidenannya, Indonesia mengalami industrialisasi yang signifikan, pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan tingkat pendidikan.[14][15] Alhasil, ia diberi gelar “Bapak Pembangunan”.[16] Menurut Transparency International, Soeharto adalah salah satu pemimpin paling korup dalam sejarah modern, dengan menggelapkan dugaan US$15–35 miliar selama masa pemerintahannya.[17][18] Soeharto meninggal pada Januari 2008.
Soeharto tetap menjadi sosok yang kontroversial dan memecah belah masyarakat umum Indonesia. Banyak masyarakat Indonesia yang memuji pemerintahannya selama 31 tahun atas pembangunan ekonomi, industrialisasi yang pesat, dan stabilitas politik yang dirasakannya, sementara sebagian lainnya mengecam pemerintahan diktatornya, pelanggaran hak asasi manusia yang ekstensif, dan korupsi.[19][20] Rencana pemberian status Pahlawan Nasional kepada Soeharto sedang dipertimbangkan oleh pemerintah Indonesia dan telah diperdebatkan dengan penuh semangat.[21]
Nama
Seperti kebanyakan Orang Jawa, Soeharto memiliki hanya satu nama.[12] Konteks keagamaan dalam beberapa tahun terakhir terkadang menyebutnya sebagai Haji/Al- Haji Mohammed Suharto, namun nama-nama tersebut bukan merupakan bagian dari nama resminya dan juga tidak digunakan secara umum. Ejaan "Suharto" mencerminkan ortografi Indonesia modern, meskipun pendekatan umum di Indonesia mengandalkan ejaan yang disukai oleh yang bersangkutan. Pada saat kelahirannya, transkripsi standar adalah Soeharto, dan dia menggunakan ejaan aslinya sepanjang hidupnya. Pers internasional berbahasa Inggris umumnya menggunakan ejaan "Suharto" sedangkan pemerintah dan media Indonesia menggunakan "Soeharto".[22]
Kehidupan awal dan keluarga
Soeharto lahir pada tanggal 8 Juni 1921 di sebuah rumah berdinding anyaman bambu di dusun Kemusuk, bagian dari desa Godean yang lebih besar, yang saat itu merupakan bagian dari Hindia Belanda. Desa ini terletak 15 kilometer (9 mi) sebelah barat Yogyakarta, jantung budaya Jawa.[15][23] Lahir dari orang tua beretnis Jawa, ia merupakan anak tunggal dari pernikahan kedua ayahnya. Ayahnya, Kertosudiro, memiliki dua orang anak dari pernikahan sebelumnya dan merupakan seorang petugas pengairan desa. Ibunya, Sukirah, seorang wanita setempat, mempunyai hubungan jauh dengan Hamengkubuwono V melalui selir pertamanya.[24] Lima minggu setelah kelahiran Soeharto, ibunya menderita gangguan saraf; ia ditempatkan dalam perawatan bibi buyut dari pihak ayah, Kromodirjo sebagai hasilnya.[25] Kertosudiro dan Sukirah bercerai di awal kehidupan Suharto dan keduanya kemudian menikah lagi. Pada usia tiga tahun, Soeharto dikembalikan kepada ibunya, yang menikah dengan seorang petani setempat yang dibantu Soeharto di sawah.[25] Pada tahun 1929, ayah Soeharto membawanya untuk tinggal bersama saudara perempuannya, yang menikah dengan seorang pengawas pertanian, Prawirowihardjo, di kota Wuryantoro di daerah pertanian miskin dan hasil rendah dekat Wonogiri. Selama dua tahun berikutnya, ia dibawa kembali ke ibunya di Kemusuk oleh ayah tirinya dan kemudian kembali lagi ke Wuryantoro oleh ayahnya.[26]
Prawirowihardjo membesarkan anak laki-laki itu sebagai anaknya sendiri, yang memberi Suharto sosok ayah dan rumah yang stabil di Wuryantoro. Pada tahun 1931, ia pindah ke kota Wonogiri untuk bersekolah di sekolah dasar, pertama-tama tinggal bersama putra Prawirohardjo, Sulardi, dan kemudian dengan kerabat ayahnya, Hardjowijono. Saat tinggal bersama Hardjowijono, Soeharto berkenalan dengan Darjatmo, seorang dukun seni mistik Jawa dan penyembuhan iman. Pengalaman tersebut sangat mempengaruhinya dan kemudian, sebagai presiden, Soeharto mengelilingi dirinya dengan bahasa simbolik yang kuat.[15] Kesulitan dalam membayar biaya pendidikannya di Wonogiri mengakibatkan ia kembali pindah ke ayahnya di Kemusuk, di mana ia melanjutkan belajar di Schakel Muhammadiyah (sekolah menengah pertama) dengan biaya lebih rendah di kota Yogyakarta hingga tahun 1938.[26][27] Pola asuh Suharto berbeda dengan tokoh nasionalis terkemuka di Indonesia seperti Sukarno karena ia diyakini tidak begitu tertarik pada anti-kolonialisme, atau kepentingan politik di luar lingkungan terdekatnya. Berbeda dengan Sukarno dan lingkarannya, Suharto hanya mempunyai sedikit atau bahkan tidak ada kontak sama sekali dengan penjajah Eropa. Akibatnya, ia tidak belajar berbicara Belanda atau bahasa Eropa lainnya di masa mudanya. Ia belajar berbicara bahasa Belanda setelah dilantik menjadi militer Belanda pada tahun 1940.[27]
Karier militer
Masa pendudukan Jepang
Soeharto menyelesaikan sekolah menengah pada usia 18 tahun dan mengambil pekerjaan administrasi di sebuah bank di Wuryantaro. Dia terpaksa mengundurkan diri setelah kecelakaan sepeda merobek satu-satunya pakaian kerjanya.[28] Setelah sempat menganggur, dia bergabung dengan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL ) pada bulan Juni 1940 dan mengikuti pelatihan dasar di Gombong dekat Yogyakarta. Ketika Belanda berada di bawah pendudukan Jerman dan Jepang mendesak untuk mendapatkan akses terhadap pasokan minyak Indonesia, Belanda telah membuka KNIL bagi sejumlah besar orang Jawa yang sebelumnya tidak diikutsertakan.[29] Soeharto ditugaskan ke Batalyon XIII di Rampal, lulus dari kursus pelatihan singkat di KNIL Kaderschool di Gombong untuk menjadi sersan, dan ditempatkan di batalyon cadangan KNIL di Cisarua.[30] Setelah Belanda menyerah kepada menyerang pasukan Jepang pada bulan Maret 1942, Soeharto meninggalkan seragam KNIL-nya dan kembali ke Wurjantoro. Setelah berbulan-bulan menganggur, ia kemudian menjadi salah satu dari ribuan warga Indonesia yang memanfaatkan kesempatan untuk bergabung dengan pasukan keamanan terorganisir Jepang dengan bergabung di kepolisian Yogyakarta.[29]
Pada bulan Oktober 1943, Soeharto dipindahkan dari kepolisian ke milisi baru yang disponsori Jepang, Pembela Tanah Air (PETA) di mana orang Indonesia bertugas sebagai perwira . Dalam pelatihannya untuk bertugas dengan pangkat shodancho (komandan peleton) ia bertemu dengan versi lokal dari bushido Jepang, atau " cara prajurit", digunakan untuk mengindoktrinasi pasukan. Pelatihan ini mendorong pemikiran anti-Belanda dan pro-nasionalis, meskipun mengarah pada tujuan militeris Kekaisaran Jepang. Perjumpaan dengan ideologi nasionalis dan militeristik diyakini sangat mempengaruhi cara berpikir Soeharto sendiri.[31] Soeharto ditempatkan di batalion pertahanan pantai PETA di Wates, selatan Yogyakarta hingga ia diterima mengikuti pelatihan untuk chudancho (komandan kompi) di Bogor dari bulan April hingga Agustus 1944. Sebagai komandan kompi, ia melakukan pelatihan untuk prajurit baru PETA merekrut di Surakarta, Jakarta, dan Madiun. Penyerahan Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada bulan Agustus 1945 terjadi ketika Soeharto ditempatkan di daerah terpencil Brebeg (di lereng Gunung Wilis) untuk melatih NCO baru menggantikan mereka yang dieksekusi oleh Jepang pada tahun 1945. setelah kegagalan bulan Februari Pemberontakan PETA Blitar, yang dipimpin oleh Supriyadi.
Revolusi Nasional Indonesia
Dua hari setelah Jepang menyerah di Pasifik, para pemimpin kemerdekaan Soekarno dan Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia dan masing-masing diangkat menjadi presiden dan wakil presiden yang baru Republik. Soeharto membubarkan resimennya di bawah perintah komando Jepang dan kembali ke Yogyakarta.[32] Ketika kelompok republik bangkit untuk menegaskan kemerdekaan Indonesia, Soeharto bergabung dengan unit baru tentara Indonesia yang baru dibentuk. Berdasarkan pengalaman PETA, ia diangkat menjadi wakil komandan, dan kemudian menjadi komandan batalion ketika pasukan republik secara resmi diorganisasi pada bulan Oktober 1945.[32] Soeharto terlibat dalam pertempuran melawan pasukan Sekutu sekitar Magelang dan Semarang dan kemudian diangkat menjadi kepala brigade sebagai letnan kolonel, setelah mendapatkan rasa hormat sebagai komandan lapangan.[33] Pada awalnya tahun-tahun perang, ia mengorganisir angkatan bersenjata lokal menjadi Batalyon X Resimen I; Soeharto dipromosikan menjadi Mayor dan menjadi pemimpin Batalyon X.[34] Kedatangan Sekutu, dengan mandat mengembalikan keadaan ke status quo ante bellum, dengan cepat menyebabkan bentrokan antara Partai Republik Indonesia dan pasukan Sekutu, yaitu mengembalikan pasukan Belanda dan membantu pasukan Inggris.[35]
Soeharto memimpin pasukan Divisi X untuk menghentikan gerak maju Brigade T ("Harimau") Belanda pada tanggal 17 Mei 1946. Hal ini membuatnya dihormati oleh Letnan Kolonel Sunarto Kusumodirjo, yang mengundangnya untuk menyusun pedoman kerja Markas Besar Pimpinan Pertempuran (MPP), sebuah badan yang dibentuk untuk mengatur dan menyatukan struktur komando kekuatan Nasionalis Indonesia.[35] Kekuatan militer Republik Indonesia yang masih bayi terus-menerus melakukan restrukturisasi. Pada bulan Agustus 1946, Soeharto menjadi kepala Resimen ke-22 Divisi III ("Divisi Diponegoro") yang ditempatkan di Yogyakarta. Pada akhir tahun 1946, Divisi Diponegoro mengambil alih tanggung jawab pertahanan barat dan barat daya Yogyakarta dari pasukan Belanda. Kondisi pada saat itu dilaporkan oleh sumber-sumber Belanda sangat menyedihkan; Soeharto sendiri dikabarkan membantu sindikat penyelundup dalam pengangkutan opium melalui wilayah yang dikuasainya, untuk menghasilkan pendapatan. Pada bulan September 1948, Soeharto diutus untuk menemui Musso, ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam upaya rekonsiliasi damai pemberontakan komunis di Madiun yang gagal.[36]
Pada bulan Desember 1948, Belanda melancarkan "Operasi Kraai", yang mengakibatkan direbutnya Soekarno dan Hatta serta ibu kota Yogyakarta. Soeharto ditunjuk untuk memimpin Wehrkreise III, yang terdiri dari dua batalyon, yang melancarkan perang gerilya melawan Belanda dari perbukitan di selatan Yogyakarta.[36] Dalam serangan fajar pada tanggal 1 Maret 1949, pasukan Soeharto dan milisi lokal merebut kembali kota tersebut, menahannya hingga siang hari.[37] Catatan Soeharto selanjutnya menyebutkan dia sebagai satu-satunya komplotan, meskipun sumber lain menyebutkan Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta, dan Panglima Divisi Ketiga memerintahkan serangan itu. Namun Jenderal Abdul Haris Nasution mengatakan bahwa Soeharto sangat berhati-hati dalam mempersiapkan "Serangan Umum". Warga sipil yang bersimpati pada perjuangan Partai Republik di kota tersebut terpacu oleh unjuk kekuatan yang membuktikan bahwa Belanda gagal memenangkan perang gerilya. Secara internasional, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa menekan Belanda untuk menghentikan serangan militer dan memulai kembali perundingan, yang akhirnya menyebabkan penarikan Belanda dari wilayah Yogyakarta pada bulan Juni 1949 dan penyelesaian penyerahan kedaulatan pada bulan Desember 1949. Soeharto bertanggung jawab atas pengambilalihan kota Yogyakarta dari Belanda yang mundur pada bulan Juni 1949.[38]
Pada masa Revolusi, Soeharto menikah dengan Siti Hartinah (dikenal sebagai Nyonya Tien), putri seorang bangsawan kecil di istana Mangkunegaran di Solo. Perjodohan ini bertahan lama dan saling mendukung, hingga kematian Tien pada tahun 1996.[15] Pasangan ini dikaruniai enam orang anak: Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut, lahir 1949), Sigit Harjojudanto (lahir 1951), Bambang Trihatmodjo (lahir 1953), Siti Hediati (“Titiek Soeharto”, lahir 1959), Hutomo Mandala Putra (Tommy, lahir 1962), dan Siti Hutami Endang Adiningish (Mamiek, lahir 1964). Di kalangan kelas atas Jawa, istri dianggap dapat melakukan perdagangan yang sopan[butuh klarifikasi] untuk menambah anggaran keluarga, sehingga suaminya dapat menjaga martabatnya dalam peran resminya. Transaksi komersial[butuh klarifikasi] yang dilakukan Tien, anak-anak dan cucu-cucunya menjadi meluas dan pada akhirnya melemahkan kepresidenan Soeharto.[15]
Karir pasca kemerdekaan
Pada tahun-tahun setelah kemerdekaan Indonesia, Soeharto bertugas di Tentara Nasional Indonesia, terutama di Jawa. Pada tahun 1950, sebagai seorang kolonel, ia memimpin Brigade Garuda dalam Peristiwa Andi Azis, sebuah pemberontakan mantan tentara kolonial yang mendukung Negara Indonesia Timur yang didirikan Belanda dan entitas federalnya, Amerika Serikat.[39] Selama berada di Makassar, Soeharto berkenalan dengan tetangganya, keluarga Habibie, yang putra sulungnya Bacharuddin Jusuf Habibie kemudian menjadi wakil presiden Soeharto, dan kemudian menggantikannya sebagai presiden. Pada tahun 1951–1952, Soeharto memimpin pasukannya mengalahkan Pemberontakan Eks Batalyon 426 yang bernuansa Islam di wilayah Klaten Jawa Tengah.[40] Ditunjuk untuk memimpin empat batalyon pada awal tahun 1953, ia mengatur partisipasi mereka dalam memerangi pemberontak Darul Islam di barat laut Jawa Tengah dan operasi anti-bandit di daerah Gunung Merapi. Ia juga berupaya membendung simpati kaum kiri di kalangan pasukannya. Pengalamannya pada periode ini membuat Soeharto sangat tidak menyukai radikalisme Islam dan komunis.[41]
Antara tahun 1956 dan 1959, ia menjabat posisi penting Komandan Divisi Diponegoro yang berbasis di Semarang, bertanggung jawab atas provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta. Hubungannya dengan pengusaha terkemuka Liem Sioe Liong dan Bob Hasan, yang berlanjut sepanjang masa kepresidenannya, dimulai di Jawa Tengah, di mana ia terlibat dalam serangkaian perusahaan "yang menghasilkan keuntungan" yang terutama dilakukan untuk menjaga unit militer yang dananya terbatas tetap berfungsi.[42] Investigasi anti-korupsi Angkatan Darat melibatkan Soeharto dalam skandal penyelundupan tahun 1959. Lepas dari jabatannya, ia dipindahkan ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di kota Bandung.[43]
Selama di Bandung, ia dipromosikan menjadi brigadir jenderal, dan pada akhir tahun 1960, dipromosikan menjadi wakil kepala staf angkatan darat.[15] Pada tanggal 6 Maret 1961, ia diberi komando tambahan, sebagai panglima angkatan darat yang baru. Cadangan Strategis (Korps Tentara I Cadangan Umum AD, kemudian KOSTRAD), sebuah pasukan bergerak udara siap reaksi yang berbasis di Jakarta.[15][44] Pada bulan Januari 1962, Soeharto dipromosikan menjadi mayor jenderal dan ditunjuk untuk memimpin Operasi Mandala, sebuah komando gabungan angkatan darat-angkatan laut-udara yang berbasis di Makassar. Hal ini membentuk sisi militer dalam kampanye untuk memenangkan Irian Barat dari Belanda, yang sedang mempersiapkan kemerdekaannya sendiri, terpisah dari Indonesia.[15] Pada tahun 1965, Soeharto ditugaskan sebagai komando operasional Konfrontasi Soekarno, melawan Malaysia yang baru dibentuk. Khawatir bahwa Konfrontasi akan membuat Pulau Jawa tertutupi oleh tentara, dan menyerahkan kendali kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) yang beranggotakan 2 juta orang, ia memberi wewenang kepada perwira intelijen Kostrad, Ali Murtopo, untuk membuka kontak rahasia dengan Inggris dan Malaysia.[15]
Riwayat pekerjaan
- Pembantu Klerek Bank Desa (Volk-Bank) di Kemusuk, Yogyakarta (1938)
- Siswa Sekolah Bintara KNIL di Gombong (1940—1942)
- Tentara Cadangan Markas Besar Angkatan Darat KNIL (1942)
- Pembantu/asisten Mantri Tani di Wuryantoro, Wonogiri (1942)
- Siswa Keibuho (Polisi Jepang) Jepang (1942)
- Komandan Regu dan Pembantu Perwira PETA di Karanganyar, Kebumen (1942—1943)
- Siswa Pendidikan Militer Lanjutan PETA di Bogor (1943—1944)
- Komandan Pleton (Shudanco) PETA di Glagah, Wates (1944)
- Komandan Kompi (Chodanco) di Markas Besar PETA di Surakarta (1944)
- Komandan Kompi (Chodanco) Perwira pendidik PETA di Desa Brebeg, Jawa Timur (1944—1945)
- Letnan di Brigade Mataram, Yogyakarta (1945)
- Komandan Batalyon infanteri di Kebumen dengan pangkat Kapten - Mayor (1945—1946)
- Komandan Batalyon X di bawah Divisi IX di Yogyakarta dengan pangkat Mayor (1946—1948)
- Komandan Brigade Mataram - Wehrkreise III di Yogyakarta dengan pangkat Letnan Kolonel (1948—1950)
- Komandan Komando Resimen Salatiga dengan pangkat Letnan Kolonel (1950—1953)
- Komandan Resimen Infanteri 15 di Solo dengan pangkat Letnan Kolonel (1953—1956)
- Kepala Staf Teritorium IV/Diponegoro di Semarang dengan pangkat Letnan Kolonel (1956—1957)
- Panglima Teritorium IV/Diponegoro di Semarang dengan pangkat Kolonel (1957—1959)
- Siswa Sekolah Staf Komando Angkatan Darat/SSKAD (1959—1960)
- Deputi I Kepala Staf Angkatan Darat dengan pangkat Brigadir Jenderal (1960—1961)
- Panglima Corps Tentara Cadangan Umum Angkatan Darat/CADUAD dengan pangkat Brigadir Jenderal (1961)
- Atase Militer/Hankam di Beograd, Yugoslavia (1961)
- Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dengan pangkat Mayor Jenderal (1962)
- Panglima Komando Strategis Angkatan Darat dengan pangkat Mayor Jenderal (1962—1965)
- Menteri/Panglima Angkatan Darat dengan pangkat Mayor Jenderal - Letnan Jenderal (1965—1968)
- Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban/Kopkamtib (1965—1969)
- Ketua Presidium Kabinet Ampera I (1966—1967)
- Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ABRI merangkap Menteri Pertahanan dengan pangkat Jenderal (1968—1973)
- Penjabat Presiden Republik Indonesia (1967—1968)
- Presiden Republik Indonesia (1968—1998)
- Sekertaris Jenderal Gerakan Non Blok (1992—1995)
Penggulingan Soekarno
Latar belakang
Ketegangan antara militer dan komunis meningkat pada bulan April 1965, ketika Soekarno mendukung penerapan segera proposal PKI untuk membentuk "angkatan bersenjata kelima" yang terdiri dari petani dan pekerja bersenjata. Namun gagasan ini ditolak oleh pimpinan Angkatan Darat karena dianggap sama saja dengan PKI yang membentuk angkatan bersenjatanya sendiri. Pada bulan Mei, "Dokumen Gilchrist" membangkitkan ketakutan Soekarno akan rencana militer untuk menggulingkannya, ketakutan yang berulang kali ia sebutkan selama beberapa bulan berikutnya. Pada pidato hari kemerdekaannya di bulan Agustus, Soekarno menyatakan niatnya untuk mengikat Indonesia pada aliansi anti-imperialis dengan Tiongkok dan negara-negara komunis lainnya dan memperingatkan tentara untuk tidak ikut campur.[45][halaman dibutuhkan]
Meskipun Soekarno mencurahkan energinya untuk politik domestik dan internasional, perekonomian Indonesia merosot dengan cepat dengan semakin parahnya kemiskinan dan kelaparan, sementara kewajiban utang luar negeri menjadi tidak terkendali dan infrastruktur hancur. Demokrasi Terpimpin yang dipimpin Soekarno berada dalam kondisi rapuh akibat konflik yang melekat antara dua pilar pendukungnya, yaitu militer dan komunis. Kalangan militer, nasionalis, dan kelompok Islam dikejutkan dengan pesatnya pertumbuhan partai komunis di bawah perlindungan Soekarno. Mereka takut akan segera berdirinya negara komunis di Indonesia. Pada tahun 1965, PKI mempunyai tiga juta anggota dan sangat kuat di Jawa Tengah dan Bali. Partai tersebut sempat menjadi partai politik terkuat di Indonesia.
Kudeta yang gagal dan pembersihan anti-komunis
Sebelum fajar tanggal 1 Oktober 1965, enam jenderal Angkatan Darat diculik dan dieksekusi di Jakarta oleh prajurit Pengawal Presiden, Divisi Diponegoro, dan Divisi Brawidjaja.[46] Tentara menduduki Lapangan Merdeka termasuk wilayahnya di depan Istana Kepresidenan, stasiun radio nasional, dan pusat telekomunikasi. Pukul 07.10 Untung bin Syamsuri mengumumkan di radio bahwa "Gerakan 30 September" telah mencegah upaya kudeta terhadap Soekarno yang dilakukan oleh " CIA-mendukung jenderal-jenderal yang gila kekuasaan", dan bahwa itu adalah "urusan internal tentara". G-30-S tidak pernah melakukan upaya apa pun terhadap nyawa Soeharto.[47] Soeharto berada di rumah sakit tentara Jakarta malam itu bersama putranya yang berusia tiga tahun Tommy yang telah meninggal. cedera yang menyengat. Di sinilah ia dikunjungi oleh Kolonel Abdul Latief, seorang anggota penting G-30-S dan teman dekat keluarga Suharto. Menurut kesaksian Latief di kemudian hari, para konspirator berasumsi bahwa Soeharto adalah seorang loyalis Soekarno; oleh karena itu Latief memberitahukan kepadanya tentang rencana penculikan yang akan dilakukan untuk menyelamatkan Sukarno dari para jenderal pengkhianat, yang menurut Soeharto tampaknya menawarkan netralitasnya.[48]
Setelah diberitahu tentang pembunuhan tersebut, Soeharto pergi ke markas Kostrad sebelum fajar dan dari situ ia dapat melihat tentara menduduki Lapangan Merdeka. Dia memobilisasi pasukan khusus Kostrad dan RPKAD (sekarang Kopassus) untuk menguasai pusat kota Jakarta, merebut situs-situs strategis utama termasuk stasiun radio tanpa perlawanan. Soeharto mengumumkan melalui radio pada pukul 21.00 bahwa enam jenderal telah diculik oleh "kontra-revolusioner" dan bahwa Gerakan 30 September sebenarnya bermaksud untuk menggulingkan Soekarno. Ia menyatakan bahwa ia memegang kendali atas Angkatan Darat, dan bahwa ia akan menumpas Gerakan dan menjaga Soekarno.[49] Soeharto mengeluarkan ultimatum kepada Pangkalan AURI Halim, tempat markas G30S dan tempat Soekarno, panglima angkatan udara Omar Dhani dan ketua PKI Dipa Nusantara Aidit berkumpul, menyebabkan mereka bubar sebelum tentara Soeharto menduduki pangkalan udara tersebut pada tanggal 2 Oktober setelah beberapa saat. pertempuran.[50] Dengan kegagalan kudeta yang tidak terorganisir dengan baik,[50] dan mendapatkan wewenang dari presiden untuk memulihkan ketertiban dan keamanan, faksi Soeharto dengan kuat mengendalikan tentara pada tanggal 2 Oktober (ia secara resmi diangkat menjadi panglima tentara pada tanggal 14 Oktober). Pada tanggal 5 Oktober, Soeharto memimpin upacara publik yang dramatis untuk menguburkan jenazah para jenderal.
Teori-teori yang rumit dan partisan terus berlanjut hingga hari ini mengenai identitas penyelenggara upaya kudeta dan tujuan mereka. Versi tentara, dan kemudian versi "Orde Baru", menyatakan bahwa PKI-lah yang bertanggung jawab penuh. Kampanye propaganda yang dilakukan oleh tentara dan kelompok mahasiswa Islam dan Katolik meyakinkan masyarakat Indonesia dan internasional bahwa ini adalah upaya kudeta komunis, dan bahwa pembunuhan tersebut merupakan kekejaman pengecut terhadap pahlawan Indonesia.[51] Tentara yang bersekutu dengan kelompok agama sipil, dan didukung oleh Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya, memimpin kampanye pembunuhan massal untuk membersihkan Indonesia masyarakat, pemerintah, dan angkatan bersenjata Partai Komunis Indonesia dan organisasi kiri lainnya.[51][52][53][54] Pembersihan ini menyebar dari Jakarta ke sebagian besar wilayah lain di negeri ini.[55] Perkiraan yang paling diterima secara luas adalah bahwa setidaknya 500.000 hingga lebih dari 1 juta orang terbunuh.[56][57][58][59][halaman dibutuhkan][60][61] Sebanyak 1,5 juta orang dipenjarakan pada satu tahap atau lainnya.[62] Sebagai akibat dari pembersihan tersebut, salah satu dari tiga pilar pendukung Soekarno, Partai Komunis Indonesia, secara efektif dilenyapkan oleh dua kelompok lainnya, militer dan politik Islam.[63] CIA menggambarkan pembersihan tersebut sebagai "salah satu pembunuhan massal terburuk pada abad ke-20 abad".[64]
Perebutan kekuasaan
Soekarno tetap mendapatkan loyalitas dari sebagian besar angkatan bersenjata serta masyarakat umum, dan Suharto berhati-hati agar tidak terlihat merebut kekuasaan melalui kudetanya sendiri. Selama delapan belas bulan setelah pembubaran Gerakan 30 September, terjadi proses manuver politik yang rumit melawan Sukarno, termasuk agitasi mahasiswa, penumpukan parlemen, propaganda media, dan ancaman militer.[65] Pada bulan Januari 1966, mahasiswa di bawah bendera KAMI, memulai demonstrasi menentang pemerintahan Soekarno dan menyuarakan tuntutan pembubaran PKI dan pengendalian hiperinflasi. Para pelajar mendapat dukungan dan perlindungan dari tentara. Perkelahian jalanan terjadi antara mahasiswa dan loyalis pro-Soekarno, sedangkan mahasiswa pro-Soeharto menang karena perlindungan tentara.[66]
Pada bulan Februari 1966, Soekarno mengangkat Soeharto menjadi letnan jenderal (dan menjadi jenderal penuh pada bulan Juli 1966).[67] Pembunuhan seorang demonstran mahasiswa dan perintah pembubaran KAMI pada bulan Februari 1966 semakin membangkitkan opini publik terhadap presiden. Pada tanggal 11 Maret 1966, kemunculan pasukan tak dikenal di sekitar Istana Merdeka selama rapat kabinet (yang tidak dihadiri Soeharto) memaksa Soekarno melarikan diri ke Istana Bogor (60 km jauhnya) dengan helikopter. Tiga jenderal pro-Soeharto, Mayor Jenderal Basuki Rahmat, Brigjen M. Jusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud pergi ke Bogor untuk menemui Sukarno. Di sana, mereka membujuk dan mendapatkan keputusan presiden dari Soekarno (lihat Supersemar) yang memberikan wewenang kepada Soeharto untuk mengambil tindakan apa pun yang diperlukan untuk menjaga keamanan.[65] Menggunakan Melalui surat Supersemar, Soeharto memerintahkan pelarangan PKI keesokan harinya dan melanjutkan pembersihan unsur-unsur pro-Soekarno dari parlemen, pemerintah dan militer, dengan menuduh mereka sebagai simpatisan komunis.[67]
Tentara menangkap 15 menteri kabinet dan memaksa Soekarno mengangkat kabinet baru yang terdiri dari pendukung Suharto. Tentara menangkap anggota MPRS yang pro-Soekarno dan pro-komunis, dan Soeharto mengganti panglima angkatan laut, angkatan udara, dan kepolisian dengan para pendukungnya, yang kemudian memulai aksi besar-besaran. pembersihan dalam setiap dinas.[67] Pada bulan Juni 1966, parlemen yang sekarang telah dikosongkan mengeluarkan 24 resolusi termasuk pelarangan Marxisme–Leninisme, dan meratifikasi Supersemar, dan mencabut gelar Presiden Seumur Hidup Soekarno. Yang terpenting, perjanjian ini juga memutuskan bahwa jika Soekarno tidak dapat menjalankan tugasnya, pemegang Supersemar—Soeharto—akan menjadi penjabat presiden. Bertentangan dengan keinginan Soekarno, pemerintah mengakhiri Konfrontasi dengan Malaysia dan bergabung kembali dengan PBB[68] (Sukarno telah mengeluarkan Indonesia dari PBB pada tahun sebelumnya).[69] Soeharto tidak mengupayakan pencopotan langsung Soekarno pada sidang MPRS kali ini karena masih adanya dukungan terhadap presiden di kalangan beberapa elemen angkatan bersenjata.[70] Oleh Januari 1967, Soeharto merasa yakin bahwa ia telah menghilangkan semua dukungan penting terhadap Soekarno di angkatan bersenjata. Setelah Soekarno memberikan versinya tentang kejadian tersebut, MPRS menyimpulkan bahwa ia telah melalaikan tugasnya dan memutuskan untuk mengadakan sidang lagi untuk memakzulkannya. Pada tanggal 20 Februari 1967, menghadapi situasi yang semakin tidak dapat dipertahankan, Soekarno mengumumkan akan mengundurkan diri dari kursi kepresidenan. Kemudian, sidang MPRS mencabut sisa kekuasaannya pada tanggal 12 Maret dan menunjuk Soeharto penjabat presiden.[71] Soekarno dijadikan tahanan rumah di Istana Bogor; tidak banyak lagi yang terdengar darinya, dan dia meninggal pada bulan Juni 1970.[72] Pada tanggal 27 Maret 1968, MPRS mengangkat Soeharto untuk masa jabatan lima tahun penuh sebagai presiden.[73]
Presiden (1966-1998)
Ideologi
Lua error in Modul:Multiple_image at line 163: attempt to perform arithmetic on local 'totalwidth' (a nil value).
Soeharto mempromosikan "Orde Baru" -nya, berbeda dengan "Orde Lama" Soekarno, sebagai masyarakat yang berdasarkan ideologi Pancasila. Setelah awalnya berhati-hati untuk tidak menyinggung perasaan para cendekiawan Islam yang khawatir Pancasila akan berkembang menjadi aliran semu-agama, Suharto mendapatkan resolusi parlemen pada tahun 1983 yang mewajibkan semua organisasi di Indonesia untuk menganut Pancasila sebagai prinsip dasar. Ia juga melembagakan program pelatihan Pancasila yang wajib bagi seluruh masyarakat Indonesia, mulai dari siswa sekolah dasar hingga pekerja kantoran. Namun dalam praktiknya, ketidakjelasan Pancasila dimanfaatkan oleh pemerintahan Suharto untuk membenarkan tindakan mereka dan mengutuk lawan-lawan mereka sebagai “anti-Pancasila”.[74] Orde Baru juga menerapkan kebijakan Dwifungsi yang memungkinkan militer berperan aktif di semua tingkat pemerintahan, perekonomian, dan masyarakat Indonesia.
Konsolidasi kekuasaan
Setelah diangkat menjadi presiden, Soeharto masih perlu berbagi kekuasaan dengan berbagai elemen termasuk para jenderal Indonesia yang menganggap Soeharto sekadar primus inter pares, serta kelompok Islam dan mahasiswa yang berpartisipasi dalam pembersihan anti-Komunis. Soeharto, dibantu oleh kelompok perwira militer "Kantor Asisten Pribadi" (Aspri) semasa menjabat sebagai Panglima Divisi Diponegoro, khususnya Ali Murtopo, mulai memperkuat kekuasaannya secara sistematis. kekuasaan dengan secara halus mengesampingkan calon pesaing sambil memberikan penghargaan kepada loyalis dengan posisi politik dan insentif moneter.[butuh rujukan] Setelah berhasil menggulingkan upaya Ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution pada tahun 1968 untuk memperkenalkan RUU yang akan sangat membatasi wewenang presiden, Soeharto mencopotnya dari jabatan ketua MPRS pada tahun 1969 dan memaksanya pensiun dini dari militer pada tahun 1972. Pada tahun 1967, jenderal Hartono Rekso Dharsono, Kemal Idris, dan Sarwo Edhie Wibowo (dijuluki "Radikal Orde Baru") menentang keputusan Soeharto yang mengizinkan partisipasi partai politik yang ada dalam pemilu dan mendukung sistem dua partai non-ideologis yang serupa dengan yang ditemukan di banyak negara Barat. Soeharto mengirim Dharsono ke luar negeri sebagai duta besar, sedangkan Idris dan Wibowo dikirim ke tempat yang jauh Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan sebagai panglima daerah.[75]
Hubungan kuat Soeharto dengan gerakan mahasiswa sebelumnya memburuk karena meningkatnya otoritarianisme dan korupsi di pemerintahannya. Walaupun banyak pemimpin asli gerakan mahasiswa tahun 1966 (Angkatan '66) berhasil dikooptasi ke dalam rezim, Soeharto dihadapkan pada demonstrasi mahasiswa besar-besaran yang menantang keabsahan pemilu tahun 1971 (gerakan "Golput") , pembangunan taman hiburan Taman Mini Indonesia Indah yang memakan biaya besar (1972), dominasi kapitalis asing (Insiden Malari tahun 1974), dan tidak adanya batasan masa jabatan kepresidenan Suharto (1978). Rezim merespons dengan memenjarakan banyak aktivis mahasiswa (seperti calon tokoh nasional Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Adnan Buyung Nasution, Hariman Siregar, dan Syahrir), dan bahkan mengirimkan pasukan untuk menduduki kampus ITB (Institut Teknologi Bandung) pada bulan Januari – Maret 1978. Pada bulan April 1978, Soeharto mengambil tindakan tegas dengan mengeluarkan surat keputusan “Normalisasi Kehidupan Kampus” (NKK) yang melarang kegiatan politik di kampus yang tidak berkaitan dengan akademik. pengejaran.[76][77]
Pada tanggal 15–16 Januari 1974, Soeharto menghadapi tantangan berat ketika terjadi kerusuhan dengan kekerasan di Jakarta saat kunjungan perdana menteri Jepang Kakuei Tanaka. Mahasiswa yang berdemonstrasi menentang meningkatnya dominasi investor Jepang didorong oleh Jenderal Sumitro, wakil panglima angkatan bersenjata. Sumitro adalah seorang jenderal ambisius yang tidak menyukai pengaruh kuat lingkaran dalam Aspri Soeharto. Soeharto mengetahui bahwa kerusuhan tersebut direkayasa oleh Sumitro untuk mengganggu stabilitas pemerintahan, yang mengakibatkan Sumitro dipecat dan dipaksa pensiun. Peristiwa ini disebut sebagai Insiden Malari (Malapetaka Lima Belas Januari/Bencana 15 Januari). Namun, Soeharto juga membubarkan Aspri untuk menenangkan perbedaan pendapat.[78] Pada tahun 1980, lima puluh tokoh politik terkemuka menandatangani Petisi 50, yang mengkritik penggunaan Pancasila oleh Suharto untuk membungkam para pengkritiknya. Suharto menolak menjawab kekhawatiran para pembuat petisi, dan beberapa dari mereka dipenjarakan, sementara yang lain dibatasi pergerakannya.[79]
Kebijakan dalam negeri dan stabilitas politik
Untuk memenuhi tuntutan para politisi sipil agar diselenggarakannya pemilu, sebagaimana tertuang dalam ketetapan MPRS tahun 1966 dan 1967, pemerintahan Soeharto merumuskan serangkaian undang-undang mengenai pemilu serta susunan dan tugas parlemen yang disahkan oleh MPRS pada bulan November 1969 setelah berlarut-larut. negosiasi. Undang-undang mengatur tentang parlemen (Madjelis Permusjawaratan Rakjat/MPR) dengan kekuasaan untuk memilih presiden, yang terdiri dari dewan perwakilan (Dewan Perwakilan Rakjat /DPR) dan perwakilan daerah. 100 dari 460 anggota DPR akan diangkat langsung oleh pemerintah, sedangkan sisanya dialokasikan kepada organisasi politik berdasarkan hasil pemilihan umum. Mekanisme ini menjamin kontrol pemerintah yang signifikan atas urusan legislatif, khususnya pengangkatan presiden.[80][81]
Untuk ikut pemilu, Soeharto menyadari perlunya beraliansi dengan partai politik. Setelah awalnya mempertimbangkan untuk bergabung dengan partai lama Soekarno, PNI, pada tahun 1969 Suharto memutuskan untuk mengambil alih kendali federasi LSM yang dikelola militer yang disebut Golkar ("Kelompok Fungsional") dan mengubahnya menjadi kendaraan pemilu di bawah koordinasi tangan kanannya Ali Murtopo. pemilihan umum pertama diselenggarakan pada tanggal 3 Juli 1971 dengan sepuluh peserta; terdiri dari Golkar, empat partai Islam, serta lima partai nasionalis dan Kristen. Berkampanye dengan platform "pembangunan" non-ideologis, dan dibantu oleh dukungan resmi pemerintah serta taktik intimidasi yang halus, Golkar berhasil memperoleh 62,8% suara rakyat. Sidang umum MPR yang baru terpilih pada bulan Maret 1973 segera mengangkat Suharto untuk masa jabatan kedua dengan Sultan Hamengkubuwono IX sebagai wakil presiden.[82]
"Bukan kekuatan militer Komunis tetapi fanatisme dan ideologi mereka yang merupakan unsur utama kekuatan mereka. Untuk mempertimbangkan hal ini, setiap negara di wilayah tersebut memerlukan ideologinya sendiri untuk melawan Komunis. Namun ideologi nasional saja tidak cukup. Kesejahteraan masyarakat harus ditingkatkan sehingga memperkuat dan menopang ideologi nasional."
— Soeharto berbicara dengan Presiden Ford pada tahun 1975[83]
Pada tanggal 5 Januari 1973, untuk memungkinkan kontrol yang lebih baik, pemerintah memaksa empat partai Islam untuk bergabung menjadi PPP (Partai Persatuan Pembangunan) sementara lima partai non-Islam bergabung. melebur menjadi PDI (Partai Demokrasi Indonesia/Partai Demokrasi Indonesia). Pemerintah memastikan bahwa partai-partai ini tidak pernah mengembangkan oposisi yang efektif dengan mengendalikan kepemimpinan mereka sambil menerapkan sistem “re-call” untuk memberhentikan legislator yang vokal dari jabatan mereka. Dengan menggunakan sistem yang dijuluki "Pancasila Demokrasi", Soeharto terpilih kembali tanpa lawan oleh MPR pada tahun 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.[82] Golkar memenangkan mayoritas suara di MPR pada setiap pemilu, memastikan bahwa Soeharto akan mampu meloloskan agendanya tanpa ada oposisi.
Soeharto sangat berhati-hati agar rezimnya tampak menaati prinsip-prinsip konstitusi. Di atas kertas, presiden adalah “wajib MPR” yang bertanggung jawab melaksanakan “Garis Besar Haluan Negara” (GBHN) yang dikembangkan MPR. Menjelang akhir masa jabatannya, Soeharto menyampaikan "pidato akuntabilitas" kepada MPR yang menguraikan pencapaian pemerintahannya dan menunjukkan bagaimana ia mematuhi GBHN. Selain itu, presiden mempunyai wewenang untuk mengeluarkan peraturan pengganti undang-undang, namun peraturan tersebut harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar tetap berlaku. Namun dalam praktiknya, mayoritas suara Golkar di DPR dan MPR menjadikan persetujuan tersebut hanya sekedar formalitas. Ditambah dengan jarangnya sidang DPR (biasanya hanya satu kali sidang per tahun), Soeharto mampu memerintah secara efektif melalui dekrit pada sebagian besar masa jabatannya.
Soeharto juga menjalankan berbagai proyek rekayasa sosial yang dirancang untuk mengubah masyarakat Indonesia menjadi “massa mengambang” yang terdepolitisasi dan mendukung misi nasional “pembangunan”, sebuah konsep yang mirip dengan korporatisme. Pemerintah membentuk berbagai kelompok masyarakat sipil untuk menyatukan masyarakat dalam mendukung program pemerintah. Misalnya, pemerintah membentuk Korps Pegawai Republik Indonesia (Korps Pegawai Republik Indonesia atau KORPRI) pada bulan November 1971 sebagai serikat pegawai negeri untuk menjamin kesetiaan mereka, mengorganisir FBSI ( Federasi Buruh Seluruh Indonesia) sebagai satu-satunya serikat buruh yang sah pada bulan Februari 1973, dan mendirikan MUI pada tahun 1975 untuk mengontrol ulama Islam.[84]
Keamanan internal dan kebijakan sosial
Lua error in Modul:Multiple_image at line 163: attempt to perform arithmetic on local 'totalwidth' (a nil value). Selain itu, Soeharto mengandalkan militer untuk menjaga keamanan dalam negeri dengan kejam, yang diorganisir oleh Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara). Untuk mempertahankan kontrol yang ketat atas negara, Soeharto memperluas sistem teritorial tentara hingga ke tingkat desa, sementara perwira militer ditunjuk sebagai kepala daerah di bawah rubrik Dwifungsi Dewan militer. Pada tahun 1969, 70% gubernur provinsi dan lebih dari separuh bupati di Indonesia adalah perwira militer aktif. Soeharto mengizinkan Operasi Trisula yang menghancurkan sisa-sisa PKI yang mencoba mengorganisir basis gerilya di wilayah Blitar pada tahun 1968 dan memerintahkan beberapa operasi militer yang mengakhiri pemberontakan komunis PGRS-Paraku di Kalimantan Barat (1967 –1972). Serangan terhadap pekerja minyak oleh inkarnasi pertama separatis Gerakan Aceh Merdeka di bawah Hasan di Tiro pada tahun 1977 menyebabkan pengiriman detasemen pasukan khusus kecil yang dengan cepat membunuh atau memaksa anggota gerakan tersebut melarikan diri ke luar negeri.[85] Khususnya, pada bulan Maret 1981, Soeharto mengizinkan misi pasukan khusus yang sukses untuk mengakhiri pembajakan penerbangan Garuda Indonesia oleh ekstremis Islam di Bandar Udara Internasional Don Mueang di Bangkok.[86]
Pada tahun 1968, Soeharto memulai program keluarga berencana (Keluarga Berentjana/KB) yang sangat sukses untuk membendung laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dan karenanya meningkatkan pendapatan per kapita. Warisan abadi dari periode ini adalah reformasi ejaan bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Suharto pada tanggal 17 Agustus 1972.[84] Untuk mendorong asimilasi dari Orang Indonesia Tionghoa yang berpengaruh, pemerintahan Suharto mengesahkan beberapa undang-undang sebagai bagian dari apa yang disebut "Kebijakan Dasar untuk Solusi Masalah Tiongkok", yang mana hanya satu penerbitan berbahasa Mandarin (dikendalikan oleh Angkatan Darat) yang diizinkan untuk terus berlanjut, semua ekspresi budaya dan agama Tiongkok (termasuk tampilan karakter Tiongkok) dilarang dari ruang publik, sekolah Tionghoa disita dan diubah menjadi sekolah umum berbahasa Indonesia, dan etnis Tionghoa dipaksa menggunakan bahasa Indonesia nama; menciptakan genosida budaya yang sistematis. Pada tahun 1978, pemerintah mulai mewajibkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (bahasa Indonesia: Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau SBKRI). Meskipun SBKRI secara hukum diwajibkan bagi seluruh warga negara keturunan asing, namun dalam praktiknya umumnya hanya berlaku bagi keturunan Tionghoa. Hal ini menyebabkan kesulitan bagi warga Indonesia Tionghoa ketika mendaftar di universitas negeri, melamar menjadi pegawai negeri, atau bergabung dengan militer atau polisi.[87]
Kebijakan ekonomi
Lua error in Modul:Multiple_image at line 163: attempt to perform arithmetic on local 'totalwidth' (a nil value). Untuk menstabilkan perekonomian dan memastikan dukungan jangka panjang bagi Orde Baru, pemerintahan Soeharto merekrut sekelompok ekonom Indonesia yang sebagian besar berpendidikan Amerika, yang dijuluki "Berkeley Mafia", untuk merumuskan perubahan signifikan dalam kebijakan ekonomi. Dengan memotong subsidi, mengurangi utang pemerintah, dan mereformasi mekanisme nilai tukar, inflasi diturunkan dari 660% pada tahun 1966 menjadi 19% pada tahun 1969. Ancaman kelaparan dapat diatasi dengan masuknya pengiriman bantuan beras USAID dari tahun 1967 hingga 1968.[88] Dengan kurangnya modal dalam negeri yang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi, Orde Baru membalikkan kebijakan swasembada ekonomi Soekarno dan membuka sektor-sektor ekonomi tertentu di negara tersebut untuk investasi asing melalui Undang-Undang Penanaman Modal Asing tahun 1967. Soeharto melakukan perjalanan ke Eropa Barat dan Jepang untuk mempromosikan investasi di Indonesia. Investor asing pertama yang masuk kembali ke Indonesia antara lain perusahaan pertambangan Freeport Sulphur Company / International Nickel Company. Mengikuti kerangka peraturan pemerintah, pengusaha dalam negeri (kebanyakan orang Tionghoa-Indonesia) muncul pada akhir tahun 1960an dan awal tahun 1970an di sektor manufaktur ringan substitusi impor seperti Astra Group dan Salim Group.[89]
Sejak tahun 1967, pemerintah mendapatkan bantuan luar negeri berbunga rendah dari sepuluh negara yang tergabung dalam Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) untuk menutupi defisit anggaran negara tersebut.[90] Dengan IGGI dana dan lonjakan pendapatan ekspor minyak akibat krisis minyak tahun 1973, pemerintah berinvestasi dalam infrastruktur berdasarkan serangkaian rencana lima tahun, yang disebut REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun) I hingga VI dari tahun 1969 hingga tahun 1998.[15][89][91] Di luar perekonomian formal, Soeharto menciptakan jaringan organisasi amal (“yayasan”) yang dijalankan oleh militer dan anggota keluarganya, yang memperoleh “sumbangan” dari perusahaan dalam dan luar negeri sebagai imbalan atas dukungan dan izin pemerintah yang diperlukan. Meskipun sebagian dana digunakan untuk tujuan amal, sebagian besar dana tersebut didaur ulang sebagai dana tertentu untuk memberi penghargaan kepada sekutu politik dan untuk mempertahankan dukungan terhadap Orde Baru.[15][92] Pada tahun 1975, perusahaan minyak milik negara, Pertamina, gagal membayar pinjaman luar negerinya akibat salah urus dan korupsi di bawah kepemimpinan sekutu dekat Soeharto, Ibnu Sutowo. Dana talangan pemerintah terhadap perusahaan tersebut hampir dua kali lipat utang negara.[93][halaman dibutuhkan]
Kebijakan luar negeri
Lua error in Modul:Multiple_image at line 163: attempt to perform arithmetic on local 'totalwidth' (a nil value). Setelah mengambil alih kekuasaan, pemerintahan Suharto mengadopsi kebijakan netralitas dalam Perang Dingin namun diam-diam bersekutu dengan blok Barat (termasuk Jepang dan Korea Selatan) untuk mendapatkan dukungan bagi pemulihan ekonomi Indonesia. Negara-negara Barat, yang terkesan dengan sikap anti-komunis Suharto yang kuat, segera menawarkan dukungan mereka. Hubungan diplomatik dengan Tiongkok dihentikan pada bulan Oktober 1967 karena dugaan keterlibatan Tiongkok dalam Gerakan 30 September (hubungan diplomatik baru dipulihkan pada tahun 1990). Karena penghancuran PKI oleh Suharto, Uni Soviet melakukan embargo penjualan peralatan militer ke Indonesia. Namun, dari tahun 1967 hingga 1970 Menteri Luar Negeri Adam Malik berhasil mendapatkan beberapa perjanjian untuk merestrukturisasi hutang besar yang dikeluarkan oleh Sukarno dari Uni Soviet dan negara komunis Eropa Timur lainnya. Secara regional, setelah mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia pada bulan Agustus 1966, Indonesia menjadi anggota pendiri Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pada bulan Agustus 1967. Organisasi ini dirancang untuk membangun hubungan damai antar negara-negara Asia Tenggara. negara-negara yang bebas dari konflik seperti yang sedang berlangsung Perang Vietnam.[15]
Pada tahun 1974, koloni tetangga Timor Portugis mengalami menjadi perang saudara setelah penarikan kekuasaan Portugis setelah Revolusi Bunga Anyelir, dimana populis sayap kiri Fretilin (Portugis: Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente) muncul sebagai pemenang. Dengan persetujuan dari negara-negara Barat (termasuk dari Presiden AS Gerald Ford dan Perdana Menteri Australia Gough Whitlam selama kunjungan mereka ke Indonesia), Soeharto memutuskan untuk melakukan intervensi. Dia mengklaim langkah itu untuk mencegah berdirinya negara komunis. Setelah usahanya yang gagal memberikan dukungan terselubung kepada kelompok-kelompok Timor UDT dan APODETI, Soeharto mengizinkan invasi besar-besaran terhadap Timor Timur. koloni pada tanggal 7 Desember 1975 diikuti dengan pencaplokan resminya sebagai provinsi Timor Timur ke-27 di Indonesia pada bulan Juli 1976. Kampanye "pengepungan dan pemusnahan" pada tahun 1977–1979 mematahkan kendali Fretilin atas wilayah tersebut. daerah pedalaman, meskipun perlawanan gerilya yang terus berlanjut menyebabkan pemerintah mempertahankan kekuatan militer yang kuat di separuh pulau tersebut hingga tahun 1999. Diperkirakan jumlah minimum 90.800 dan maksimum 213.600 kematian terkait konflik terjadi di Timor Timur selama Indonesian aturan (1974–1999); yaitu, 17.600–19.600 pembunuhan dan 73.200 hingga 194.000 kematian 'berlebihan' akibat kelaparan dan penyakit; Pasukan Indonesia bertanggung jawab atas sekitar 70% kematian akibat kekerasan.[94]
invasi dan pendudukan di Timor Timur selama masa kepresidenan Soeharto mengakibatkan sedikitnya 100.000 kematian.[95] Untuk mematuhi Perjanjian New York tahun 1962 yang mensyaratkan pemungutan suara mengenai integrasi Irian Barat ke dalam Indonesia sebelum akhir tahun 1969, pemerintahan Suharto mulai mengorganisir apa yang disebut " Penentuan Pendapat" dijadwalkan pada Juli–Agustus 1969. Pemerintah mengirimkan pasukan khusus RPKAD di bawah Sarwo Edhie Wibowo yang berhasil mengamankan penyerahan beberapa kelompok bekas milisi yang diorganisir Belanda (Papoea Vrijwilligers Korps / PVK) berkeliaran di hutan sejak pengambilalihan Indonesia pada tahun 1963 sambil mengirimkan sukarelawan Katolik di bawah Jusuf Wanandi untuk mendistribusikan barang-barang konsumsi guna mempromosikan sentimen pro-Indonesia. Pada bulan Maret 1969, disepakati bahwa pemungutan suara akan disalurkan melalui 1.025 kepala suku, dengan alasan tantangan logistik dan ketidaktahuan politik masyarakat. Dengan menggunakan strategi di atas, pemungutan suara menghasilkan keputusan bulat untuk berintegrasi dengan Indonesia, yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan November 1969.[96]
Kemajuan sosial-ekonomi
Kemajuan sosial-ekonomi yang nyata menopang dukungan terhadap rezim Soeharto selama tiga dekade. Pada tahun 1996, tingkat kemiskinan di Indonesia telah turun menjadi sekitar 11% dibandingkan dengan 45% pada tahun 1970. Dari tahun 1966 hingga 1997, Indonesia mencatat pertumbuhan PDB riil sebesar 5,03% per tahun, mendorong PDB riil per kapita meningkat dari US$806 menjadi US$4,114. Pada tahun 1966, sektor manufaktur menyumbang kurang dari 10% PDB (kebanyakan industri yang berkaitan dengan minyak dan pertanian). Pada tahun 1997, manufaktur telah meningkat menjadi 25% PDB, dan 53% ekspor terdiri dari produk manufaktur. Pemerintah berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur besar-besaran (terutama peluncuran serangkaian satelit telekomunikasi Palapa); akibatnya, infrastruktur Indonesia pada pertengahan tahun 1990an dianggap setara dengan Tiongkok. Soeharto sangat ingin memanfaatkan pencapaian tersebut untuk membenarkan kepresidenannya, dan parlemen (MPR) pada tanggal 9 Maret 1983 memberinya gelar "Bapak Pembangunan".[97]
Program layanan kesehatan pemerintahan Soeharto (seperti program Puskesmas) meningkatkan angka harapan hidup dari 47 tahun (1966) menjadi 67 tahun (1997) sekaligus menurunkan angka kematian bayi lebih dari 60%. Program Inpres yang diluncurkan pemerintah pada tahun 1973 menghasilkan rasio partisipasi sekolah dasar mencapai 90% pada tahun 1983 dan hampir menghilangkan kesenjangan pendidikan antara anak laki-laki dan perempuan. Dukungan berkelanjutan terhadap pertanian menghasilkan Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984, sebuah pencapaian yang belum pernah terjadi sebelumnya yang membuat Soeharto mendapatkan medali emas dari FAO pada bulan November 1985.[98] Pada awal tahun 1980-an, pemerintahan Soeharto menanggapi jatuhnya ekspor minyak akibat kelebihan minyak tahun 1980-an dengan berhasil mengalihkan basis perekonomian ke sektor manufaktur padat karya yang berorientasi ekspor, yang menjadikan daya saing global karena rendahnya produktivitas Indonesia. upah dan serangkaian devaluasi mata uang. Industrialisasi sebagian besar dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Cina-Indonesia yang berkembang menjadi konglomerat besar yang mendominasi perekonomian negara.[99]
Konglomerat terbesar adalah Grup Salim yang dipimpin oleh Liem Sioe Liong (Sudono Salim), Grup Sinar Mas yang dipimpin oleh Oei Ek Tjong ( Eka Tjipta Widjaja), Astra Group dipimpin oleh Tjia Han Poen (William Soeryadjaya), Lippo Group dipimpin oleh Lie Mo Tie (Mochtar Riady) , Grup Barito Pacific dipimpin oleh Pang Djun Phen (Prajogo Pangestu), dan Grup Nusamba dipimpin oleh Bob Hasan. Soeharto memutuskan untuk mendukung pertumbuhan sejumlah kecil konglomerat Tionghoa-Indonesia karena mereka tidak akan menimbulkan tantangan politik karena status etnis minoritas mereka, namun berdasarkan pengalamannya, ia menganggap mereka memiliki keterampilan dan modal yang diperlukan untuk menciptakan pertumbuhan nyata. untuk negara. Sebagai imbalan atas dukungan Soeharto, para konglomerat menyediakan pendanaan penting untuk aktivitas “pemeliharaan rezim”-nya.[99]
Pada akhir tahun 1980an, pemerintahan Soeharto memutuskan untuk melakukan deregulasi sektor perbankan untuk mendorong tabungan dan menyediakan sumber pembiayaan dalam negeri yang diperlukan untuk pertumbuhan. Soeharto mengeluarkan "Paket Oktober 1988" (PAKTO 88) yang meringankan persyaratan untuk mendirikan bank dan memberikan kredit; mengakibatkan peningkatan jumlah bank sebesar 50% dari tahun 1989 hingga 1991. Untuk meningkatkan tabungan, pemerintah memperkenalkan program TABANAS kepada masyarakat. Bursa Efek Jakarta, yang dibuka kembali pada tahun 1977, mencatat "bull run", karena banyaknya penawaran umum perdana saham (IPO) dalam negeri dan masuknya dana asing setelah deregulasi pada tahun 1990. ketersediaan kredit yang tiba-tiba memicu pertumbuhan ekonomi yang kuat pada awal tahun 1990an, namun lemahnya lingkungan peraturan di sektor keuangan menabur benih krisis yang membawa bencana pada tahun 1997, yang akhirnya berujung pada berakhirnya masa kepresidenan Soeharto.[100]
Meningkatnya korupsi
Pertumbuhan ekonomi tersebut dibarengi dengan pesatnya maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme/KKN). Pada awal tahun 1980-an, anak-anak Soeharto, khususnya Siti Hardiyanti Rukmana ("Tutut"), Hutomo Mandala Putra ("Tommy"), dan Bambang Trihatmodjo, telah tumbuh menjadi orang dewasa yang rakus. Perusahaan mereka diberi kontrak pemerintah yang menguntungkan dan dilindungi dari persaingan pasar melalui monopoli. Contohnya adalah pasar jalan tol tol yang dimonopoli oleh Tutut, proyek mobil nasional yang dimonopoli oleh Bambang dan Tommy, bahkan pasar bioskop yang dimonopoli oleh 21 Cineplex (milik oleh sepupu Soeharto, Sudwikatmono). Keluarga tersebut dikatakan menguasai sekitar 36.000 km2 real estat di Indonesia, termasuk 100.000 m2 ruang kantor utama di Jakarta dan hampir 40% dari tanah di Timor Timur. Selain itu, anggota keluarga Suharto menerima saham gratis di 1.251 perusahaan domestik paling menguntungkan di Indonesia (kebanyakan dijalankan oleh kroni-kroni Soeharto yang beretnis Tionghoa), sementara perusahaan milik asing didorong untuk menjalin "kemitraan strategis" dengan perusahaan keluarga Suharto. Sementara itu, banyak sekali yayasan yang dijalankan oleh keluarga Suharto semakin bertambah besar, dengan mengumpulkan "sumbangan" jutaan dolar dari sektor publik dan swasta setiap tahunnya.[18][101]
Pada tahun 1997, Majalah Forbes mencantumkan Soeharto sebagai orang terkaya keempat di dunia dengan kekayaan bersih individu sebesar $16 miliar, meskipun gaji tahunan pada tahun puncak terakhirnya hanya sebesar $21.000. Keluarga Soeharto memiliki atau menguasai 3,6 juta hektar tanah utama di Indonesia, luas yang sebanding dengan seluruh Belgia, dan secara langsung memiliki atau mengendalikan ekuitas di setidaknya 564 perusahaan, tanpa ada sektor perekonomian Indonesia yang tidak tersentuh. Dengan modal awal sebesar $100,000, Tommy Soeharto memulai usahanya pada tahun 1984 pada usia 22 tahun. Dalam waktu sepuluh minggu, Grup Humpuss miliknya telah memiliki dua puluh anak perusahaan, yang segera membengkak menjadi enam puluh. Setahun kemudian ia mengakuisisi Perta Oil Marketing, anak perusahaan perusahaan minyak negara Pertamina, yang langsung menjadikannya pialang dan pengangkut minyak mentah utama. Perta menghasilkan keuntungan sebesar $1 juta per bulan. Sebagian besar jalan tol di Indonesia dibangun dan dioperasikan oleh Badan Usaha Milik Negara Jasa Marga, dengan markup yang tak terhitung jumlahnya dan peluang untuk melakukan skimming dan pencurian bagi oligarki ketika proyek tersebut selesai. Pada tahun 1989, Soeharto mengeluarkan keputusan yang memberikan putrinya Tutut 75% keuntungan dari seluruh jalan tol yang dioperasikan kelompoknya bersama Jasa Marga, sehingga semakin meningkatkan biaya. Bambang memposisikan grupnya sebagai mitra perusahaan listrik asing dan memaksa perusahaan listrik milik negara, PLN, untuk membeli listrik dengan harga yang melambung. Menurut perkiraan dari cerita sampul majalah Time edisi internasional tanggal 24 Mei 1999, total kekayaan yang dikumpulkan oleh keluarga Soeharto selama tiga dekade berkuasa adalah $73,24 miliar. Dengan menyisihkan $9 miliar yang diperoleh dari bunga deposito, tiga perempat dari kekayaan ini berasal dari perolehan sumber daya minyak, gas, dan pertambangan negara tersebut, atau bekerja keras pada perusahaan negara dan kontrak-kontrak besar pemerintah. Nilai tambah kewirausahaan dari perusahaan-perusahaan milik keluarga Soeharto ini, secara keseluruhan, hampir nol.[102]
Pada awal tahun 2004, LSM antikorupsi Jerman, Transparansi Internasional, merilis daftar sepuluh pemimpin yang diyakini paling memperkaya diri sendiri dalam dua dekade sebelumnya; berdasarkan jumlah yang diduga dicuri dalam USD, peringkat tertinggi adalah Soeharto dan keluarganya yang dituduh menggelapkan $15 miliar – $35 miliar.[103]
Tahun 1980an dan 1990an
Pada tahun 1980-an, cengkeraman kekuasaan Suharto dipertahankan melalui pelemahan masyarakat sipil, rekayasa pemilu, dan penggunaan kekuatan koersif militer. Setelah pensiun dari militer pada bulan Juni 1976, Suharto melakukan reorganisasi angkatan bersenjata yang memusatkan kekuasaan dari komandan ke presiden. Pada bulan Maret 1983, ia menunjuk Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani sebagai panglima angkatan bersenjata yang mengadopsi pendekatan garis keras terhadap elemen-elemen yang menentang pemerintah. Sebagai seorang Katolik Roma, ia bukanlah ancaman politik bagi Soeharto.[104] Dari tahun 1983 hingga 1985, pasukan tentara membunuh hingga 10.000 tersangka penjahat sebagai respons terhadap lonjakan kejahatan rate (lihat "Pembunuhan Petrus"). Pemberlakuan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi oleh Soeharto menimbulkan protes dari kelompok Islam konservatif yang menganggap hukum Islam di atas konsepsi lainnya.[105]
Pembantaian Tanjung Priok menyebabkan tentara membunuh hingga 100 pengunjuk rasa Muslim konservatif pada bulan September 1984. Serangkaian pemboman kecil-kecilan sebagai balasan, termasuk pemboman Borobudur, menyebabkan penangkapan ratusan aktivis Islam konservatif, termasuk calon pemimpin parlemen AM Fatwa dan Abu Bakar Bashir (kemudian menjadi pemimpin Jemaah Islamiyah). Serangan terhadap polisi oleh [Gerakan Aceh Merdeka] yang bangkit kembali pada tahun 1989 berujung pada operasi militer yang menewaskan 2.000 orang dan mengakhiri pemberontakan pada tahun 1992. Pada tahun 1984, pemerintahan Suharto mengupayakan peningkatan kontrol atas pers dengan mengeluarkan undang-undang yang mewajibkan semua media memiliki izin penyelenggaraan pers (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers, SIUPP) yang sewaktu-waktu dapat dicabut oleh Kementerian Penerangan.[105]
Dengan berakhirnya komunisme dan Perang Dingin, catatan hak asasi manusia Suharto mendapat sorotan internasional yang lebih besar, khususnya setelah pembantaian Santa Cruz tahun 1991 di Timor Timur. Suharto terpilih sebagai ketua Gerakan Non-Blok pada tahun 1992, sedangkan Indonesia menjadi anggota pendiri APEC pada tahun 1989 dan menjadi tuan rumah KTT APEC Bogor pada tahun 1994.[106] Di dalam negeri, urusan bisnis keluarga Suharto menciptakan ketidakpuasan di kalangan militer yang kehilangan akses terhadap kekuasaan dan peluang mencari keuntungan yang menguntungkan. Pada sidang MPR bulan Maret 1988, para legislator militer berusaha menekan Suharto dengan gagal menghalangi pencalonan Sudharmono, seorang loyalis Suharto, sebagai wakil presiden. Kritik Moerdani terhadap korupsi keluarga Suharto membuat presiden memberhentikannya dari jabatan panglima militer. Suharto perlahan-lahan melakukan “demiliterisasi” terhadap rezimnya; ia membubarkan Kopkamtib yang berkuasa pada bulan September 1988 dan memastikan posisi-posisi penting militer dipegang oleh para loyalis.[107]
Dalam upaya untuk mendiversifikasi basis kekuasaannya dari militer, Soeharto mulai mencari dukungan dari unsur-unsur Islam. Ia melakukan ibadah haji yang banyak dipublikasikan pada tahun 1991, menggunakan nama Haji Mohammad Soeharto, dan mempromosikan nilai-nilai Islam dan karier para jenderal yang berorientasi Islam. Untuk mendapatkan dukungan dari komunitas bisnis Muslim yang baru lahir yang tidak menyukai dominasi konglomerat Tionghoa-Indonesia, Soeharto membentuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada bulan November 1990, yang dipimpin oleh anak didiknya B.J. Habibie, Menteri Riset dan Teknologi sejak tahun 1978. Pada periode ini, kerusuhan ras terhadap etnis Tionghoa mulai cukup sering terjadi, diawali dengan kerusuhan bulan April 1994 di Medan.[108] Pada tahun 1990-an, pemerintahan Suharto didominasi oleh politisi sipil seperti Habibie, Harmoko, Ginandjar Kartasasmita, dan Akbar Tanjung, yang posisinya semata-mata berasal dari Soeharto. Sebagai tanda meningkatnya pengaruh Habibie, ketika dua majalah terkemuka di Indonesia dan sebuah surat kabar tabloid memberitakan kritik atas pembelian hampir seluruh armada Angkatan Laut Jerman Timur yang dibubarkan oleh Habibie pada tahun 1993 (sebagian besar kapal tersebut bernilai sisa ), Kementerian Penerangan memerintahkan penerbitan yang melanggar tersebut ditutup pada tanggal 21 Juni 1994.[109] Pada tahun 1993, Museum Purna Bhakti Pertiwi dibuka atas prakarsa Tien Soeharto. Tempat ini menampung dan memamerkan koleksi Soeharto termasuk karya seni dan cenderamata, yang diterima dari berbagai pemimpin dunia dan masyarakat Indonesia.
Pada tahun 1990-an, elemen kelas menengah Indonesia yang semakin meningkat akibat perkembangan ekonomi Soeharto menjadi gelisah dengan otokrasi dan korupsi yang dilakukan anak-anaknya, sehingga memicu tuntutan untuk "Reformasi" (reformasi) dari pemerintahan Orde Baru yang hampir berusia 30 tahun. Sebagian besar kelas menengah tidak mempunyai ingatan mengenai kejadian-kejadian menjelang naiknya Soeharto ke tampuk kekuasaan. Pada tahun 1996, putri Soekarno, Megawati Soekarnoputri, ketua PDI yang biasanya patuh, menjadi tokoh oposisi atas meningkatnya ketidakpuasan ini. Sebagai tanggapan, Soeharto mendukung faksi terkooptasi PDI yang dipimpin oleh Suryadi, yang menggulingkan Megawati sebagai pemimpin PDI. Pada tanggal 27 Juli 1996, penyerangan yang dilakukan oleh tentara dan preman bayaran yang dipimpin oleh Letjen Sutiyoso saat demonstrasi pendukung Megawati di Jakarta mengakibatkan kerusuhan dan penjarahan yang memakan korban jiwa. Peristiwa ini disusul dengan penangkapan 200 aktivis demokrasi, 23 di antaranya diculik, dan sebagian dibunuh, oleh pasukan tentara yang dipimpin menantu Soeharto, Mayor Jenderal Prabowo Subianto.[110] Pada tahun 1995, Soeharto mengeluarkan koin emas senilai 850.000 rupiah khusus dengan wajah di satu sisi koin dalam perayaan 50 tahun Kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 5 Oktober 1997, ia menganugerahkan dirinya sendiri dan para jenderal Soedirman dan Abdul Haris Nasution dengan pangkat kehormatan bintang lima "Jenderal Besar."[111]
Upaya mengatasi krisis dan meredam oposisi
Krisis moneter yang melanda Asia pada tahun 1997 menerpa juga ke Indonesia. Bahkan, krisis itu menerjang juga sektor krisis ekonomi. Pada 8 Oktober 1997, Presiden meminta bantuan IMF dan Bank Dunia untuk memperkuat sektor keuangan dan menyatakan badai pasti berlalu. Presiden minta seluruh rakyat tetap tabah dalam menghadapi gejolak krisis moneter (29 November 1997).[112]
Di tengah krisis ekonomi yang parah dan adanya penolakan yang cukup tajam, pada 10 Maret 1998, MPR mengesahkan Soeharto sebagai presiden untuk ketujuh kalinya. Kali ini, Prof Ing BJ Habibie sebagai wakil presiden. Pada 17 Maret 1998, ia menyumbangkan seluruh gaji dan tunjangannya sebagai presiden dan meminta kerelaan para pejabat tinggi lainnya untuk menyerahkan gaji pokoknya selama satu tahun dalam rangka krisis moneter.
Menghadapi tuntutan untuk mundur, pada 1 Mei 1998, Soeharto menyatakan bahwa reformasi akan dipersiapkan mulai tahun 2003. Ketika di Mesir pada 13 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan bersedia mundur kalau memang rakyat menghendaki dan tidak akan mempertahankan kedudukannya dengan kekuatan senjata. Sebelas menteri bidang ekonomi dan industri (ekuin) Kabinet Pembangunan VII mengundurkan diri (20 Mei 1998). Krisis moneter dan ekonomi benar-benar menggerogoti sistem kepemimpinannya. Dampaknya, Soeharto tidak bisa bertahan di pucuk kepemimpinan negeri.
Hanya berselang 70 hari setelah diangkat kembali menjadi presiden untuk periode yang ketujuh kalinya, Soeharto terpaksa mundur dari jabatannya sebagai presiden. Presiden Soeharto lengser tepat 21 Mei 1998. Tepat pukul 09.00 WIB (Waktu Indonesia Barat), Soeharto berhenti dari jabatannya sebagai presiden. Layar kaca televisi saat itu menyiarkan secara langsung detik per detik proses pengunduran dirinya.
Tanggal 12-20 Mei 1998 menjadi periode yang teramat panjang. Bagaimanapun, masa-masa itu kekuasaannya semakin tergerus oleh berbagai aksi dan peristiwa. Aksi mahasiswa menyebar ke seantero negeri. Ribuan mahasiswa menggelar aksi keprihatinan di berbagai tempat. Mahasiswa Trisakti, Jakarta menggelar aksinya tidak jauh dari kampus mereka. Peserta aksi mulai keluar dari halaman kampus dan memasuki jalan arteri serta berniat datang ke Gedung MPR/DPR yang memang sangat stategis. Tanggal 12 Mei 1998 sore, terdengar siaran berita meninggalnya empat mahasiswa Trisakti.
Sehari kemudian, tanggal 13 Mei 1998, jenasah keempat mahasiswa yang tewas diberangkatkan ke kediaman masing-masing. Mahasiswa yang hadir menyanyikan lagu Gugur Bunga. Tewasnya para mahasiswa disiarkan secara luas melalui pemberitaan radio, televisi, dan surat kabar. Tewasnya keempat mahasiswa seakan sebagai ledakan suatu peristiwa yang lebih besar. Kamis, 14 Mei 1998, ibu kota negara (Jakarta) dilanda kerusuhan hebat. Tanggal 15 Mei 1998, pesawat yang membawa Presiden Soeharto dan rombongan mendarat menjelang pukul 05.00 WIB pagi di pangkalan udara utama TNI AU Halim Perdanakusuma dari kunjungan ke Kairo, Mesir untuk mengikuti Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok 15 (Group 15/G-15).
Tanggal 16 Mei 1998, Presiden mengadakan serangkaian pertemuan termasuk berkonsultasi dengan unsur pimpinan DPR. Tanggal 17 Mei 1998, Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya Abdul Latief mengajukan surat pengunduran diri sebagai menteri. Tanggal 18 Mei 1998, ribuan mahasiswa mendatangi Gedung MPR/DPR. Aksi tersebut berakhir seiring dengan mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.
Mereka yang tewas adalah dua mahasiswa angkatan 1995 dan dua mahasiswa angkatan 1996. Angkatan 1995 terdiri dari Hery Hartanto (Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin) dan Hafidhin Alifidin Royan (Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin). Sedang, mahasiswa yang tewas angkatan 1996 adalah Elang Mulia Lesmana (Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur) dan Hendriawan Sie (Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen) .
Soeharto membangun dan memperluas konsep "Jalan Tengah"-nya Jenderal Nasution menjadi konsep dwifungsi untuk memperoleh dukungan basis teoretis bagi militer untuk memperluas pengaruhnya melalui pejabat-pejabat pemerintahan, termasuk cadangan alokasi kursi di parlemen dan pos-pos utama dalam birokrasi sipil. Peran dwifungsi ini adalah peran militer di bidang politik yang permanen.
Sepak terjang Ali Murtopo dengan badan inteligennya mulai mengancam Soeharto. Persaingan antara Ali Moertopo dan Sumitro dipergunakan untuk menyingkirkan Ali. Namun Sumitro pun segera ditarik dari jabatannya dan kendali Kopkamtib dipegang langsung oleh Soeharto karena dianggap potensial mengancam. Beberapa bulan setelah peristiwa Malari sebanyak 12 surat kabar ditutup dan ratusan rakyat Indonesia termasuk mahasiswa ditangkap dan dipenjarakan.
Pada 1978 untuk mengeliminir gerakan mahasiswa maka segera diberlakukannya NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Kebijakan ini ditentang keras oleh banyak organisasi mahasiswa. Hubungan kegiatan mahasiswa dengan pihak kampus hanyalah kepada mereka yang diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme kontrol dekanat dan rektorat.
Mulut pers pun dibungkam dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun 1982. UU ini mengisyaratkan adanya restriksi atau peringatan mengenai isi pemberitaan ataupun siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus memperoleh izin pemerintah dengan hanya satu organisasi profesi buatan pemerintah yang diperbolehkan berdiri. Sehingga organisasi massa tak lebih dari wayang-wayang Orde Baru.
Kemudian pada tahun 1979–1980 muncul sekelompok purnawirawan perwira tinggi angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh sipil yang dikenal kritis, yang tergabung dalam Petisi 50, mengeluarkan serial selebaran yang mengeluhkan sikap politik pemerintah Orde Baru yang menjadikan Angkatan Darat sebagai pendukung kemenangan Golkar, serta menuntut adanya reformasi politik. Sebagai balasannya, pemerintah mencekal mereka. Kelompok ini pun gagal serta tak pernah mampu tampil lagi sebagai kelompok oposisi yang efektif terhadap pemerintahan Orde Baru.
Puncak Orde Baru
Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah. Dia mengangkat banyak teknokrat dan ahli ekonomi yang sebelumnya bertentangan dengan Presiden Soekarno yang cenderung bersifat sosialis. Teknokrat-teknokrat yang umumnya berpendidikan barat dan liberal (Amerika Serikat) diangkat adalah lulusan Berkeley sehingga mereka lebih dikenal di dalam klik ekonomi sebagai Mafia Berkeley di kalangan Ekonomi, Industri dan Keuangan Indonesia. Pada masanya, Indonesia mendapatkan bantuan ekonomi dan keuangan dari negara-negara donor (negara-negara maju) yang tergabung dalan IGGI yang diseponsori oleh pemerintah Belanda. Namun pada tahun 1992, IGGI dihentikan oleh pemerintah Indonesia karena dianggap turut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, khususnya dalam kasus Timor Timur pasca Insiden Dili. Peran IGGI ini digantikan oleh lembaga donor CGI yang disponsori Prancis. Selain itu, Indonesia mendapat bantuan dari lembaga internasional lainnya yang berada di bawah PBB seperti UNICEF, UNESCO dan WHO. Namun sayangnya, kegagalan manajemen ekonomi yang bertumpu dalam sistem trickle down effect (menetes ke bawah) yang mementingkan pertumbuhan dan pengelolaan ekonomi pada segelintir kalangan serta buruknya manajemen ekonomi perdagangan industri dan keuangan (EKUIN) pemerintah, membuat Indonesia akhirnya bergantung pada donor Internasional terutama paska Krisis 1997. Dalam bidang ekonomi juga, tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada tahun 1984. Namun prestasi itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada tahun-tahun berikutnya. Kemudian kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap sangat signifikan sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang mendekati negara-negara Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan Thailand, selain Singapura, Republik Tiongkok, dan Korea Selatan.
Di bidang politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai politik sehingga pada masa itu dikenal tiga partai politik yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dalam upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di Indonesia sebagai akibat dari politik masa presiden Soekarno yang menggunakan sistem multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan dianggap penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian dikeluarkannnya UU Politik dan Asas tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Namun dalam perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan politik di mana muncullah istilah "mayoritas tunggal" di mana Golkar dijadikan partai utama dan "mengebiri" dua parpol lainnya dalam setiap penyelenggaraan pemilu. Berbagai ketidakpuasan muncul, namun dapat diredam oleh sistem pada masa itu.
Seiring dengan naiknya taraf pendidikan pada masa pemerintahannya karena pertumbuhan ekonomi, muncullah berbagai kritik dan ketidakpuasan atas ketimpangan ketimpangan dalam pembangunan. Kesenjangan ekonomi, sosial dan politik memunculkan kalangan yang tidak puas dan menuntut perbaikan. Kemudian pada masa pemerintahannya, tercatat muncul peristiwa kekerasan di masyarakat yang umumnya sarat kepentingan politik, selain memang karena ketidakpuasan dari masyarakat.
Mundur dari jabatan presiden
Pada 1997, menurut Bank Dunia, 20 sampai 30% dari dana pengembangan Indonesia telah disalahgunakan selama bertahun-tahun. Krisis finansial Asia pada tahun yang sama tidak membawa hal bagus bagi pemerintahan Presiden Soeharto ketika ia dipaksa untuk meminta pinjaman, yang juga berarti pemeriksaan menyeluruh dan mendetail dari IMF. Foto Direktur Pelaksana IMF Michel Camdessus bersedekap di samping Soeharto yang menandatangani Letter of Intent pinjaman USD 43 miliar dari IMF menjadi viral karena menunjukkan keangkuhan yang seakan memberi makna kalau Indonesia tak berdaya dan telah jatuh ke tangan IMF.[113]
Meskipun sempat menyatakan untuk tidak dicalonkan kembali sebagai Presiden pada periode 1998–2003, terutama pada acara Golongan Karya, Soeharto tetap dipilih kembali oleh MPR dalam Sidang Umum pada bulan Maret 1998. Setelah beberapa demonstrasi, kerusuhan dan pembantaian rakyat, tekanan politik dan militer, dan berpuncak pada pendudukan gedung DPR/MPR, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 untuk menghindari perpecahan dan meletusnya ketidakstabilan di Indonesia. Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil Presiden B. J. Habibie, yang menjadi presiden.
Dalam pemerintahannya yang berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Hal ini merupakan salah satu faktor berakhirnya era Soeharto.
Di Credentials Room Istana Merdeka, Jakarta, Presiden Soeharto membacakan pidato yang terakhir kali sebagai berikut:
Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi perlu dilaksanakan secara tertib, damai, dan konstitusional.
Demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional, saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII. Namun, kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut.
Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.
Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari Kamis, 21 Mei 1998.
Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden RI saya sampaikan di hadapan saudara-saudara pimpinan DPR dan juga adalah pimpinan MPR pada kesempatan silaturahmi. Sesuai Pasal 8 UUD 1945, maka Wakil Presiden RI, Prof. Dr. Ing. BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden/Mandataris MPR 1998–2003. Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin negara dan bangsa Indonesia ini saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangan-kekurangannya semoga bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 1945.
Mulai hari ini pula Kabinet Pembangunan VII demisioner dan kepada para menteri saya ucapkan terima kasih. Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah di hadapan DPR, maka untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya saudara wakil presiden sekarang juga akan melaksanakan sumpah jabatan presiden di hadapan Mahkamah Agung RI.
Sesaat kemudian, Presiden Soeharto menyerahkan pucuk pimpinan negeri kepada Prof. Dr. Ing. BJ Habibie. Setelah melaksanakan sumpah jabatan, akhirnya BJ Habibie resmi memangku jabatan presiden ke-3 RI. Ucapan selamat datang mulai dari mantan Presiden Soeharto, pimpinan dan wakil-wakil pimpinan MPR/DPR, para menteri serta siapa saja yang turut dalam pengucapan sumpah jabatan presiden ketika itu.
Tak berselang terlalu lama, Menteri Pertahanan Keamanan merangkap Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto membacakan pernyataan sikap, demikian: pertama, memahami situasi yang berkembang dan aspirasi masyarakat, ABRI mendukung dan menyambut baik permintaan berhenti Bapak Soeharto sebagai Presiden RI serta berdasarkan konstutusi mendukung Wakil Presiden Bapak BJ Habibie sebagai Presiden RI.
Kedua, ABRI yang tetap kompak dan satu berharap dan mengajak kepada seluruh rakyat Indonesia untuk menerima kehendak pribadi Presiden Soeharto tersebut yang telah sesuai dengan konstitusi, yakni Pasal 8 UUD 1945.
Ketiga, dalam hal ini, ABRI akan tetap berperan aktif guna mencegah penyimpangan dan hal-hal lain yang dapat mengancam keutuhan bangsa.
Keempat, menjunjung tinggi nilai luhur budaya bangsa, ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan para mantan Presiden/Mandataris MPR termasuk Bapak Soeharto beserta keluarganya.
Kelima, ABRI mengajak semua pihak agar bersikap tenang, mencegah terjadinya kerusuhan dan tindak kekerasan yang akhirnya akan merugikan masyarakat sendiri.
Kontroversi
Kasus dugaan korupsi
- Artikel utama: Kasus dugaan korupsi Soeharto
Setelah Soeharto resmi mundur dari jabatannya sebagai presiden, berbagai elemen masyarakat mulai menuntut agar digelar pengusutan dan pengadilan atas mantan presiden yang bekuasa paling lama di Indonesia itu. Pada 1 September 1998, tim Kejaksaan Agung mengumumkan adanya indikasi penggunaan uang yayasan di bawah pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Melalui Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) pada 6 September 1998, Soeharto muncul dan menyatakan bahwa dia tidak mempunyai kekayaan di luar negeri.
Jaksa Agung AM Ghalib dan Menko Wasbang/PAN Hartarto menemuinya di Jalan Cendana (Jakarta) untuk mengklarifikasi penyataan tersebut (21 September 1998). Pada 21 November 1998, Fraksi Karya Pembangunan (FKP) mengusulkan kepada pemerintah agar menetapkan mantan Presiden Soeharto sebagai tahanan kota. Ini merupakan tindak awal pengusutan harta dan kekayaan Soeharto yang diduga berasal dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN).
Pada 3 Desember 1998, Presiden BJ Habibie menginstruksikan Jaksa Agung AM Ghalib segera mengambil tindakan hukum memeriksa mantan Presiden Soeharto. Pada 9 Desember 1998, Soeharto diperiksa tim Kejaksaan Agung di Kejaksaan Tinggi Jakarta sehubungan dengan dana yayasan, program mobil nasional, kekayaan Soeharto di luar negeri, dan kasus Tapos. Majalah Time melansir berita tentang kekayaan Soeharto di luar negeri yang mencapai US$15 miliar (22 Mei 1999). Pada 27 Mei 1999, Soeharto menyerahkan surat kuasa khusus kepada Jaksa Agung AM Ghalib untuk menelisik kekayaannya di Swiss dan Austria, seperti diberitakan Majalah Time. Pada 2 Juni 1999, Soeharto mengadukan Majalah Time ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia atas tuduhan memfitnah pada pemberitaannya. Soeharto menuntut ganti rugi sekitar 27 miliar dollar AS.
Dalam persidangan gugatan akhirnya Mahkamah Agung (MA) memenangkan gugatan mantan Presiden Soeharto terhadap Majalah TIME Asia. Dalam putusan majelis hakim agung yang diketuai Ketua Muda Militer MA, Mayor Jenderal TNI Purnawirawan German Hoediarto dan beranggotakan Bahauddin Qoudry serta M. Taufik, tanggal 31 Agustus 2007 itu, Majalah TIME Asia diperintahkan membayar ganti rugi immateriil senilai Rp 1 triliun kepada HM Soeharto.MA Menangkan Soeharto Lawan Majalah TIME Asia
Soeharto memiliki dan mengetuai tujuh buah yayasan, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995. Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.
Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.
Menurut Transparency International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan 15–35 miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya.[114]
Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara mantan Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006, namun SKPP ini lalu dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 Juni 2006.
Beberapa catatan atas tindakan represif Orde Baru
Presiden Soeharto dinilai memulai penekanan terhadap suku Tionghoa, melarang penggunaan tulisan Tionghoa tertulis di berbagai material tertulis, dan menutup organisasi Tionghoa karena tuduhan simpati mereka terhadap komunis. Selain itu hak-hak politik etnis Tionghoa dibatasi dan agama Kong Hu Cu tidak diakui keberadaannya.
Pada 1970 Soeharto melarang protes pelajar setelah demonstrasi yang meluas melawan korupsi. Sebuah komisi menemukan bahwa korupsi sangat umum. Soeharto menyetujui hanya dua kasus dan kemudian menutup komisi tersebut. Korupsi kemudian menjadi sebuah endemik.
Dia memerintah melalui kontrol militer dan penyensoran media. Dia menguasai finansial dengan memberikan transaksi mudah dan monopoli kepada saudara-saudaranya, termasuk enam anaknya. Dia juga terus memainkan faksi berlainan di militer melawan satu sama lain, dimulai dengan mendukung kelompok nasionalis dan kemudian mendukung unsur Islam.
Pada 1973 dia memenangkan jangka lima-tahun berikutnya melalui pemilihan "electoral college". dan juga terpilih kembali pada 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Soeharto mengubah UU Pemilu dengan mengizinkan hanya tiga partai yang boleh mengikuti pemilihan, termasuk partainya sendiri, Golkar. Oleh karena itu semua partai Islam yang ada diharuskan bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan, sementara partai-partai non-Islam (Katolik dan Protestan) serta partai-partai nasionalis digabungkan menjadi Partai Demokrasi Indonesia.
Pada 1975, dengan persetujuan bahkan permintaan Amerika Serikat dan Australia, ia memerintahkan pasukan Indonesia untuk memasuki bekas koloni Portugal Timor Timur setelah Portugal mundur dan gerakan pro-komunis Fretilin memegang kuasa yang menimbulkan kekacauan di masyarakat Timor Timur sendiri, serta kekhawatiran Amerika Serikat atas tindakan Fretilin yang mendapat dukungan politik Uni Soviet dalam perebutan pengaruh dua negara adikuasa di periode Perang Dingin yang juga memanas di sekitar kawasan Vietnam. Kemudian pemerintahan pro integrasi dipasang oleh Indonesia, dengan bantuan presiden Gerald Ford, yang meminta wilayah tersebut berintegrasi dengan Indonesia untuk menghindari berkembangnya pengaruh komunis di Asia Tenggara.[115][116] Pada 15 Juli 1976, Timor Timur secara menjadi salah satu provinsi di NKRI sampai wilayah tersebut dialihkan ke administrasi PBB pada 1999.
Korupsi menjadi beban berat pada 1980-an. Pada 5 Mei 1980 sebuah kelompok yang kemudian lebih dikenal dengan nama Petisi 50 menuntut kebebasan politik yang lebih besar. Kelompok ini terdiri dari anggota militer, politisi, akademik, dan mahasiswa. Media Indonesia menekan beritanya dan pemerintah mecekal penandatangannya. Setelah pada 1984 kelompok ini menuduh bahwa Soeharto menciptakan negara satu partai, beberapa pemimpinnya dipenjarakan.
Catatan hak asasi manusia Soeharto juga semakin memburuk dari tahun ke tahun. Pada 1993 Komisi HAM PBB membuat resolusi yang mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia dan di Timor Timur. Presiden AS Bill Clinton mendukungnya.
Pada 1996 Soeharto berusaha menyingkirkan Megawati Soekarnoputri dari kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), salah satu dari tiga partai resmi. Di bulan Juni, pendukung Megawati menduduki markas besar partai tersebut. Setelah pasukan keamanan menahan mereka, kerusuhan pecah di Jakarta pada tanggal 27 Juli 1996 (peristiwa Sabtu Kelabu) yang dikenal sebagai "Peristiwa Kudatuli" (Kerusuhan Dua Tujuh Juli).
Peninggalan
Bidang politik
Sebagai presiden Indonesia selama lebih dari 30 tahun, Soeharto telah banyak memengaruhi sejarah Indonesia. Dengan pengambil alihan kekuasaan dari Soekarno, Soeharto dengan dukungan dari Amerika Serikat memberantas paham komunisme dan melarang pembentukan partai komunis. Dijadikannya Timor Timur sebagai provinsi ke-27 (saat itu) juga dilakukannya karena kekhawatirannya bahwa partai Fretilin (Frente Revolucionaria De Timor Leste Independente / Front Revolusi untuk Kemerdekaan Timor Timur) akan berkuasa di sana bila dibiarkan merdeka.[Mei 2008] Hal ini telah mengakibatkan menelan ratusan ribu korban jiwa sipil.[Mei 2008] Sistem otoriter yang dijalankan Soeharto dalam masa pemerintahannya membuatnya populer dengan sebutan "Bapak", yang pada jangka panjangnya menyebabkan pengambilan keputusan-keputusan di DPR kala itu disebut secara konotatif oleh masyarakat Indonesia sebagai sistem "ABS" atau "Asal Bapak Senang".
Bidang kesehatan
Untuk mengendalikan jumlah penduduk Indonesia, Soeharto memulai kampanye Keluarga Berencana yang menganjurkan setiap pasangan untuk memiliki secukupnya 2 anak. Hal ini dilakukan untuk menghindari ledakan penduduk yang nantinya dapat mengakibatkan berbagai masalah, mulai dari kelaparan, penyakit sampai kerusakan lingkungan hidup.
Kematian
Pada tanggal 27 Januari 2008 pukul 13.10 WIB, Soeharto meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan. Kemudian sekitar pukul 14.35, jenazah mantan Presiden Soeharto diberangkatkan dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta.[117] Ambulans yang mengusung jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan keluarga dan kerabat serta pengawal. Sejumlah wartawan merangsek mendekat ketika iring-iringan kendaraan itu bergerak menuju Jalan Cendana, mengakibatkan seorang wartawati televisi tertabrak.
Di sepanjang jalan Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut kedatangan iringan kendaraan yang membawa jenazah Pak Harto. Rangkaian kendaraan yang membawa jenazah mantan Presiden Soeharto memasuki Jalan Cendana, sekitar pukul 14.55, Minggu (27/1).
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan beberapa menteri yang tengah mengikuti rapat kabinet terbatas tentang ketahanan pangan, menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28 detik di Kantor Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden menyampaikan belasungkawa yang mendalam atas kematian Soeharto.
Minggu sore pukul 16.00 WIB, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, lebih dulu melayat ke Cendana.
Pemakaman
Jenazah Soeharto diberangkatkan dari rumah duka di Jalan Cendana, Jakarta, Senin, 28 Januari 2008, pukul 07.30 WIB[118] menuju Bandara Halim Perdanakusuma. Selanjutnya jenazah Soeharto akan diterbangkan dari Bandara Halim Perdanakusuma ke Solo pukul 10.00 WIB untuk kemudian dimakamkan di Astana Giri Bangun, Karanganyar, Senin (28/1). Jenazah Soeharto tiba di Astana Giri Bangun siang itu sebelum pukul 12.00 WIB.[119] Upacara pemakaman Soeharto tersebut dipimpin oleh inspektur upacara Susilo Bambang Yudhoyono.
Warisan
Rumah masa kecil Soeharto di Kemusuk, Bantul saat ini dijadikan museum Memorial Jenderal Besar HM Soeharto. Sebuah patung dirinya berdiri di depan museum. Museum tersebut dibangun oleh Probosutedjo dan diresmikan pada tahun 2013.[120]
FELDA Soeharto, sebuah kampung di Selangor, Malaysia, dinamakan menurut Soeharto pada tahun 1977 – sebelumnya ia berkunjung ke kampung tersebut pada tahun 1970 sebagai bagian dari kunjungan bersejarah untuk menormalkan hubungan Indonesia-Malaysia.[121]
Pada tahun 2013, muncul slogan bahasa Jawa Isih penak jamanku to (bahasa Indonesia: Masih enak zaman saya kan) atau Piye kabare, isih penak jamanku to (bahasa Indonesia: Bagaimana kabarnya, masih enak zaman saya kan) di stiker, kaos, dan internet yang menyatakan bahwa zaman pemerintahan Soeharto lebih baik ketimbang zaman sekarang.[122][123]
Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad berkata:[124]
Sebelum saya bertemu langsung dengan Presiden Soeharto, saya selalu mengikuti perkembangan dari berbagai kebijakan yang dijalankan oleh pemerintahan beliau. Saya merencanakan apabila nanti diangkat menjadi Perdana Menteri, maka kunjungan luar negeri saya yang pertama kali adalah kepada Presiden Soeharto.
Saya melihat setiap ucapan dan tindakan yang dilakukan Pak Harto benar-benar menunjukkan kualitasnya sebagai seorang pemimpin. Walaupun Pak Harto memiliki latar belakang sebagai tentara, ia tidak menunjukkan sikap yang sombong dan kalimat-kalimat yang keras. Bahasanya juga baik sekali.
Saya biasa dengan dia. Setelah menjadi Perdana Menteri, saya beberapa kali bertemu dengannya. Kita ada perbincangan antara sahabat. Dekat.
Saya menghormati Bapak Soeharto karena dia mengubah Indonesia dari negara yang mempunyai banyak masalah di zaman Soekarno. Dia dapat menguatkan perpaduan di kalangan banyak suku di Indonesia. Ini bukan suatu negara yang mudah diperintah, tapi setelah Soeharto mengambil alih, Indonesia tidak terpecah.
Ada masalah sedikit di Aceh, tapi umumnya dia berhasil mengganti citra Indonesia menjadi lebih maju. Ya, memang ada hal yang tak benar dilakukan. Di mana-mana pemimpin juga begitu.[124]
Penghargaan
Selama menjadi Presiden Republik Indonesia dan perwira militer, beliau menerima berbagai penghargaan baik dari dalam maupun luar negeri, diantaranya;[125][126][127]
Dalam Negeri
Baris ke-1 | Bintang Republik Indonesia Adipurna (27 Mei 1988)[128] | Bintang Mahaputera Adipurna (27 Mei 1988)[129] | Bintang Jasa Utama (27 Mei 1988)[130] | Bintang Budaya Parama Dharma (27 Mei 1988)[131] |
---|---|---|---|---|
Baris ke-2 | Bintang Gerilya | Bintang Sakti | Bintang Dharma | Bintang Yudha Dharma Utama |
Baris ke-3 | Bintang Kartika Eka Paksi Utama | Bintang Jalasena Utama | Bintang Swa Bhuwana Paksa Utama | Bintang Bhayangkara Utama |
Baris ke-4 | Bintang Kartika Eka Paksi Pratama | Bintang Kartika Eka Paksi Nararya | Bintang Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia | Bintang Garuda |
Baris ke-5 | Satyalancana Teladan | Satyalancana Kesetiaan 16 Tahun | Satyalancana Perang Kemerdekaan I | Satyalancana Perang Kemerdekaan II |
Baris ke-6 | Satyalancana G.O.M I | Satyalancana G.O.M II | Satyalancana G.O.M III | Satyalancana G.O.M IV |
Baris ke-7 | Satyalancana Satya Dharma | Satyalancana Wira Dharma | Satyalancana Penegak | Bintang Legiun Veteran Republik Indonesia (1989)[132] |
Luar Negeri
- Afrika Selatan :
- Grand Cross of the Order of Good Hope (1997)[133]
- Arab Saudi :
- Collar of the Order of Badr Chain (1977)
- Austria :
- Grand Star of the Decoration of Honour for Services to the Republic of Austria (1972)[134]
- Belanda :
- Knight Grand Cross of the Order of the Netherlands Lion (1970)
- Commander of the Most Excellent Order of the Golden Ark[135]
- Belgia :
- Grand Cordon of the Order of Leopold (1973)
- Britania Raya :
- Honorary Knight Grand Cross (Military Division) of the Most Honourable Order of the Bath (GCB) (1974)[136]
- Brunei :
- Darjah Kerabat Mahkota Brunei (DKMB) (1988)[137][138]
- Darjah Kerabat Laila Utama Yang Amat Dihormati (DK) (1988)
- Kekaisaran Etiopia :
- Grand Cordon with Collar of the Order of the Queen of Sheba (1968)
- Filipina :
- Grand Collar of the Order of Sikatuna, Rank of Raja (GCS) (1968)
- Grand Collar of the Order of the Golden Heart (GCGH) (1968)
- Kekaisaran Iran :
- 1st Class of the Order of Pahlavi
- Commemorative Medal of the 2,500 year Celebration of the Persian Empire (1971)
- Italia :
- Knight Grand Cross with Collar of the Order of Merit of the Italian Republic (OMRI) (1972)[139]
- Jepang :
- Grand Cordon of the Supreme Order of the Chrysanthemum (1968)
- Jerman Barat :
- Grand Cross Special Class of the Order of Merit of the Federal Republic of Germany (1970)
- Kamboja :
- Grand Collar of the National Order of Independence (April 1968)[140]
- Kuwait :
- Collar of the Order of Mubarak the Great (1977)
- Korea Selatan :
- Grand Order of Mugunghwa (1981)
- Malaysia :
- Darjah Utama Seri Mahkota Negara (DMN) (1988)
- Johor :
- Darjah Kerabat Johor Yang Amat Dihormati (DK I) (1987)[141]
- Perak :
- Darjah Kerabat Diraja Yang Amat Dihormati (DK) (1988)
- Mesir :
- Grand Collar of the Order of the Nile (1977)
- Pakistan :
- Nishan-e-Pakistan (NPk) (1982)
- Perancis :
- Grand Cross of the National Order of the Legion of Honour (1972)[142]
- Qatar :
- Collar of the Order of the Independence (1977)[143]
- Romania :
- First Class of the Order of the Star of the Romanian Socialist Republic (1982)
- Singapura :
- Darjah Utama Temasek (DUT) (1974)[144]
- Spanyol :
- Knight Grand Cross with Collar of the Order of Isabella the Catholic (CoYC) (1980)[145]
- Syria :
- Member 1st Class of the Order of the Umayyads (1977)
- Thailand :
- Knight of the Most Auspicious Order of the Rajamitrabhorn (KRM) (1970)
- Ukraina :
- 1st Class of the Order of Prince Yaroslav the Wise (1997)
- Uni Emirat Arab :
- Venezuela :
- Grand Cordon with Collar of the Order of the Liberator (1988)
- Yaman :
- Collar of the Order of the Republic[146]
- Yordania :
- Grand Cordon with Collar of the Order of Al-Hussein bin Ali (1986)
- Yugoslavia :
- Yugoslav Great Star of the Order of the Yugoslav Star (1975)
Lihat pula
Catatan
- ^ Pada tanggal 11 Maret 1966, Soekarno menyerahkan kekuasaan penting kepresidenan kepada Soeharto melalui surat wewenang yang dikenal sebagai Supersemar dan menyerahkan kekuasaannya pada tanggal 20 Februari 1967, namun ia tidak secara resmi dibebastugaskan. gelar presidennya oleh parlemen sementara (MPRS) hingga 12 Maret 1967.
- ^ Juga dieja Suharto
- ^ /suːˈhɑːrtoʊ/ soo-HAR-toh, Indonesia: [suˈharto] ⓘ
Referensi
- ^ Romi J. (2020-11-20). "Penasaran Tidak, Berapa Sih Tinggi Badan Semua Presiden Indonesia". bertuahpos.com. Diakses tanggal 2024-02-06.
- ^ Mappapa, Pasti Liberti (2019-09-30). "Sekondan Soeharto di Pusaran G30S/PKI". detikNews. Diakses tanggal 2023-06-16.
Latief sendiri mengaku anak buah langsung Soeharto sejak bertugas di Yogyakarta. Nomor Registrasi Pokok (NRP) keduanya berurutan. "NRP saya 10685, sedangkan NRP Pak Harto 10684, jadi saya selalu menempel di belakangnya.
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaNYTobituary
- ^ Gittings, John (28 Januari 2008). "Obituary: Suharto, former Indonesian dictator: 1921–2008". The Guardian. Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 Desember 2018. Diakses tanggal 17 Desember 2016.
- ^ Hutton, Jeffrey (19 Mei 2018). "Is Indonesia's Reformasi a success, 20 years after Suharto?". South China Morning Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 April 2022. Diakses tanggal 14 Desember 2018.
...would topple the dictator Suharto.
- ^ Berger, Marilyn (28 Januari 2008). "Suharto Dies at 86; Indonesian Dictator Brought Order and Bloodshed". The New York Times (dalam bahasa Inggris). ISSN 0362-4331. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 December 2018.
- ^ Wiranto (2011), hlm. 24.
Forrester, Geoff; May, R.J. (1998). The Fall of Soeharto. Bathurst, Australia: C. Hurst and Co. ISBN 1-86333-168-9. - ^ Kine, Phelim (2017). "Indonesia Again Silences 1965 Massacre Victims". Human Rights Watch.
Over the next few months, at least 500,000 people were killed (the total may be as high as one million). The victims included members of the Communist Party of Indonesia (PKI), ethnic Chinese, trade unionists, teachers, activists, and artists.
- ^ Dwipayana & Ramadhan (1989), hlm. 13.
- ^ See the details in Chapter 2, 'Akar saya dari desa' (My village roots), in Dwipayana & Ramadhan (1989), hlm. 14.
- ^ Estimates of government funds misappropriated by the Suharto family range from US$1.5 billion and US$5 billion.(Ignatius, Adi (11 September 2007). "Mulls Indonesia Court Ruling". Time. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 Februari 2008. Diakses tanggal 9 Agustus 2009. ).
- ^ a b Haskin, Colin (27 Januari 2008). "Suharto dead at 86". The Globe and Mail. Jakarta. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 Februari 2023. Diakses tanggal 3 Februari 2023.
- ^ Slater, Dan (2009), Mahoney, James; Thelen, Kathleen, ed., "Altering Authoritarianism: Institutional Complexity and Autocratic Agency in Indonesia", Explaining Institutional Change: Ambiguity, Agency, and Power, Cambridge University Press, hlm. 132–167, ISBN 978-0-521-11883-5, diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Juni 2018, diakses tanggal 9 Juni 2022
- ^ Miguel, Edward; Paul Gertler; David I. Levine (Januari 2005). "Does Social Capital Promote Industrialization? Evidence from a Rapid Industrializer". Econometrics Software Laboratory, University of California, Berkeley.
- ^ a b c d e f g h i j k l McDonald, Hamish (28 Januari 2008). "No End to Ambition". Sydney Morning Herald. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Maret 2018. Diakses tanggal 31 Januari 2008.
- ^ "Ini 7 Julukan Presiden Indonesia, Dari Soekarno Sampai Jokowi : Okezone Edukasi". 28 November 2022. Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 April 2023. Diakses tanggal 23 April 2023.
- ^ Global Corruption Report 2004: Political Corruption by Transparency International – Issue. Pluto Press. 2004. hlm. 13. ISBN 0-7453-2231-X. Diarsipkan dari versi asli tanggal 12 November 2020. Diakses tanggal 8 Mei 2020 – via Issuu.com.
- ^ a b "Suharto tops corruption rankings". BBC News. 25 Maret 2004. Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 November 2020. Diakses tanggal 4 Februari 2006.
- ^ "Dari 1965 hingga slogan 'piye kabare enak jamanku toh': Suharto dibenci, Suharto dirindukan (In Indonesian)". www.bbc.com. 24 Mei 2018.
- ^ "Revealing the Ultimate 2020 List: The 10 Most Corrupt Politicians in the World – The Sina Times" (dalam bahasa Inggris). 2020-01-03. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 Januari 2024. Diakses tanggal 2024-01-03.
- ^ "Pro Kontra Soeharto Pahlawan Nasional". Trias Politica. 26 May 2016. Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 September 2016. Diakses tanggal 28 July 2016.
- ^ Romano, Angela Rose (2003). Politics and the Press in Indonesia. Psychology Press. hlm. ix. ISBN 0-7007-1745-5.
- ^ Tom Lansford. Historical Dictionary of U.S. Diplomacy since the Cold War. Scarecrow Press; 10 September 2007. ISBN 978-0-8108-6432-0. p. 260.
- ^ Tempo (Jakarta), 11 November 1974.
- ^ a b McDonald (1980), hlm. 10.
- ^ a b McDonald (1980), hlm. 11.
- ^ a b Elson (2001), hlm. 1–6.
- ^ McDonald (1980), hlm. 12–3.
- ^ a b McDonald (1980), hlm. 13.
- ^ Elson (2001), hlm. 8.
- ^ Elson (2001), hlm. 9.
- ^ a b McDonald (1980), hlm. 14.
- ^ McDonald (1980), hlm. 16.
- ^ Elson (2001), hlm. 14–5.
- ^ a b Elson (2001), hlm. 15–7.
- ^ a b Elson (2001), hlm. 20–5, 28–9.
- ^ Dwipayana & Ramadhan (1989), hlm. 61–2.
- ^ Elson (2001), hlm. 29–38, 42–4.
- ^ McDonald (1980), hlm. 24–5.
- ^ McDonald (1980), hlm. 25.
- ^ Elson (2001), hlm. 52–5.
- ^ McDonald (1980), hlm. 30–1.
- ^ McDonald (1980), hlm. 31–2.
- ^ "Sejarah: Kostrad". Kostrad. Diarsipkan dari versi asli tanggal 26 Juli 2018. Diakses tanggal 26 Juli 2018.
- ^ Dake, Antonie (2006). The Sukarno file, 1965–1967 : chronology of a defeat. Yayasan Obor.
- ^ Ricklefs (1991), hlm. 281.
- ^ Vickers (2005), hlm. 156.
- ^ Friend (2003), hlm. 104.
- ^ Ricklefs (1991), hlm. 282.
- ^ a b Ricklefs (1991), hlm. 281–2.
- ^ a b Vickers (2005), hlm. 157.
- ^ Simpson (2010), hlm. 193.
- ^ Robinson (2018), hlm. 177.
- ^ Bevins (2020), hlm. 157.
- ^ Ricklefs (1991), hlm. 287.
- ^ Ricklefs (1991), hlm. 288.
- ^ Friend (2003), hlm. 113.
- ^ Vickers (2005), hlm. 159.
- ^ Robert Cribb (2002). "Unresolved Problems in the Indonesian Killings of 1965–1966". Asian Survey. 42 (4): 550–63. doi:10.1525/as.2002.42.4.550. JSTOR 3038872.
- ^ Aarons (2008), p. 80.
- ^ Melvin (2018), hlm. 1.
- ^ Vickers (2005), hlm. 159–60.
- ^ Schwarz (1994), hlm. 2, 22.
- ^ Aarons (2008), p. 81.
- ^ a b Vickers (2005), hlm. 160.
- ^ Ricklefs (1991), hlm. 288–90.
- ^ a b c Elson (2001), hlm. 130–5.
- ^ Hughes 2002, hlm. 267–270
- ^ Hughes 2002, hlm. 107
- ^ Schwarz (1994), hlm. 25.
- ^ McDonald (1980), hlm. 60.
- ^ Schwarz (1994), hlm. 2.
- ^ Ricklefs (1991), hlm. 295.
- ^ Ward, Ken (2010). "2 Soeharto's Javanese Pancasila". Dalam Edward Aspinall; Greg Fealy. Soeharto's New Order and its Legacy: Essays in honour of Harold Crouch. Canberra AU: The Anu E Press. ISBN 9781921666469. Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 Mei 2013. Diakses tanggal 6 Desember 2013.
(Harold Crouch)
- ^ Wanandi (2012), hlm. 56–9.
- ^ Wanandi (2012), hlm. 60–8.
- ^ Aspinall, Klinken & Feith (1999), hlm. ii.
- ^ "Beban Sejarah Umat Islam Indonesia". Pikiran Rakyat. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 Mei 2005.
- ^ Wanandi (2012), hlm. 86–8.
- ^ Ricklefs (1991), hlm. 76–7.
- ^ Elson (2001), hlm. 184–6.
- ^ a b Schwarz (1994), hlm. 32.
- ^ File:Ford, Kissinger, Indonesian President Suharto - July 5, 1975(Gerald Ford Library)(1553151).pdf, p. 2
- ^ a b Schwarz (1994), hlm. 106.
- ^ Conboy (2003), pp. 262–5.
- ^ Elson (2001), hlm. 177–8.
- ^ Effendi, Wahyu; Prasetyadji, P. (2008). Tionghoa dalam Cengkeraman SBKRI [The Chinese in the Grip of the SBKRI]. Jakarta: Visimedia. ISBN 9789791044110.
- ^ J. Panglaykim dan K.D. Thomas, “Orde Baru dan Perekonomian,” Indonesia, April 1967, hal. 73.
- ^ a b Robinson (2018), hlm. 178–203.
- ^ Elson (2001), hlm. 170–2.
- ^ Sheridan, Greg (28 Januari 2008). "Farewell to Jakarta's Man of Steel". The Australian. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 February 2012. Diakses tanggal 14 April 2010.
- ^ Koerner, Brendan (26 March 2004). "How Did Suharto Steal $35 Billion?". Slate. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 September 2011. Diakses tanggal 4 Februari 2006.
- ^ Schwarz (1994).
- ^ Benetech Human Rights Data Analysis Group (9 Februari 2006). "The Profile of Human Rights Violations in Timor-Leste, 1974–1999". A Report to the Commission on Reception, Truth and Reconciliation of Timor-Leste. Human Rights Data Analysis Group (HRDAG). Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 Mei 2012.
- ^ Commission for Reception, Truth and Reconciliation in East Timor Benetech Human Rights Data Analysis Group (9 Februari 2006). "The Profile of Human Rights Violations in Timor-Leste, 1974–1999". A Report to the Commission on Reception, Truth and Reconciliation of Timor-Leste. Human Rights Data Analysis Group (HRDAG). Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 Mei 2012.
- ^ Elson (2001), hlm. 178–9.
- ^ Rock (2003), hlm. 3.
- ^ Rock (2003), hlm. 4.
- ^ a b Rock (2003), hlm. 17.
- ^ "Bank Indonesia" (PDF). Bi.go.id. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 8 April 2011. Diakses tanggal 28 November 2014.
- ^ "Global Corruption Report" (PDF). Transparency International. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 4 Juli 2007. Diakses tanggal 6 Agustus 2009.
- ^ Winters, Jeffrey A. (2011), Oligarchy, Cambridge University Press, hlm. 167–169, ISBN 978-0-521-18298-0
- ^ "Plundering politicians and bribing multinationals undermine economic development, says TI" (PDF) (Siaran pers). Transparency International. 25 Maret 2004. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 21 Juni 2007. Diakses tanggal 21 Desember 2016.
- ^ Elson (2001), hlm. 457–60.
- ^ a b Aspinall, Klinken & Feith (1999), hlm. ii–iii.
- ^ Elson (2001), hlm. 510–1.
- ^ Dijk (2001), chapter 5.
- ^ Elson (2001), hlm. 211–4.
- ^ Steele, Janet (2005). Wars Within: The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto's Indonesia (edisi ke-First). Equinox Publishing. hlm. 234–235. ISBN 9793780088.
- ^ Elson (2001), hlm. 284–7.
- ^ Eklöf, Stefan (1999). Indonesian Politics in Crisis: The Long Fall of Suharto, 1996-1998. NIAS Press. hlm. 104. ISBN 8787062690.
- ^ Surapati, Putri Jasmine; Maulidina, Nada Nur; Agustono, Fayza Maritza Putri; Pohan, Hilda Ferira (2021-04-30). "Comparative Analysis of President Soeharto and Kim Dae Jung's Policies in Overcoming the 1997 Economic Crisis based on Small Theory and Idiosyncratic Theory". Khazanah Sosial. 3 (2): 74–83. doi:10.15575/ks.v3i2.11503. ISSN 2715-8071. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-07. Diakses tanggal 2023-01-07.
- ^ Muhammad Fakhriansyah (8 Mei 2023). "Kisah Indonesia 'Masuk Neraka' Usai Daftar Jadi Pasien IMF". CNBC Indonesia. Diakses tanggal 27 Mei 2023.
- ^ "Suharto tops corruption rankings". news.bbc.co.uk. 2004-03-25. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-11-13. Diakses tanggal 2009-02-05.
- ^ Simons, p. 189
- ^ Brinkley, Douglas (2007). Gerald R. Ford: The American Presidents Series: The 38th President. hlm. 132. ISBN 978-1429933414. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-03. Diakses tanggal 2021-01-08.
- ^ "Jenazah Pak Harto Dibawa ke Cendana". detik.com. 2008-01-27. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-19. Diakses tanggal 2009-02-05.
- ^ "Pukul 07.30 WIB, Jenazah Soeharto Tinggalkan Cendana". detik.com. 2008-01-27. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-19. Diakses tanggal 2009-02-05.
- ^ "Jenazah Pak Harto Dimasukkan ke Liang Lahat". detik.com. 2008-01-27. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-19. Diakses tanggal 2009-02-05.
- ^ Prabowo (7 Juni 2016). "Tempat Kelahiran Soeharto Kini Lebih Hidup". Okezone.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-27. Diakses tanggal 12 Oktober 2021.
- ^ Sutikno, Husin. "KAMPONG SOEHARTO DI NEGERI JIRAN". HM Soeharto. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-27. Diakses tanggal 12 Oktober 2021.
- ^ Nugroho, Andreas (2013-11-25). "Mengapa 'merindukan' sosok Suharto?". BBC News Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-22. Diakses tanggal 2021-11-13.
- ^ Pontororing, Angela (Juli 2016). "Sebuah Upaya Pembacaan Poskolonial dengan Metode Dialog Imajinatif Antara Foto Soeharto "Piye Kabare, Penak Jamanku To?" dan Teks Keluaran 14:10-12; 16:1-3; 17:3" (PDF). Indonesian Journal of Theology. 4/1: 1–44. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-02-07. Diakses tanggal 7 Februari 2022.
- ^ a b Samosir, Hanna Azarya (2016-04-25). "Mahathir Mohammad dan Memori Indah tentang Soeharto". internasional. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-31.
- ^ "Penghargaan Presiden Soeharto". Kepustakaan Presiden-Presiden RI. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-30. Diakses tanggal 2021-10-30.
- ^ Indonesian Army Bureau of History (1981), Sejarah TNI-AD 1945–1973: Riwayat Hidup Singkat Pimpinan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, XIII, pp. 291-2
- ^ "Soeharto ODM". Gentleman's Military Interest Club (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-04-13.
- ^ "Daftar WNI yang Menerima Tanda Kehormatan Republik Indonesia Tahun 1959–sekarang" (PDF). Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia. 7 Januari 2020. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-07-29. Diakses tanggal 12 Agustus 2021.
- ^ Daftar WNI yang Mendapat Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera tahun 1959 s.d. 2003 (PDF). Diakses tanggal 4 Oktober 2021.
- ^ Daftar WNI yang Menerima Anugerah Bintang Jasa Tahun 1964 - 2003 (PDF). Diakses tanggal 4 Oktober 2021.
- ^ "Daftar WNI yang Memperoleh Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma Tahun 2004–sekarang" (PDF). Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia. 30 Januari 2017. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-05-13. Diakses tanggal 12 Agustus 2021.
- ^ Tempomedia. "Penghargaan bintang LVRI". majalah.tempo.co (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-04-18.
- ^ "Indonesian President Mohamed Suharto and South African President..." Getty Images (dalam bahasa Inggris). 2023-12-03. Diakses tanggal 2024-07-21.
- ^ SYND 17-11-72 PRESIDENT SUHARTO ARRIVES IN AUSTRIA, diakses tanggal 2024-03-06
- ^ Galangpress Group, Indonesia (2008). Mereka mengkhianati saya: sikap anak-anak emas Soeharto di penghujung Orde Baru. Indonesia: Femi Adi Soempeno. hlm. 35.
- ^ Kedutaan Besar (U.S.), Indonesia (1974). Indonesian News and Views. Indonesia: Embassy of Indonesia, Information Division.
- ^ "PRESIDEN SOEHARTO TERIMA UTUSAN KHUSUS SULTAN BRUNEI DARUSSALAM | ANTARA Foto". antarafoto.com. Diakses tanggal 2024-02-06.
- ^ "Suharto gets Brunei's highest state award". The Straits Times (dalam bahasa Inggris). 24 September 1988 1988. hlm. 8.
- ^ Sito web del Quirinale: dettaglio decorato.
- ^ "Indochina Medals - Cambodia - CM02 National Order of Independence". indochinamedals.com. Diakses tanggal 2024-05-17.
- ^ "King confers highest award on Suharto". The Straits Times (dalam bahasa Inggris). 6 Februari 1987. hlm. 8.
- ^ SYND 14-11-72 PRESIDENT SUHARTO OF INDONESIA VISIT TO PARIS, diakses tanggal 2024-03-06
- ^ "Penghargaan - Situs Web Kepustakaan Presiden-Presiden Republik Indonesia". web.archive.org. 2022-07-13. Archived from the original on 2022-07-13. Diakses tanggal 2023-04-13.
- ^ Author, Author (1974-08-30). "Pingat 'Darjah Utama Temasik' untuk Suharto dari Sheares". NewspaperSG. Diakses tanggal 2024-07-20.
- ^ "Bollettino Ufficiale di Stato" (PDF).
- ^ "Penghargaan - Situs Web Kepustakaan Presiden-Presiden Republik Indonesia". web.archive.org. 2022-07-13. Archived from the original on 2022-07-13. Diakses tanggal 2023-04-13.
Daftar pustaka
- Dwipayana, G.; Ramadhan, K.H. (1989). Soeharto: Pikiran, ucapan dan tindakan saya: otobiografi. Jakarta: PT Citra Lamtoro Gung Persada. ISBN 979-8085-01-9.
- Elson, R.E. (2001). Suharto: A Political Biography, Cambridge: Cambridge University Press, 2001. ISBN 0 521 77326 1
- McGlynn, John H. et al. (2007). Indonesia in the Soeharto years. Issue, incidents and images, Jakarta, KITLV
- Abdulgani-Knapp, Retnowati (2007). Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia's Second President: An Authorised Biography. Marshall Cavendish Editions. hlm. 12. ISBN 978-981-261-340-0.
- Siti Hardiyanti Rukmana (2011). Pak Harto: The Untold Stories, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Pranala luar
- Soeharto Center Diarsipkan 2020-12-23 di Wayback Machine.
- Soeharto Diarsipkan 2012-07-29 di Wayback Machine. di Kepustakaan Presiden Republik Indonesia
- Life in pictures: Indonesia's Suharto di BBC
- Financial Times obituary Diarsipkan 2008-11-21 di Wayback Machine.
- The Guardian obituary
- Obituary in The Times, 28 January 2008
Jabatan politik | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Soekarno |
Presiden Indonesia 1967–1998 |
Diteruskan oleh: BJ Habibie |
Didahului oleh: M. Sarbini |
Menteri Pertahanan Indonesia 1966–1971 |
Diteruskan oleh: Maraden Panggabean |
Didahului oleh: Soekarno sebagai Perdana Menteri |
Ketua Presidium Kabinet Indonesia 1966–1967 |
Jabatan dihapuskan |
Jabatan militer | ||
Didahului oleh: Soedirman |
Panglima ABRI 1968–1973 |
Diteruskan oleh: Maraden Panggabean |
Didahului oleh: Ahmad Yani |
Kepala Staf TNI Angkatan Darat 1966–1968 |
Diteruskan oleh: Maraden Panggabean |
Jabatan baru | Pangkostrad 1963–1965 |
Diteruskan oleh: Umar Wirahadikusumah |
Jabatan pemerintahan | ||
Didahului oleh: Soebandrio |
Kepala Badan Pusat Intelijen 1965–1966 |
Diteruskan oleh: Yoga Soegomo |
Jabatan diplomatik | ||
Didahului oleh: Dobrica Ćosić |
Sekretaris Jenderal Gerakan Non-Blok 1992–1995 |
Diteruskan oleh: Ernesto Samper Pizano |
Didahului oleh: Bill Clinton |
Ketua Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik 1994 |
Diteruskan oleh: Tomiichi Murayama |
- Opsi konverter tidak sah
- Kelahiran 1921
- Kematian 2008
- Meninggal usia 87
- Tokoh militer Indonesia
- Tokoh TNI
- Tokoh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat
- Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat
- Panglima Tentara Nasional Indonesia
- Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat
- Panglima Komando Daerah Militer IV/Diponegoro
- Panglima Komando Daerah Militer XII/Tanjungpura
- Tokoh Jawa
- Tokoh Yogyakarta
- Tokoh Bantul
- Tokoh dari Kapanewon Sedayu
- Tokoh Angkatan 45
- Politikus Indonesia
- Tokoh Orde Baru
- Politikus Partai Golongan Karya
- Presiden Indonesia
- Penerima Bintang Republik Indonesia Adipurna
- Penerima Bintang Jasa Utama
- Soeharto
- Kesatria Salib Agung Orde Singa Belanda
- Penerima Bintang Sewindu APRI