Lompat ke isi

Hukum adat Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Hukum Adat Indonesia (bahasa Belanda: adat recht; bahasa Inggris: adat law) adalah aturan yang tidak tertulis dan merupakan pedoman untuk seluruh masyarakat Hukum di Indonesia dan dipertahankan oleh rakyat asli Indonesia dalam pergaulan hidup seharihari baik di kota maupun di desa[1].

Istilah hukum adat pertamakali diperkenalkan secara ilmiah oleh Snouck (urgronje, dalam bukunya yang berjudul Dzde Atjehersdz menyebut istilah hukum adat sebagai Dzadat recht'dzibahasa Belandao yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial isocial controlo yang hidup dalam masyarakat Indonesia[1]. setelah ini kemudian dikembangkan secara ilmiah oleh Cornelis van Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar Adat di Hindia Belanda sebelum menjadi Indonesia[1].

Sejarah Hukum Adat

Periode sejarah awal hukum adat bermula dari zaman jauh sebelum penyebaran syiar Islam pada tahun 688 Hijriyah Abad ke-13 Masehi sedangkan pada periode jaman sejarah hukum adat pada masa penjajahan Belanda terbagi dalam beberapa jaman: Jaman Daendels Tahun 1808 Masehi sampai 1811 M, beranggapan bahwa memang ada hukum yang hidup dalam masyarakat adat tetapi derajatnya tidak lebih rendah dari hukum Eropa bagi rakyat sehingga hukum Eropa mengalami perubahan pada masyarakat setempat kala itu, pada jaman Raffles tahun 1811 M sampai dengan 1816 pada masa ini Gubernur Jendral dari inggris membentuk komisi atau panitia yang tugasnya mengkaji/meneliti peraturan-peraturan yang ada dalam masyarakat,

untuk mengadakan perubahan-perubahan yang dasti dalam membentuk pemerintahan yang dipimpinnya, jaman komisi jendral tahun 1816 M s/d 1819 Masehi pada jaman ini tidak ada perubahan dalam perkembangan hukum adat dan mengembalikan hukum adat yang sebenarnya dan tidak merusak tatanan yang sudah ada pada jaman sebelum masa Thomas Stamford Raffles, jaman Johannes van den Bosch pada jaman ini, hukum waris itu dilakukan menurut hukum Islam pengembangan hukum adat serta hak atas tanah adalah campuran antara peraturan Bramein dan adat islam setempat, jaman Chr Baud pada jaman ini sudah banyak perhatian pada hukum adat salahsatunya tentang melindungi hak-hak ulayat[1].

Berkas:Simbol Istana.jpg
kroon kawik buttokh

Demikian juga putra-putra Indonesia sudah menulis disertasi mengenai hukum Adat di perguruan tinggi di Belanda, antara lain tahun 1922 Kusumaatmadja yang menulis tentang hak pakai dan wakaf, tahun 1925 Soebroto yang menulis tentang gadai sawah, pada tahun 1925 Endabumi yang menulis tentang hukum tanah, tahun 1927 M Soepomo yang menulis tentang hak tanah Kerajaan-kerajaan. Masa setelah kemerdekaan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, mengakui keberadaan hukum adat yang menyatakan "segala badan negara dan peraturan yang masi berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar" dalam konstitusi Republik Indonesia serikat 1949 (Konstitusi RIS) juga mengatur mengenai hukum adat antara lain dalam pasal 144 ayat (1) tentang hakim adat dan hakim agama, Pasal 145 ayat (2) tentang pengadilan adat, dan Pasal 146 ayat (1) tentang aturan hukum adat yang menjadi dasar Hukuman[1]. Gubernur Jendral Hindia Belanda Bonifacius Cornelis de Jonge yang merupakan perwakilan dari Ratu Belanda Wilhelmina (Wilhelmina Helena Pauline Marie van Orange-Nassau) tahun 1933 mendatangi kediaman pimpinan adat tertinggi pada saat terjadinya gempa bumi pada hari senin 26 Juli 1933, untuk menunjukkan pengakuan tentang kebangsawaan ... pada masa itu, merupakan tempat yang mempunyai nilai sejarah dan mempunyai nilai kebesaran tertinggi, pemerintah kolonial belanda memberikan kawik buttokh terdapat besi berbentuk kroon[2].

Dalam pasal 104 ayat (1) Undang-undang Dasar Sumentara 1950 (UUDS 1950) juga terdapat penjelasan mengenai dasar berlakunya hukum adat[1]. Pasal tersebut menjelaskan bahwa, segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya disertakan bukti-bukti yang sebenarnya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan Undang-Undang dan aturan-aturan hukum adat mutlak yang dijadikan dasar hukuman itu. Tap Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor II/MPRS/1960 Memberikan pengakuan badi hukum adat, yaitu:

  1. Asas pembinaan hukum nasional supaya sesuai dengan haluan Negara dan berlandaskan Hukum Adat.
  2. Dalam usaha homogenitas di bidang hukum supaya diperhatikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat.
  3. Dalam penyempurnaan Undang-undang hukum perkawinan dan waris supaya diperhatikan faktorfaktor agama dan adat[1].

Kemudian juga, dalam penyusunan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang undang-undang pokok Agraria (UUPA), juga berdasarkan pada azas hukum adat. Undangundang tersebut juga mengakui keberadaan hukum adat. Seperti pengakuan terhadap keberadaan hak ulayat[1]. Pasal 5 UUPA Menyatakan:

"Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara begitupun sebaliknya, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama dan adat"

Me-rujuk Pasal 3 Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman memberikan pengakuan bahwa "Hukum yang dipakai oleh kekuasaan kehakiman adalah hukum yang berdasarkan Pancasila, yakni yang sipatnya berakar pada kepribadian bangsa"[1]. Seterusnya dalam Pasal 17 ayat (2) yang menjelaskan bahwa berlakunya hukum tertulis dan hukum tidak tertulis peraturan perundang-undangan tersebut dengan nyata menyebutkan keberasaan dalam keberlakuan hukum adat dalam masyarakat Indonesia[1].

Setelah amandemen ke-2 Undang-undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) Pasal 18B ayat (2) menjadi dasar pengakuan hukum adat dalam konstitusi Negara Indonesia yaitu:

"Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang diatur dalam Undang-undang"[1][3].

Terminologi

Ada dua pendapat mengenai asal kata adat ini. Di satu pihak ada yang menyatakan bahwa adat diambil dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan. Sedangkan menurut Prof. Amura, istilah ini berasal dari Bahasa Sanskerta karena menurutnya istilah ini telah dipergunakan oleh orang Minangkabau kurang lebih 2000 tahun yang lalu. Menurutnya adat berasal dari dua kata, a dan dato. A berarti tidak dan dato berarti sesuatu yang bersifat kebendaan.

Hukum Adat dikemukakan pertama kali oleh Snouck Hurgrounje seorang Ahli Sastra Timur dari Belanda (1894). Sebelum istilah Hukum Adat berkembang, dulu dikenal istilah Adat Recht. Snouck Hurgrounje dalam bukunya de atjehers (Aceh) pada tahun 1893-1894 menyatakan hukum rakyat Indonesia yang tidak dikodifikasi adalah de atjehers.

Kemudian istilah ini dipergunakan pula oleh Cornelis van Vollenhoven, seorang Sarjana Sastra yang juga Sarjana Hukum yang pula menjabat sebagai Guru Besar pada Universitas Leiden di Belanda. Ia memuat istilah Adat Recht dalam bukunya yang berjudul Adat Recht van Nederlandsch Indie (Hukum Adat Hindia Belanda) pada tahun 1901-1933.

Perundang-undangan di Hindia Belanda secara resmi mempergunakan istilah ini pada tahun 1929 dalam Indische Staatsregeling (Peraturan Hukum Negeri Belanda), semacam Undang Undang Dasar Hindia Belanda, pada pasal 134 ayat (2) yang berlaku pada tahun 1929.

Dalam masyarakat Indonesia, istilah hukum adat tidak dikenal adanya. Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa istilah tersebut hanyalah istilah teknis saja. Dikatakan demikian karena istilah tersebut hanya tumbuh dan dikembangkan oleh para ahli hukum dalam rangka mengkaji hukum yang berlaku dalam masyarakat Indonesia yang kemudian dikembangkan ke dalam suatu sistem keilmuan.

Dalam bahasa Inggris dikenal juga istilah Adat Law, namun perkembangan yang ada di Indonesia sendiri hanya dikenal istilah Adat saja, untuk menyebutkan sebuah sistem hukum yang dalam dunia ilmiah dikatakan Hukum Adat.

Pendapat ini diperkuat dengan pendapat dari Muhammad Rasyid Maggis Dato Radjoe Penghoeloe sebagaimana dikutif oleh Prof. Amura: sebagai lanjutan kesempurnaan hidup selama kemakmuran berlebih-lebihan karena penduduk sedikit bimbang dengan kekayaan alam yang berlimpah ruah, sampailah manusia kepada adat.

Sedangkan pendapat Prof. Nasroe menyatakan bahwa adat Minangkabau telah dimiliki oleh mereka sebelum bangsa Hindu datang ke Indonesia dalam abad ke satu tahun masehi.

Prof. Dr. Mohammad Koesnoe, S.H. di dalam bukunya mengatakan bahwa istilah Hukum Adat telah dipergunakan seorang Ulama Aceh[4] yang bernama Syekh Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin Tursani (Aceh Besar) pada tahun 1630.[5] Prof. A. Hasymi menyatakan bahwa buku tersebut (karangan Syekh Jalaluddin) merupakan buku yang mempunyai suatu nilai tinggi dalam bidang hukum yang baik.

Definisi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat adalah aturan (perbuatan dsb) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; cara (kelakuan dsb) yang sudah menjadi kebiasaan; wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem. Karena istilah Adat yang telah diserap kedalam Bahasa Indonesia menjadi kebiasaan, maka istilah hukum adat dapat disamakan dengan hukum kebiasaan.[6]

Namun menurut Van Dijk, kurang tepat bila hukum adat diartikan sebagai hukum kebiasaan.[7] Menurutnya hukum kebiasaan adalah kompleks peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan berarti demikian lamanya orang bisa bertingkah laku menurut suatu cara tertentu sehingga lahir suatu peraturan yang diterima dan juga diinginkan oleh masyarakat. Jadi, menurut Van Dijk, hukum adat dan hukum kebiasaan itu memiliki perbedaan.

Sedangkan menurut Soejono Soekanto, hukum adat hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, namun kebiasaan yang mempunyai akibat hukum (das sein das sollen).[7] Berbeda dengan kebiasaan (dalam arti biasa), kebiasaan yang merupakan penerapan dari hukum adat adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dalam bentuk yang sama menuju kepada Rechtsvaardige Ordening Der Semenleving.

Syekh Jalaluddin[8] menjelaskan bahwa hukum adat pertama-tama merupakan persambungan tali antara dulu dengan kemudian, pada pihak adanya atau tiadanya yang dilihat dari hal yang dilakukan berulang-ulang. Hukum adat tidak terletak pada peristiwa tersebut melainkan pada apa yang tidak tertulis di belakang peristiwa tersebut, sedang yang tidak tertulis itu adalah ketentuan keharusan yang berada di belakang fakta-fakta yang menuntuk bertautnya suatu peristiwa dengan peristiwa lain.

Hurgronje

Christiaan Snouck Hurgronje, dalam karyanya yang berjudul De Atjehers, mendefinisikan hukum adat sebagai "adat yang memiliki sanksi."[9] Hurgronje berpandangan bahwa adat yang tidak memiliki sanksi adalah kebiasaan normatif yang hanya mengatur tingkah laku yang patut dan berlaku dalam masyarakat. Hurgronje juga berpandangan bahwa tidak ada batas yang jelas antara hukum adat dan hukum kebiasaan.[10]

van Vollenhoven

Cornelis van Vollenhoven mendefinisikan hukum adat sebagai "keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (hukum) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (adat)". van Vollenhoven menempatkan hukum adat sebagai sebuah ilmu pengetahuan, sehingga kedudukannya sejajar dengan hukum-hukum lain pada sebuah rezim hukum positif.[11]

ter Haar

B. ter Haar membatasi hukum adat sebagai hukum yang "mencakup seluruh peraturan-peraturan yang menjelma di dalam keputusan-keputusan para pejabat hukum yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta di dalam pelaksanaannya berlaku secara serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan tersebut."

Dalam orasi ilmiahnya pada dies natalis Rechtshoogeschool te Batavia tahun 1930, ter Haar kemudian menjelaskan hukum adat "lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat hukum adat, terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat (kepala adat) yang membantu pelaksanaan-pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum, atau dalam hal pertentangan kepentingan keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan tersebut karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senapas dan seirama dengan kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidaknya tidak-tidaknya ditoleransi."[12]

Ia juga menjelaskan bahwa hukum adat yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (kekuasaan tidak terbatas pada dua kekuasaan saja, eksekutif dan yudikatif) tersebut. Keputusan tersebut tidak hanya keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi tetapi juga di luar itu didasarkan pada musyawarah (kerukunan). Keputusan ini diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan tersebut.[12]

Lingkungan

Cornelis van Vollenhoven membagi Indonesia menjadi 19 lingkungan hukum adat (rechtsringen). Satu daerah yang garis-garis besar, corak dan sifat hukum adatnya seragam disebutnya sebagai rechtskring. Setiap lingkungan hukum adat tersebut dibagi lagi dalam beberapa bagian yang disebut Kukuban Hukum (Rechtsgouw). Wilayah hukum adat tersebut adalah sebagai berikut.

Status pada hukum nasional

Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus salah satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, di mana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau perangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut.

Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam penjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.

Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.cvbb

Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi:

  1. Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1)
  2. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
  3. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)

Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, di mana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam praktiknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.

Ditinjau secara preskripsi (di mana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.

Penegakan

Penegak hukum adat adalah pemuka adat tingkat tinggi sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat yang dibawahinya untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.

Macam-macam

Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh

  1. Agama: Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya: di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen, Sakala Brak Animisme dan Hindu Budha.
  2. Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Majapahit.
  3. Masuknya Bangsa Arab para Khalifah Al-Mujahid, India Selatan Suku Tumi (Orang Tamil), China, Eropa.

Daftar pustaka

  • Pengantar Hukum Adat Indonesia Edisi II, TARSITO, Bandung.
  • Hilman H, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju,Bandung.
  • Mahadi, 1991, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat, Alumni, Bandung.
  • Moh. Koesnoe, 1979, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press.
  • Seminar Hukum Nasional VII, Jakarta, 12 s/d 15 Oktober 1999. Djaren Saragih, 1984
  • Soerjo W, 1984, Pengantardan Asas-asas Hukum Adat, P.T. Gunung Agung.
  • Soemardi Dedi, SH. Pengantar Hukum Indonesia, IND-HILL-CO Jakarta.
  • Soekamto Soerjono, Prof, SH, MA, Purbocaroko Purnadi, Perihal Kaidah Hukum, Citra Aditya Bakti PT, Bandung 1993
  • Djamali Abdoel R, SH, Pengantar hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada PT, Jakarta 1993.
  • Tim Dosen UI, Buku A Pengantar hukum Indonesia

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l https://repository.unimal.ac.id/3799/1/HUKUM%20ADAT-%20Dr%20Yulia.pdf
  2. ^ Gubernur Jendral Hindia Belanda Bonifacius Cornelis de Jonge yang merupakan perwakilan dari Ratu Belanda Wilhelmina (Wilhelmina Helena Pauline Marie van Orange-Nassau) tahun 1933 mendatangi kediaman pimpinan adat tertinggi pada saat terjadinya gempa bumi pada hari senin 26 Juli 1933, untuk menunjukkan pengakuan tentang kebangsawaan ... pada masa itu, merupakan tempat yang mempunyai nilai sejarah dan mempunyai nilai kebesaran tertinggi, pemerintah kolonial belanda memberikan kawik buttokh terdapat besi berbentuk kroon.
  3. ^ https://law.unja.ac.id/keberadaan-hukum-adat-dalam-sistem-hukum-indonesia/
  4. ^ Prof. Dr. Mohammad Koesnoe, S.H. Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum
  5. ^ Syekh Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin Tursani. Safinatul Hukaam Fi Tahlisil Khasam (Bahtera Segala Hakim dalam Menyelesaikan Segala Orang Berkesumat/Bersengketa)
  6. ^ H. Noor Ipansyah Jastan, S.H. dan Indah Ramadhansyah. Hukum Adat. Hal. 15.
  7. ^ a b .
  8. ^ Syekh Jalaluddin. Safinatul Hukam fi Tahlisil Khasam
  9. ^ Tolib Setiady, p. 8
  10. ^ Tolib Setiady, p. 8
  11. ^ Sumanto, Dedi (Juli–Desember 2018). "Hukum Adat di Indonesia Perspektif Sosiologi dan Antropologi Hukum Islam" (PDF). Ilmiah Syari'ah. 17 (2): 182. 
  12. ^ a b Ter Haar. Peradilan Lanraad berdasarkan Hukum Tak Tertulis. Dalam pidato Dies Natalies. 1930.