Lompat ke isi

Perang Dingin

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 10 Februari 2024 16.51 oleh InternetArchiveBot (bicara | kontrib) (Add 1 book for Wikipedia:Pemastian (20240209)) #IABot (v2.0.9.5) (GreenC bot)
Presiden AS Ronald Reagan dan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet Mikhail Gorbachev, pada KTT Pertama di Jenewa, Swiss, 19 November 1985

Perang Dingin (bahasa Inggris: Cold War; bahasa Rusia: холо́дная война́, kholodnaya voyna, 1947–1991) adalah periode ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dan Uni Soviet serta sekutu masing-masing, Blok Barat dan Blok Timur. Istilah perang dingin digunakan karena tidak ada pertempuran berskala besar secara langsung antara kedua negara adidaya tersebut, tetapi masing-masing mendukung pihak yang berlawanan dalam konflik regional besar yang dikenal sebagai perang proksi. Konflik ini didasari oleh perjuangan ideologis dan geopolitik untuk mendapatkan pengaruh global dari kedua negara adidaya ini, setelah peran mereka sebagai Sekutu dalam Perang Dunia II yang berujung pada kemenangan melawan Nazi Jerman dan Kekaisaran Jepang pada tahun 1945.[1] Selain perlombaan senjata nuklir dan pengerahan militer konvensional, perjuangan untuk mendominasi diekspresikan melalui cara-cara tidak langsung, seperti perang psikologis, kampanye propaganda, spionase, embargo yang luas, diplomasi olahraga, dan kompetisi teknologi seperti Perlombaan Antariksa. Perang Dingin dimulai tak lama setelah berakhirnya Perang Dunia II, mulai mereda secara bertahap dengan perpecahan Sino-Soviet antara Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1961, dan berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991.

Blok Barat dipimpin oleh Amerika Serikat, serta sejumlah negara Dunia Pertama lainnya yang umumnya demokratis liberal tetapi terikat pada jaringan negara-negara Dunia Ketiga yang sering kali otoriter, yang sebagian besar merupakan bekas jajahan kekuatan Eropa.[2][A] Blok Timur dipimpin oleh Uni Soviet dan Partai Komunisnya, yang memiliki pengaruh di seluruh Dunia Kedua dan juga terkait dengan jaringan negara-negara otoriter. Uni Soviet memiliki ekonomi komando dan menerapkan rezim Komunis yang serupa di negara-negara satelitnya. Keterlibatan Amerika Serikat dalam perubahan rezim selama Perang Dingin meliputi dukungan terhadap kediktatoran anti-komunis dan sayap kanan, pemerintahan, dan pemberontakan di seluruh dunia, sementara keterlibatan Soviet dalam perubahan rezim meliputi pendanaan partai-partai sayap kiri, perang pembebasan nasional, dan revolusi di seluruh dunia. Karena hampir semua negara kolonial mengalami dekolonisasi dan meraih kemerdekaan pada periode 1945-1960, banyak negara yang menjadi medan perang Dunia Ketiga dalam Perang Dingin.

Asal istilah

Pada akhir Perang Dunia II, penulis dan jurnalis Inggris George Orwell menggunakan istilah perang dingin sebagai istilah umum dalam esainya yang berjudul "You and the Atomic Bomb" (Anda dan Bom Atom), yang diterbitkan oleh surat kabar Inggris, Tribune, pada tanggal 19 Oktober 1945. Esai tersebut menggambarkan dunia yang hidup di bawah ancaman perang nuklir. Orwell menulis:

"Selama empat puluh atau lima puluh tahun terakhir, Mr. H. G. Wells dan yang lainnya telah memperingatkan kita bahwa manusia akan berada dalam bahaya, menghancurkan dirinya dengan senjatanya sendiri, menyisakan semut atau beberapa kelompok spesies lainnya untuk mengambil alih. Barangsiapa yang telah melihat kehancuran kota-kota di Jerman akan berpikir bahwa gagasan ini setidaknya masuk akal. Namun, jika melihat dunia secara keseluruhan, peristiwa selama beberapa dekade terakhir tidak menuju ke arah anarki, namun ke arah pemberlakuan kembali perbudakan. Kita mungkin tidak menuju ke arah pengrusakan umum, tapi ke zaman perbudakan kuno yang mengerikan. Teori James Burnham telah banyak dibahas, namun sebagian kecil orang belum menganggapnya sebagai implikasi ideologi. Jenis pandangan terhadap dunia, jenis keyakinan, dan struktur sosial mungkin akan menguasai negara yang tak terkalahkan dan menegakkannya dalam "perang dingin" permanen dengan tetangganya."[3]

Dalam The Observer edisi 10 Maret 1946, Orwell menulis bahwa "setelah konferensi Moskow Desember lalu, Rusia mulai melakukan 'perang dingin' terhadap Britania dan Imperiumnya."[4]

Istilah yang digunakan untuk menggambarkan ketegangan geopolitik antara Uni Soviet dan negara satelitnya dengan Amerika Serikat dan sekutu Eropa Barat-nya pasca-Perang Dunia II dicetuskan pertama kali oleh Bernard Baruch, seorang ahli keuangan Amerika dan penasihat presiden.[5] Dalam sebuah pidato di South Carolina pada tanggal 16 April 1947,[6] Baruch menyatakan bahwa: "Janganlah kita tertipu: hari ini kita ada di tengah-tengah perang dingin."[7] Seorang reporter dan kolumnis surat kabar bernama Walter Lippmann menjabarkan penjelasan panjang lebar mengenai Perang Dingin dalam bukunya yang berjudul The Cold War, ketika ditanyakan pada tahun 1947 tentang sumber istilah "perang dingin", ia menyebutkan bahwa istilah tersebut merujuk pada istilah Prancis dari tahun 1930-an, la guerre froide.[8]

Latar belakang

Pasukan Amerika di Vladivostok, Agustus 1918, selama intervensi Sekutu dalam Perang Saudara Rusia.

Ada perdebatan di antara para sejarawan mengenai titik awal dari Perang Dingin. Sebagian besar sejarawan menyatakan bahwa Perang Dingin dimulai segera setelah Perang Dunia II berakhir, yang lainnya berpendapat bahwa Perang Dingin sudah dimulai menjelang akhir Perang Dunia I, meskipun ketegangan antara Kekaisaran Rusia, negara-negara Eropa lainnya, dan Amerika Serikat sudah terjadi sejak pertengahan abad ke-19.[9] Menurut beberapa sumber, perang dingin terjadi setelah berakhirnya Perang Dunia II yaitu pada tahun 1945, hal itu ditandai dengan merenggangnya hubungan Amerika Serikat dan Uni Soviet.[10]

Revolusi Bolshevik di Rusia pada tahun 1917 (diikuti dengan penarikan mundur pasukannya dari Perang Dunia I), mengakibatkan Soviet Rusia terisolasi dari diplomasi internasional.[11] Pemimpin Vladimir Lenin menyatakan bahwa Uni Soviet "dikepung oleh para kapitalis yang bermusuhan", dan ia memandang diplomasi sebagai senjata untuk menjauhkan Soviet dari musuh, dimulai dengan pembentukan Komintern Soviet, yang menyerukan pergolakan revolusioner di luar Soviet.[12]

Pemimpin Soviet Joseph Stalin, yang menganggap Uni Soviet sebagai sebuah "kepulauan sosialis", menyatakan bahwa Uni Soviet harus memandang "dominasi kapitalis saat ini harus digantikan oleh dominasi sosialis."[13] Pada awal 1925, Stalin menyatakan bahwa ia memandang politik internasional sebagai sebuah dunia bipolar di mana Uni Soviet akan menarik negara-negara lainnya ke arah sosialisme dan negara-negara kapitalis juga akan menarik negara-negara lain ke arah kapitalisme, sementara dunia sedang berada dalam periode "stabilisasi sementara kapitalisme" menjelang keruntuhannya.[14]

Berbagai peristiwa menjelang Perang Dunia Kedua menunjukkan adanya saling ketidakpercayaan dan kecurigaan antara kekuatan Barat dan Uni Soviet, terlepas dari filosofi umum Partai Bolshevik yang dibentuk untuk menentang kapitalisme.[15] Ada dukungan dari Barat terhadap gerakan Putih anti-Bolshevik dalam Perang Saudara Rusia,[9] pemberian dana oleh Uni Soviet kepada pekerja pemberontak Britania pada tahun 1926 menyebabkan Britania Raya memutuskan hubungan dengan Uni Soviet,[16] deklarasi Stalin tahun 1927 untuk hidup berdampingan secara damai dengan negara-negara kapitalis diurungkan,[17] tuduhan adanya konspirasi dalam Peradilan Shakhty tahun 1928 yang direncanakan oleh Britania dan Prancis memicu kudeta,[18] penolakan Amerika untuk mengakui Uni Soviet hingga tahun 1933,[19] dan Stalinisme Peradilan Moskow untuk kasus Pembersihan Besar-Besaran, serta tuduhan atas adanya spionase dari Britania, Prancis, dan Jerman Nazi merupakan peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi Perang Dingin.[20]

Ketika Tentara Jerman menginvasi Uni Soviet pada bulan Juni 1941, Sekutu mengambil keuntungan dari front baru ini dan memutuskan untuk membantu Uni Soviet. Britania menandatangani persekutuan formal dan Amerika Serikat membentuk kesepakatan informal dengan Soviet. Pada masa perang, Amerika Serikat memfasilitasi Britania dan Soviet lewat program Lend-Lease nya.[21]

Bagaimanapun juga, Stalin tetap mencurigai kedua negara tersebut dan percaya bahwa Britania dan Amerika Serikat bersekongkol untuk memastikan bahwa Soviet akan menanggung beban terbesar dalam pertempuran menghadapi Jerman Nazi. Menurut pandangannya ini, Sekutu Barat dengan sengaja menunda untuk membuka front anti-Jerman kedua dengan tujuan untuk beraksi di saat-saat terakhir dan kemudian membuat penyelesaian damai. Dengan demikian, persepsi Soviet terhadap Barat menyebabkan munculnya arus ketegangan dan permusuhan dengan pihak Sekutu.[22]

Akhir Perang Dunia II (1945–1947)

Konferensi pascaperang di Eropa

"Tiga Besar" di Konferensi Yalta: Winston Churchill, Franklin D. Roosevelt dan Joseph Stalin, 1945.

Setelah perang, Sekutu tidak menemui kesepakatan mengenai pembagian dan penetapan perbatasan di Eropa.[23] Masing-masing pihak memiliki ide-ide yang berbeda mengenai pembentukan dan pemeliharaan keamanan dunia pascaperang.[23] Sekutu Barat menginginkan sistem keamanan dengan membentuk seluas mungkin pemerintahan demokrasi, yang memungkinkan negara-negara untuk menyelesaikan konflik secara damai melalui organisasi internasional.[24]

Mengingat sejarah invasi yang sering dilakukan terhadap Rusia,[25] serta besarnya jumlah korban tewas (diperkirakan 27 juta) dan kehancuran Uni Soviet yang berkelanjutan selama Perang Dunia II,[26] Uni Soviet berusaha untuk meningkatkan keamanan dengan mendominasi urusan dalam negeri negara-negara yang berbatasan dengannya.[23][27]

Sekutu Barat sendiri juga memiliki perbedaan mengenai visi mereka terhadap keadaan dunia pascaperang. Tujuan Roosevelt - kejayaan militer di Eropa dan Asia, pencapaian supremasi ekonomi global Amerika yang mengalahkan Imperium Britania, dan menciptakan sebuah organisasi perdamaian dunia - lebih bersifat global dibandingkan dengan Churcill, yang visinya berfokus untuk mengamankan kontrol atas Laut Tengah, memastikan keberlangsungan Imperium Britania, dan memerdekakan negara-negara Eropa Timur untuk menjadikannya sebagai penyangga antara Soviet dan Britania Raya.[28]

Dalam pandangan Amerika, Stalin dianggap sebagai salah satu sekutu potensial untuk mencapai tujuan mereka, sedangkan dalam pandangan Britania, Stalin dianggap sebagai ancaman terbesar dalam pencapaian agenda mereka. Dengan didudukinya sebagian besar negara-negara Eropa Timur oleh Soviet, Stalin berada pada pihak yang beruntung dan kedua pemimpin Barat saling bersaing untuk memperoleh dukungannya. Perbedaan visi antara Roosevelt dan Churchill menyebabkan kedua belah pihak melakukan negosiasi secara terpisah dengan Stalin. Pada bulan Oktober 1944, Churcill melakukan perjalanan ke Moskow dan sepakat untuk membagi Balkan berdasarkan pengaruh masing-masing, dan tidak lama kemudian, di Yalta, Roosevelt juga menandatangani kesepakatan terpisah dengan Stalin mengenai masalah Asia dan menolak untuk mendukung Churcill dalam isu dan Reparasi Polandia.[28]

Zona pendudukan Sekutu di Jerman pascaperang.

Negosiasi lebih lanjut antara Soviet dan Sekutu terkait dengan keseimbangan dunia pascaperang berlangsung dalam Konferensi Yalta pada bulan Februari 1945, meskipun konferensi ini juga gagal mencapai konsesus mengenai kerangka kerja pascaperang di Eropa.[29] Pada bulan April 1945, Churcill dan Presiden Amerika Serikat yang baru, Harry S. Truman, sepakat untuk menentang keputusan Soviet yang memberi bantuan kepada pemerintahan Lublin, saingan Pemerintahan Polandia di pengasingan yang dikontrol oleh Soviet.[30]

Setelah kemenangan Sekutu pada bulan Mei 1945, Soviet secara efektif mulai menduduki Eropa Timur,[29] sedangkan pasukan Amerika Serikat dan Sekutu Barat tetap bertahan di Eropa Barat. Di wilayah Jerman yang diduduki Sekutu, Uni Soviet, Amerika Serikat, Britania Raya dan Prancis mendirikan zona pendudukan dan membentuk kerangka kerja untuk membagi wilayah-wilayah tersebut menjadi empat zona pendudukan.[31]

Konferensi Sekutu pada tahun 1945 di San Francisco menghasilkan keputusan mengenai pendirian organisasi PBB multi-nasional untuk memelihara perdamaian dunia, namun kapasitas penegakannya oleh Dewan Keamanan secara efektif dilumpuhkan oleh kemampuan anggotanya untuk menggunakan hak veto.[32] Oleh sebab itu, PBB pada dasarnya diubah menjadi sebuah forum aktif untuk bertukar retorika polemik, dan Soviet dianggap secara eksklusif sebagai tribun propaganda.[33]

Konferensi Potsdam dan kekalahan Jepang

Winston Churchill, Harry S. Truman dan Joseph Stalin di Konferensi Potsdam, 1945.

Konferensi Potsdam merupakan konferensi terakhir yang dilakukan AS, Britania Raya, dan Rusia dalam PD II yang berlangsung sejak 17 Juli-2 Agustus 1945.[34] Dalam Konferensi Potsdam, yang dimulai pada akhir Juli setelah menyerahnya Jerman, perbedaan serius muncul terkait dengan perkembangan masa depan Jerman dan Eropa Timur.[35] Selain itu, jumlah partisipan perang dan perbedaan kebiasaan dijadikan alasan oleh satu sama lainnya untuk mengkonfirmasi kecurigaan mereka mengenai niat bermusuhan dan mempertahankan kubu mereka masing-masing.[36] Dalam konferensi ini, Truman memberitahu Stalin bahwa Amerika Serikat memiliki senjata baru yang kuat.[37]

Stalin menyadari bahwa Amerika Serikat sedang mengembangkan bom atom, dan mengingat bahwa sasaran Amerika Serikat mungkin adalah saingan Soviet, yaitu Jepang, maka Stalin menanggapinya dengan tenang. Stalin berkata kalau ia merasa senang atas berita tersebut dan menyatakan harapannya bahwa senjata tersebut akan digunakan untuk melawan Jepang.[37] Satu minggu setelah berakhirnya Konferensi Potsdam, Amerika Serikat membom Hiroshima dan Nagasaki. Tak lama setelah serangan, Stalin protes kepada para petinggi Amerika Serikat karena kecilnya bagian Jepang yang diduduki Sekutu yang ditawarkan oleh Presiden Truman kepada Soviet.[38]

Awal Blok Timur

Perubahan wilayah pasca-perang di Eropa Timur dan pembentukan Blok Timur, yang dijuluki "Tirai Besi".

Pada awal Perang Dunia II, Uni Soviet meletakkan dasar bagi terbentuknya Blok Timur dengan mencaplok langsung beberapa negara seperti Republik Sosialis Soviet, yang awalnya diserahkan kepada Soviet oleh Jerman Nazi dalam Pakta Molotov-Ribbentrop. Wilayah ini termasuk Polandia bagian timur (kemudian dipisahkan menjadi dua negara Soviet yang berbeda),[39][40] Estonia (yang kemudian menjadi RSS Estonia),[41] Latvia (menjadi RSS Latvia),[39][40] Lithuania (menjadi RSS Lithuania),[39][40] bagian timur Finlandia (menjadi RSS Karelo-Finlandia), dan Rumania timur (yang menjadi RSS Moldavia).[42][43]

Wilayah Eropa Timur yang dibebaskan dari Nazi dan diduduki oleh pasukan Soviet selanjutnya juga ditambahkan ke Blok Timur dengan mengubahnya menjadi negara satelit,[44] negara-negara ini di antaranya Jerman Timur,[45] Republik Rakyat Polandia, Republik Rakyat Bulgaria, Republik Rakyat Hungaria,[46] Republik Sosialis Cekoslowakia,[47] Republik Rakyat Romania, dan Republik Rakyat Albania.[48]

Rezim Soviet yang muncul di negara-negara Blok Timur tidak hanya mengadopsi sistem ekonomi komando Soviet, tetapi juga mengadopsi metode brutal yang digunakan oleh Joseph Stalin dan polisi rahasia Soviet untuk menekan oposisi yang nyata dan potensial.[49] Di Asia, Tentara Merah telah membanjiri Manchuria pada bulan-bulan terakhir perang, dan melanjutkan untuk menempati sebagian besar wilayah Korea bagian utara.[50]

Sebagai bagian dari konsolidasi kontrol Stalin atas Blok Timur, NKVD, yang dipimpin oleh Lavrentiy Beria, mengawasi pembentukan sistem polisi rahasia yang bergaya Soviet di Blok Timur untuk membasmi perlawanan anti-komunis.[51] Jika muncul sedikit saja semangat kemerdekaan di negara-negara Blok Timur, mereka yang terlibat akan disingkirkan dari kekuasaan, diadili, dipenjarakan, dan dalam beberapa kasus, dieksekusi.[52]

Perdana Menteri Britania Raya Winston Churchill khawatir bahwa jumlah besar pasukan Soviet yang ditempatkan di Eropa pada akhir perang, dan persepsi bahwa pemimpin Soviet Joseph Stalin tidak dapat diandalkan, akan menimbulkan ancaman bagi Eropa Barat.[53] Pada bulan April-Mei 1945, Kabinet Perang Britania Raya mengembangkan sebuah rencana operasi untuk "memaksakan kehendak Amerika Serikat dan Imperium Britania kepada Rusia".[54] Namun rencana ini ditolak oleh Kepala Staf Komite karena ketidaklayakan sumber daya militer.[53]

Persiapan untuk "perang baru"

Pada bulan Februari 1946, laporan "Telegram Panjang" George F. Kennan dari Moskow membantu untuk mengartikulasikan kebijakan pemerintah AS yang semakin intensif dalam melawan Soviet, yang menjadi dasar bagi strategi Amerika Serikat terhadap Uni Soviet selama Perang Dingin.[55] Pada bulan September, pihak Soviet merilis telegram Novikov, yang dikirim oleh duta besar Soviet kepada Amerika Serikat, namun pengiriman telegram ini ditugaskan dan juga ditulis oleh Vyacheslav Molotov, telegram ini menjelaskan bahwa AS "berada dalam cengkeraman monopoli kapitalis yang mengembangkan kemampuan militer dalam rangka mempersiapkan kondisi untuk memenangkan supremasi dunia dalam sebuah perang baru".[56]

Pada tanggal 6 September 1946, James F. Byrnes menyampaikan pidato di Jerman yang menyangkal Rencana Morgenthau (sebuah proposal untuk memisahkan dan de-industrialisasi di Jerman pasca-perang). Byrnes juga memperingatkan Soviet bahwa AS berniat untuk mempertahankan keberadaan militernya tanpa batas di Eropa.[57] Sebulan kemudian, Byrnes mengakui bahwa pernyataannya ini merupakan "intisari dari program kami untuk memenangkan hati warga Jerman [...] itu adalah pertempuran pikiran antara kami dan Rusia [...]"[58]

Beberapa minggu setelah dirilisnya "Telegram Panjang", mantan Perdana Menteri Britania Winston Churchill menyampaikan istilah terkenalnya, "Tirai Besi", dalam sebuah pidato di Fulton, Missouri.[59] Dalam pidato tersebut, Churcill menyerukan agar Inggris-Amerika bersekutu untuk melawan Soviet, yang dituduhnya telah membentangkan sebuah "tirai besi" dari "Stettin di Baltik hingga ke Trieste di Adriatik".[44][60]

Pada tahun 1952, Stalin berulang kali mengajukan rencana untuk menyatukan Jerman Timur dan Jerman Barat di bawah satu pemerintahan tunggal yang dipilih dalam pemilihan umum yang diawasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa jika Jerman yang baru ini terlepas dari aliansi militer Barat, namun usulan ini ditolak oleh kekuatan Barat. Beberapa sumber mempersengketakan kesungguhan usulan ini.[61]

Permulaan Perang Dingin (1947–1953)

Kominform dan perpecahan Tito–Stalin

Pada bulan September 1947, Soviet membentuk Kominform. Kominform merupakan nama lain dari Biro Informasi Partai Komunis dan Pekerja.[62] Kominform adalah forum resmi dari gerakan komunis internasional yang tujuannya adalah untuk menegakkan ortodoksi dalam gerakan komunis internasional dan memperketat kontrol politik atas negara-negara satelit Soviet melalui koordinasi dari pihak komunis di Blok Timur.[63] Kominform mengalami kemunduran pada bulan Juni berikutnya setelah perpecahan Tito–Stalin, yang menyebabkan Soviet mengucilkan Yugoslavia. Yugoslavia tetap menjadi negara komunis, namun mulai mengadopsi posisi Non-Blok.

Kontainmen dan Doktrin Truman

Aliansi militer Eropa.

Pada tahun 1947, penasihat Presiden AS Harry S. Truman mendesak Truman untuk mengambil langkah-langkah segera dalam melawan pengaruh Uni Soviet, mengingat upaya Stalin (ditengah kebingungan dan keruntuhannya pasca-perang) untuk melemahkan Amerika Serikat melalui persaingan yang bisa mendorong kalangan kapitalis agar memicu perang lain.[64] Bulan Februari 1947, pemerintah Britania mengumumkan bahwa mereka tidak sanggup lagi membiayai rezim militer monarki Yunani dalam Perang Saudara Yunani untuk melawan pemberontak komunis.

Tanggapan pemerintah Amerika terhadap pengumuman Britania ini adalah bahwa mereka akan mengadopsi kebijakan kontainmen,[65] yaitu kebijakan yang bertujuan untuk menghentikan penyebaran komunisme. Truman menyampaikan pidato yang menyerukan alokasi dana sebesar $ 400 juta untuk memfasilitasi keterlibatan Amerika Serikat dalam perang Yunani dan meluncurkan Doktrin Truman, yang menyatakan bahwa konflik tersebut merupakan kontes antara masyarakat bebas dan rezim totaliter.[65] Meskipun kenyataannya para pemberontak komunis mendapat bantuan dari pemimpin Yogoslavia Josip Broz Tito,[19] AS menuduh bahwa Uni Soviet bersekongkol dengan komunis Yunani untuk melawan royalis dalam upayanya untuk memperluas pengaruh Soviet.[66]

Doktrin Truman menandai awal dari kebijakan pertahanan bipartisan AS dan konsesus kebijakan luar negeri antara Partai Republik dan Demokrat yang benar-benar berfokus pada kontainmen (penahanan) dan pencegahan penyebaran komunisme selama dan setelah Perang Vietnam.[67][68] Partai moderat dan konservatif lainnya di Eropa, serta demokratik sosial, mulai memberikan dukungan penuh tanpa syarat kepada Sekutu Barat,[69] sedangkan Komunis Amerika dan Eropa, dengan dibiayai oleh KGB, telibat dalam operasi intelijen,[70] operasi ini tetap sesuai dengan aturan Moskow, meskipun perbedaan pendapat di kalangan komunis ini mulai muncul setelah tahun 1956. Kritik lain terkait dengan Doktrin Truman ini berasal dari aktivis anti-Perang Vietnam, CND dan gerakan pembekuan nuklir.[71]

Rencana Marshall dan kudeta Cekoslowakia

Peta era Perang Dingin di Eropa dan Timur Dekat, menunjukkan negara-negara yang menerima bantuan Rencana Marshall. Kolum merah menunjukkan jumlah relatif bantuan yang diterima per negara.
Aliansi perekonomian Eropa.

Pada awal 1947, Britania, Prancis, dan Amerika Serikat tidak berhasil mencapai kesepakatan dengan Uni Soviet mengenai rencana pembangunan kembali perekonomian Jerman, termasuk jumlah rinci tentang penanaman modal industri, barang, dan infrastruktur yang telah dihancurkan oleh Sekutu selama perang.[72] Bulan Juni 1947, sesuai dengan Doktrin Truman, Amerika Serikat mengesahkan program Rencana Marshall, yaitu suatu program bantuan ekonomi bagi semua negara Eropa yang bersedia untuk berpartisipasi, termasuk Uni Soviet.[72]

Tujuan dari rencana ini adalah untuk membangun kembali sistem demokrasi dan perekonomian Eropa dan untuk membatasi pengaruh komunis di Eropa.[73] Rencana ini juga menyatakan bahwa kemakmuran Eropa bergantung pada pemulihan ekonomi Jerman.[74] Satu bulan kemudian, Truman mengesahkan Undang-Undang Keamanan Nasional 1947, membentuk Departemen Pertahanan terpadu, CIA, dan Badan Keamanan Nasional (NSC). Hal ini selanjutnya akan menjadi birokrasi utama kebijakan AS dalam Perang Dingin.[75]

Stalin percaya bahwa integrasi ekonomi dengan Barat akan memungkinkan negara-negara Blok Timur untuk memisahkan diri dari kontrol Soviet, Stalin juga percaya bahwa AS berusaha untuk “membeli” Eropa agar berpihak kepada AS.[63] Oleh sebab itu, Stalin melarang negara-negara Blok Timur menerima bantuan Marshall.[63] Alternatif Uni Soviet dalam menandingi Rencana Marshall, yang konon menghabiskan subsidi Soviet dan perdagangan dengan Eropa Timur, adalah dengan membentuk Rencana Molotov (kemudian dilembagakan pada bulan Januari 1949 dengan nama Comecon).[19] Stalin juga mengkhawatirkan upaya AS untuk merekonstitusi Jerman; visi pasca-perangnya terhadap Jerman tidak mencakup hal ini, karena Soviet enggan mempersenjatai kembali Jerman atau dengan kata lain, takut bahwa hal itu akan menimbulkan ancaman lagi terhadap Uni Soviet.[76]

Pada awal 1948, menyusul laporan yang memperkuat "elemen reaksioner" di Cekoslowakia, Soviet melaksanakan kudeta di Cekoslowakia, yang merupakan satu-satunya negara Blok Timur yang diijinkan Soviet untuk mempertahankan struktur demokrasinya.[77][78] Kebrutalan publik dalam kudeta ini mengejutkan negara-negara Barat, perdebatan muncul di Kongres Amerika Serikat, yang ketakutan bahwa perang akan terjadi kembali dalam upaya Soviet untuk menyapu habis seluruh pendukung Rencana Marshall.[79]

Kebijakan kembar Doktrin Truman dan Rencana Marshall menyebabkan miliaran bantuan ekonomi dan militer mengalir untuk Eropa Barat, Yunani, dan Turki. Dengan bantuan AS, militer Yunani berhasil memenangkan perang saudara.[75] Partai Demokrasi Kristen Italia juga sukses mengalahkan aliansi Komunis-Sosialis dalam pemilihan umum tahun 1948.[80] Pada saat yang bersamaan, terjadi peningkatan aktivitas intelijen dan spionase, pembelotan Blok Timur, dan pengusiran diplomatik.[81]

Blokade Berlin

C-47s melakukan pembongkaran di Bandar Udara Tempelhof di Berlin selama berlangsungnya Blokade Berlin.

Amerika Serikat dan Britania menggabungkan zona pendudukan mereka di Jerman menjadi “Bizonia” (1 Januari 1947, kemudian menjadi “Trizonia” setelah zona pendudukan Prancis juga digabungkan pada bulan April 1949).[82] Sebagai bagian dari upaya pembangunan kembali perekonomian Jerman, pada awal 1948 perwakilan dari sejumlah negara Eropa Barat dan Amerika Serikat mengumumkan kesepakatan untuk menggabungkan wilayah pendudukan Jerman Barat menjadi sebuah pemerintahan federal.[83] Selain itu, sesuai dengan Rencana Marshall, mereka memulai kembali industrialisasi dan menata kembali perekonomian Jerman bersama-sama, termasuk pengenalan mata uang baru Deutsche Mark untuk menggantikan mata uang Reichsmark lama yang nilainya telah dijatuhkan oleh Soviet.[84]

Tidak lama kemudian, Stalin melembagakan Blokade Berlin (24 Juni 1948 - 12 Mei 1949), salah satu krisis besar pertama yang terjadi selama Perang Dingin, yang bertujuan untuk memutus akses dan mencegah makanan, bahan, dan perlengkapan lainnya memasuki Berlin Barat.[85] Amerika Serikat, Britania, Prancis, Kanada, Selandia Baru, Australia, dan beberapa negara lainnya memulai “bantuan udara” besar-besaran untuk memasok Berlin Barat dengan makanan dan perlengkapan lainnya.[86]

Soviet melancarkan kampanye hubungan publik terhadap perubahan kebijakan di Jerman Barat. Para Komunis di Berlin Timur berupaya untuk mengganggu prosesi pemilihan umum munisipal di Berlin (seperti yang mereka lakukan dalam pemilu 1946),[82] yang diselenggarakan pada tanggal 5 Desember 1948 dan menghasilkan 86,3% pemilih sekaligus kemenangan besar bagi partai non-Komunis.[87] Hasil ini secara efektif membagi Berlin menjadi dua bagian, yaitu Berlin Timur dan Berlin Barat. 300.000 warga Berlin berunjukrasa dan mendesak agar bantuan udara internasional untuk Berlin tetap dilanjutkan,[88] dan pilot US Air Force Gail Halvorsen kemudian menanggapinya dengan membentuk “Operasi Permen” untuk memasok permen bagi anak-anak Jerman.[89] Pada bulan Mei 1949, Stalin mundur dan mencabut blokade terhadap Berlin.[51][90]

Awal NATO dan Radio Free Europe

Presiden Truman menandatangani Amendemen Undang-Undang Keamanan Nasional 1949 dengan para tamu di Oval Office.

Britania, Prancis, Amerika Serikat, Kanada dan delapan negara-negara Eropa Barat menandatangani Pakta Pertahanan Atlantik Utara pada bulan April 1949 untuk mendirikan North Atlantic Treaty Organization (NATO).[51] Pada bulan Agustus, perangkat atom Soviet pertama diledakkan di Semipalatinsk, RSS Kazakhtan.[19] Setelah Soviet menolak untuk berpartisipasi dalam upaya pembangunan kembali Jerman yang telah ditetapkan oleh negara-negara Eropa Barat pada tahun 1948,[83][91] AS, Britania, dan Prancis mempelopori pembentukan Jerman Barat di tiga zona pendudukan mereka yang digabungkan pada bulan April 1949.[35][92] Soviet kemudian menyikapinya dengan memproklamirkan pendirian Republik Demokratik Jerman di zona pendudukannya di Jerman Timur pada bulan Oktober.[35]

Media massa di Blok Timur merupakan organ negara, operasionalnya benar-benar bergantung dan tunduk pada peraturan partai komunis, media televisi dan radio ditetapkan sebagai badan usaha milik negara, sedangkan media cetak biasanya dimiliki oleh organisasi politik, sebagian besarnya dimiliki oleh partai komunis lokal.[93] Propaganda Soviet menggunakan filosofi Marxis untuk menyerang kapitalisme, mengklaim eksploitasi tenaga kerja, dan perang terhadap imperialisme.[94]

Seiring dengan diperluasnya siaran British Broadcasting Corporation dan Voice of America ke Eropa Timur,[95] upaya propaganda besar-besaran dimulai pada tahun 1949 dengan dibentuknya Radio Free Europe/Radio Liberty, yang didedikasikan untuk memberitakan mengenai era kekacauan dari sistem komunisme di Blok Timur.[96] Radio Free Europe berusaha untuk mencapai tujuannya dengan melayani pendengar sebagai stasiun radio pengganti, serta menjadi alternatif bagi media dalam negeri yang dikontrol dan didominasi oleh partai.[96] Radio Free Europe Eropa adalah produk dari beberapa arsitek yang paling menonjol dari strategi Perang Dingin awal Amerika, terutama mereka yang percaya bahwa Perang Dingin pada akhirnya akan diperjuangkan lewat jalur politik ketimbang militer, seperti George F. Kennan.[97]

Pembuat kebijakan Amerika, termasuk Kennan dan John Foster Dulles, mengakui bahwa Perang Dingin pada kenyataannya merupakan sebuah perang gagasan.[97] Amerika Serikat, dibantu oleh CIA, mendanai daftar panjang proyek-proyek untuk melawan daya tarik komunis bagi kalangan intelektual Eropa dan negara-negara berkembang, atau dengan kata lain, mencegah upaya Soviet untuk menyebarkan pengaruh komunisnya.[98] CIA diam-diam juga mensponsori kampanye propaganda dalam negeri yang disebut Pembasmian untuk Kebebasan.[99]

Pada awal 1950-an, AS berupaya untuk mempersenjatai kembali Jerman Barat. Pada tahun 1955, AS menjamin keanggotaan penuh Jerman Barat di NATO.[35] Sebelumnya, bulan Mei 1953, Soviet gagal mencegah upaya penggabungan Jerman Barat ke dalam NATO.[100]

Perang Saudara Tiongkok dan SEATO

Mao Zedong dan Joseph Stalin di Moskow, Desember 1949

Pada tahun 1949, Tentara Pembebasan Rakyat Mao Zedong berhasil menggulingkan Pemerintahan Nasionalis Kuomintang (KMT) Chiang Kai-shek yang didukung oleh Amerika Serikat di Tiongkok, dan Uni Soviet kemudian menjalin aliansi dengan Republik Rakyat Tiongkok yang baru terbentuk.[101] Chiang dan pemerintahan KMT nya mundur ke kepulauan Taiwan. Karena dihadapkan pada revolusi komunis di Tiongkok dan akhir dari monopoli atom Amerika Serikat pada tahun 1949, pemerintahan Truman segera memperluas dan meningkatkan kebijakan kontainmen mereka di Tiongkok.[19] Dalam NSC-68, sebuah dokumen rahasia pada tahun 1950,[102] disebutkan bahwa Dewan Keamanan Nasional mengusulkan untuk memperkuat sistem aliansi pro-Barat dan memperbesar pengeluaran pertahanan.[19]

Amerika Serikat selanjutnya juga mulai memperluas kebijakan kontainmen mereka ke Asia, Afrika, dan Amerika Latin untuk melawan gerakan nasionalis revolusioner, kebanyakannya dipimpin oleh partai-partai komunis yang dibiayai oleh Soviet dan berjuang dalam menentang dominasi kolonial Eropa di Asia Tenggara dan wilayah lainnya.[103] Pada awal 1950-an (periode ini kadang dikenal dengan “Pactomania”), AS membentuk serangkaian aliansi dengan Jepang, Australia, Selandia Baru, Thailand, dan Filipina (terutama ANZUS pada tahun 1951 dan SEATO pada tahun 1954). Aliansi ini membuat AS memiliki sejumlah pangkalan militer jangka panjang di negara-negara tersebut.[35]

Perang Korea

Jenderal Douglas MacArthur, Komandan CiC PBB (duduk), mengamati penembakan laut Incheon dari USS Mt. McKinley, 15 September 1950.

Salah satu dampak yang signifikan dari kebijakan kontainmen Amerika Serikat adalah pecahnya Perang Korea. Pada bulan Juni 1950, Tentara Rakyat Korea Utara di bawah arahan dari Kim Il-Sung menginvasi Korea Selatan.[104] Joseph Stalin “merencanakan, mempersiapkan, dan memulai” invasi tersebut,[105] menyusun “rencana [perang] dengan rinci” yang kemudian dikirimkan kepada Korea Utara.[106][107][108][109] Untuk mengejutkan Stalin,[19] Dewan Keamanan PBB mendukung dan memfasilitasi pertahanan di Korea Selatan, meskipun Soviet kemudian memboikot sidang sebagai protes karena Taiwan yang diberi kursi tetap di dewan, bukannya Komunis Tiongkok.[110] Personel militer gabungan PBB yang terdiri dari Korea Selatan, AS, Britania Raya, Turki, Kanada, Australia, Prancis, Afrika Selatan, Filipina, Belanda, Belgia, Selandia Baru, dan negara-negara lainnya bersatu untuk menghentikan invasi ini.[111]

Efek lain dari Perang Korea adalah mendorong NATO untuk mengembangkan struktur militer.[112] Opini publik di negara-negara yang terlibat, seperti Britania, sebagian besar menentang perang ini. Banyak yang ketakutan bahwa perang ini akan meningkat menjadi perang besar dengan Komunis Tiongkok, atau bahkan menjadi perang nuklir. Pandangan yang berbeda mengenai perang ini sering kali menimbulkan ketegangan dalam hubungan Britania–Amerika. Karena alasan ini, Britania mengambil langkah cepat untuk meredakan konflik dengan mencetuskan ide mengenai mempersatukan Korea di bawah naungan PBB dan penarikan semua pasukan asing.[113]

Meskipun Tiongkok dan Korea Utara sudah lelah akibat perang yang berkelanjutan dan siap untuk mengakhirinya pada tahun 1952, Stalin bersikeras bahwa mereka harus terus berjuang, dan gencatan senjata baru disetujui pada tahun 1953 setelah kematian Stalin.[35] Pemimpin Korea Utara Kim Il Sung kemudian menciptakan kediktatoran yang sangat terpusat dan brutal di Korea Utara, memberikannya kekuasaan tak terbatas dan menghasilkan sebuah kultus kepribadian yang tak tertembus berdekade-dekade lamanya.[114][115] Di Korea Selatan, pemimpin korup Syngman Rhee yang mendapat dukungan dari AS menerapkan sistem pemerintahan totaliter.[116] Setelah Rhee digulingkan pada tahun 1960, Korea Selatan jatuh di bawah masa pemerintahan militer yang berlangsung sampai pembentukan kembali sistem multi-partai pada tahun 1987.

Krisis dan peningkatan (1953-1962)

Kekuatan tentara NATO dan Pakta Warsawa di Eropa pada tahun 1959.

Khrushchev, Eisenhower dan de-Stalinisasi

Pada tahun 1953, perubahan dalam kepemimpinan politik di kedua belah pihak turut menggeser dinamika Perang Dingin.[117] Dwight D. Eisenhower dilantik sebagai Presiden AS yang baru pada bulan Januari. Selama 18 bulan terakhir pemerintahan Truman, anggaran pertahanan Amerika Serikat telah meningkat empat kali lipat, dan Eisenhower bertekad untuk mengurangi sepertiga dari pengeluaran militer sambil terus berjuang dalam Perang Dingin secara efektif.[19]

Setelah kematian Joseph Stalin, Nikita Khrushchev menjadi pemimpin Soviet setelah deposisi dan pengeksekusian Lavrentiy Beria dan juga menyingkirkan saingannya seperti Georgy Malenkov dan Vyacheslav Molotov. Pada tanggal 25 Februari 1956, Khrushchev mengejutkan delegasi dalam Kongres ke-20 Partai Komunis Soviet dengan mencela kejahatan Stalin.[118] Sebagai bagian dari kampanye de-Stalinisasi, ia menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk mereformasi dan menjauh dari kebijakan Stalin adalah dengan mengakui kesalahan yang dilakukannya pada masa lalu.[75]

Pada tanggal 18 November 1956, saat berpidato kepada duta besar Barat dalam sebuah resepsi di kedutaan Polandia di Moskow, Khrushchev mengungkapkan kalimat terkenalnya: "Entah kalian suka atau tidak, sejarah berada di pihak kami. Kami akan mengubur kalian", pernyataannya ini mengejutkan semua tamu yang hadir.[119] Khrushchev kemudian mengklaim bahwa ia tidak membicarakan mengenai perang nuklir, melainkan mengenai kemenangan komunisme atas kapitalisme.[120] Tahun 1961, Khrushchev menyatakan: "bahkan jika Uni Soviet berada di belakang Barat, dalam satu dekade kekurangan perumahan akan lenyap, barang-barang konsumsi akan melimpah, dan dalam dua dekade, pembangunan masyarakat komunis di Uni Soviet akan selesai".[121]

Sekretaris negara Eisenhower, John Foster Dulles, memprakarsai kebijakan "New Look" sebagai strategi kontainmen (penahanan) baru, yang menyerukan agar AS lebih mengandalkan senjata nuklir untuk melawan musuh-musuhnya pada masa perang.[75] Dulles juga menyerukan doktrin "pembalasan besar-besaran" dan menyuruh AS untuk tidak menanggapi setiap agresi Soviet. Sebagai contoh, karena Soviet memiliki keunggulan nuklir, Eisenhower, di bawah ancaman dari Khrushchev, menolak untuk campur tangan dalam Krisis Suez di Timur Tengah pada tahun 1956.[19]

Pakta Warsawa dan Revolusi Hungaria

Peta negara-negara Pakta Warsawa.

Setelah kematian Stalin pada tahun 1953, ketegangan berlangsung dengan sedikit lebih santai, meskipun situasi di Eropa tetap belum kondusif.[122] Soviet, yang sudah membentuk jaringan perjanjian bantuan timbal balik dalam Blok Timur pada tahun 1949,[123] juga membentuk suatu aliansi formal untuk melengkapinya, yaitu Pakta Warsawa pada tahun 1955.[35]

Revolusi Hungaria 1956 terjadi tak lama setelah Khrushchev menghapuskan kekuasaan pemimpin Stalinis Hungaria Mátyás Rákosi.[124] Sebagai tanggapan terhadap pemberontakan,[125] rezim baru ini secara resmi dibubarkan oleh polisi rahasia, menyatakan niatnya untuk menarik diri dari Pakta Warsawa dan berjanji untuk menyelenggarakan pemilihan umum yang bebas. Tentara Soviet mulai menyerbu.[126] Ribuan warga Hungaria ditangkap, dipenjarakan, dideportasi ke Uni Soviet,[127] dan lebih dari 200.000 warga melarikan diri keluar Hungaria.[128] Pemimpin Hungaria Imre Nagy dan yang lainnya dieksekusi setelah diproses dalam sebuah persidangan rahasia.[129]

Dari 1957 sampai 1961, Khrushchev secara terbuka dan berulang kali mengancam Barat dengan pemusnahan nuklir. Dia mengklaim bahwa kemampuan rudal Soviet jauh lebih unggul daripada Amerika Serikat, dan mampu memusnahkan kota-kota di Amerika atau Eropa. Namun, Khrushchev menolak keyakinan Stalin dalam keniscayaan perang dan menyatakan bahwa tujuan barunya adalah untuk "hidup berdampingan secara damai".[130] Kebijakan ini berbeda dengan Soviet pada era Stalin, di mana perjuangan kelas internasional berarti bahwa kedua kubu yang berlawanan berada pada konflik tak terelakkan dengan komunisme yang akan menang melalui perang global. Sekarang, perdamaian akan memungkinkan kapitalisme untuk menghadapi keruntuhannya sendiri,[131] dan juga memberikan waktu bagi Soviet untuk meningkatkan kemampuan militer mereka,[132] yang akan tetap bertahan puluhan tahun sampai munculnya era "pemikiran baru" Gorbachev.[133]

Peristiwa di Hungaria melumpuhkan ideologi partai-partai Komunis dunia, terutama di Eropa Barat, dan terjadi penurunan yang besar dalam jumlah keanggotaan partai. Negara-negara Barat dan komunis merasa kecewa dengan respons brutal Soviet.[134] Partai komunis di Barat tidak pernah pulih dari pengaruh Revolusi Hungaria dalam hal keanggotaan partai, fakta yang segera diakui oleh beberapa pihak, seperti politisi Yugoslavia Milovan Djilas, yang menyatakan bahwa: "luka yang ditorehkan oleh Revolusi Hungaria terhadap komunisme tidak pernah benar-benar sembuh".[134]

Ultimatum Berlin dan integrasi Eropa

Wilayah-wilayah di dunia yang berada di bawah pengaruh Soviet setelah Revolusi Kuba tahun 1959 dan sebelum perpecahan Sino-Soviet tahun 1961.

Selama bulan November 1958, Khrushchev gagal untuk mengubah seluruh Berlin menjadi "kota yang independen, terdemiliterisasi dan bebas", hal ini membuat Amerika Serikat, Britania, dan Prancis diberi ultimatum enam bulan untuk menarik pasukan mereka dari sektor yang masih diduduki di Berlin Barat, atau Khrushchev akan mengalihkan kendali hak akses Barat ke Jerman Timur. Khrushchev sebelumnya menjelaskan kepada Mao Zedong bahwa "Berlin adalah testikelnya Barat. Setiap kali saya ingin membuat Barat menjerit, maka saya akan meremas Berlin."[135] NATO secara resmi menolak ultimatum ini pada pertengahan Desember dan Khrushchev menarik kembali ultimatumnya dalam konferensi Jenewa.[136]

Lebih luas lagi, salah satu ciri dari tahun 1950-an adalah awal dari integrasi-Eropa, yang merupakan produk dari Perang Dingin yang memperomosikan politik, ekonomi, dan militer Truman dan Eisenhower, namun kemudian hal ini dipandang sebagai kebijakan yang ambigu, takut bahwa Eropa yang independen akan melakukan détente terpisah dari Uni Soviet, yang bisa digunakan untuk memperburuk perpecahan Barat.[137]

Persaingan di Dunia Ketiga

Perangko Soviet tahun 1961 yang menuntut kebebasan bagi negara-negara Afrika.
Perangko Soviet tahun 1961 intuk memperingati Patrice Lumumba, perdana menteri Republik Kongo.

Gerakan nasionalis di beberapa negara seperti Guatemala, Indonesia dan Indochina sering kali bersekutu dengan kelompok komunis, atau yang dianggap oleh Barat dibantu oleh komunis.[75] Dalam konteks ini, Amerika Serikat dan Uni Soviet semakin meningkatkan persaingan mereka untuk menyebarkan pengaruh dengan cara mencari proksi di Dunia Ketiga, dan ini bertepatan dengan momentum dekolonisasi pada tahun 1950-an dan awal 1960-an.[138] Selain itu, Soviet terus dirugikan oleh kekuatan-kekuatan imperialis.[139] Kedua belah pihak mulai melakukan pengiriman dan penjualan senjata kepada negara-negara Dunia Ketiga untuk mendapatkan pengaruh.[140]

Amerika Serikat memanfaatkan Central Intelligence Agency (CIA) untuk menyusup ke dalam pergolakan politik di Dunia Ketiga dan juga untuk mendukung sekutu mereka.[75] Pada tahun 1953, CIA melaksanakan Operasi Ajax, sebuah operasi rahasia yang bertujuan untuk menggulingkan perdana menteri Iran, Mohammed Mossadegh. Mosadegh yang menganut prinsip Non-Blok telah menjadi nemesis Timur Tengah bagi Britania sejak ia menasionalisasi perusahaan minyak Anglo-Iranian Oil Company milik Britania pada tahun 1951. Winston Churchill mengatakan kepada AS bahwa Mossadegh "semakin beralih ke komunisme".[141][142][143][144] Shah yang pro-Barat, Mohammad Reza Pahlavi, kemudian naik jabatan sebagai monarki otokratik.[145] Kebijakan Shah yang baru ini di antaranya melarang aktivitas partai komunis Tudeh dan penekanan perbedaan pendapat politik oleh SAVAK, badan keamanan dan intelijen dalam negeri Shah.

Di Guatemala, sebuah kudeta militer yang didukung CIA berhasil menggulingkan presiden sayap kiri Jacobo Arbenz Guzmán pada tahun 1954.[146] Pemerintah pasca-Arbenz yang dipimpin oleh Carlos Castillo Armas mengembalikan semua properti milik AS yang dinasionalisasi, membentuk Komite Nasional Pertahanan Melawan Komunisme, dan mendekritkan Hukum Pidana Pencegahan Terhadap Komunisme atas permintaan Amerika Serikat.[147]

Presiden Indonesia, Soekarno, yang menganut prinsip-prinsip Non-Blok, dihadapkan pada ancaman besar pada awal tahun 1956, ketika beberapa komandan daerah mulai menuntut otonomi dari Jakarta. Setelah proses mediasi gagal, Soekarno mengambil tindakan tegas untuk menyingkirkan mereka yang membangkang. Pada bulan Februari 1958, komandan militer di Sumatra Tengah (Kolonel Ahmad Husein) dan Sulawesi Utara (Kolonel Ventje Sumual) mendeklarasikan pembentukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia-Permesta, yang bertujuan untuk menggulingkan rezim Soekarno. Mereka bergabung dengan politisi sipil lainnya dari Partai Masyumi seperti Sjafruddin Prawiranegara, yang menentang pertumbuhan pengaruh dari Partai Komunis Indonesia. Karena retorika anti-komunis mereka, pemberontakan mereka mendapat bantuan senjata, dana, dan bantuan lainnya dari CIA. Hal ini terbukti saat pesawat Amerika yang dipiloti oleh Allen Lawrence Pope tertembak jatuh di Ambon pada bulan Mei 1958.[148] Pemerintah pusat menanggapinya dengan meluncurkan invasi militer lewat laut dan udara melalui Padang dan Manado. Pada akhir 1958, para pemberontak berhasil dikalahkan, dan pemberontak yang tersisa menyerahkan diri pada bulan Agustus 1961.[149]

Di Irak, Abd al-Karim Qasim menggulingkan monarki Hashemite pada tahun 1958 dan membangun aliansi dengan Partai Komunis Irak dan Uni Soviet.[150] Meskipun Partai Ba'ath yang anti-komunis adalah faksi dominan dalam kabinet Qasim,[151] AS mulai khawatir bahwa pemberontakan mungkin akan menginspirasi "reaksi berantai" di seluruh Timur Tengah.[152] Mesir dan Suriah juga berusaha untuk membunuh Qasim untuk alasan mereka sendiri,[153] CIA juga dianggap berperan dalam mengirimkan saputangan beracun kepada Qasim (meskipun masih diperdebatkan).[154] Setelah serangkaian kudeta, Ba'athist berhasil merebut kekuasaan pada tahun 1968, kemungkinan dengan dukungan dari KGB,[155] meskipun militer Irak juga melakukan kudeta.[156]

Di Republik Kongo, yang baru merdeka dari Belgia pada bulan Juni 1960, CIA menghasut presiden Joseph Kasa-Vubu untuk memecat Perdana Menteri terpilih Patrice Lumumba dan membubarkan kabinet Lumumba pada bulan September.[157] Dalam Krisis Kongo yang terjadi setelahnya, CIA mendukung Kolonel Mobutu dengan cara memobilisasi pasukannya untuk merebut kekuasaan melalui kudeta militer.[157]

Di Guiana Britania, kandidat Partai Progresif Rakyat (PPP) yang berhaluan kiri, Cheddi Jagan, memenangkan posisi ketua menteri dalam pemilihan umum kolonial yang diselenggarakan pada tahun 1953, namun secara cepat dipaksa untuk mengundurkan diri dari jabatannya setelah adanya suspensi dari Britania Raya yang masih memiliki kewenangan terhadap konstitusi negara tersebut.[158] Dipermalukan oleh kemenangan telak Jagan yang diduga Marxis, Britania memenjarakan ketua PPP pada tahun 1955 dan merekayasa perpecahan antara Jagan dengan rekan PPP nya.[159] Jagan lagi-lagi memenangkan pemilu kolonial pada tahun 1957 dan 1961. Amerika Serikat menekan Britania untuk menunda memberikan kemerdekaan kepada Guiana sampai haluan politik Jagan telah teridentifikasi.[160]

Karena dilelahkan oleh perang gerilya komunis yang menuntut kemerdekaan Vietnam, Prancis setuju untuk melakukan negosiasi dengan komunis Vietnam. Dalam Konferensi Jenewa, perjanjian damai ditandatangani, dan Vietnam dibagi menjadi Vietnam Utara yang pro-Soviet dan Vietnam Selatan yang pro-Barat. Antara tahun 1954 dan 1961, Amerika Serikat mengirimkan bantuan ekonomi dan penasihat militer untuk memperkuat rezim pro-Barat Vietnam Selatan dalam menghalangi upaya komunis yang berniat untuk mengacaukannya.[19]

Banyak negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang menolak tekanan untuk memihak salah satu blok. Pada tahun 1955, dalam Konferensi Bandung di Indonesia, puluhan negara Dunia Ketiga memutuskan untuk keluar dari Perang Dingin.[161] Konsesus yang ditetapkan di Bandung mencapai puncaknya dengan didirikannya Gerakan Non-Blok yang bermarkas di Belgrade pada tahun 1961.[75] Sementara itu, Khrushchev memperluas kebijakan Moskow dengan menjalin hubungan dengan India dan negara-negara netral lainnya. Gerakan kemerdekaan di Dunia Ketiga mengubah tatanan dunia pasca-perang menjadi lebih pluralistik dengan diterapkannya dekolonisasi bagi negara-negara Afrika dan Timur Tengah dan semangat nasionalisme juga meningkat di Asia dan Amerika Latin.[19]

Perpecahan Sino-Soviet dan Perlombaan Angkasa

Diagram perkembangan Perlombaan Angkasa pada tahun 1957–1975.

Periode setelah 1956 ditandai dengan kemunduran serius bagi Uni Soviet, terutama pecahnya aliansi Tiongkok-Soviet, yang dimulai dengan perpecahan Sino-Soviet. Mao membela Stalin ketika Khrushchev mengkritiknya setelah kematiannya pada tahun 1956, dan menganggap pemimpin Soviet yang baru sebagai "pemula yang dangkal", Mao juga menuduhnya telah kehilangan sisi revolusioner.[162] Sementara itu, Khrushchev, yang merasa terganggu atas sikap Mao yang anti-perang nuklir, menyebut pemimpin Tiongkok sebagai "orang yang gila takhta".[163]

Setelah hal itu terjadi, Khrushchev melakukan berbagai upaya untuk membangun kembali aliansi dengan Tiongkok, namun Mao menolak setiap usulannya.[162] Permusuhan Tiongkok-Soviet ini akhirnya tumpah dalam perang propaganda intra-komunis.[164] Selanjutnya, Soviet mulai berfokus pada persaingan sengit dengan Tiongkok untuk memperebutkan posisi sebagai pemimpin gerakan komunis dunia.[165]

Dilatardepani oleh senjata nuklir, Amerika Serikat dan Uni Soviet mulai bersaing untuk membangun persenjataan nuklir dan mengembangkan senjata jangka-panjang yang bisa mereka pergunakan untuk menyerang satu sama lain.[35] Bulan Agustus 1957, Soviet berhasil meluncurkan peluru kendali balistik antar benua pertama (ICBM),[166] dan pada bulan Oktobernya, Soviet meluncurkan satelit Bumi pertama, Sputnik.[167] Peluncuran Sputnik ini menandai dimulainya Perlombaan Angkasa antara Soviet dan Amerika Serikat. Persaingan ini memuncak dengan pendaratan Apollo di Bulan, yang dideskripsikan oleh astronaut Frank Borman sebagai "pertempuran dalam Perang Dingin".[168]

Revolusi Kuba dan Invasi Teluk Babi

Fidel Castro (kanan) dan Che Guevara, 1961.

Di Kuba, Gerakan 26 Juli berhasil merebut kekuasaan pada bulan Januari 1959, menjatuhkan Presiden Fulgencio Batista, yang rezimnya tidak populer dan tidak direstui oleh pemerintahan Eisenhower.[169]

Hubungan diplomatik antara Kuba dan Amerika Serikat terus berlanjut selama beberapa waktu setelah kejatuhan Batista, namun Presiden Eisenhower sengaja meninggalkan ibu kota untuk menghindari pertemuan dengan pemimpin pemuda revolusioner Kuba Fidel Castro pada bulan April, dan memerintahkan Wakil Presiden Richard Nixon untuk mengadakan pertemuan dengan Castro di kediamannya.[170] Eisenhower tidak yakin, apakah Castro seorang komunis atau bukan. Eisenhower juga menentang upaya Kuba untuk mengurangi ketergantungan ekonomi mereka pada Amerika Serikat.[171] Kuba mulai melakukan negosiasi pembelian senjata dengan Eropa Timur pada bulan Maret 1960.[172]

Bulan Januari 1961, sesaat sebelum turun dari jabatannya, Eisenhower secara resmi memutuskan hubungan dengan pemerintah Kuba. Pada bulan April 1961, Presiden Amerika yang baru terpilih, John F. Kennedy, dengan bantuan dari CIA, gagal menginvasi pulau-pulau di Playa Girón dan Playa Larga di Provinsi Las Villas — kegagalan yang mempermalukan Amerika Serikat di mata dunia.[171] Castro menanggapinya dengan mengadopsi paham Marxisme-Leninisme, dan Soviet berjanji untuk memberikan dukungan lebih lanjut kepada Kuba.[171]

Krisis Berlin 1961

Tank Soviet berhadapan dengan tank Amerika Serikat di Checkpoint Charlie, 27 Oktober, selama berlangsungnya Krisis Berlin 1961

Krisis Berlin 1961 adalah insiden besar terakhir yang terjadi dalam masa Perang Dingin terkait dengan status Berlin dan kondisi Jerman pasca-Perang Dunia II. Pada awal 1950-an, pendekatan Soviet mengenai kebijakan pembatasan emigrasi ditiru oleh sebagian besar negara Blok Timur lainnya.[173] Namun, ratusan ribu warga Jerman Timur beremigrasi ke Jerman Barat setiap tahunnya melalui "celah" yang terdapat dalam sistem antara Berlin Timur dan Berlin Barat dan dengan bantuan dari pasukan Sekutu di Jerman Barat.[174]

Emigrasi menyebabkan berpindahnya sumber daya manusia yang berpotensi seperti kalangan profesional terdidik dari Jerman Timur ke Jerman Barat, hampir 20% penduduk Jerman Timur telah bermigrasi ke Jerman Barat pada tahun 1961.[175] Pada bulan Juni, Uni Soviet mengeluarkan ultimatum baru yang menuntut penarikan pasukan Sekutu dari Berlin Barat.[176] Permintaan tersebut ditolak, dan pada tanggal 13 Agustus, Jerman Timur mendirikan penghalang kawat berduri yang kemudian konstruksinya diperluas hingga kelak membentuk Tembok Berlin, yang secara efektif menutup "celah" antara kedua wilayah tersebut.[177]

Krisis Rudal Kuba dan penggulingan Khrushchev

Kapal P-2 milik Angkatan Laut Amerika Serikat terbang di atas sebuah kapal barang Soviet selama Krisis Rudal Kuba.

Setelah Invasi Teluk Babi, Kennedy terus mencari cara untuk menggulingkan Castro, Kennedy dan pemerintahannya bereksperimen secara diam-diam dengan memfasilitasi penggulingan pemerintahan Kuba. Harapan yang signifikan disematkan pada sebuah program rahasia bernama Proyek Kuba, yang dirancang di bawah pemerintahan Kennedy pada tahun 1961.

Pada bulan Februari 1962, Khrushchev mengetahui rencana Amerika terhadap Kuba: "proyek Kuba" — disetujui oleh CIA dan menetapkan penggulingan pemerintah Kuba pada bulan Oktober, kemungkinan melibatkan militer Amerika — dan Kennedy mungkin memerintahkan operasi pembunuhan terhadap Castro.[178] Sebagai respons, Soviet mempersiapkan pemasangan rudal nuklirnya di Kuba.[178]

Khawatir, Kennedy memutuskan berbagai reaksi untuk menanggapinya, dan akhirnya menanggapi instalasi rudal nuklir Soviet di Kuba dengan melakukan blokade laut dan memberikan ultimatum kepada Soviet. Khrushchev mundur dari konfrontasi, dan Uni Soviet membongkar rudalnya dengan imbalan janji Amerika agar tidak lagi menyerang Kuba.[179]

Krisis Rudal Kuba (Oktober-November 1962) membawa dunia lebih dekat ke arah perang nuklir daripada sebelumnya.[180] Lebih lanjut, peristiwa tersebut juga menunjukkan konsep saling meyakinkan akan bahaya kehancuran, bahwa negara adidaya tidak siap untuk menggunakan senjata nuklir mereka, takut akan adanya kehancuran global total karena saling balas dendam.[181] Dampak dari krisis ini menyebabkan dilakukannya upaya pertama dalam membatasi perlombaan senjata nuklir dengan pelucutan senjata dan perbaikan hubungan,[122] meskipun upaya-upaya untuk mencegah meletusnya perang nuklir telah ditetapkan sejak tahun 1961 melalui Perjanjian Antartika.[182]

Tahun 1964, rekan Kremlin Khrushchev berhasil menggulingkannya, namun tetap mengizinkannya untuk pensiun dengan damai.[183] Khrushchev dituduh memerintah dengan kasar dan inkompetensi, dia juga dianggap telah menghancurkan sektor pertanian Soviet dan membawa dunia ke ambang perang nuklir.[183] Khrushchev juga dikatakan telah mempermalukan dunia komunis ketika ia meresmikan pembangunan Tembok Berlin, yang dianggap sebagai sebuah penghinaan publik untuk Marxisme-Leninisme.[183] Posisi jabatan Nikita Khrushchev digantikan oleh Leonid Brezhnev sebagai pemimpin Partai Komunis dan sementara Alexei Kosygin menduduki kursi Perdana Menteri.

Konfrontasi di tengah détente (1962–1979)

Kekuatan pasukan NATO dan Pakta Warsawa di Eropa tahun 1973.
Amerika Serikat mendarat untuk pertama kalinya di bulan pada tahun 1969—puncak dari perlombaan angkasa.
F-4 Phantom II milik US Navy menyadap pesawat Tupolev Tu-95 D Soviet pada awal 1970-an.

Pada periode 1960-an dan 1970-an, peserta Perang Dingin berjuang untuk menyesuaikan diri dengan pola baru hubungan internasional yang lebih rumit, dunia tidak lagi dibagi menjadi dua blok besar yang bertentangan.[75] Dari awal periode pasca-perang, Eropa Barat dan Jepang dengan cepat pulih dari kehancuran Perang Dunia II dan mulai mengalami pertumbuhan ekonomi yang kuat sepanjang tahun 1950-an dan 1960-an, dengan PDB per kapita yang hampir mendekati Amerika Serikat, sedangkan perekonomian Blok Timur mengalami stagnasi.[75][184]

Sebagai akibat dari krisis minyak 1973, dikombinasikan dengan semakin kuatnya pengaruh Dunia Ketiga dengan mendirikan organisasi-organisasi seperti Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan Gerakan Non-Blok, negara-negara Dunia Ketiga memiliki lebih banyak ruang untuk memproklamirkan kemerdekaan mereka dan semakin menunjukkan bahwa mereka tahan banting terhadap tekanan dari negara adidaya.[103] Sementara itu, Soviet dipaksa untuk mengalihkan perhatiannya pada isu-isu internal seperti permasalahan ekonomi di dalam negeri.[75] Selama periode ini, pemimpin Soviet seperti Leonid Brezhnev dan Alexei Kosygin mulai menerapkan pendekatan détente.[75]

Pengunduran diri Prancis dari NATO

Keberlangsungan NATO sudah menghadapi tantangan pada awal sejarahnya, krisis terjadi selama kepemimpinan Charles de Gaulle dari Prancis pada tahun 1958 dan seterusnya. De Gaulle protes mengenai kuatnya peran Amerika Serikat dalam organisasi dan cemburu atas "hubungan istimewa" antara Amerika Serikat dan Britania Raya. Dalam sebuah memo yang dikirimkan pada Presiden Dwight D. Eisenhower dan Perdana Menteri Harold Macmillan pada tanggal 17 September 1958, ia berpendapat untuk membentuk tiga serangkai direktorat yang akan memposisikan Prancis pada kedudukan yang sama dengan Amerika Serikat dan Britania Raya, dan juga perluasan cakupan NATO ke wilayah geografis yang memiliki kepentingan dengan Prancis, seperti Aljazair Prancis, yang pemberontakannya di dukung oleh Prancis.[185]

Karena respons yang diberikan tidak memuaskan, de Gaulle mulai mengembangkan penangkal nuklir Prancis secara independen dan pada tahun 1966, Prancis mengundurkan diri dari NATO, diikuti dengan pengusiran semua pasukan NATO dari daratan Prancis.[186]

Invasi Cekoslowakia

Pada tahun 1968, periode liberalisasi politik di Cekoslowakia, yang dijuluki dengan Musim Semi Praha, berlangsung dengan berbagai aksi, di antaranya "Program Aksi" liberalisasi, yang menuntut perluasan kebebasan pers, kebebasan berbicara dan kebebasan bergerak, juga penekanan ekonomi pada barang-barang konsumsi, kemungkinan sistem multi partai, membatasi kekuasaan polisi rahasia,[187][188] dan kemungkinan Cekoslowakia untuk menarik diri dari Pakta Warsawa.[189]

Sebagai jawaban atas aksi Musim Semi Praha, tentara Soviet bersama dengan sebagian besar sekutu Pakta Warsawa mereka, menyerbu Cekoslowakia.[190] Invasi ini diikuti oleh gelombang emigrasi, sekitar 70.000 warga Ceko dan Slowakia melarikan diri, dan total akhirnya mencapai 300.000 jiwa.[191] Invasi ini memicu protes keras dari Yugoslavia, Rumania, Tiongkok, dan juga dari partai-partai komunis di Eropa Barat.[192]

Doktrin Brezhnev

Leonid Brezhnev dan Richard Nixon selama kunjungan Brezhnev ke Washington pada Juni 1973; kunjungan ini adalah permulaan détente antara Amerika Serikat dan Soviet.

Pada bulan September 1968, dalam pidatonya di Kongres Kelima Partai Persatuan Pekerja Polandia, sebulan setelah menginvasi Cekoslowakia, Brezhnev menyampaikan Doktrin Brezhnev; yang mengklaim bahwa "hak kami untuk melanggar kedaulatan negara manapun jika ada yang berupaya untuk menggantikan Marxisme-Leninisme dengan kapitalisme". Dalam pidatonya, Brezhnev menyatakan:[189]

Ketika kekuatan yang bermusuhan dengan sosialisme mencoba mengubah perkembangan negara sosialis tertentu menjadi kapitalisme, hal tersebut tidak hanya menjadi masalah bagi negara yang bersangkutan, tetapi juga merupakan masalah bersama semua negara sosialis.

Doktrin tersebut dilatarbelakangi oleh kegagalan Marxisme-Leninisme dalam meningkatkan kesejahteraan di negara-negara seperti Polandia, Hungaria dan Jerman Timur, yang mengalami penurunan standar hidup yang kontras dengan kemakmuran Jerman Barat dan negara Eropa Barat lainnya.[193]

Krisis di Dunia Ketiga

Alexei Kosygin (kiri) di samping Presiden AS Lyndon B. Johnson (kanan) dalam Konferensi Tingkat Tinggi Glassboro.
Mayat Presiden Vietnam Selatan Ngo Dinh Diem.

Pada akhir April 1965, Presiden Lyndon B. Johnson mendaratkan 22.000 tentaranya di Republik Dominika dan kemudian mendudukinya selama satu tahun melalui invasi yang diberi kode Operasi Power Pack. Operasi ini dilakukan untuk membendung ancaman menyebarnya revolusi bergaya Kuba di Amerika Latin.[19] Pemilihan presiden diselenggarakan pada tahun 1966, yang menghasilkan kemenangan bagi konservatif Joaquín Balaguer. Meskipun Balaguer mendapat dukungan dari sektor-sektor elit dan kelompok petani, lawan politiknya dari partai PRD, mantan presiden Juan Bosch, tidak aktif berkampanye.[194] Aktivis PRD dilumpuhkan dengan kekerasan oleh polisi Dominika dan angkatan bersenjata.[194]

Di Indonesia, anti-komunis garis keras Jenderal Soeharto meraih kendali pemerintahan dari pendahulunya, Soekarno, dan kemudian mulai membangun "Orde Baru". Dari tahun 1965 sampai 1966, militer Indonesia melakukan pembunuhan massal terhadap sekitar setengah juta anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia serta organisasi-organisasi sayap kiri lainnya.[195]

Meningkatnya konflik yang sedang berlangsung antara pemimpin Vietnam Selatan Ngô Đình Diệm dengan komunis Front Nasional untuk Pembebasan Vietnam Selatan (NLF) membuat Johnson mengirimkan 575.000 tentara Amerika ke Asia Tenggara untuk melumpuhkan NLF dan sekutu Vietnam Utara mereka dalam Perang Vietnam, namun kebijakan ini memakan banyak biaya dan melemahkan perekonomian AS, dan pada tahun 1975, krisis ini memuncak dengan kegagalan Amerika Serikat. Dunia memandang peristiwa ini sebagai kekalahan memalukan bagi sebuah negara adidaya yang paling kuat di tangan salah satu negara termiskin dunia.[19] Vietnam Utara menerima persetujuan Soviet untuk memulai perang pada tahun 1959. Uni Soviet mengirimkan 15.000 penasihat militer dan bantuan dana sebesar $ 450 juta kepada Vietnam Utara selama perang, sedangkan Tiongkok mengirimkan 320.000 tentara dan bantuan dana senilai $180 juta.[196]

Di Chili, kandidat Partai Sosialis Salvador Allende memenangkan pemilihan presiden tahun 1970, menjadi Marxis terpilih demokratis pertama yang menjadi presiden di negara-negara Amerika.[197] Jenderal Augusto Pinochet melakukan kudeta terhadap pemerintahan pada tanggal 11 September 1973 dan dengan cepat mengambilalih semua kekuasaan politik menjadi kediktatoran militer, tindakannya ini direstui oleh AS. Reformasi Allende ekonomi diurungkan dan lawan sayap kiri tewas atau ditahan di kamp-kamp interniran di bawah arahan dari Dirección de Inteligencia Nacional (DINA).

Henry Kissinger, Penasihat Keamanan Nasional dan Sekretaris Negara Amerika Serikat pada masa pemerintahan Presiden Nixon dan Ford, merupakan salah satu tokoh kunci dalam Perang Dingin (1969-1977).

Sementara itu, Operasi Burung Kondor di Amerika Selatan — yang digunakan oleh para diktator di Argentina, Brasil, Bolivia, Chili, Uruguay, dan Paraguay untuk menekan perbedaan pendapat dengan sayap kiri — juga mendapat dukungan dari Amerika Serikat, dan (kadang-kadang akurat) diperkirakan juga terdapat Kuba atau Soviet di belakang gerakan oposisi tersebut.[198]

Amerika Serikat juga tidak senang saat Jamaika mulai menjalin hubungan yang lebih erat dengan pemerintah Kuba setelah pemilihan Michael Manley pada tahun 1972.[199] Amerika Serikat meresponnya dengan mendanai lawan-lawan politik Manley, mendorong pemberontakan dalam tubuh tentara Jamaika, dan menyewa tentara bayaran untuk menentang pemerintahan Manley.[159] Kekerasan pun terjadi.

Situasi di Timur Tengah terus menjadi sumber persengketaan. Mesir, yang menerima banyak bantuan senjata dan bantuan ekonomi dari Uni Soviet, adalah klien Soviet yang merepotkan. Dengan terpaksa, Uni Soviet berkewajiban untuk membantu Mesir dalam Perang Enam Hari (dengan mengirimkan penasihat militer dan teknisi) dan Perang Atrisi (dengan mengirimkan pilot dan pesawat) untuk melawan Israel yang pro-Barat.[200] Di samping pembelotan Mesir, dari yang sebelumnya pro-Soviet menjadi pro-Amerika pada tahun 1972 (dibawah kepemimpinan Anwar El Sadat),[201] rumor mengenai intervensi Soviet dalam Perang Yom Kippur pada tahun 1973 menyebabkan terjadinya pengiriman tentara Amerika besar-besaran dan mengancam akan menghancurkan détente.[202] Meskipun pada era pra-Sadat Mesir merupakan penerima bantuan terbesar Soviet di Timur Tengah, Soviet juga sukses menjalin hubungan erat dengan komunis di Yaman Selatan, serta pemerintahan nasionalis Aljazair dan Irak.[201] Soviet secara langsung memihak dan membantu Palestina dalam menghadapi konflik dengan Israel, termasuk dukungan untuk Yasser Arafat dan Organisasi Pembebasan Palestina.[203] Dari tahun 1973-1975, CIA berkolusi dengan pemerintah Iran untuk membiayai dan mempersenjatai pemberontak Kurdi dalam Perang Irak–Kurdi Kedua dengan tujuan untuk melumpuhkan pemimpin Irak Ahmed Hassan al-Bakr. Saat Iran dan Irak menandatangani Perjanjian Aljazair pada tahun 1975, dukungan untuk Iran pun juga turut berhenti.[204]

Seorang tentara Amerika dalam Perang Vietnam, 3 Agustus 1965.

Di Afrika, militer Somalia yang dipimpin oleh Mohamed Siad Barre melakukan kudeta tak berdarah pada tahun 1969 dan mendirikan Republik Demokratik Somalia yang berpaham sosialis. Uni Soviet berjanji untuk mendukung Somalia. Empat tahun kemudian, Kaisar Ethiopia Haile Selassie yang pro-Amerika digulingkan dalam kudeta tahun 1974 oleh kelompok Derg, sebuah kelompok militer radikal pro-Soviet yang dipimpin oleh Mengistu Haile Mariam. Mariem menjalin hubungan dengan Kuba dan Soviet.[205] Saat peperangan antara Somalia dan Ethiopia pecah pada tahun 1977-1978, Barre kehilangan dukungan Soviet dan kemudian bersekutu dengan Amerika Serikat. Tentara Kuba juga berperan dalam perang ini dengan memihak Ethiopia.[205]

Revolusi Anyelir di Portugis pada tahun 1974 yang melawan keotoriteran Estado Novo membuat Portugis kembali ke sistem multi-partai dan sekaligus memfasilitasi kemerdekaan koloni Portugis di Angola dan Timor Timur. Di Afrika, pemberontak Angola mengobarkan perang kemerdekaan multi-faksi menentang kekuasaan Portugis sejak tahun 1961, setelah perang ini usai, perang dua dasawarsa menggantikan perang anti-kolonial, yang ditandai dengan peperangan antara komunis Gerakan Rakyat Pembebasan Angola (MPLA), yang didukung oleh Kuba dan Soviet, dengan Front Pembebasan Nasional Angola (FNLA), yang didukung oleh Amerika Serikat, Republik Rakyat Tiongkok, dan pemerintahan Mobutu di Zaire. AS, pemerintahan apartheid Afrika Selatan, dan beberapa negara Afrika lainnya juga mendukung faksi ketiga, Uni Nasional untuk Kemerdekaan Penuh Angola (UNITA). Tanpa berkonsultasi dengan Soviet, Kuba mengirimkan tentaranya untuk berjuang bersama MPLA.[205] Pemerintah apartheid Afrika Selatan juga mengirimkan tentara untuk membantu UNITA, namun MPLA berada di atas tangan karena didukung oleh Kuba dan Soviet.[205]

Di Asia Tenggara, koloni Timor Timur secara sepihak memproklamasikan kemerdekaannya dari Portugis di bawah sayap kiri Fretilin pada bulan November 1975. Dengan dukungan dari Australia dan Amerika Serikat, Soeharto menginvasi Timor Timur pada bulan Desember — yang memulai pendudukan Indonesia di Timor Timur selama seperempat abad.[206]

Selama Perang Vietnam, Vietnam Utara menginvasi dan menduduki sebagian Kamboja untuk digunakan sebagai pangkalan militer, yang juga berperan dalam memicu pecahnya Perang Saudara Kamboja antara pemerintah pro-Amerika Lon Nol dan pemberontak Maoist Khmer Merah. Dokumen yang ditemukan dari arsip Soviet mengungkapkan bahwa invasi Vietnam Utara ke Kamboja pada tahun 1970 dilaksanakan atas permintaan dari Khmer Merah setelah bernegosiasi dengan Nuon Chea.[207] AS dan Vietnam Selatan menanggapinya dengan melancarkan kampanye pengeboman dan serangan darat, efek dari operasi ini masih diperdebatkan oleh para sejarawan.[208] Di bawah kepemimpinan Pol Pot, Khmer Merah membantai 1-3 juta, dari 8,4 juta total penduduk Kamboja, di ladang pembantaian.[209][210][211] Sosiolog Martin Shaw menggambarkan kekejaman ini sebagai "genosida paling murni dari era Perang Dingin".[212] Vietnam menggulingkan Pol Pot pada tahun 1979 dan membentuk pemerintah boneka di bawah pimpinan Heng Samrin.

Perbaikan hubungan Tiongkok-Amerika

Sebagai akibat dari perpecahan Sino-Soviet, ketegangan yang berlangsung di sepanjang perbatasan Tiongkok-Soviet mencapai puncaknya pada tahun 1969, dan Presiden Amerika Serikat Richard Nixon memutuskan untuk memanfaatkan konflik tersebut sebagai alat untuk menggeser keseimbangan kekuasaan ke arah Barat dalam Perang Dingin.[213] Tiongkok juga berusaha meningkatkan hubungan dengan Amerika Serikat dalam upayanya untuk mengambil keuntungan dari Soviet.

Pada bulan Februari 1972, Nixon mengumumkan pemulihan hubungan dengan Tiongkok.[214] Ia melakukan kunjungan ke Beijing dan bertemu dengan Mao Zedong dan Zhou Enlai. Pada saat itu, sumber daya nuklir Uni Soviet telah setara dengan Amerika Serikat, Perang Vietnam juga telah melemahkan pengaruh Amerika di Dunia Ketiga dan mendinginkan hubungannya dengan Eropa Barat.[215] Meskipun konflik tak langsung antara dua adidaya dalam Perang Dingin terus berlanjut sampai akhir 1960-an dan awal 1970-an, ketegangan perlahan-lahan mulai mereda.[122]

Nixon, Brezhnev, dan détente

Leonid Brezhnev dan Jimmy Carter menandatangani traktat SALT II, 18 Juni 1979 di Wina

Setelah kunjungannya ke Tiongkok, Nixon bertemu dengan para pemimpin Soviet, termasuk Brezhnev di Moskow.[216] Perundingan Pembatasan Senjata Strategis (SALT) antara kedua belah pihak menghasilkan dua kesepakatan mengenai pengawasan penggunaan senjata, yaitu SALT I, pakta pembatasan senjata komprehensif pertama yang ditandatangani oleh kedua negara adidaya,[217] dan Traktat Peluru Kendali Anti-Balistik, yang mengatur mengenai pembatasan sistem peluru kendali anti-balistik yang digunakan untuk mempertahankan wilayah terhadap senjata nuklir yang dibawa misil. Ini bertujuan untuk membatasi pengembangan peluru kendali anti-balistik dan rudal nuklir berbiaya mahal.[75]

Nixon dan Brezhnev mengumumkan era baru "hidup berdampingan secara damai" dan membangun pendekatan hubungan baru yang disebut détente (peredaan ketegangan) antara dua negara adidaya. Sementara itu, Brezhnev berusaha untuk memperbaiki kembali perekonomian Soviet yang mengalami penurunan akibat besarnya pengeluaran militer.[19] Antara tahun 1972 dan 1974, kedua belah pihak juga sepakat untuk memperkuat hubungan ekonomi mereka,[19] di antaranya dengan melakukan perjanjian dalam rangka peningkatan aktivitas perdagangan. Sebagai hasil dari perundingan mereka, détente menggantikan era permusuhan dari Perang Dingin dan kedua negara bisa hidup secara berdampingan.[216]

Sementara itu, perkembangan hubungan AS dan Soviet juga bertepatan dengan "Ostpolitik" Kanselir Jerman Barat Willy Brandt.[192] Perjanjian lainnya yang disahkan untuk menstabilkan situasi di Eropa adalah Perjanjian Helsinki, yang ditandatangani dalam Konferensi Keamanan dan Kerjasama di Eropa pada tahun 1975.[218]

Memburuknya hubungan pada akhir 1970-an

Pada tahun 1970-an, KGB, yang dikepalai oleh Yuri Andropov, terus menekan kritikus-kritikus terkenal yang mengkritik kepemimpinan Soviet seperti Aleksandr Solzhenitsyn dan Andrei Sakharov.[219] Selama periode détente ini, konflik tak langsung antara kedua negara adidaya masih terus terjadi di Dunia Ketiga, khususnya dalam krisis politik di Timur Tengah, Chili, Ethiopia, dan Angola.[220]

Presiden Jimmy Carter berusaha untuk menetapkan pembatasan perlombaan persenjataan lebih lanjut dengan mengesahkan SALT II pada tahun 1979,[221] namun upayanya ini dirusak oleh peristiwa lainnya pada tahun itu, yaitu Revolusi Iran yang didukung oleh KGB,[222] Revolusi Nikaragua untuk menggulingkan rezim pro-AS, dan yang paling membuat AS berang; intervensi Soviet dalam Perang Afganistan pada bulan Desember.[19]

"Perang Dingin Kedua" (1979-1985)

Istilah "Perang Dingin Kedua" merujuk pada periode peningkatan kembali ketegangan Perang Dingin dan konflik antara kedua belah pihak pada akhir 1970-an dan awal 1980-an. Ketegangan sangat meningkat antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dan masing-masingnya menjadi lebih ter-militeristik.[15] Diggins mengungkapkan: "Reagan mengerahkan segalanya untuk berjuang dalam 'Perang Dingin Kedua' dengan mendukung kontra-pemberontakan di Dunia Ketiga."[223] Sementara Cox menyatakan: "Intensitas 'Perang Dingin Kedua' sehebat durasinya yang singkat."[224]

Perang Soviet-Afganistan

Presiden Reagan menunjukkan dukungannya dalam pertemuan dengan para pemimpin Mujahidin Afganistan di Gedung Putih, 1983.
Tentara Soviet di Afganistan.

Pada bulan April 1978, Partai Demokrasi Rakyat Afganistan (PDPA) yang berhaluan komunis merebut kekuasaan atas Afganistan melalui Revolusi Saur. Dalam hitungan bulan, penentang pemerintahan komunis melancarkan pemberontakan di Afganistan timur, yang dengan cepat berkembang menjadi perang saudara antara gerilyawan mujahidin melawan tentara pemerintah. Pemerintah Pakistan memfasilitasi para pemberontak dengan pusat-pusat pelatihan rahasia, sedangkan Uni Soviet mengirim ribuan penasihat militer untuk mendukung pemerintahan PDPA.[225] Sementara itu, meningkatnya gesekan antara faksi-faksi yang bersaing di PDPA–faksi Khalq yang dominan dan Parcham yang lebih moderat – menyebabkan pemberhentian anggota kabinet dan penangkapan perwira militer Parchami dengan dalih kudeta terhadap Parchami. Pada pertengahan 1979, Amerika Serikat memulai sebuah program rahasia untuk membantu mujahidin.[226]

Bulan September 1979, Presiden Khalqist Nur Muhammad Taraki dibunuh dalam sebuah kudeta PDPA yang diatur oleh rekannya sesama anggota Khalq bernama Hafizullah Amin, yang kemudian menjadi presiden. Amin dibunuh oleh pasukan khusus Soviet pada bulan Desember 1979. Setelah kematiannya, sebuah pemerintahan yang diorganisir oleh Soviet, di bawah pimpinan Babrak Karmal, mengisi kekosongan kekuasaan. Pasukan Soviet dikerahkan untuk menstabilkan Afganistan di bawah pemerintahan Karmal, yang telah menjadi boneka Soviet. Akibatnya, Soviet terlibat langsung dalam apa yang kemudian menjadi perang domestik di Afganistan.[227]

Carter menanggapi intervensi Soviet di Afganistan dengan cara menarik kembali perjanjian SALT II dari Senat, melakukan embargo dalam pengiriman gandum dan barang-barang teknologi pada Uni Soviet, serta meningkatkan pengeluaran militer. Amerika Serikat juga melakukan pemboikotan terhadap Olimpiade Moskow 1980. Carter menyatakan bahwa tindakan Soviet merupakan "ancaman yang paling serius terhadap perdamaian selama Perang Dingin Kedua".[228]

Reagan dan Thatcher

Thatcher adalah satu-satunya wanita di ruangan ini, dan selusin pria dalam setelan duduk di sekitar meja oval. Regan dan Thatcher duduk berlawanan satu sama lain di tengah-tengah meja panjang. Ruangan ini dihiasi dengan cat warna putih, dengan tirai, sebuah lampu emas dan potret Lincoln.
Kabinet Thatcher bertemu dengan Kabinet Reagan di Gedung Putih, 1981.

Pada bulan Januari 1977, empat tahun sebelum menjadi presiden, Ronald Reagan mengungkapkan dalam percakapannya dengan Richard V. Allen, mengenai harapan dasarnya terkait dengan Perang Dingin: "Ide saya mengenai kebijakan Amerika terhadap Uni Soviet sederhana, dan beberapa orang akan menyebutnya sangat sederhana, yaitu: Kita menang dan mereka kalah. Bagaimana menurut Anda?".[229] Tahun 1980, Ronald Reagan mengalahkan Jimmy Carter dalam pemilu presiden 1980. Setelah kemenangannya, ia bersumpah akan meningkatkan anggaran militer dan menghadapi Soviet di manapun.[230] Baik Reagan maupun Perdana Menteri Britania Raya yang baru, Margaret Thatcher, sama-sama mengecam Uni Soviet dan ideologinya. Reagan menyebut Uni Soviet sebagai sebuah "kekaisaran jahat" dan meramalkan bahwa komunisme akan hancur menjadi "tumpukan abu sejarah".[231]

Meskipun sentimen anti-Amerika di Iran setelah Revolusi Iran meningkat, pemerintahan Reagan tetap mengulurkan tangan kepada pemerintah anti-komunis Ayatollah Khomeini dalam upayanya untuk merekrut teokrasi bagi Amerika pada tahun 1980-an. Direktur CIA William Casey menggambarkan pemerintahan Khomeini sebagai pemerintahan yang "goyah dan [mungkin] dalam pergerakan ke arah kebenaran... AS hampir tidak memiliki kartu untuk dimainkan; sementara Uni Soviet memiliki banyak kartu."[232] Salah satu metode yang dilakukan Amerika untuk mendukung Iran adalah dengan penjualan senjata secara rahasia. Pada tahun 1983, CIA merilis daftar panjang komunis Iran dan aktivis sayap kiri lainnya yang dicurigai bekerja dalam pemerintahan Khomeini.[233] Sebuah komisi khusus kemudian melaporkan bahwa daftar itu disusun untuk mengambil "langkah-langkah, termasuk eksekusi massal, untuk mengeliminasi semua infrastruktur pro-Soviet di Iran."[233]

Pada awal 1985, prinsip anti-komunis Reagan telah berkembang menjadi sikap yang dikenal sebagai Doktrin Reagan — yang mana, selain penahanan, juga dirumuskan hak tambahan untuk menumbangkan pemerintahan komunis yang ada.[234] Selain melanjutkan kebijakan Carter yang mendukung penentang Islam dalam melawan Soviet dan PDPA di Afganistan, CIA juga berusaha melemahkan Uni Soviet dengan cara mempromosikan politik Islam di wilayah Asia Tengah Soviet yang mayoritas beragama Islam.[235] Di samping itu, CIA mendorong ISI yang anti-komunis di Pakistan agar bersedia melatih Muslim dari seluruh dunia untuk berpartisipasi dalam jihad melawan Uni Soviet.[235]

Gerakan solidaritas dan darurat militer di Polandia

Kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke negara kelahirannya, Polandia, pada tahun 1979 telah mendorong kebangkitan spiritual dan nasionalis yang memicu lahirnya gerakan solidaritas dan semangat anti-komunisme. Hal ini diperkirakan merupakan penyebab dilakukannya upaya pembunuhan terhadap Paus Yohanes Paulus II dua tahun kemudian.[236]

Pada bulan Desember 1981, Wojciech Jaruzelski bereaksi terhadap krisis di Polandia dengan memberlakukan masa darurat militer. Untuk menanggapinya, Reagan memberlakukan sanksi ekonomi terhadap Polandia.[237] Mikhail Suslov, ideolog top di Kremlin, menyarankan agar pemimpin Soviet tidak campur tangan jika Polandia jatuh di bawah kendali gerakan Solidaritas, karena takut hal itu akan menimbulkan sanksi ekonomi yang lebih berat lagi, yang berarti akan menjadi malapetaka bagi perekonomian Soviet.[237]

Isu ekonomi dan militer Soviet dan AS

Perbandingan stok senjata nuklir AS dan Soviet/Rusia, 1945–2006
Delta 183 diluncurkan, membawa sensor eksperimen Strategi Inisiatif Pertahanan "Delta Star".

Moskow telah membangun sumber daya militer yang menghabiskan 25 persen dari produk nasional bruto Uni Soviet, dengan mengorbankan barang-barang konsumsi dan investasi di sektor sipil.[238] Pengeluaran Soviet untuk perlombaan senjata dan kompetisi Perang Dingin lainnya semakin diperparah oleh masalah struktural dalam sistem perekonomian Soviet,[239] yang mengalami stagnasi ekonomi selama satu dekade dalam tahun-tahun terakhir pemerintahan Brezhnev.

Pemboikotan Olimpiade Moskow 1980 (biru) dan Olimpiade Los Angeles 1984 (merah).

Investasi Soviet dalam sektor pertahanan tidak didorong oleh kepentingan militer, namun sebagian besar untuk mendukung kepentingan partai-partai besar dan birokrasi negara, yang bergantung pada sektor militer untuk mendukung kekuasaan dan hak istimewa mereka.[240] Militer Uni Soviet merupakan militer terbesar di dunia dalam hal jumlah dan jenis senjata, jumlah tentara, dan jumlah pangkalan militer yang mereka miliki.[241] Namun, keuntungan kuantitatif yang dipegang oleh militer Soviet sering kali dirahasiakan keberadaannya, sehingga Blok Timur secara dramatis tertinggal oleh Barat.[242]

Setelah seorang anak Amerika berusia sepuluh tahun bernama Samantha Smith mengirimkan surat kepada Yuri Andropov, yang mengungkapkan ketakutannya atas perang nuklir, Andropov mengundang Smith ke Uni Soviet.

Pada awal 1980-an, Uni Soviet telah membangun persenjataan dan pasukan militer yang melebihi Amerika Serikat. Segera setelah Soviet menginvasi Afganistan, Presiden Carter memulai pembangunan besar-besaran militer Amerika Serikat. Upaya ini semakin diintensifkan oleh pemerintahan Reagan, yang meningkatkan pengeluaran militer dari 5,3 persen/total GNP pada tahun 1981 menjadi 6,5 persen pada tahun 1986,[243] jumlah anggaran militer terbesar sepanjang sejarah Amerika Serikat.[244]

Ketegangan terus meningkat pada awal 1980-an ketika Reagan mengaktifkan kembali program B-1 Lancer yang sebelumnya dibatalkan oleh pemerintahan Carter, memproduksi LGM-118 Peacekeeper,[245] menginstal rudal jelajah AS di Eropa, dan mengumumkan program eksperimental Strategi Inisiatif Pertahanan, yang dijuluki "Star Wars" oleh media, yaitu program pertahanan untuk menembak jatuh rudal musuh di tengah-tengah penerbangannya.[246]

Dilatarbelakangi oleh meningkatnya ketegangan antara Soviet dan Amerika Serikat, serta dipasangnya rudal balistik RSD-10 Pioneer milik Soviet yang mengarah ke Eropa Barat, NATO memutuskan–di bawah dorongan dari Presiden Carter–untuk menginstal rudal jelajah dan MGM-31 Pershing milik Amerika Serikat di Eropa, terutama di Jerman Barat.[247] Rudal-rudal ini ditempatkan dengan jarak mencolok, hanya berjarak 10 menit dari Moskow.[248]

Setelah pembangunan militer Reagan selesai, Soviet tidak menanggapinya dengan mengembangkan sumber daya militernya lebih besar lagi karena pengeluaran militer Soviet sudah sangat besar.[249] Besarnya anggaran militer Soviet mengakibatkan tidak efisiennya pembangunan dalam sektor manufaktur dan pertanian, yang akhirnya menjadi beban berat bagi perekonomian Soviet.[250] Di saat yang bersamaan, produksi minyak di Arab Saudi meningkat,[251] bahkan produksi minyak di negara-negara non-OPEC juga meningkat pada periode tersebut, termasuk Soviet.[252] Perkembangan ini memberikan kontribusi terhadap fenomena banjir minyak 1980-an yang mempengaruhi Uni Soviet. Minyak mulai menjadi sumber utama pendapatan ekspor Soviet.[238][250] Namun, permasalahan perekonomian komando,[253] turunnya harga minyak, dan pengeluaran militer yang tetap besar secara bertahap membawa perekonomian Soviet menuju stagnasi.[250]

Pada tanggal 1 September 1983, Uni Soviet menembak jatuh Korean Air Penerbangan 007, pesawat Boeing 747 yang mengangkut 269 penumpang, termasuk anggota Kongres Larry McDonald. Pesawat itu ditembak karena melanggar wilayah udara Soviet dengan melewati pantai barat Pulau Sakhalin, di dekat Pulau Moneron —tindakan yang oleh Reagan dianggap sebagai "pembantaian". Tindakan Soviet ini semakin meningkatkan dukungan bagi AS supaya segera menerjukan militernya.[254] NATO mengadakan latihan militer Able Archer 83 pada bulan November 1983, yang merupakan simulasi peluncuran nuklir secara nyata. Peristiwa ini disebut-sebut sebagai saat yang paling berbahaya bagi dunia sejak Krisis Rudal Kuba pada tahun 1962. Setelah pemimpin Soviet memahami maksud dari latihan militer tersebut, maka diputuskan bahwa perang nuklir semakin dekat.[255]

Ketidaksetujuan publik AS mengenai campur tangan AS dalam konflik negara lain sudah berlangsung sejak akhir Perang Vietnam.[256] Pemerintahan Reagan menekankan taktik kontra-pemberontakan dan penyelesaian cepat dalam mencampuri konflik asing.[256] Pada tahun 1983, pemerintahan Reagan ikut campur tangan dalam Perang Saudara Lebanon, menginvasi Grenada, membom Libya, dan mendukung gerakan Contras di Amerika Tengah–paramiliter anti-komunis yang berusaha menggulingkan pemerintahan pro-Soviet Sandinista di Nikaragua.[103] Intervensi Reagan terhadap Grenada dan Libya mendapat dukungan dari publik AS, namun dukungannya pada Contra mengundang kontroversi.[257]

Sementara itu, Soviet sendiri mengeluarkan biaya tinggi dalam memfasilitasi intervensi mereka terhadap asing. Meskipun Brezhnev meyakini pada tahun 1979 bahwa Perang Soviet-Afganistan akan berlangsung singkat, gerilyawan Muslim, yang dibantu oleh AS dan negara-negara lainnya, mengobarkan perlawanan sengit terhadap invasi tersebut.[258] Kremlin mengirimkan hampir 100.000 tentara untuk mendukung rezim boneka di Afganistan, yang dijuluki oleh para pengamat luar dengan "perang 'Vietnam'-nya Soviet".[258] Namun, dampak perang Afganistan ini jauh lebih parah bagi Soviet ketimbang dampak Perang Vietnam bagi Amerika Serikat, karena konflik ini juga bertepatan dengan periode kekacauan dan krisis internal dalam birokrasi dan perekonomian Soviet.[259]

Seorang pejabat senior di Departemen Luar Negeri AS memprediksikan pada awal 1980-an, ia menyatakan bahwa "invasi yang mengakibatkan krisis dalam negeri bagi Soviet... mungkin itu adalah hukum termodinamika entropi... yang terjebak dengan sistem Soviet, yang sekarang tampaknya lebih banyak mengeluarkan energi untuk menjaga keseimbangannya ketimbang untuk memperbaikinya. Kita bisa melihat periode kebangkitan asing pada saat mengalami keruntuhan internal".[260][261]

Tahun-tahun terakhir (1985–1991)

Mikhail Gorbachev dan Ronald Reagan menandatangani Traktat INF di Gedung Putih, 1987

Reformasi Gorbachev

Setelah tanggal 11 Maret 1985, Mikhail Gorbachev menjadi Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet yang kelima untuk menggantikan Konstantin Chernenko yang sudah wafat.

Pada saat Mikhail Gorbachev, yang relatif masih muda, menjadi Sekretaris Jenderal pada tahun 1985,[231] perekonomian Soviet sedang stagnan dan mengalami penurunan tajam dalam penerimaan mata uang asing akibat turunnya harga minyak dunia pada tahun 1980-an.[262] Masalah ini memaksa Gorbachev untuk mengambil langkah-langkah guna membangkitkan kembali keterpurukan Soviet.[262]

Gorbachev menyatakan bahwa untuk membangkitkan kembali Soviet, diperlukan perubahan struktural yang mendalam. Pada bulan Juni 1987, Gorbachev mengumumkan agenda reformasinya yang disebut perestroika atau restrukturisasi.[263] Perestroika memungkinkan lebih efektifnya sistem kuota produksi, kepemilikan swasta atas bisnis dan juga membuka jalan bagi investor asing. Langkah ini dimaksudkan untuk mengarahkan sumber daya negara dari pembiayaan militer yang mahal untuk menunjang Perang Dingin ke pengembangan sektor sipil yang lebih produktif.[263]

Meskipun muncul skeptisisme dari negara-negara Barat, pemimpin Soviet yang baru ini terbukti berkomitmen untuk memperbaiki kondisi perekonomian Soviet yang buruk, bukannya melanjutkan perlombaan senjata dengan Barat.[122][264] Untuk melawan penentang reformasinya yang berasal dari internal partai, Gorbachev secara bersamaan memperkenalkan glasnost, atau keterbukaan. Kebijakan ini memungkinkan meningkatnya kebebasan pers dan transparansi lembaga-lembaga negara.[265] Glasnost dimaksudkan untuk mengurangi korupsi dalam tubuh Partai Komunis dan memoderasi penyalahgunaan kekuasaan di Komite Sentral.[266] Glasnost juga memungkinkan meningkatnya kontak antara warga Soviet dan Dunia Barat, khususnya dengan Amerika Serikat, yang memberikan kontribusi bagi peningkatan détente antara kedua negara.[267]

Perbaikan hubungan

Menanggapi konsesi politik dan militer Kremlin yang baru, Reagan setuju untuk mengadakan kembali perundingan dengan Soviet terkait dengan isu-isu ekonomi dan perlombaan senjata.[268] Perundingan pertama diadakan pada bulan November 1985 di Jenewa, Swiss.[268] Dalam perundingan tersebut, kedua pemimpin negara, disertai oleh seorang penerjemah, sepakat untuk mengurangi persenjataan nuklir di masing-masing negara sebesar 50 persen.[269] Perundingan kedua, Konferensi Tingkat Tinggi Reykjavík, diselenggarakan di Islandia. Perundingan tersebut berjalan lancar hingga pembicaraan bergeser ke arah Strategi Inisiatif Pertahanan Reagan yang ingin dieliminasi oleh Gorbachev, namun Reagan menolaknya.[270] Negosiasi akhirnya gagal, namun dalam perundingan ketiga pada tahun 1987, kedua belah pihak berhasil menghasilkan terobosan dengan ditandatanganinya Traktat Angkatan Nuklir Jangka Menengah (INF). Traktat ini menghapuskan keberadaan semua senjata nuklir, rudal balistik, dan rudal jelajah di kedua belah pihak dengan jarak antara 500 dan 5.500 kilometer beserta infrastrukturnya.[271]

Ketegangan antara Timur dengan Barat mereda dengan cepat pada pertengahan 1980-an. Tahun 1989, bertempat di Moskow, Gorbachev dan pengganti Reagan, George H. W. Bush, menandatangani perjanjian START I, yang mengakhiri perlombaan senjata antar kedua negara.[272] Selama tahun-tahun berikutnya, Soviet dihadapkan pada keruntuhan perekonomian yang diakibatkan oleh turunnya harga minyak dunia dan besarnya pembiayaan militer.[273] Selain itu, penempatan militer di negara sekutunya diakui tidak relevan lagi bagi Soviet, dan pada tahun 1987, Soviet secara resmi mengumumkan kalau ia tidak akan ikut campur lagi dalam urusan dalam negeri negara-negara sekutunya di Eropa Timur.[274]

Tahun 1989, pasukan Soviet mundur dari Afganistan,[275] dan setahun kemudian Gorbachev menyetujui reunifikasi Jerman,[273] satu-satunya alternatif untuk menanggapi skenario Tianmen.[276] Ketika Tembok Berlin runtuh, konsep "Common European Home" yang dicetuskan oleh Gorbachev mulai terbentuk.[277]

Pada tanggal 3 Desember 1989, dalam Konferensi Tingkat Tinggi Malta, Gorbachev dan George H. W. Bush secara resmi menyatakan bahwa Perang Dingin sudah berakhir.[278] Setahun kemudian, dua negara tersebut bermitra dalam Perang Teluk melawan Irak.[279]

Goyahnya sistem Soviet

Runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989.

Pada tahun 1989, sistem aliansi Soviet berada di ambang keruntuhan. Akibat hilangnya dukungan militer dari Soviet, satu-persatu para pemimpin negara-negara komunis Pakta Warsawa juga kehilangan kekuasaan.[275] Di Uni Soviet sendiri, kebijakan glasnost melemahkan ikatan yang selama ini menyatukan Soviet.[274] Bulan Februari 1990, dengan semakin memuncaknya isu pembubaran Uni Soviet, para pemimpin Partai Komunis terpaksa menyerahkan tampuk kekuasaannya yang telah bertahan selama 73 tahun.[280]

Pada saat yang sama, isu kemerdekaan yang dipicu oleh glasnost semakin mendorong negara-negara Soviet untuk memisahkan diri dari Moskow. Negara-negara Baltik mulai menarik diri dari Soviet sepenuhnya.[281] Gelombang revolusi damai 1989 yang melanda Eropa Tengah dan Eropa Timur meruntuhkan kedigjayaan komunisme Soviet di negara-negara seperti Polandia, Hungaria, Cekoslowakia dan Bulgaria.[282] Rumania menjadi satu-satunya negara Blok Timur yang menggulingkan kekuasaan komunis secara keras dengan mengeksekusi kepala negaranya.[283]

Pembubaran Uni Soviet

Persemakmuran Negara-Negara Merdeka, akhir resmi dari Uni Soviet

Sikap permisif Gorbachev terhadap Eropa Timur awalnya tidak meluas ke wilayah Soviet, bahkan Bush, yang berjuang untuk mempertahankan hubungan persahabatan dengan Soviet, mengutuk pembunuhan pada bulan Januari 1991 di Latvia dan Lituania. Bush memperingatkan bahwa hubungan ekonomi akan dibekukan jika kekerasan terus terjadi.[284] Uni Soviet secara fatal dilemahkan oleh kudeta yang gagal pada tahun 1991 dan meningkatnya jumlah republikan Soviet, khususnya di Rusia, yang mengancam akan memisahkan diri dari Uni Soviet. Persemakmuran Negara-Negara Merdeka, yang didirikan pada tanggal 21 Desember 1991, dipandang sebagai entitas penerus Uni Soviet, namun, menurut para pemimpin Rusia, tujuannya adalah untuk "memungkinkan perpisahan secara beradab" antara republik-republik Soviet dan juga sebanding dengan kelonggaran konfederasi.[285] Uni Soviet secara resmi dibubarkan pada tanggal 25 Desember 1991.[286]

Dampak

NATO/CSTO
NATO telah memperluas cakupannya ke negara-negara bekas Pakta Warsawa dan bekas Uni Soviet sejak berakhirnya Perang Dingin.

Setelah Perang Dingin, Rusia sebagai ahli waris utama Uni Soviet memotong pengeluaran militer secara drastis. Restrukturisasi ekonomi menyebabkan jutaan warga di seluruh Uni Soviet menganggur.[287] Sedangkan reformasi kapitalis mengakibatkan terjadinya resesi parah, lebih parah daripada yang dialami oleh AS dan Jerman selama Depresi Besar.[288]

Setelah berakhir, Perang Dingin masih terus mempengaruhi dunia.[15] Setelah pembubaran Uni Soviet, dunia pasca-Perang Dingin secara luas dianggap sebagai dunia yang unipolar, menyisakan Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adidaya di dunia.[289][290][291] Perang Dingin juga membantu mendefenisikan peran politik Amerika Serikat di dunia pasca-Perang Dunia II: pada tahun 1989 AS menjalin kerjasama militer dengan 50 negara dan memiliki 526.000[292] tentara di luar negeri yang tersebar di puluhan negara, dengan 326.000 terdapat di Eropa (dua pertiganya di Jerman Barat),[293] dan sekitar 130.000 terdapat di Asia (terutama di Jepang dan Korea Selatan).[292] Perang Dingin juga menandai puncak pengembangan industri-militer, terutama di Amerika Serikat, dan pendanaan militer secara besar-besaran.[294] Pengembangan industri militer ini memiliki dampak besar terhadap negara yang bersangkutan; membantu membentuk kehidupan kemasyarakatan, kebijakan, dan hubungan luar negeri negara tersebut.[295]

Pengeluaran militer Amerika Serikat selama berlangsungnya Perang Dingin diperkirakan sekitar $ 8 triliun, sedangkan hampir 100.000 orang Amerika kehilangan nyawa mereka dalam Perang Korea dan Perang Vietnam.[296] Sulit untuk memperkirakan jumlah korban dan kerugian dari pihak Soviet, namun jika dilihat dari komparasi produk nasional bruto mereka, maka biaya keuangan yang dikeluarkan oleh Soviet selama Perang Dingin jauh lebih besar daripada yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat.[297]

Selain hilangnya nyawa warga sipil oleh para tentara tak berseragam, jutaan jiwa juga tewas dalam perang proksi antar kedua negara adidaya di berbagai belahan dunia, terutama di Asia Tenggara.[298] Sebagian besar perang proksi dan bantuan untuk konflik-konflik lokal turut berakhir seiring dengan usainya Perang Dingin. Perang antar-negara, perang etnis, perang revolusi, serta jumlah pengungsi menurun tajam pada tahun-tahun pasca-Perang Dingin.[299]

Di sisi lain, konflik-konflik antar-negara di Dunia Ketiga tidak sepenuhnya terhapus pasca-Perang Dingin. Ketegangan ekonomi dan sosial yang dulu dimanfaatkan sebagai "bahan bakar" Perang Dingin terus berlangsung di Dunia Ketiga.[15] Kegagalan kontrol negara di sejumlah wilayah yang dulunya dikuasai oleh pemerintah komunis telah menghasilkan konflik sipil dan etnis baru, terutama di negara-negara bekas Yugoslavia.[15] Berakhirnya Perang Dingin telah menghantarkan Eropa Timur pada era pertumbuhan ekonomi dan peningkatan jumlah negara demokrasi liberal, sedangkan di bagian lain dunia, seperti di Afganistan, kemerdekaan diikuti dengan kegagalan negara.[15]

Historiografi

Setelah istilah "Perang Dingin" dipopulerkan untuk merujuk pada ketegangan antara AS-Soviet pasca-Perang Dunia II, penafsiran terhadap asal usul konflik telah menjadi sumber perdebatan di kalangan sejarawan, ilmuwan politik, dan jurnalis.[300] Secara khusus, sejarawan tidak sepakat mengenai siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan hubungan Soviet-AS setelah Perang Dunia II, dan apakah konflik antara dua adidaya tersebut tak terelakkan atau bisa dihindari.[301] Para sejarawan juga tidak sepakat mengenai apa defenisi persisnya Perang Dingin itu, apa-apa saja yang menjadi sumber-sumber konfliknya, dan bagaimana untuk menguraikan pola aksi dan reaksi antara kedua belah pihak.[15]

Meskipun penjelasan tentang asal usul dari konflik Perang Dingin dalam diskusi akademik berlangsung dengan kompleks dan beragam, beberapa sekolah umum menetapkan pemikiran pada subjek yang dapat diidentifikasi. Sejarawan umumnya berpendapat bahwa terdapat tiga pendekatan yang berbeda untuk mempelajari Perang Dingin, yaitu: pendekatan "ortodoks", "revisionisme", dan "pasca-revisionisme".[294]

Pendekatan "ortodoks" menyatakan bahwa Uni Soviet dan ekspansinya ke Eropa Timur lah yang memicu berkobarnya Perang Dingin.[294] Kalangan "revisionis" menganggap bahwa Amerika Serikat bertanggung jawab atas kerusakan perdamaian pasca-Perang Dunia II karena berupaya untuk mengkonfrontasi dan mengisolasi Uni Soviet sebelum akhir Perang Dunia II.[294] Sedangkan "pasca-revisionis" memandang Perang Dingin sebagai peristiwa yang lebih bernuansa, dan berusaha untuk lebih menyeimbangkan mengenai siapa pihak yang bertanggung jawab dalam Perang Dingin.[294] Kebanyakan historiografi mengenai Perang Dingin menggunakan dua atau keseluruhan pendekatan ini.[35]

Lihat juga

Catatan kaki

  1. ^ Sempa, Francis (12 July 2017). Geopolitics: From the Cold War to the 21st Century. Routledge. ISBN 978-1-351-51768-3. 
  2. ^ G. Jones 2014, hlm. 176–179.
  3. ^ Orwell, "You and the Atomic Bomb[pranala nonaktif permanen]", Tribune October 19, 1945
  4. ^ Orwell, George, The Observer, March 10, 1946
  5. ^ Gaddis 2005, hlm. 54
  6. ^ Safire, William (October 1, 2006). "Islamofascism Anyone?". The New York Times. The New York Times Company. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-10-22. Diakses tanggal December 25, 2008. 
  7. ^ 'Bernard Baruch coins the term "Cold War"', history.com, April 16, 1947. Retrieved on July 2, 2008.
  8. ^ Strobe Talbott: The Great Experiment: The Story of Ancient Empires, Modern States, and the Quest for a Global Nation (2009) p.441 n.3; Lippmann's own book is Lippmann, Walter (1947). The Cold War. Harper. Diakses tanggal September 2, 2008. 
  9. ^ a b Gaddis 1990, hlm. 57
  10. ^ "Asal Usul Istilah Perang Dingin". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. Diakses tanggal 2020-08-26. 
  11. ^ Lee 1999, hlm. 57
  12. ^ Palmieri 1989, hlm. 62
  13. ^ Tucker 1992, hlm. 46
  14. ^ Tucker 1992, hlm. 47–8
  15. ^ a b c d e f g Halliday 2001, hlm. 2e
  16. ^ Tucker 1992, hlm. 74
  17. ^ Tucker 1992, hlm. 75
  18. ^ Tucker 1992, hlm. 98
  19. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p LaFeber 1991, hlm. 194–197
  20. ^ Tim Tzouliadis (2008). The Forsaken. The Penguin Press. ISBN 978-1-59420-168-4. 
  21. ^ George C. Herring Jr., Aid to Russia, 1941–1946: Strategy, Diplomacy, the Origins of the Cold War (Columbia University Press, 1973).
  22. ^ Gaddis 1990, hlm. 151–153
  23. ^ a b c Gaddis 2005, hlm. 13–23
  24. ^ Gaddis 1990, hlm. 156
  25. ^ Gaddis 2005, hlm. 7
  26. ^ "Leaders mourn Soviet wartime dead", BBC News, May 9, 2005. Retrieved on July 2, 2008.
  27. ^ Gaddis 1990, hlm. 176
  28. ^ a b Plokhy 2010
  29. ^ a b Gaddis 2005, hlm. 21
  30. ^ Zubok 1996, hlm. 94
  31. ^ Gaddis 2005, hlm. 22
  32. ^ Bourantonis 1996, hlm. 130
  33. ^ Garthoff 1994, hlm. 401
  34. ^ "Konferensi Potsdam: Bagi Jatah Pemenang & Lahirnya Perang Dingin". tirto.id. Diakses tanggal 2020-08-26. 
  35. ^ a b c d e f g h i Byrd, Peter (2003). "Cold War (entire chapter)". Dalam McLean, Iain; McMillan, Alistair. The concise Oxford dictionary of politics. Oxford University Press. ISBN 0-19-280276-3. Diakses tanggal June 16, 2008. 
  36. ^ Alan Wood, p. 62
  37. ^ a b Gaddis 2005, hlm. 25–26
  38. ^ LaFeber 2002, hlm. 28
  39. ^ a b c Wettig 2008, hlm. 21
  40. ^ a b c Senn, Alfred Erich, Lithuania 1940: revolution from above, Amsterdam, New York, Rodopi, 2007 ISBN 978-90-420-2225-6
  41. ^ Roberts 2006, hlm. 43
  42. ^ Roberts 2006, hlm. 55
  43. ^ Shirer 1990, hlm. 794
  44. ^ a b Schmitz, David F. (1999). "Cold War (1945–91): Causes [entire chapter]". Dalam Whiteclay Chambers, John. The Oxford Companion to American Military History. Oxford University Press. ISBN 0-19-507198-0. Diakses tanggal June 16, 2008. [pranala nonaktif permanen]
  45. ^ Wettig 2008, hlm. 96–100
  46. ^ van Dijk, Ruud, Encyclopedia of the Cold War, Volume 1, p. 200. Taylor & Francis, 2008. ISBN 0-415-97515-8
  47. ^ Grenville 2005, hlm. 370–71
  48. ^ Cook 2001, hlm. 17
  49. ^ Roht-Arriaza 1995, hlm. 83
  50. ^ Gaddis 2005, hlm. 40
  51. ^ a b c Gaddis 2005, hlm. 34
  52. ^ Gaddis 2005, hlm. 100
  53. ^ a b Fenton, Ben. "The secret strategy to launch attack on Red Army", telegraph.co.uk, October 1, 1998. Retrieved July 23, 2008.
  54. ^ British War Cabinet, Joint Planning Staff, Public Record Office, CAB 120/691/109040 / 002 (August 11, 1945). "Operation Unthinkable: 'Russia: Threat to Western Civilization'". Department of History, Northeastern University. Diarsipkan dari versi asli (online photocopy) tanggal 2008-07-06. Diakses tanggal June 28, 2008. 
  55. ^ Schecter 2003, hlm. 152–154
  56. ^ Kydd 2005, hlm. 107
  57. ^ Gaddis 2005, hlm. 30
  58. ^ Morgan, Curtis F. "Southern Partnership: James F. Byrnes, Lucius D. Clay and Germany, 1945–1947". James F. Byrnes Institute. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-07-05. Diakses tanggal June 9, 2008. 
  59. ^ Gaddis 2005, hlm. 94
  60. ^ Harriman, Pamela C. (Winter 1987–1988). "Churchill and...Politics: The True Meaning of the Iron Curtain Speech". Winston Churchill Centre. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-10-15. Diakses tanggal June 22, 2008. 
  61. ^ Van Dijk, Rudd. The 1952 Stalin Note Debate: Myth or Missed Opportunity for German Reunification? Diarsipkan 2019-05-02 di Wayback Machine. Woodrow Wilson International Center for Scholars. Cold War International History Project, Working Paper 14, May 1996.
  62. ^ "Cominform(Kantor Informasi Partai Buruh Partai Komunis) (Politik) - Mimir Kamus". mimirbook.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-03-18. Diakses tanggal 2020-08-26. 
  63. ^ a b c Gaddis 2005, hlm. 32
  64. ^ Gaddis 2005, hlm. 27
  65. ^ a b Gaddis 2005, hlm. 28–29
  66. ^ Gaddis 2005, hlm. 38
  67. ^ Hahn 1993, hlm. 6
  68. ^ Higgs 2006, hlm. 137
  69. ^ Moschonas & Elliott 2002, hlm. 21
  70. ^ Andrew, Christopher (2000). The Sword and the Shield: The Mitrokhin Archive and the Secret History of the KGB. Basic Books. hlm. 276. 
  71. ^ Crocker, Hampson & Aall 2007, hlm. 55
  72. ^ a b Miller 2000, hlm. 16
  73. ^ Gaddis 1990, hlm. 186
  74. ^ "Pas de Pagaille!". Time. July 28, 1947. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-08-28. Diakses tanggal May 28, 2008. 
  75. ^ a b c d e f g h i j k l Karabell 1999, hlm. 916
  76. ^ Gaddis 2005, hlm. 105–106
  77. ^ Wettig 2008, hlm. 86
  78. ^ Patterson 1997, hlm. 132
  79. ^ Miller 2000, hlm. 19
  80. ^ Gaddis 2005, hlm. 162
  81. ^ Cowley 1996, hlm. 157
  82. ^ a b Miller 2000, hlm. 13
  83. ^ a b Miller 2000, hlm. 18
  84. ^ Miller 2000, hlm. 31
  85. ^ Gaddis 2005, hlm. 33
  86. ^ Miller 2000, hlm. 65–70
  87. ^ Turner, Henry Ashby, The Two Germanies Since 1945: East and West, Yale University Press, 1987, ISBN 0-300-03865-8, page 29
  88. ^ Fritsch-Bournazel, Renata, Confronting the German Question: Germans on the East-West Divide, Berg Publishers, 1990, ISBN 0-85496-684-6, page 143
  89. ^ Miller 2000, hlm. 26
  90. ^ Miller 2000, hlm. 180–81
  91. ^ Turner 1987, hlm. 23
  92. ^ "Trizonia". Encyclopædia Britannica. 2011. Diakses tanggal May 7, 2011. 
  93. ^ O'Neil, Patrick (1997). Post-communism and the Media in Eastern Europe. Routledge. hlm. 15–25. ISBN 0-7146-4765-9. 
  94. ^ James Wood, p. 111
  95. ^ Puddington 2003, hlm. 131
  96. ^ a b Puddington 2003, hlm. 9
  97. ^ a b Puddington 2003, hlm. 7
  98. ^ Puddington 2003, hlm. 10
  99. ^ Cummings, Richard H. (2010). Radio free Europe's "Crusade for freedom" : rallying Americans behind Cold War broadcasting, 1950-1960. Jefferson, N.C.: McFarland & Co. ISBN 9780786444106. 
  100. ^ Gaddis 2005, hlm. 105
  101. ^ Gaddis 2005, hlm. 39
  102. ^ Gaddis 2005, hlm. 164
  103. ^ a b c Gaddis 2005, hlm. 212
  104. ^ Stokesbury, James L (1990). A Short History of the Korean War. New York: Harper Perennial. hlm. 14. ISBN 0-688-09513-5. 
  105. ^ David Dallin, Soviet Foreign Policy After Stalin (J. B. Lippincott, 1961), p60.
  106. ^ Douglas J. Macdonald, “Communist Bloc Expansion in the Early Cold War,” International Security, Winter 1995-6, p180.
  107. ^ John Lewis Gaddis, We Know Now: Rethinking Cold War History (Oxford University Press, 1997), p71.
  108. ^ Sergei N. Goncharov, John W. Lewis and Xue Litai, Uncertain Partners: Stalin, Mao and the Korean War (Stanford University Press, 1993), p213
  109. ^ William Stueck, The Korean War: An International History (Princeton University Press, 1995), p69.
  110. ^ Malkasian 2001, hlm. 16
  111. ^ Fehrenbach, T. R., This Kind of War: The Classic Korean War History, Brasseys, 2001, ISBN 1-57488-334-8, page 305
  112. ^ Isby & Kamps 1985, hlm. 13–14
  113. ^ Cotton, James (1989). The Korean war in history. Manchester University Press ND. hlm. 100. ISBN 0-7190-2984-8. 
  114. ^ Oberdorfer, Don, The Two Koreas: A Contemporary History, Basic Books, 2001, ISBN 0-465-05162-6, page 10-11
  115. ^ No, Kum-Sok and J. Roger Osterholm, A MiG-15 to Freedom: Memoir of the Wartime North Korean Defector who First Delivered the Secret Fighter Jet to the Americans in 1953, McFarland, 1996, ISBN 0-7864-0210-5
  116. ^ Hastings, Max (1988). The Korean War. New York: Simon & Schuster. hlm. 89–90. ISBN 0-671-66834-X. 
  117. ^ Karabell, p. 916
  118. ^ Gaddis 2005, hlm. 107
  119. ^ "We Will Bury You! Diarsipkan 2013-08-24 di Wayback Machine.", Time magazine, November 26, 1956. Retrieved June 26, 2008.
  120. ^ Gaddis 2005, hlm. 84
  121. ^ Tompson 1997, hlm. 237–239
  122. ^ a b c d Palmowski
  123. ^ Feldbrugge, p. 818
  124. ^ "Soviet troops overrun Hungary". BBC News. November 4, 1956. Diakses tanggal June 11, 2008. 
  125. ^ Video: Revolt in Hungary Diarsipkan 2009-08-26 di Wayback Machine. Narrator: Walter Cronkite, producer: CBS (1956) – Fonds 306, Audiovisual Materials Relating to the 1956 Hungarian Revolution, OSA Archivum, Budapest, Hungary ID number: HU OSA 306-0-1:40
  126. ^ UN General Assembly Special Committee on the Problem of Hungary (1957) Chapter IV. E (Logistical deployment of new Soviet troops), para 181 (p. 56)PDF (1.47 MB)
  127. ^ "Report by Soviet Deputy Interior Minister M. N. Holodkov to Interior Minister N. P. Dudorov (15 November 1956)" (PDF). The 1956 Hungarian Revolution, A History in Documents. George Washington University: The National Security Archive. November 4, 2002. Diakses tanggal September 2, 2006. 
  128. ^ Cseresnyés, Ferenc (Summer 1999). "The '56 Exodus to Austria". The Hungarian Quarterly. Society of the Hungarian Quarterly. XL (154): 86–101. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2004-11-27. Diakses tanggal October 9, 2006. 
  129. ^ "On This Day June 16, 1989: Hungary reburies fallen hero Imre Nagy" British Broadcasting Corporation (BBC) reports on Nagy reburial with full honors. Retrieved October 13, 2006.
  130. ^ Gaddis 2005, hlm. 70
  131. ^ Perlmutter 1997, hlm. 145
  132. ^ Njolstad 2004, hlm. 136
  133. ^ Breslauer, p. 72
  134. ^ a b Lendvai, Paul (2008). One day that shook the Communist world: the 1956 Hungarian uprising and its legacy. Princeton University Press. hlm. 196. ISBN 0-691-13282-8. 
  135. ^ Gaddis 2005, hlm. 71
  136. ^ Glees, pp. 126–27
  137. ^ Cameron, p. 156
  138. ^ Gaddis 2005, hlm. 121–124
  139. ^ Edelheit, p. 382
  140. ^ Towle, Philip (2000). "Cold War". Dalam Charles Townshend. The Oxford History of Modern War. New York, USA: Oxford University Press. hlm. 160. ISBN 0-19-285373-2. Diakses tanggal August 12, 2011. 
  141. ^ Mark J. Gasiorowski and Malcolm Byrne Mohammad Mosaddegh and the 1953 Coup in Iran, Syracuse University Press, May 2004. ISBN 0-8156-3018-2, p. 125.
  142. ^ James S. Lay, Jr. (November 20, 1952). "United States policy regarding the current situation in Iran" (PDF). George Washington University. Diakses tanggal November 7, 2007.  Statement of policy proposed by the National Security Council
  143. ^ Walter B. Smith, Undersecretary (March 20, 1953). "First Progress Report on Paragraph 5-1 of NSC 136/1, "U.S. Policy Regarding the Current Situation in Iran"" (PDF). George Washington University. Diakses tanggal November 7, 2007. 
  144. ^ "Measures which the United States Government Might Take in Support of a Successor Government to Mosaddegh" (PDF). George Washington University. 1953. Diakses tanggal November 7, 2007. 
  145. ^ Watson, Cynthia A. (2002). U.S. National Security: A Reference Handbook. Santa Barbara, California: ABL-CLIO. hlm. 118. ISBN 978-1-57607-598-2. 
  146. ^ Stone, The Atlantic and Its Enemies (2010) pp 199, 256
  147. ^ Bulmer-Thomas, V. (1987). The Political Economy of Central America since 1920. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 142. ISBN 978-0-521-34284-1. 
  148. ^ "Pilot CIA Ditembak Jatuh di Ambon". 
  149. ^ Roadnight, Andrew (2002). United States Policy towards Indonesia in the Truman and Eisenhower Years. New York: Palgrave Macmillan. ISBN 0-333-79315-3. 
  150. ^ Coughlin, Con (2005). Saddam: His Rise and Fall. Harper Perennial. hlm. 25–26. ISBN 0-06-050543-5. 
  151. ^ Coughlin, Con (2005). Saddam: His Rise and Fall. Harper Perennial. hlm. 24–25. ISBN 0-06-050543-5. 
  152. ^ Lesch, David W. The Middle East and the United States Third Edition: A Historical and Political Reassessment. Boulder: Westview Press, 2003. page 173.
  153. ^ Coughlin, Con (2005). Saddam: His Rise and Fall. Harper Perennial. hlm. 27. ISBN 0-06-050543-5. 
  154. ^ Senate Select Committee on Intelligence (20 November 1975). "C. Institutionalizing Assassination: the "Executive Action" capability". Alleged Assassination Plots involving Foreign Leaders. hlm. 181. 
  155. ^ Mauro, Ryan, "Interview with Ali Ibrahim al-Tikriti," Diarsipkan 2012-10-16 di Wayback Machine. Global Politician, 14 February 2006. The former Ba'athist general claims: "The Soviet Union openly supported and backed the Ba'athist revolution in Iraq at the time and I am sure you can find news articles about it in European press agencies and others at the time. I was there helping with the revolution and worked on two occasions with Soviet KGB officials to help train us, much like the United States did with the Taliban during the Soviet campaign in Afghanistan."
  156. ^ Coughlin, Con (2005). Saddam: His Rise and Fall. Harper Perennial. hlm. 52. ISBN 0-06-050543-5. 
  157. ^ a b Schraeder, Peter J. (1994). United States Foreign Policy Toward Africa: Incrementalism, Crisis, and Change. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 57. ISBN 978-0-521-46677-6. [pranala nonaktif permanen]
  158. ^ Rose, Euclid A. (2002). Dependency and Socialism in the Modern Caribbean: Superpower Intervention in Guyana, Jamaica, and Grenada, 1970–1985. Lanham: Lexington Books. hlm. 57. ISBN 978-0-7391-0448-4. 
  159. ^ a b Mars, Perry & Alma H. Young (2004). Caribbean Labor and Politics: Legacies of Cheddi Jagan and Michael Manley. Detroit: Wayne State University Press. p. xviii. ISBN 978-0-8143-3211-5.
  160. ^ Palmer, Colin A. (2010). Cheddi Jagan and the Politics of Power: British Guiana's Struggle for Independence. Chapel Hill: University of North Carolina Press. hlm. 247–248. ISBN 978-0-8078-3416-9. 
  161. ^ Gaddis 2005, hlm. 126
  162. ^ a b Gaddis 2005, hlm. 142
  163. ^ Kempe, Frederick (2011). Berlin 1961. Penguin Group (USA). hlm. 42. ISBN 0-399-15729-8. 
  164. ^ Lüthi, pp. 273–276
  165. ^ Gaddis 2005, hlm. 140–142
  166. ^ Lackey, p. 49
  167. ^ "Sputnik satellite blasts into space". BBC News. October 4, 1957. Diakses tanggal June 11, 2008. 
  168. ^ Klesius, Michael (December 19, 2008). "To Boldly Go". Air & Space. Diakses tanggal January 7, 2009. 
  169. ^ Blumberg, Arnold (1995). Great Leaders, Great Tyrants?: Contemporary Views of World Rulers Who Made History. Westport, Connecticut: Greenwood Press. hlm. 23–24. ISBN 978-0-313-28751-0. 
  170. ^ Lechuga Hevia, Carlos (2001). Cuba and the Missile Crisis. Melbourne, Australia: Ocean Press. hlm. 142. ISBN 978-1-876175-34-4. 
  171. ^ a b c Smith, Joseph (1998). The Cold War 1945–1991. Oxford: Blackwell. hlm. 95. ISBN 978-0-631-19138-4. 
  172. ^ Dominguez 1989, hlm. 22
  173. ^ Dowty 1989, hlm. 114
  174. ^ Harrison 2003, hlm. 99
  175. ^ Dowty 1989, hlm. 122
  176. ^ Gaddis 2005, hlm. 114
  177. ^ Pearson 1998, hlm. 75
  178. ^ a b Zubok, Vladislav M. (1994). "Unwrapping the Enigma: What Was Behind the Soviet Challenge in the 1960s?". In Diane B. Kunz (Ed.), The Diplomacy of the Crucial Decade: American Foreign Relations During the 1960s. New York: Columbia University Press. p. 158-159. ISBN 978-0-231-08177-1.
  179. ^ Jones, Howard (2009). Crucible of Power: A History of American Foreign Relations from 1945. Lanham: Rowman & Littlefield. hlm. 122. ISBN 978-0-7425-6454-1. 
  180. ^ Gaddis 2005, hlm. 82
  181. ^ Gaddis 2005, hlm. 80
  182. ^ National Research Council Committee on Antarctic Policy and Science, p. 33
  183. ^ a b c Gaddis 2005, hlm. 119–120
  184. ^ Hardt & Kaufman 1995, hlm. 16
  185. ^ Menon, Anand (2000). France, NATO, and the limits of independence, 1981–97: the politics of ambivalence. Palgrave Macmillan. hlm. 11. ISBN 0-312-22931-3. 
  186. ^ Crawley p.431
  187. ^ Ello (ed.), Paul (April 1968). Control Committee of the Communist Party of Czechoslovakia, "Action Plan of the Communist Party of Czechoslovakia (Prague, April 1968)" in Dubcek’s Blueprint for Freedom: His original documents leading to the invasion of Czechoslovakia. William Kimber & Co. 1968, pp 32, 54
  188. ^ Von Geldern, James; Siegelbaum, Lewis. "The Soviet-led Intervention in Czechoslovakia". Soviethistory.org. Diakses tanggal March 7, 2008. 
  189. ^ a b Gaddis 2005, hlm. 150
  190. ^ "Russia brings winter to Prague Spring". BBC News. August 21, 1968. Diakses tanggal June 10, 2008. 
  191. ^ Čulík, Jan. "Den, kdy tanky zlikvidovaly české sny Pražského jara". Britské Listy. Diakses tanggal January 23, 2008. 
  192. ^ a b Gaddis 2005, hlm. 154
  193. ^ Gaddis 2005, hlm. 153
  194. ^ a b Itzigsohn, José (2000). Developing Poverty: The State, Labor Market Deregulation, and the Informal Economy in Costa Rica and the Dominican Republic. University Park, Pennsylvania: Penn State University Press. hlm. 41–42. ISBN 978-0-271-02028-0. 
  195. ^ Farid, Hilmar (2007). "Mass Killings and Capitalist Expansion, 1965–1966". In Kuan-Hsing Chen & Chua Beng Huat (Ed.), [The Inter-Asia Cultural Studies Reader]. London: Routledge. pp. 207–222. ISBN 0-415-43134-4.
  196. ^ Qiang Zhai, China and the Vietnam Wars, 1950-1975 (University of North Carolina Press, 2000), p135; Gen. Oleg Sarin and Col. Lev Dvoretsky, Alien Wars: The Soviet Union’s Aggressions Against the World, 1919 to 1989 (Presidio Press, 1996), pp93-4.
  197. ^ "Profile of Salvador Allende". BBC. BBC. September 8, 2003. Diakses tanggal January 25, 2011. 
  198. ^ McSherry, p. /ref> Sebagai respon, Soviet mempersiapkan pemasangan rudal nuklirnya di Kuba.13
  199. ^ Mars, Perry & Alma H. Young (2004). Caribbean Labor and Politics: Legacies of Cheddi Jagan and Michael Manley. Detroit: Wayne State University Press. p. xvi. ISBN 978-0-8143-3211-5.
  200. ^ Stone, p. 230
  201. ^ a b Grenville, J.A.S. & Bernard Wasserstein (1987). Treaties of the Twentieth Century: A History and Guide with Texts, Volume 2. London and New York: Methuen. ISBN 978-0-416-38080-4.
  202. ^ Kumaraswamy, p. 127
  203. ^ Friedman, p. 330
  204. ^ Hitchens, Christopher, "The Ugly Truth About Gerald Ford", Slate, December 29, 2006.
  205. ^ a b c d Erlich, Reese (2008). Dateline Havana: The Real Story of U.S. Policy and the Future of Cuba. Sausalito, California: PoliPoint Press. hlm. 84–86. ISBN 978-0-9815769-7-8. 
  206. ^ Doyle, Randall Jordan (2007). America and China: Asia-Pacific Rim Hegemony in the Twenty-First Century. Lanham: Lexington Books. hlm. 119. ISBN 978-0-7391-1702-6. 
  207. ^ Dmitry Mosyakov, "The Khmer Rouge and the Vietnamese Communists: A History of Their Relations as Told in the Soviet Archives," in Susan E. Cook, ed., Genocide in Cambodia and Rwanda (Yale Genocide Studies Program Monograph Series No. 1, 2004), p54ff. Can be accessed at: www.yale.edu/gsp/publications/Mosyakov.doc "In April–May 1970, many North Vietnamese forces entered Cambodia in response to the call for help addressed to Vietnam not by Pol Pot, but by his deputy Nuon Chea. Nguyen Co Thach recalls: “Nuon Chea has asked for help and we have liberated five provinces of Cambodia in ten days.”"
  208. ^ Chandler, David 2000, Brother Number One: A Political Biography of Pol Pot, Revised Edition, Chiang Mai, Thailand: Silkworm Books, pp. 96-7.
  209. ^ Heuveline, Patrick (2001). "The Demographic Analysis of Mortality in Cambodia." In Forced Migration and Mortality, eds. Holly E. Reed and Charles B. Keely. Washington, D.C.: National Academy Press. Heuveline suggests that a range of 1.17-3.42 million people were killed.
  210. ^ Marek Sliwinski, Le Génocide Khmer Rouge: Une Analyse Démographique (L'Harmattan, 1995).
  211. ^ Banister, Judith, and Paige Johnson (1993). "After the Nightmare: The Population of Cambodia." In Genocide and Democracy in Cambodia: The Khmer Rouge, the United Nations and the International Community, ed. Ben Kiernan. New Haven, Conn.: Yale University Southeast Asia Studies.
  212. ^ Theory of the Global State: Globality as Unfinished Revolution by Martin Shaw, Cambridge University Press, 2000, pp 141, ISBN 978-0-521-59730-2
  213. ^ Dallek, Robert (2007), p. 144.
  214. ^ Gaddis 2005, hlm. 149–152
  215. ^ Buchanan, pp. 168–169
  216. ^ a b "President Nixon arrives in Moscow". BBC News. May 22, 1972. Diakses tanggal June 10, 2008. 
  217. ^ "The President". Richard Nixon Presidential Library. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-10-12. Diakses tanggal March 27, 2009. 
  218. ^ Gaddis 2005, hlm. 188
  219. ^ Gaddis 2005, hlm. 186
  220. ^ Gaddis 2005, hlm. 178
  221. ^ "Leaders agree arms reduction treaty". BBC News. June 18, 2008. Diakses tanggal June 10, 2008. 
  222. ^ Christopher Andrew and Vasili Mitrokhin, The KGB and the World: The Mitrokhin Archive II (Penguin, 2006), pp41, 120-1.
  223. ^ John P. Diggins (2007). Ronald Reagan: Fate, Freedom, And the Making of History. W. W. Norton. hlm. 267. 
  224. ^ Michael Cox (1990). Beyond the Cold War: Superpowers at the Crossroads. University Press of America. hlm. 18. 
  225. ^ Hussain 2005, hlm. 108-109
  226. ^ Meher 2004, hlm. 68-69, 94
  227. ^ Kalinovsky 2011, hlm. 25-28
  228. ^ Gaddis 2005, hlm. 211
  229. ^ Allen, Richard V. "The Man Who Won the Cold War". Hoover.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-28. Diakses tanggal November 3, 2011. 
  230. ^ Gaddis 2005, hlm. 189
  231. ^ a b Gaddis 2005, hlm. 197
  232. ^ Gerges, Fawaz A. (1999). America and Political Islam: Clash of Cultures or Clash of Interests?. Cambridge: Cambridge University Press. p. 72. ISBN 978-0-521-63957-6.
  233. ^ a b Beinin, Joel & Joe Stork (1997). "On the Modernity, Historical Specificity, and International Context of Political Islam". In Joel Beinin & Joe Stork (Eds.), Political Islam: Essays from the Middle East Report. Berkeley: University of California Press. p. 11. ISBN 978-0-520-20448-5.
  234. ^ Graebner Norman A., Richard Dean Burns & Joseph M. Siracusa (2008). Reagan, Bush, Gorbachev: Revisiting the End of the Cold War. Westport, Connecticut: Greenwood Press. p. 76. ISBN 978-0-313-35241-6.
  235. ^ a b Singh, Bilveer (1995). "Jemaah Islamiyah". In Wilson John & Swati Parashar (Eds.) Terrorism in Southeast Asia: Implications for South Asia. Singapore and Delhi: ORF-Pearson-Longman. p. 130. ISBN 978-81-297-0998-1.
  236. ^ Henze, p. 171
  237. ^ a b Gaddis 2005, hlm. 219–222
  238. ^ a b LaFeber 2002, hlm. 332
  239. ^ Towle, Philip. The Oxford History of Modern War. hlm. 159. 
  240. ^ LaFeber 2002, hlm. 335
  241. ^ Odom 2000, hlm. 1
  242. ^ LaFeber 2002, hlm. 340
  243. ^ Carliner, Geoffrey (1991). Politics and economics in the eighties: edited by Alberto Alesina and Geoffrey Carliner. University of Chicago Press. hlm. 6. ISBN 0-226-01281-6. 
  244. ^ Feeney, Mark (March 29, 2006). "Caspar W. Weinberger, 88; Architect of Massive Pentagon Buildup". The Boston Globe. Encyclopedia.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-08-17. Diakses tanggal June 21, 2008. 
  245. ^ "LGM-118A Peacekeeper". Federation of American Scientists. August 15, 2000. Diakses tanggal April 10, 2007. 
  246. ^ Lakoff, p. 263
  247. ^ Gaddis 2005, hlm. 202
  248. ^ Garthoff, p. 88
  249. ^ Lebow, Richard Ned and Janice Gross Stein (February 1994). "Reagan and the Russians". The Atlantic. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-12-04. Diakses tanggal May 28, 2010. 
  250. ^ a b c Gaidar 2007 pp. 190–205
  251. ^ Gaidar, Yegor. "Public Expectations and Trust towards the Government: Post-Revolution Stabilization and its Discontents". The Institute for the Economy in Transition. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-10-01. Diakses tanggal March 15, 2008. 
  252. ^ "Official Energy Statistics of the US Government", EIA — International Energy Data and Analysis. Retrieved on July 4, 2008.
  253. ^ Hardt & Kaufman 1995, hlm. 1
  254. ^ Talbott, Strobe; Hannifin, Jerry; Magnuson, Ed; Doerner, William R.; Kane, Joseph J. (September 12, 1983). "Atrocity in the skies". Time. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-06-12. Diakses tanggal June 8, 2008. 
  255. ^ Gaddis 2005, hlm. 228
  256. ^ a b LaFeber 2002, hlm. 323
  257. ^ Reagan, Ronald (1991). Foner, Eric; Garraty, John Arthur, ed. The Reader's companion to American history. Houghton Mifflin Books. ISBN 0-395-51372-3. Diakses tanggal June 16, 2008. 
  258. ^ a b LaFeber 2002, hlm. 314
  259. ^ Gaddis 2005, hlm. 292
  260. ^ Dobrynin 2001, hlm. 438–439
  261. ^ Maynes 1980, hlm. 1–2
  262. ^ a b LaFeber 2002, hlm. 331–333
  263. ^ a b Gaddis 2005, hlm. 231–233
  264. ^ LaFeber 2002, hlm. 300–340
  265. ^ Gibbs 1999, hlm. 7
  266. ^ Gibbs 1999, hlm. 33
  267. ^ Gibbs 1999, hlm. 61
  268. ^ a b Gaddis 2005, hlm. 229–230
  269. ^ 1985: "Superpowers aim for 'safer world'", BBC News, November 21, 1985. Retrieved on July 4, 2008.
  270. ^ "Toward the Summit; Previous Reagan-Gorbachev Summits". The New York Times. May 29, 1988. Diakses tanggal June 21, 2008. 
  271. ^ "Intermediate-Range Nuclear Forces". Federation of American Scientists. Diakses tanggal June 21, 2008. 
  272. ^ Gaddis 2005, hlm. 255
  273. ^ a b Shearman 1995, hlm. 76
  274. ^ a b Gaddis 2005, hlm. 248
  275. ^ a b Gaddis 2005, hlm. 235–236
  276. ^ Shearman 1995, hlm. 74
  277. ^ "Address given by Mikhail Gorbachev to the Council of Europe". Centre Virtuel de la Connaissance sur l'Europe. July 6, 1989. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-27. Diakses tanggal February 11, 2007. 
  278. ^ Malta summit ends Cold War, BBC News, December 3, 1989. Retrieved June 11, 2008.
  279. ^ Goodby, p. 26
  280. ^ Sakwa 1999, hlm. 460
  281. ^ Gaddis 2005, hlm. 253
  282. ^ Lefeber, Fitzmaurice & Vierdag 1991, hlm. 221
  283. ^ Gaddis 2005, hlm. 247
  284. ^ Goldgeier, p. 27
  285. ^ Soviet Leaders Recall ‘Inevitable’ Breakup Of Soviet Union, Radio Free Europe/Radio Liberty, December 8, 2006. Retrieved May 20, 2008.
  286. ^ Gaddis 2005, hlm. 256–257
  287. ^ Åslund, p. 49
  288. ^ Nolan, pp. 17–18
  289. ^ Country profile: United States of America. BBC News. Retrieved March 11, 2007
  290. ^ Nye, p. 157
  291. ^ Blum 2006, hlm. 87
  292. ^ a b "U.S. Military Deployment 1969 to the present". http://www.pbs.org. October 26, 2004. Diakses tanggal November 30, 2010.  Hapus pranala luar di parameter |publisher= (bantuan)
  293. ^ Duke, Simón (1989). United States military forces and installations in Europe. Oxford University Press. hlm. 175. ISBN 0-19-829132-9. 
  294. ^ a b c d e Calhoun, Craig (2002). "Cold War (entire chapter)". Dictionary of the Social Sciences. Oxford University Press. ISBN 0-19-512371-9. Diakses tanggal June 16, 2008. [pranala nonaktif permanen]
  295. ^ Pavelec, Sterling Michael (2009). The Military-Industrial Complex and American Society. ABC-CLIO. hlm. xv–xvi. ISBN 1-59884-187-4. 
  296. ^ LaFeber 2002, hlm. 1
  297. ^ Gaddis 2005, hlm. 213
  298. ^ Gaddis 2005, hlm. 266
  299. ^ Monty G. Marshall and Ted Gurr, Peace and Conflict 2005 Diarsipkan 2008-06-24 di Wayback Machine. (PDF), Center for Systemic Peace (2006). Retrieved June 14, 2008.
  300. ^ Nashel, Jonathan (1999). "Cold War (1945–91): Changing Interpretations (entire chapter)". Dalam Whiteclay Chambers, John. The Oxford Companion to American Military History. Oxford University Press. ISBN 0-19-507198-0. Diakses tanggal June 16, 2008. [pranala nonaktif permanen]
  301. ^ Brinkley, pp. 798–799

Referensi dan bacaan lanjutan

Historiografi dan memori

  • Hopkins, Michael F. "Continuing Debate and New Approaches in Cold War History," Historical Journal, Dec 2007, Vol. 50 Issue 4, pp 913–934,
  • Isaac, Joel, and Duncan Bell, eds. Uncertain Empire: American History and the Idea of the Cold War (2012) excerpt and text search
  • Johnston, Gordon. "Revisiting the cultural Cold War," Social History, Aug 2010, Vol. 35 Issue 3, pp 290–307
  • Nuti, Leopoldo, et al., eds. Europe and the End of the Cold War: A Reappraisal (2012) excerpt and text search
  • Wiener, Jon. How We Forgot the Cold War: A Historical Journey across America (2012) excerpt and text search

Sumber primer

Pranala luar

Arsip
Bibliografi
Berita
Sumber edukasional


Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref> untuk kelompok bernama "upper-alpha", tapi tidak ditemukan tag <references group="upper-alpha"/> yang berkaitan