Indonesia: Perbedaan antara revisi
Abdul jesen (bicara | kontrib) Tag: halaman dengan galat kutipan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Add 1 book for Wikipedia:Pemastian (20230509)) #IABot (v2.0.9.3) (GreenC bot |
||
Baris 238: | Baris 238: | ||
==== Kolonisasi singkat Britania Raya ==== |
==== Kolonisasi singkat Britania Raya ==== |
||
{{utama|Jeda kekuasaan Prancis dan Britania di Hindia Belanda#Kekuasaan Britania (1811–1816)}} |
{{utama|Jeda kekuasaan Prancis dan Britania di Hindia Belanda#Kekuasaan Britania (1811–1816)}} |
||
Sebagai akibat dari [[peperangan era Napoleon]], [[bangsa Inggris]] yang membentuk [[Persatuan Kerajaan Britania Raya dan Irlandia]] berusaha untuk merebut koloni-koloni milik bangsa Prancis di seluruh dunia, termasuk koloni [[Hindia Belanda]] yang dikuasai oleh [[Kekaisaran Prancis Pertama|Kekaisaran Prancis]] setelah kedaulatan Belanda jatuh ke tangan [[bangsa Prancis]]. Pada tahun 1809, armada [[Orang Britania|Britania]] di [[anak benua India]], yang berafiliasi dengan [[Perusahaan Hindia Timur Britania]] (EIC), berangkat menuju Hindia Belanda dengan maksud untuk merebut wilayah tersebut dari tangan Prancis dan Belanda. Setahun setelahnya, armada Britania telah menguasai wilayah [[Kepulauan Maluku]] dengan kerugian yang minimal.<ref>{{cite book|last=Fregosi|first=Paul|year=1989|title=Dreams of Empire: Napoleon and the First World War 1792-1815|publisher=Hutchinson|isbn=0-09-173926-8|author-link=Paul Fregosi}}</ref> Kemudian pada bulan Agustus 1811, [[Penyerbuan Jawa (1811)|armada Britania mulai menyerbu Pulau Jawa]] dan menduduki satu per satu pos milik pasukan Prancis dan Belanda di Jawa. Setelah perlawanan dari pasukan Belanda dan Prancis tidak membuahkan hasil, akhirnya pada tanggal 16 September, [[Jan Willem Janssens]], [[Gubernur Jenderal Hindia Belanda]] yang lari dari Batavia karena penyerbuan tersebut, akhirnya menyerahkan diri di [[Kota Salatiga|Salatiga]]. Lalu pada tanggal 18 September, pasukan Belanda melakukan [[Kapitulasi Tuntang|penyerahan kekuasaan secara resmi atas Pulau Jawa]] kepada armada Britania di [[Tuntang, Semarang|Tuntang]].<ref>{{Cite web|last=Media|first=Kompas Cyber|date=2021-08-16|title=Kapitulasi Tuntang: Latar Belakang, Isi Perjanjian, dan Dampaknya Halaman all|url=https://www.kompas.com/stori/read/2021/08/16/140000379/kapitulasi-tuntang-latar-belakang-isi-perjanjian-dan-dampaknya|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=2023-05-02}}</ref><ref>{{Cite web|title=Menyimak Kisah Sejarah Penjajahan Inggris di Indonesia|url=https://kumparan.com/sejarah-dan-sosial/menyimak-kisah-sejarah-penjajahan-inggris-di-indonesia-20H8JQI0aCC|website=kumparan|language=id-ID|access-date=2023-05-02}}</ref> Setelah itu, [[Gilbert Elliot-Murray-Kynynmound, 1st Earl of Minto|Gilbert Elliot-Murray-Kynynmound dari Minto]], yang menjabat sebagai [[Gubernur Jenderal India]] pada saat itu, menunjuk [[Thomas Stamford Raffles]] sebagai [[Gubernur Jenderal Hindia Belanda|Letnan Gubernur Jawa]].<ref>{{cite book |author1=Sir [[Thomas Stamford Raffles]] |title=The History of Java |date=1830 |publisher=J. Murray |pages=xxiii |url=https://books.google.com/books?id=oA8PAAAAYAAJ&q=history+of+java |access-date=12 August 2022}}</ref> |
Sebagai akibat dari [[peperangan era Napoleon]], [[bangsa Inggris]] yang membentuk [[Persatuan Kerajaan Britania Raya dan Irlandia]] berusaha untuk merebut koloni-koloni milik bangsa Prancis di seluruh dunia, termasuk koloni [[Hindia Belanda]] yang dikuasai oleh [[Kekaisaran Prancis Pertama|Kekaisaran Prancis]] setelah kedaulatan Belanda jatuh ke tangan [[bangsa Prancis]]. Pada tahun 1809, armada [[Orang Britania|Britania]] di [[anak benua India]], yang berafiliasi dengan [[Perusahaan Hindia Timur Britania]] (EIC), berangkat menuju Hindia Belanda dengan maksud untuk merebut wilayah tersebut dari tangan Prancis dan Belanda. Setahun setelahnya, armada Britania telah menguasai wilayah [[Kepulauan Maluku]] dengan kerugian yang minimal.<ref>{{cite book|last=Fregosi|first=Paul|year=1989|title=Dreams of Empire: Napoleon and the First World War 1792-1815|url=https://archive.org/details/dreamsofempirena0000freg|publisher=Hutchinson|isbn=0-09-173926-8|author-link=Paul Fregosi}}</ref> Kemudian pada bulan Agustus 1811, [[Penyerbuan Jawa (1811)|armada Britania mulai menyerbu Pulau Jawa]] dan menduduki satu per satu pos milik pasukan Prancis dan Belanda di Jawa. Setelah perlawanan dari pasukan Belanda dan Prancis tidak membuahkan hasil, akhirnya pada tanggal 16 September, [[Jan Willem Janssens]], [[Gubernur Jenderal Hindia Belanda]] yang lari dari Batavia karena penyerbuan tersebut, akhirnya menyerahkan diri di [[Kota Salatiga|Salatiga]]. Lalu pada tanggal 18 September, pasukan Belanda melakukan [[Kapitulasi Tuntang|penyerahan kekuasaan secara resmi atas Pulau Jawa]] kepada armada Britania di [[Tuntang, Semarang|Tuntang]].<ref>{{Cite web|last=Media|first=Kompas Cyber|date=2021-08-16|title=Kapitulasi Tuntang: Latar Belakang, Isi Perjanjian, dan Dampaknya Halaman all|url=https://www.kompas.com/stori/read/2021/08/16/140000379/kapitulasi-tuntang-latar-belakang-isi-perjanjian-dan-dampaknya|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=2023-05-02}}</ref><ref>{{Cite web|title=Menyimak Kisah Sejarah Penjajahan Inggris di Indonesia|url=https://kumparan.com/sejarah-dan-sosial/menyimak-kisah-sejarah-penjajahan-inggris-di-indonesia-20H8JQI0aCC|website=kumparan|language=id-ID|access-date=2023-05-02}}</ref> Setelah itu, [[Gilbert Elliot-Murray-Kynynmound, 1st Earl of Minto|Gilbert Elliot-Murray-Kynynmound dari Minto]], yang menjabat sebagai [[Gubernur Jenderal India]] pada saat itu, menunjuk [[Thomas Stamford Raffles]] sebagai [[Gubernur Jenderal Hindia Belanda|Letnan Gubernur Jawa]].<ref>{{cite book |author1=Sir [[Thomas Stamford Raffles]] |title=The History of Java |date=1830 |publisher=J. Murray |pages=xxiii |url=https://books.google.com/books?id=oA8PAAAAYAAJ&q=history+of+java |access-date=12 August 2022}}</ref> |
||
[[Berkas:George Francis Joseph - Sir Thomas Stamford Bingley Raffles.jpg|ki|jmpl|[[Thomas Stamford Raffles|Sir Thomas Stamford Bingley Raffles]], tokoh sentral dalam kolonialisme di Nusantara oleh Britania Raya.]] |
[[Berkas:George Francis Joseph - Sir Thomas Stamford Bingley Raffles.jpg|ki|jmpl|[[Thomas Stamford Raffles|Sir Thomas Stamford Bingley Raffles]], tokoh sentral dalam kolonialisme di Nusantara oleh Britania Raya.]] |
Revisi per 10 Mei 2023 10.08
Penyuntingan Artikel oleh pengguna baru atau anonim untuk saat ini tidak diizinkan. Lihat kebijakan pelindungan dan log pelindungan untuk informasi selengkapnya. Jika Anda tidak dapat menyunting Artikel ini dan Anda ingin melakukannya, Anda dapat memohon permintaan penyuntingan, diskusikan perubahan yang ingin dilakukan di halaman pembicaraan, memohon untuk melepaskan pelindungan, masuk, atau buatlah sebuah akun. |
Indonesia (pelafalan dalam bahasa Indonesia: [in.ˈdo.nɛ.sja]), dikenal dengan nama resmi Republik Indonesia atau lebih lengkapnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah negara kepulauan di Asia Tenggara yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara daratan benua Asia dan Oseania, sehingga dikenal sebagai negara lintas benua, serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.
Indonesia merupakan negara terluas ke-15 sekaligus negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas wilayah sebesar 1.904.570 km²,[12] serta negara dengan pulau terbanyak ke-6 di dunia, dengan jumlah 17.504 pulau.[13] Nama alternatif yang dipakai untuk kepulauan Indonesia disebut Nusantara.[14] Selain itu, Indonesia juga menjadi negara berpenduduk terbanyak ke-4 di dunia dengan penduduk mencapai 277,749,853 jiwa pada tahun 2022,[15] serta negara dengan penduduk beragama Islam terbanyak di dunia, dengan penganut lebih dari 238,875,159 jiwa atau sekitar 86,9%.[16][17] Indonesia adalah negara multiras, multietnis, dan multikultural di dunia, seperti halnya Amerika Serikat.[18]
Indonesia berbatasan dengan sejumlah negara di Asia Tenggara dan Oseania. Indonesia berbatasan di wilayah darat dengan Malaysia di Pulau Kalimantan dan Sebatik, dengan Papua Nugini di Pulau Papua, dan dengan Timor Leste di Pulau Timor. Negara yang hanya berbatasan laut dengan Indonesia adalah Singapura, Filipina, Australia, Thailand, Vietnam, Palau dan wilayah persatuan Kepulauan Andaman dan Nikobar, India.
Indonesia adalah negara kesatuan dengan bentuk pemerintahan republik berdasarkan konstitusi yang sah, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).[19] Berdasarkan UUD 1945 pula, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Presiden dicalonkan lalu dipilih dalam pemilihan umum.
Ibu kota Indonesia saat ini adalah Jakarta. Pada tanggal 18 Januari 2022, pemerintah Indonesia menetapkan Ibu Kota Nusantara yang berada di Pulau Kalimantan, yang menempati wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara, untuk menggantikan Jakarta sebagai ibu kota yang baru.[20] Hingga tahun 2022, proses peralihan ibu kota masih berlangsung.
Sejarah Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa-bangsa pendatang dan penjajah. Kepulauan Indonesia menjadi wilayah perdagangan penting sejak abad ke-7, yaitu sejak berdirinya Sriwijaya, kerajaan bercorak Hinduisme-Buddhisme yang berpusat di Palembang. Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan agama dan perdagangan dengan bangsa Tionghoa, India, dan juga Arab. Agama dan kebudayaan Hinduisme-Buddhisme tumbuh, berkembang, dan berasimilasi di kepulauan Indonesia pada awal abad ke-4 hingga abad ke-13 Masehi. Setelah itu, para pedagang dan ulama dari Jazirah Arab yang membawa agama dan kebudayaan Islam sekitar abad ke-8 hingga abad ke-16. Pada akhir abad ke-15, bangsa-bangsa Eropa datang ke kepulauan Indonesia dan berperang untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku semasa Zaman Penjelajahan. Setelah berada di bawah kolonial Belanda, Indonesia yang saat itu bernama Hindia Belanda, memproklamasikan kemerdekaan di akhir Perang Dunia II, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945. Selanjutnya, Indonesia mendapat berbagai tantangan dan persoalan berat, mulai dari bencana alam, praktik korupsi yang masif, konflik sosial, gerakan separatisme, proses demokratisasi, dan periode pembangunan, perubahan dan perkembangan sosial–ekonomi–politik, serta modernisasi yang pesat.
Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, dan agama. Berdasarkan rumpun bangsa, Indonesia terdiri atas bangsa asli pribumi yakni Austronesia dan Melanesia di mana bangsa Austronesia yang terbesar jumlahnya dan lebih banyak mendiami Indonesia bagian barat. Dengan suku Jawa dan Sunda membentuk kelompok suku bangsa terbesar dengan persentase mencapai 57% dari seluruh penduduk Indonesia.[21] Semboyan nasional Indonesia, "Bhinneka Tunggal Ika" (Berbeda-beda tetapi tetap satu), bermakna keberagaman sosial-budaya yang membentuk satu kesatuan negara. Selain memiliki penduduk yang padat dan wilayah yang luas, Indonesia memiliki alam yang mendukung tingkat keanekaragaman hayati terbesar ke-2 di dunia.
Indonesia merupakan anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), Gerakan Non-Blok (GNB), Konferensi Asia–Afrika (KAA), Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dan G20.
Etimologi
Kata "Indonesia" berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu Indus yang merujuk kepada Sungai Indus di India dan nesos yang berarti "pulau".[22] Jadi, kata Indonesia berarti wilayah "kepulauan India", atau kepulauan yang berada di wilayah Hindia; ini merujuk kepada persamaan antara dua bangsa tersebut (India dan Indonesia).[23] Pada tahun 1850, George Windsor Earl, seorang etnolog berkebangsaan Inggris, awalnya mengusulkan istilah Indunesia dan Malayunesia untuk penduduk "Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu".[24] Murid Earl, James Richardson Logan, menggunakan kata Indonesia sebagai sinonim dari Kepulauan India.[25][26] Namun, penulisan akademik Belanda di media Hindia Belanda tidak menggunakan kata Indonesia, tetapi istilah Kepulauan Melayu (Maleische Archipel); Hindia Timur Belanda (Nederlandsch Oost Indië), atau Hindia (Indië); Timur (de Oost); dan bahkan Insulinde (istilah ini diperkenalkan tahun 1860 dalam novel Max Havelaar (1859) yang ditulis oleh Multatuli mengenai kritik terhadap kolonialisme Belanda).[14]
Sejak tahun 1900, nama Indonesia menjadi lebih umum pada lingkungan akademik di luar Belanda, dan golongan nasionalis Indonesia menggunakannya untuk ekspresi politik.[14] Adolf Bastian dari Universitas Berlin memasyarakatkan nama ini melalui buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipels, 1884–1894. Pelajar Indonesia pertama yang menggunakannya ialah Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara), ketika ia mendirikan kantor berita di Belanda yang bernama Indonesisch Pers Bureau pada tahun 1913.[23]
Sejarah
Secara garis besar, sejarah Indonesia terdiri dari periode prasejarah, periode monarki, periode kolonial, dan periode republik.
Periode prasejarah
Fosil-fosil manusia purba seperti Homo erectus, yang oleh antropolog juga dijuluki "Manusia Jawa", menimbulkan dugaan bahwa kepulauan Indonesia telah mulai berpenghuni pada antara dua juta sampai 500.000 tahun yang lalu. Namun kebenaran tentang hal ini banyak diperdebatkan.[27]
Dari 110.000 hingga 12.000 tahun yang lalu, daratan Nusantara bagian barat (kira-kira kepulauan sebelah barat termasuk Sumatra, Jawa, dan Kalimantan sekarang) masih menyatu dengan daratan utama Asia, membentuk Sundaland.[28][29] Dalam periode tersebut, tepatnya sekitar 74000 ribu tahun yang lalu, terjadi erupsi Gunung Toba yang disebut-sebut sebagai salah satu letusan gunung api terbesar sepanjang sejarah yang menyebabkan perubahan iklim yang dikatakan hampir memusnahkan populasi manusia modern saat itu. Umat manusia sendiri sebenarnya belum sampai ke Sumatra, gelombang migrasi dari Afrika ikut terhenti untuk sementara akibat erupsi ini. Gunung Toba kemudian tenggelam dan kalderanya membentuk sebuah danau besar dengan nama yang sama.[30]
Sekitar 60.000 tahun yang lalu, gelombang migrasi pertama manusia yang menjadi nenek moyang ras Melanesia sampai di dataran Nusantara. Berakhirnya zaman es pada awal zaman Holosen (12.000 tahun Sebelum Masehi) menyebabkan naiknya permukaan laut dan terpisahnya daratan-daratan Sundaland dari daratan utama Asia, lalu terpecah hingga membentuk kepulauan Nusantara seperti sekarang ini. Kejadian-kejadian tersebut menjadi pemicu terjadinya diaspora manusia.[31]
Kedatangan bangsa Austronesia dari daratan Taiwan yang mulai tiba di Nusantara sekitar 3500 hingga 2000 SM menyebabkan bangsa Melanesia yang telah ada lebih dahulu di sana terdesak ke wilayah-wilayah yang jauh di timur kepulauan, meskipun ada sebagian yang berasimilasi/akulturasi dengan pendatang tersebut.[31][32][33] Dengan kondisi tanah vulkanis yang subur, melimpahnya keanekaragaman hayati, ditambah dengan kemampuan bercocok tanam yang dimiliki manusia saat itu menyebabkan kegiatan pertanian dan pemukiman mulai terbentuk dan berkembang pesat.[34]
Periode monarki
Kerajaan Hindu-Buddha
Memasuki abad-abad awal Masehi, kerajaan-kerajaan kecil mulai terbentuk dan berkembang di daerah Nusantara.
Kandis diduga merupakan kerajaan tertua di Nusantara, yang berdiri pada abad ke-1 SM dan terletak di daerah yang saat ini menjadi wilayah Provinsi Riau dan sekitarnya. Namun, keberadaan Kandis tidak meninggalkan bukti artefak dan bukti-buktinya sangat sulit dikonfirmasi oleh para arkeolog, sehingga keberadaan kerajaan ini masih sering diperdebatkan oleh para ahli sejarah.[35]
Di Pulau Jawa sendiri, predikat kerajaan tertua di Pulau Jawa diduga dipegang oleh Salakanagara yang berdiri pada abad ke-1 M di daerah sekitar Cianjur, Jawa Barat. Kerajaan ini sendiri diperkirakan menjadi cikal bakal Tarumanagara yang berdiri pada tahun 358 Masehi. Keberadaan Salakanagara juga masih menjadi perdebatan di kalangan ahli karena kurangnya bukti-bukti sejarah.[35]
Berdasarkan bukti-bukti sejarah yang ada, dua kerajaan tertua yang telah diakui para ahli adalah Kutai Martapura dan Tarumanagara pada abad ke-4 Masehi. Kutai Martapura berdiri di wilayah yang saat ini masuk dalam Provinsi Kalimantan Selatan.[36] Sementara itu, Tarumanagara berdiri di wilayah barat Pulau Jawa.[37] Dari bukti-bukti yang menunjukkan bahwa kedua kerajaan tersebut telah bercorak Hindu-Buddha, dapat dipastikan bahwa agama Hindu dan Buddha telah berkembang di wilayah Nusantara sekurang-kurangnya sejak abad ke-4.
Beberapa kerajaan bercorak Hindu-Buddha juga terbentuk setelahnya. Di Kalimantan, pernah berdiri banyak kerajaan kecil bercorak Hindu-Buddha, yaitu Tanjungpura, Kuripan, Nan Sarunai, Selimbau, Negara Dipa, dan Negara Daha. Kemudian di Jawa, beberapa kerajaan Hindu-Buddha yang terbentuk adalah Kalingga, Sunda Galuh (Pajajaran), dan Kanjuruhan. Di Sumatra sendiri, kerajaan-kerajaan lain yang terbentuk adalah Melayu, Tulang Bawang, Keritang, dan Jambu Lipo.
Pada abad ke-7 Masehi, Sriwijaya yang berbentuk kedatuan dan bercorak Buddha berdiri di Nusantara, yang kemudian berkembang menjadi salah satu kemaharajaan (kekaisaran) terbesar di Nusantara yang pernah berdiri, serta menjadikannya negara monarki dengan masa berdiri terlama di Asia Tenggara.[38] Sriwijaya pada masa kejayaannya melingkupi sebagian besar Pulau Sumatra, Semenanjung Malaka dan Semenanjung Kra, sebagian Jawa, Kalimantan bagian barat, hingga ke Kamboja dan Vietnam bagian selatan.[39] Sriwijaya pada masa itu mengendalikan aktivitas pelayaran dan perdagangan di Selat Malaka yang merupakan jalur perdagangan maritim utama antara India dengan Tiongkok dan merupakan salah satu jalur pelayaran terpenting di dunia. Dari perdagangan tersebut, banyak budaya-budaya asing yang mempengaruhi dan bahkan berasimilasi dengan budaya-budaya lokal.[40] Nama Sriwijaya mulai meredup dan diperkirakan runtuh pada awal abad ke-11. Dharmasraya kemudian naik menggantikan Sriwijaya, sebelum kembali digantikan oleh Pagaruyung pada abad ke-14.[41]
Pada abad ke-8, Medang yang dipimpin oleh Wangsa Sailendra, yang sebagian besar bercorak Buddha Mahayana, berdiri di daerah Jawa Tengah dan mendapat pengaruh luas. Pada abad ke-9, wangsa tersebut terpecah dan sebagian menyingkir ke Sumatra, lalu menguasai Sriwijaya, hingga kejatuhan kemaharajaan tersebut pada abad ke-11.[42][43] Beberapa ahli menganggap bahwa beberapa raja Medang yang beragama Hindu Syiwa sebagai suatu dinasti tersendiri bernama Wangsa Sanjaya, sementara ahli-ahli lainnya menganggap wangsa tersebut sebenarnya tidak pernah ada dan masih merupakan bagian dari Wangsa Sailendra.[44] Beberapa ahli pun memisahkan raja-raja Medang setelah pindahnya pusat pemerintahan ke Jawa Timur sebagai wangsa tersendiri bernama Wangsa Isyana.[45]
Setelah pemerintahan Airlangga dari Medang berakhir pada tahun 1042, Medang terbagi menjadi Panjalu (Kadiri) dan Janggala. Janggala ditaklukkan oleh Panjalu pada tahun 1135. Ken Arok dari Wangsa Rajasa kemudian menaklukkan Panjalu dan mendirikan Kerajaan Singasari (Tumapel) pada tahun 1222, yang mengakhiri kekuasaan Wangsa Isyana/Sailendra di Jawa. Kerajaan ini runtuh pada tahun 1292 oleh pemberontakan yang dipimpin oleh Jayakatwang, sisa dari Wangsa Isyana. Namun, pemberontakan tersebut ditumpas setahun setelahnya oleh Raden Wijaya, menantu Kertanegara yang merupakan raja terakhir Singasari.[43][45]
Raden Wijaya mendirikan Majapahit yang bercorak Syiwa-Buddha. Kerajaan tersebut pada perkembangannya menjadi suatu kemaharajaan atau kekaisaran terbesar di Nusantara, dengan wilayah kekuasaan yang sangat luas pada masa kejayaannya, yaitu meliputi Sumatra, Semenanjung Malaka, daerah pesisir dan dataran rendah Kalimantan, Sulawesi bagian selatan dan timur, Nusa Tenggara, Maluku, hingga ujung barat Papua.[45] Majapahit terutama mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, dengan Patih Amangkubhumi Gajah Mada, yang sangat terkenal dengan Sumpah Palapa yang berisi ikrar untuk menyatukan seluruh wilayah Nusantara.[46] Majapahit pada masanya terkenal sebagai negara agraris dan juga sebagai negara perdagangan yang mengatur aktivitas pelayaran dunia.[46] Majapahit mengalami kemunduran semenjak pengaruh Islam semakin besar di Nusantara, dan akhirnya runtuh setelah ditaklukkan oleh Demak pada tahun 1527.
Sampai sebelum masuknya kolonialisme di Nusantara, kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang masih bertahan adalah Blambangan di Pulau Jawa bagian timur jauh,[47] serta kerajaan-kerajaan Bali bekas Gelgel, yakni Klungkung, Buleleng, Karangasem, Badung, Tabanan, Gianyar, Bangli, Mengwi (dalam perkembangan bergabung dengan Badung), dan Jembrana.[48]
Kesultanan Islam
Islam sebenarnya telah memasuki Nusantara mulai pada abad ke-7 Masehi. Islam dibawa oleh para pedagang dan para ulama berkebangsaan Arab, Persia, dan Gujarat.[49] Para pedagang dan pelaut Tionghoa beragama muslim, terutama kelompok pelaut di bawah pimpinan Cheng Ho, juga ikut serta dalam menyebarkan Islam di Nusantara.[50]
Aceh adalah daerah pertama yang menjadi pusat penyebaran agama Islam di Nusantara.[51] Kesultanan Islam pertama yang diketahui berdiri di Nusantara, khususnya di Aceh adalah Jeumpa yang didirikan pada abad ke-7, yang wilayahnya kira-kira mencakup wilayah Kabupaten Bieruen saat ini.[52] Setelah itu, beberapa kesultanan juga berdiri di wilayah Aceh pada masa-masa awal penyebaran Islam di Nusantara, yang di antaranya adalah Peureulak, Lamuri, dan Linge.[53] Pada awal-awal milenium ke-2, Islam mulai menyebar ke banyak daerah di Pulau Sumatra, terutama setelah Sriwijaya runtuh pada abad ke-11. Beberapa kerajaan Hindu-Buddha di Sumatra bahkan kemudian beralih menjadi kesultanan-kesultanan Islam. Kesultanan-kesultanan yang pernah muncul dan berdiri di wilayah Sumatra setelah itu adalah Samudera Pasai, Siguntur, Aceh, Melaka, Pagaruyung, Jambi, Inderapura, Siak Sri Inderapura, Pedir, Daya, Sungai Pagu, Bungo Satangkai, Asahan, Serdang, Deli, Langkat, Palembang, Lingga, Kota Pinang, Pelalawan, Aru, Barus, Padang, Tamiang, dan Sekala Brak.
Islam belum menyebar secara signifikan ke wilayah Nusantara lainnya hingga abad ke-15, ketika Islam mulai diperkenalkan dan menyebar secara luas.[54] Sejak masa itu, Islam mulai memengaruhi seluruh wilayah Nusantara pada masa-masa selanjutnya.
Setelah Majapahit mengalami kejatuhan, kesultanan-kesultanan bercorak Islam berdiri dan berkembang pesat di Nusantara, terutama di Jawa. Kesultanan pertama di Pulau Jawa yang telah diakui secara luas adalah Demak dan Cirebon yang berdiri pada abad ke-15.[55][56] Namun beberapa waktu ini, beberapa pakar menemukan sejumlah bukti tentang kesultanan Islam yang lebih tua, yaitu Lumajang, yang diperkirakan berdiri pada akhir abad ke-13.[57] Setelah itu, terdapat beberapa kesultanan yang juga berdiri di Jawa, yaitu Giri, Banten, Kalinyamat, Pajang, Sumedang Larang, Mataram, Ngayogyakarta Hadiningrat, dan Surakarta Hadiningrat.[58]
Di Kalimantan sendiri, beberapa kerajaan Hindu-Buddha beralih menjadi kesultanan Islam, misalnya Selimbau, Landak Tanjungpura. Kemudian beberapa kesultanan baru juga berdiri seiring dengan meningkatnya pengaruh Islam di Pulau Kalimantan sejak abad ke-14. Brunei yang lepas dari Melaka pada abad ke-14 kemudian mencapai masa kejayaannya pada abad ke-15 dengan berhasil menguasai seluruh pesisir Pulau Kalimantan.[59] Pada abad ke-16, Banjar berdiri, berkembang, dan kemudian menguasai sebagian besar pesisir selatan Kalimantan, serta memiliki hubungan baik dengan Demak.[60] Kejayaan Banjar mulai menurun pada abad ke-18 dan keberadaannya dihapuskan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1905.[61] Selain itu, beberapa kesultanan yang juga berdiri di Pulau Kalimantan adalah Sintang, Mempawah, Kubu, Bangkalaan, Sanggau, Tayan, Kusan, Paser, Kotawaringin, Pagatan, Sambas, Kutai Kertanegara ing Martapura, Berau, Sambaliung, Gunung Tabur, Pontianak, Tidung, dan Bulungan.[58]
Agama Islam diperkirakan mulai berkembang di Pulau Sulawesi pada abad ke-16. Pada masa itu, beberapa kerajaan bercorak Hindu-Buddha atau Animisme beralih menjadi kesultanan-kesultanan Islam dan beberapa kesultanan Islam yang baru berdiri dan berkembang.[62] Kesultanan besar yang terkenal di Sulawesi adalah Makassar, yang merupakan gabungan dari Gowa dan Tallo). Kerajaan ini pada masa kejayaannya mencakup Sulawesi bagian selatan dan tengah, serta Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa di saat ini menjadi wilayah Nusa Tenggara Barat. Selain itu, beberapa kesultanan lainnya di Sulawesi adalah Bantaeng, Banggai, Buton, Bone, Gorontalo, Bolango, Konawe, Luwu, Tolitoli, Buol, Wajo, Muna, Palu, Parigi, Soppeng, Bungku, Siang, Bolaang Mongondow, Tawaeli, Balanipa, Alitta, Banawa, dan Bolangitang.
Di Kepulauan Maluku, terdapat dua kesultanan besar yang terkenal, yaitu Ternate dan Tidore yang berpusat di wilayah yang saat ini termasuk dalam wilayah Maluku Utara.[63] Wilayah Ternate pada masa kejayaannya, yaitu pada abad ke-16, mencakup Pulau Ternate, sebagian kecil Pulau Halmahera, Kepulauan Maluku bagian tengah, Pulau Sulawesi bagian utara dan timur, hingga ke Nusa Tenggara Timur. Sementara itu, Tidore pada masa kejayaannya yang juga pada abad ke-16 meliputi Pulau Tidore, sebagian besar Pulau Halmahera, hingga ke Papua Barat.[64] Beberapa kesultanan yang juga pernah berdiri di Kepulauan Maluku, yaitu Jailolo, Bacan, Tanah Hitu, Iha, dan Huamual.
Kesultanan-kesultanan yang pernah berdiri di Kepulauan Nusa Tenggara, yaitu Bima, Sumbawa, Adonara, Dompu, Selaparang, Sanggar, dan Lamakera. Sementara kesultanan-kesultanan yang pernah berdiri di Papua adalah Sekar, Patipi, Fatagar, dan Kaimana.
Kejayaan kesultanan-kesultanan Islam mulai memudar setelah bangsa-bangsa asing masuk dan menerapkan kolonialisme di Nusantara. Sebagian di antaranya dibubarkan oleh pemerintah kolonial setelah mengalami kekalahan perang, dan sebagian lainnya menjadi daerah swapraja (zelfbestuur) di bawah kekuasaan pemerintahan kolonial.[65]
Kerajaan Kristen
Kekristenan dibawa oleh para misionaris dari Dunia Barat. Kristen Katolik umumnya dibawa ke Indonesia oleh bangsa Portugis, sementara Kristen Protestan umumnya dibawa oleh bangsa Belanda. Selama kolonialisme Barat, beberapa kerajaan bercorak Kristen muncul sebagai akibat penyebaran dan pembaptisan oleh para misionaris pada rakyat dan keluarga bangsawan di kerajaan-kerajaan tersebut.[66]
Masuknya Agama Kristen di Sulawesi dan Maluku, khususnya wilayah yang saat ini dalam Provinsi Sulawesi Utara, diawali dengan kedatangan bangsa Portugis yang membawa Katolik pada abad ke-16, tetapi kemudian digantikan oleh Protestan yang dibawa oleh misionaris Belanda, setelah orang-orang Portugis diusir oleh pasukan Belanda pada abad ke-17. Kerajaan-kerajaan Kristen yang terbentuk di Pulau Sulawesi adalah Bolaang Mongondow, Manganitu, Manado, Moro, Siau, Soya, dan Tagulandang.[67]
Di wilayah Nusa Tenggara, khususnya di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kristen Katolik dibawa oleh bangsa Portugis yang terusir ke wilayah Pulau Flores dan Pulau Timor setelah wilayah Kepulauan Maluku dikuasai oleh bangsa Belanda pada awal abad ke-17. Para misionaris Portugis yang juga ikut terusir kemudian melakukan misi di negara-negara di wilayah tersebut. Beberapa negara yang menjadi kerajaan Katolik adalah Amanatun, Larantuka, dan Sikka.[68]
Periode kolonial
Upaya kolonisasi oleh Portugal
Sejak terputusnya jalur perdagangan Laut Tengah karena jatuhnya Konstantinopel ke tangan bangsa Turki Utsmani pada tahun 1453, bangsa-bangsa Eropa sejak saat itu berusaha mencari jalur alternatif lain untuk memperoleh komoditas rempah-rempah yang dibutuhkan. Berkembangnya teknologi pelayaran pada abad ke-16 membuat bangsa-bangsa Eropa melakukan ekspedisi jalur laut besar-besaran untuk mencari dan menguasai wilayah-wilayah yang kaya akan rempah-rempah.[69]
Sebagai salah satu bangsa yang merintis gelombang ekspedisi dan kolonialisme di Dunia Timur, armada Portugis di bawah kepemimpinan Afonso de Albuquerque, yang telah menguasai Goa pada saat itu, melanjutkan ekspedisinya ke timur hingga sampai di Kepulauan Nusantara.[70] Pada tahun 1511, armada Portugis yang sampai di Melaka kemudian menyerang dan menduduki negara tersebut. Penyerangan ini menjadi titik awal dimulainya kolonialisme di Nusantara.[71] Negara-negara sekitar yang merasa terancam kemudian mengecam penyerangan tersebut. Setahun setelah peristiwa tersebut, Demak mengirimkan armada laut ke Melaka untuk menyerang balik armada Portugis, tetapi usaha tersebut gagal.[70]
Pada tahun 1512, Albuquerque mengirimkan armada yang dipimpin oleh António de Abreu dan Francisco Serrão menuju Kepulauan Maluku demi memonopoli perdagangan cengkih dan pala.[72] Pasukan tersebut disambut baik oleh Sultan Ternate saat itu, yakni Bayanullah. Ia mengizinkan armada Portugis untuk membangun benteng dan mendapat hak monopoli perdagangan rempah-rempah di Ternate, dengan imbalan bantuan kekuatan militer untuk Ternate, karena pada saat itu Ternate sedang bermusuhan dengan Tidore.[70] Benteng tersebut kini menjadi situs reruntuhan bernama Benteng Kastela.
Pada tahun 1521, armada Spanyol yang melakukan ekspedisi ke barat, alih-alih ke timur seperti yang dilakukan oleh armada Portugis, sampai di Kepulauan Filipina. Namun, konflik yang pecah antara pasukan Spanyol dan penduduk setempat yang hingga menyebabkan tewasnya pemimpin ekspedisi, Fernando de Magelhaens, tersebut membuat armada yang tersisa di bawah kepemimpinan Juan Sebastián Elcano melanjutkan perjalanan hingga sampai di Kepulauan Maluku pada tanggal 8 November 1521. Kedatangan mereka ditentang oleh orang-orang Portugis yang terlebih dahulu singgah di Maluku dan bekerja sama dengan pemerintahan Ternate, serta menuding bahwa mereka melanggar Perjanjian Tordesillas. Demi mendapat kesempatan dalam menguasai rempah di Maluku, bangsa Spanyol kemudian mendekati musuh Ternate, yaitu Tidore, dan membantu mereka melawan Ternate dan Portugal.[73]
Armada Portugis yang ada di Nusantara meneruskan ambisi memperbesar wilayah koloni dengan rencana menguasai Selat Sunda. Pada tahun 1522, mereka membuat perjanjian kerja sama dengan raja Sunda saat itu, Prabu Surawisesa, yang berisi izin untuk mendirikan bentang bagi armada Portugis di Banten dan Sunda Kelapa dengan imbalan bantuan militer Portugis kepada Sunda dalam menghadapi Demak dan Cirebon. Namun, kerja sama tersebut tidak pernah dapat dilaksanakan. Armada yang dipimpin oleh Francisco de Sá, yang ditunjuk untuk melaksanakan perjanjian tersebut, mengalami bencana topan di Teluk Benggala. Beberapa dari mereka yang mendarat dengan selamat di Sunda Kelapa kemudian diserang oleh pasukan Fatahillah yang sedang merebut daerah Banten dan Sunda Kelapa. Karena melihat hal tersebut, armada Portugis akhirnya angkat kaki dari Selat Sunda.[72]
Persaingan antara kubu Ternate–Portugal melawan kubu Tidore–Spanyol di Kepulauan Maluku yang semakin memanas akhirnya membuat perang meletus. Selama peperangan yang terjadi cukup lama di antara kedua kubu tersebut, kekuatan kubu Ternate–Portugal menjadi semakin unggul. Peperangan tersebut berakhir dengan kekalahan kubu Tidore–Spanyol dan penandatanganan Perjanjian Zaragoza pada tanggal 22 April 1529, yang menyebabkan armada Spanyol harus angkat kaki dari Maluku dan kembali ke Kepulauan Filipina.[74]
Setelah kepergian Spanyol, hubungan antara Portugal dan Ternate mulai meregang. Bangsa Portugis mulai mencoba untuk memperbesar pengaruh mereka, sementara pemerintah Ternate mulai menyadari bahwa orang-orang Portugis sudah terlalu banyak ikut campur dengan urusan internal negara, terutama mengenai suksesi takhta. Perseteruan yang memuncak pada terbunuhnya Sultan Khairun Jamil dari Ternate di tangan pasukan Portugis akhirnya memantik kemarahan rakyat Ternate, sehingga pasukan Ternate dan sekutunya yang dipimpin oleh Sultan Baabullah dari Ternate menyerang pasukan-pasukan Portugis dan memicu Perang Ternate–Portugal. Diperparah dengan pasukan tambahan dari pihak bangsa Portugis yang tidak dapat dikirim karena penyerangan Aceh untuk merebut Melaka Portugis yang terjadi di saat yang bersamaan, Ternate dan sekutunya akhirnya berhasil mengusir sebagian besar pasukan Portugis yang tercerai-berai. Pengaruh bangsa Portugis di Kepulauan Maluku benar-benar tamat setelah bangsa Belanda masuk dan menduduki Maluku.[74]
Awal kolonisasi Belanda dan monopoli VOC
Didorong oleh fakta bahwa Portugal mendominasi perdagangan rempah-rempah di Benua Eropa, dan ditambah dengan kesepakatan antara Portugal dan Spanyol, yang saat itu sedang melawan Belanda dalam Perang Delapan Puluh Tahun, untuk bersatu dan dan membentuk Uni Iberia, bangsa Belanda mulai berusaha untuk mencari dan memperoleh sendiri rempah-rempah untuk diperdagangkan.[75] Berbekal rute pelayaran armada Portugis sebelumnya, armada kapal dari Republik Belanda di bawah kepemimpinan Cornelis de Houtman memulai ekspedisi pertama Belanda ke Dunia Timur pada tahun 1595, hingga akhirnya sampai di perairan Banten pada tanggal 27 Juni 1596. Armada tersebut kemudian menyusuri sepanjang pantai utara Pulau Jawa hingga Bali, tetapi persinggahan-persinggahan mereka di sepanjang penyusuran sering kali menimbulkan penolakan dan bahkan perseteruan dari penduduk setempat karena tabiat Houtman dan anak buahnya yang buruk. Setelah setahun kemudian, pertempuran dengan penduduk-penduduk lokal telah membuat mereka kehilangan separuh dari awak armada mereka, sehingga Houtman memutuskan untuk kembali ke Belanda. Namun dari ekspedisi tersebut, mereka berhasil membawa serta peti-peti berisi rempah-rempah dalam jumlah yang banyak, sehingga ekspedisi tersebut dianggap sukses.[74]
Melihat keberhasilan rombongan Houtman, mulai tahun 1598 hingga beberapa tahun setelahnya, berbagai kapal yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan berbeda berbondong-bondong menuju Nusantara demi mencari rempah-rempah. Salah satu di antaranya yang paling terkenal adalah rombongan ekspedisi yang dipimpin Jacob Corneliszoon van Neck. Belajar dari kesalahan yang dilakukan oleh armada-armada Portugis dan rombongan Houtman, mereka umumnya berhati-hati dalam bersikap kepada penduduk lokal dan bahkan mencoba untuk merangkul penguasa-penguasa lokal. Oleh karena itu, pedagang-pedagang Belanda berhasil dalam memonopoli perdagangan rempah saat itu.[74]
Karena besarnya persaingan perdagangan rempah-rempah di antara pedagang-pedagang Belanda dan di seluruh Eropa, perusahaan dagang tunggal yang mengayomi pedagang-pedagang Belanda tersebut dibentuk oleh Dewan Negara Belanda pada tanggal 20 Maret 1602, dan diberi nama Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC). Dengan pendirian badan usaha tersebut, diharapkan bahwa persaingan antara sesama pedagang Belanda menjadi berkurang, dan pada saat yang sama dapat menyaingi perusahaan-perusahaan dan serikat-serikat dagang di luar Belanda. Oleh Dewan Negara Belanda, VOC diberikan hak khusus dalam piagam yang disebut "oktroi" (octrooi), yang pada dasarnya memperbolehkan VOC untuk memiliki angkatan perang sendiri, mencetak mata uang sendiri, serta memonopoli perdagangan dan menekan penguasa-penguasa lokal di kawasan Nusantara.[76]
Mulai pada tahun 1603, VOC membangun pos-pos perdagangan di Banten, Ambon, Jayakarta, dan lain-lain. Namun pada tahun 1604, VOC bersikukuh dengan armada Perusahaan Hindia Timur Britania (EIC) yang sampai di Maluku demi tujuan yang sama dengan VOC. Hal ini memicu persaingan ketat antara VOC dan EIC untuk memperoleh rempah-rempah sebanyak-banyaknya di Nusantara.[77]
Pada tahun 1610, posisi gubernur jenderal dipersiapkan untuk mempermudah administrasi dan kendali atas pos-pos perdagangan di Nusantara. Pieter Both ditunjuk sebagai gubernur jenderal pertama pada tanggal 19 Desember 1610. Dalam salah satu kebijakannya, Both menetapkan Ambon sebagai pusat pemerintahan.[76] Pada tanggal 30 Mei 1619, gubernur jenderal yang baru menjabat saat itu, Jan Pieterszoon Coen, memerintahkan armada kapal VOC untuk menyerang Jayapura, mengusir pasukan kerajaan dari Banten, dan mendirikan Batavia.
Sementara itu, EIC berhasil membuka banyak pos perdagangan selama tahun 1611–1617, yang di antaranya ialah di Sukadana, Makassar, Jayakarta, Jepara, Aceh, Pariaman, dan Jambi. Hal ini sangat mengancam keberadaan VOC dan akhirnya memperburuk perseteruan antara EIC dan VOC. Pada tahun 1620, Belanda dan Inggris membuat perjanjian diplomatik untuk melakukan kerja sama dalam perdagangan rempah-rempah, tetapi berakhir tiga tahun kemudian dengan terjadinya Pembantaian Amboina terhadap beberapa orang Inggris yang membuat hubungan diplomatik Belanda–Inggris terputus dan armada Inggris berangsur-angsur meninggalkan wilayah Nusantara.[78] Setelah kepastian itu, nama Hindia Belanda (bahasa Belanda: Nederlandsch-Indië (ejaan lama), Nederlands-Indië (ejaan baru)) mulai digunakan secara resmi di dalam dokumen-dokumen VOC sejak awal tahun 1620-an.[79]
Selama satu abad setelahnya, VOC berkembang sangat pesat dan menjadi badan usaha yang sangat sukses pada masanya, serta berhasil menguasai sebagian besar Pulau Jawa, Painan di Sumatra, Makassar, Manado, serta Pulau Seram, Pulau Buru, dan pulau-pulau sekitarnya. VOC yang lihai dalam memainkan politik di beberapa negara kecil di Nusantara memaksa penguasa-penguasa lokal dari wilayah tersebut menandatangani beberapa perjanjian damai yang terkenal. Beberapa di antaranya adalah Perjanjian Bungaya dan Perjanjian Painan.[80] Pada tahun 1669, VOC menjadi perusahaan swasta terkaya yang ada di dunia pada saat itu, dengan aset-aset yang terdiri atas sekitar 150 kapal dagang, 40 kapal perang, 50.000 karyawan, 10.000 tentara swasta, dan pembayaran dividen sebesar 40% dari investasi awal.
Meskipun demikian, perebutan wilayah oleh VOC tetap mendapat perlawanan dari penduduk setempat. Setelah hubungan diplomatik dengan VOC putus, pasukan Mataram merencanakan penyerbuan ke Batavia sebanyak dua kali, yakni pada tahun 1628 dan 1629, meskipun kedua penyerbuan tersebut akhirnya gagal karena kekurangan perbekalan.[81] Beberapa dekade setelahnya di Pulau Sulawesi, VOC melancarkan penyerangan terhadap Gowa pada tahun 1666–1669. Dalam peperangan inilah, Hasanuddin, Sultan Gowa pada saat itu, dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bungaya.[82]
Pada tahun 1704–1708, VOC mencampuri urusan rumah tangga kerajaan di Mataram dengan memerangi pasukan Amangkurat III, yang berakhir dengan kemenangan VOC dan diangkatnya Pakubuwana I sebagai raja Mataram. Kemudian pada tahun 1719–1723, VOC diminta oleh Amangkurat IV untuk membantu dalam perang melawan keluarga kerajaan yang memberontak.[83] Pada tahun 1940, terjadi peristiwa Geger Pacinan, yaitu pembantaian orang-orang Tionghoa yang tinggal di Batavia pada saat itu. Pembantaian tersebut memicu pecahnya Perang Jawa (1741–1743) dan Perang Kuning (1750) antara pasukan gabungan orang Jawa dan orang Tionghoa melawan pasukan Belanda.[84] Pada saat yang relatif bersamaan, rangkaian konflik antaranggota keluarga kerajaan Mataram yang berlangsung dari tahun 1749–1757 juga beberapa kali diintervensi oleh VOC. Pada konflik inilah negara Mataram bubar dan terpecah menjadi beberapa negara baru, yaitu Mangkunagaran, Yogyakarta, dan Surakarta, berdasarkan Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) dan Perjanjian Salatiga (17 Maret 1757).[85] Pada tahun 1771–1772, Perang Puputan Bayu, yang pecah akibat masyarakat Blambangan yang tidak terima wilayahnya diserahkan ke dalam kekuasaan Belanda, berhasil diredam oleh pasukan Belanda, tetapi dengan bayaran korban jiwa yang sangat besar dari kedua kubu.[86]
Setelah tahun 1730, kejayaan VOC mulai merosot. Hal ini diakibatkan oleh kektidaksiapan VOC dalam menghadapi persaingan perdagangan komoditas yang berubah-ubah dan semakin ketat, serta ditambah dengan korupsi di kalangan internal dan kurangnya jaminan keselamatan atas pegawai-pegawai VOC.[87] Setelah Perang Inggris-Belanda Keempat, VOC mengalami krisis finansial yang sangat buruk yang membuatnya hampir tidak dapat beroperasi. VOC sempat diambil alih oleh Republik Batavia, negara penerus Republik Belanda, mulai pada tanggal 1 Maret 1796 dan hendak untuk diselamatkan dari krisis, tetapi akhirnya tidak berhasil. Pada tanggal 31 Desember 1799, VOC resmi berhenti beroperasi, sementara aset-asetnya dinasionalisasi menjadi milik Pemerintah Republik Batavia dan wilayah yang diduduki sebelumnya secara praktis menjadi koloni Belanda.[88] Bangsa Belanda masih menguasai secara penuh pos-pos perdagangan tersebut secara penuh selama kira-kira enam tahun, hingga Prancis membubarkan negara Batavia dan mendirikan negara boneka bernama Kerajaan Hollandia.
Kolonisasi Belanda di bawah kendali Prancis
Wilayah bangsa Belanda yang telah berada di bawah kendali bangsa Prancis secara praktis sejak kejatuhan negara Republik Belanda menjadi semakin kehilangan kedaulatannya semenjak Napoleon Bonaparte naik sebagai pemimpin Republik Prancis sejak tanggal 12 Desember 1799. Pada bulan Maret 1806, Napoleon yang telah mengubah bentuk negara Prancis menjadi kekaisaran sebelumnya membubarkan Persemakmuran Batavia dari bangsa Belanda dan membentuk negara boneka bernama Kerajaan Hollandia, lalu menunjuk Louis Bonaparte, adik Napoleon, sebagai raja atasnya. Hal ini secara tidak langsung membuat koloni di bawah Belanda menjadi milik Prancis.[89]
Pada tahun yang sama setelah penunjukannya, Louis mengirimkan salah satu jenderalnya yang berkebangsaan Belanda, yaitu Herman Willem Daendels, untuk menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Daendels tiba pada tanggal 5 Januari 1808 di Batavia dan langsung melakukan tugas-tugasnya seperti membentuk pasukan baru, membangun jalan-jalan baru di Jawa, dan memperbaiki administrasi internal di Jawa.[90][91]
Daendels dikenal dengan aturannya yang sangat keras dan kebijakannya yang bertangan besi, meskipin hal tersebut dimaksudkan sebagai persiapan dalam menghadapi ancaman Britania Raya. Daendels membangun banyak fasilitas-fasilitas dan benteng-benteng pertahanan, salah satu contohnya yang terkenal adalah Jalan Raya Pos Anyar–Panarukan yang memakan banyak korban pekerja paksa Heerendiensten,[92] Benteng Lodewijk di Surabaya, dan Paleis van Daendels (sekarang Gedung AA Maramis) di Batavia. Daendels juga terkenal keras terhadap penguasa-penguasa lokal dan keluarganya, serta menjadi penyebab jatuhnya negara Banten.[93]
Gaya kepemimpinan Daendels yang bertangan besi tersebut tentu saja menimbulkan rasa tidak suka dari penduduk setempat. Pemberontakan di Pulau Jawa yang dipimpin oleh Ronggo Prawirodirjo III pecah dari tanggal 20 November hingga 17 Desember 1810. Pemberontakan ini cepat diredam oleh pasukan dari pemerintah Hindia Belanda dan keraton Yogyakarta, sementara pemimpinnya gugur dalam peperangan.[94]
Pada tahun 1810, Jan Willem Janssens ditunjuk untuk menggantikan Daendels. Janssens tiba di Jawa pada tanggal 15 Mei 1811 dan langsung melaksanakan tugasnya, tetapi akhirnya terhenti ketika Britania Raya menyerbu dan mengambil alih Jawa pada bulan Agustus 1811.[95]
Kolonisasi singkat Britania Raya
Sebagai akibat dari peperangan era Napoleon, bangsa Inggris yang membentuk Persatuan Kerajaan Britania Raya dan Irlandia berusaha untuk merebut koloni-koloni milik bangsa Prancis di seluruh dunia, termasuk koloni Hindia Belanda yang dikuasai oleh Kekaisaran Prancis setelah kedaulatan Belanda jatuh ke tangan bangsa Prancis. Pada tahun 1809, armada Britania di anak benua India, yang berafiliasi dengan Perusahaan Hindia Timur Britania (EIC), berangkat menuju Hindia Belanda dengan maksud untuk merebut wilayah tersebut dari tangan Prancis dan Belanda. Setahun setelahnya, armada Britania telah menguasai wilayah Kepulauan Maluku dengan kerugian yang minimal.[96] Kemudian pada bulan Agustus 1811, armada Britania mulai menyerbu Pulau Jawa dan menduduki satu per satu pos milik pasukan Prancis dan Belanda di Jawa. Setelah perlawanan dari pasukan Belanda dan Prancis tidak membuahkan hasil, akhirnya pada tanggal 16 September, Jan Willem Janssens, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang lari dari Batavia karena penyerbuan tersebut, akhirnya menyerahkan diri di Salatiga. Lalu pada tanggal 18 September, pasukan Belanda melakukan penyerahan kekuasaan secara resmi atas Pulau Jawa kepada armada Britania di Tuntang.[97][98] Setelah itu, Gilbert Elliot-Murray-Kynynmound dari Minto, yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal India pada saat itu, menunjuk Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur Jawa.[99]
Selama menjabat, Raffles merombak beberapa aturan Belanda yang memberatkan rakyat setempat, seperti Heerendiensten, kebijakan penyerahan hasil bumi paksa dan tanam paksa, sistem perbudakan, serta kebijakan penanaman paksa atas komoditas tertentu. Namun sebagai gantinya, Raffles menerapkan sistem land tenure (sewa tanah), yaitu penduduk membayar pajak sewa tanah kepada Pemerintah yang dipandang sebagai "pemilik sah" atas seluruh tanah jajahan, menaikkan pajak perorangan, dan memperluas kegiatan perdagangan. Di bidang pemerintahan, Raffles membentuk pemerintahan yang lebih terpusat, dengan mengurangi hak-hak penguasa setempat, tetapi juga membentuk keresidenan-keresidenan yang menjadi perpanjangan tangan Pemerintah Pusat. Dia tinggal dan menjalankan tugas pemerintahan di Buitenzorg (sekarang Istana Bogor), dengan menunjuk beberapa orang Britania sebagai petinggi, sembari tetap mempertahankan pegawai-pegawai negeri asal Belanda di tubuh pemerintahan. Sementara di bidang politik, Raffles berusaha untuk bernegosiasi dengan penguasa lokal demi mencapai perdamaian, tetapi tetap melancarkan operasi militer kepada penguasa-penguasa lokal yang membangkang, seperti pada peristiwa Geger Sepehi di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.[100][101] Selain karena kebijakannya tersebut, Raffles juga dikenal sebagai seorang peminat sejarah, budaya, dan masyarakat Jawa. Di bawah pengawasannya, banyak situs-situs monumen kuno yang ditemukan dan digali setelah sekian lama terkubur dan dilupakan penduduk setempat saat itu. Contohnya ialah Candi Prambanan di Sleman dan Klaten, Candi Borobudur di Magelang, dan struktur-struktur kota kuno di Trowulan.[102][103] Ia juga menuliskan buku tentang sejarah dan keadaan sosiokultural di Pulau Jawa, yang berjudul The History of Java dan diterbitkan pada tahun 1817.
Setelah Belanda terbebas dari kekuasaan Prancis pada tahun 1813, pihak Belanda dan pihak Inggris merundingkan dan menandatangani perjanjian pada tahun 1814, yang secara garis besar menyebutkan bahwa Britania Raya mengembalikan koloni Belanda seperti pada tanggal 1 Januari 1803. Setelah peperangan era Napoleon berakhir pada tahun 1815, Britania Raya menyerahkan kembali Pulau Jawa ke Belanda, yang berhasil memegang kendali penuh atas Pulau Jawa dan bagian-bagian koloni lain di Hindia Belanda setahun setelahnya. Pada tahun-tahun berikutnya, Belanda mengirimkan armada militernya untuk menaklukkan negara-negara lainnya di Nusantara.[104]
Oleh karena wilayah yang dikembalikan merupakan koloni Belanda sebelum tahun 1803, wilayah kolonial di Nusantara yang diklaim oleh Britania Raya dan bukan milik Belanda pada tahun itu secara otomatis masih menjadi milik Britania Raya, termasuk wilayah Bencoolen (sekarang Bengkulu). Raffles dikirim kembali ke Nusantara, tetapi kali ini sebagai Letnan Gubernur Bengkulu, kemudian melakukan ekspedisi ke berbagai tempat, seperti Padang, Achin (Aceh), Rhio (Riau), Melaka, dan Singapura, meskipun ia dan pasukannya beberapa kali berseteru dengan pasukan Belanda yang juga menginginkan wilayah yang sama.[105]
Bagian ini memerlukan pengembangan dengan referensi lebih banyak. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Indonesia juga merupakan negara yang dijajah oleh banyak negara Eropa dan juga Asia karena sejak zaman dahulu Indonesia merupakan negara yang kaya akan hasil alamnya yang berlimpah, hingga membuat negara-negara Eropa tergiur untuk menjajah dan bermaksud menguasai sumber daya alam untuk pemasukan bagi negaranya. Negara-negara yang pernah menjajah Indonesia antara lain:
- Belanda pada tahun 1602, sebagian besar wilayah Indonesia.[butuh rujukan]
- Prancis (1795–1811). Prancis menaklukkan Republik Belanda pada 1795 dalam Perang Revolusi Prancis, dan Prancis mendirikan Republik Batavia (1795–1806) dan Kerajaan Hollandia (1806–1810) yang berstatus sebagai negara bawahan Prancis. Dengan demikian, secara tidak langsung Prancis adalah penguasa tertinggi Hindia Belanda. Pada 1810 Kerajaan Hollandia dileburkan dalam Kekaisaran Pertama Prancis, sehingga wilayah Hindia Belanda menjadi jajahan Prancis secara langsung. Meskipun demikian pemerintahan dan pertahanan tetap dipegang oleh warga Belanda (termasuk Herman Willem Daendels yang berkuasa 1808–1811 dan dikenal pro-Prancis) Kekuasaan Prancis berakhir pada tahun 1811 ketika Britania mengalahkan kekuatan Belanda-Prancis di pulau Jawa.[butuh rujukan]
- Britania Raya pada tahun 1811, sejak ditandatanganinya Kapitulasi Tuntang yang salah satunya berisi penyerahan Pulau Jawa dari Belanda kepada Britania, Pada tahun 1814 dilakukanlah Konvensi London yang isinya pemerintah Belanda berkuasa kembali atas wilayah jajahan Britania di Indonesia. Lalu baru pada tahun 1816, pemerintahan Britania di Indonesia secara resmi berakhir.[butuh rujukan]
Ketika orang-orang Eropa datang pada awal abad ke-16, mereka menemukan beberapa kerajaan yang dengan mudah dapat mereka kuasai demi mendominasi perdagangan rempah-rempah. Portugis pertama kali mendarat di dua pelabuhan Kerajaan Sunda yaitu Banten dan Sunda Kelapa, tetapi dapat diusir dan bergerak ke arah timur dan menguasai Maluku.
Pada abad ke-17, Belanda muncul sebagai yang terkuat di antara negara-negara Eropa lainnya, mengalahkan Britania Raya dan Portugal (kecuali untuk koloni mereka, Timor Portugis). Belanda menguasai Indonesia sebagai koloni hingga Perang Dunia II, awalnya melalui Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), dan kemudian langsung oleh pemerintah Belanda, di bawah nama Hindia Belanda, sejak awal abad ke-19.
Di bawah aturan Cultuurstelsel (Sistem Tanam Paksa) pada abad ke-19, perkebunan besar dan penanaman paksa dilaksanakan di Jawa, akhirnya menghasilkan keuntungan bagi Belanda yang tidak dapat dihasilkan VOC. Pada masa pemerintahan kolonial yang lebih bebas setelah 1870, sistem tersebut dihapuskan. Setelah 1901 pihak Belanda memperkenalkan Politik Etis, yang mencakup reformasi politik yang terbatas dan investasi yang lebih besar di Hindia Belanda.[58]
Periode pendudukan
Bagian ini memerlukan pengembangan dengan referensi dan artikel lebih banyak. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Pada masa Perang Dunia II, sewaktu Belanda sedang diduduki oleh Jerman Nazi, Kekaisaran Jepang berhasil menguasai Indonesia. Setelah mendapatkan Indonesia pada tahun 1942, Jepang melihat bahwa para pejuang Indonesia merupakan rekan perdagangan yang kooperatif dan bersedia mengerahkan prajurit bila diperlukan. Soekarno, Mohammad Hatta, KH. Mas Mansur, dan Ki Hajar Dewantara diberikan penghargaan oleh Kaisar Jepang pada tahun 1943.[butuh rujukan]
Pada Maret 1945 Jepang membentuk sebuah komite untuk kemerdekaan Indonesia. Setelah Perang Pasifik berakhir pada tahun 1945, di bawah tekanan organisasi pemuda, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Periode republik
Bagian ini memerlukan pengembangan dengan referensi lebih banyak. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Setelah kemerdekaan, tiga pendiri bangsa yakni Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir masing-masing menjabat sebagai presiden, wakil presiden, dan perdana menteri. Dalam usaha untuk menguasai kembali Indonesia, Belanda mengirimkan pasukan mereka.
Usaha-usaha berdarah untuk meredam pergerakan kemerdekaan ini kemudian dikenal oleh orang Belanda sebagai 'aksi kepolisian' (politionele actie), atau dikenal oleh orang Indonesia sebagai Agresi Militer.[106] Belanda akhirnya menerima hak Indonesia untuk merdeka pada 27 Desember 1949 sebagai negara federal yang disebut Republik Indonesia Serikat setelah mendapat tekanan yang kuat dari kalangan internasional, terutama Amerika Serikat. Mosi Integral Natsir pada tanggal 17 Agustus 1950, menyerukan kembalinya negara kesatuan Republik Indonesia dan membubarkan Republik Indonesia Serikat. Soekarno kembali menjadi presiden dengan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden dan Mohammad Natsir sebagai perdana menteri.
Pada tahun 1950-an dan 1960-an, pemerintahan Soekarno mulai mengikuti sekaligus merintis gerakan non-blok pada awalnya, kemudian menjadi lebih dekat dengan blok sosialis, misalnya Republik Rakyat Tiongkok dan Yugoslavia. Tahun 1960-an menjadi saksi terjadinya konfrontasi militer terhadap negara tetangga, Malaysia ("Konfrontasi"),[107] dan ketidakpuasan terhadap kesulitan ekonomi yang semakin besar. Selanjutnya pada tahun 1965 meletus kejadian G30S yang menyebabkan kematian 6 orang jenderal dan sejumlah perwira menengah lainnya. Muncul kekuatan baru yang menyebut dirinya Orde Baru yang segera menuduh Partai Komunis Indonesia sebagai otak di belakang kejadian ini dan bermaksud menggulingkan pemerintahan yang sah serta mengganti ideologi nasional menjadi berdasarkan paham sosialis-komunis. Tuduhan ini sekaligus dijadikan alasan untuk menggantikan pemerintahan lama di bawah Presiden Soekarno.
Jenderal Soeharto menjadi Pejabat Presiden pada tahun 1967 dengan alasan untuk mengamankan negara dari ancaman komunisme. Sementara itu kondisi fisik Soekarno sendiri semakin melemah. Setelah Soeharto berkuasa, ratusan ribu warga Indonesia yang dicurigai terlibat pihak komunis dibunuh, sementara masih banyak lagi warga Indonesia yang sedang berada di luar negeri, tidak berani kembali ke tanah air, dan akhirnya dicabut kewarganegaraannya. Tiga puluh dua tahun masa kekuasaan Soeharto dinamakan Orde Baru, sementara masa pemerintahan Soekarno disebut Orde Lama.
Soeharto menerapkan ekonomi neoliberal dan berhasil mendatangkan investasi luar negeri yang besar untuk masuk ke Indonesia dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar, meski tidak merata. Pada awal rezim Orde Baru kebijakan ekonomi Indonesia disusun oleh sekelompok ekonom lulusan Departemen Ekonomi Universitas California, Berkeley, yang dipanggil "Mafia Berkeley".[108] Namun, Soeharto menambah kekayaannya dan keluarganya melalui praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang meluas dan dia akhirnya dipaksa turun dari jabatannya setelah aksi demonstrasi besar-besaran dan kondisi ekonomi negara yang memburuk pada tahun 1998.
Masa Peralihan Orde Reformasi atau Era Reformasi berlangsung dari tahun 1998 hingga 2001, ketika terdapat tiga masa presiden: Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri. Pada tahun 2004, diselenggarakan Pemilihan Umum satu hari terbesar di dunia[109] yang dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai presiden terpilih secara langsung oleh rakyat, yang menjabat selama dua periode. Pada tahun 2014, Joko Widodo, yang lebih akrab disapa Jokowi, terpilih sebagai presiden ke-7.
Indonesia kini sedang mengalami masalah-masalah ekonomi, politik dan pertikaian bernuansa agama di dalam negeri, dan beberapa daerah berusaha untuk melepaskan diri dari naungan NKRI, terutama Papua.[butuh rujukan] Timor Timur secara resmi memisahkan diri pada tahun 1999 setelah 24 tahun bersatu dengan Indonesia dan 3 tahun di bawah administrasi PBB menjadi negara Timor Leste.
Pada Desember 2004 dan Maret 2005, Aceh dan Nias dilanda dua gempa bumi besar yang totalnya menewaskan ratusan ribu jiwa. (Lihat Gempa bumi Samudra Hindia 2004 dan Gempa bumi Sumatra Maret 2005.) Kejadian ini disusul oleh gempa bumi di Yogyakarta dan tsunami yang menghantam Pantai Pangandaran dan sekitarnya, serta banjir lumpur di Sidoarjo pada 2006 yang tidak kunjung terpecahkan.
Geografi
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang berada di Asia Tenggara,[110] dan terletak di antara benua Asia dan benua Australia/Oseania, serta di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Negara ini memiliki 17.504 pulau yang menyebar di sekitar khatulistiwa; sebanyak 16.056 pulau telah dibakukan namanya,[111] dan sekitar 6.000 pulau tidak berpenghuni.[112][113] Pulau-pulau besar di Indonesia yaitu Sumatra, Jawa, Kalimantan (berbagi dengan Malaysia dan Brunei Darussalam), Sulawesi, dan Papua (berbagi dengan Papua Nugini).
Indonesia berada pada koordinat antara antara 6° 04' 30" LU dan 11° 00' 36" LS serta antar 94° 58' 21" dan 141° 01' 10" BT,[114] yang membentang sepanjang 5.120 kilometer (3.181 mil) dari timur ke barat serta 1.760 kilometer (1.094 mil) dari utara ke selatan.[115] Luas daratan Indonesia adalah 1.916.906,77 km²,[116] sementara luas perairannya sekitar 3.110.000 km² dengan garis pantai sepanjang 108 ribu km.[117] Batas wilayah Indonesia diukur dari kepulauan dengan menggunakan teritorial laut 12 mil laut serta zona ekonomi eksklusif 200 mil laut,[118] searah penjuru mata angin, yaitu:
Utara | Malaysia dengan perbatasan sepanjang 1.782 km,[112] Singapura, Filipina, dan Laut Tiongkok Selatan |
Timur | Papua Nugini dengan perbatasan sepanjang 820 km,[112] Timor Leste, dan Samudra Pasifik |
Selatan | Australia, Timor Leste, dan Samudra Hindia |
Barat | Samudra Hindia |
Titik tertinggi di Indonesia yaitu Puncak Jaya (4.884 mdpl) di Provinsi Papua Tengah.[119] Danau Toba di Sumatra Utara adalah danau terluas di Indonesia sekaligus danau kaldera terbesar di dunia,[120] sedangkan sungai terpanjang di Indonesia yaitu Sungai Kapuas yang berada di Kalimantan Barat.[121]
Iklim
Secara umum, Indonesia beriklim tropis (kelompok A dalam klasifikasi iklim Köppen; meskipun ada wilayah dengan tipe iklim yang berbeda).[122][123] Perairan yang hangat di wilayah Indonesia sangat berperan dalam menjaga suhu di darat tetap konstan, dengan rerata suhu di wilayah pesisir sebesar 28 °C, di wilayah pedalaman dan dataran tinggi sebesar 26 °C , serta di wilayah pegunungan sebesar 23 °C. Kelembapan berkisar antara 70 hingga 90%.[124]
Faktor utama yang memengaruhi iklim Indonesia bukanlah suhu udara ataupun tekanan udara, melainkan curah hujan. Variasi musim di Indonesia, yaitu musim hujan dan musim kemarau, berkaitan dengan pergerakan angin muson. Angin muson barat yang bertiup dari Asia ke Australia melalui Indonesia pada bulan Oktober hingga Februari mengakibatkan curah hujan yang tinggi, terutama di Indonesia bagian barat. Sementara itu, angin muson timur yang bergerak ke arah sebaliknya pada bulan April hingga Agustus tidak banyak membawa uap air dan menurunkan hujan. Selain itu, ada pula musim peralihan ketika matahari melintasi khatulistiwa yang mengakibatkan angin bertiup lemah dan bergerak tak menentu.[125][126] Meskipun demikian, tidak semua wilayah Indonesia memiliki pola curah hujan yang sama. Selain daerah musonal, ada pula daerah ekuatorial yang dipengaruhi daerah pertemuan angin antartropis, serta daerah lokal yang polanya berkebalikan dengan pola musonal.[127][128]
Beberapa penelitian memproyeksikan Indonesia terdampak perubahan iklim.[129] Dampak buruk yang ditimbulkan di antaranya kenaikan suhu rata-rata sekitar 1 °C pada pertengahan abad ini akibat emisi yang tidak berkurang,[130][131] peningkatan frekuensi kekeringan dan kekurangan pangan (akibat perubahan curah hujan dan pola musim yang memengaruhi pertanian), serta berbagai penyakit dan kebakaran hutan.[131] Naiknya permukaan air laut juga mengancam sebagian besar penduduk Indonesia yang tinggal di daerah pesisir.[131][132][133] Penduduk prasejahtera mungkin merupakan kelompok yang paling terpengaruh oleh perubahan iklim.[134]
Geologi
Secara tektonik, sebagian besar wilayah Indonesia sangat tidak stabil karena lokasinya menjadi pertemuan dari beberapa lempeng tektonik, seperti lempeng Indo-Australia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Eurasia. Negara ini terletak di Cincin Api Pasifik sehingga memiliki banyak gunung berapi dan sering mengalami gempa bumi.[135] Busur vulkanik berjajar mulai dari Sumatra, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, dan kemudian ke Kepulauan Banda di Maluku hingga ke timur laut Sulawesi.[136] Dari sekitar 400 gunung berapi, kurang lebih 130 di antaranya masih aktif.[135]
Sebuah letusan supervulkan pada sekitar 77.000 SM yang membentuk Danau Toba dipercaya mengakibatkan musim dingin vulkanik dan penurunan suhu dunia selama bertahun-tahun.[137] Letusan Tambora pada tahun 1815 dan letusan Krakatau pada 1883 juga termasuk letusan gunung terbesar yang tercatat sepanjang sejarah.[138][139] Gempa bumi berdorongan besar yang berdampak ke Indonesia dan terjadi belum lama ini adalah gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia 2004.[140]
Lingkungan hidup
Wilayah Indonesia memiliki keanekaragaman makhluk hidup yang tinggi sehingga dikelompokkan sebagai salah satu dari 17 negara megadiversitas oleh Conservation International.[141][142] Dari sudut pandang wilayah biogeografi, Indonesia termasuk dalam wilayah Malesia. Flora dan faunanya merupakan campuran dari spesies khas Asia dan Australasia. Alfred Russel Wallace, seorang ahli sejarah alam, menghipotesiskan sebuah garis pemisah (yang kemudian disebut garis Wallace) untuk membedakan organisme yang berasal dari Asia (Paparan Sunda) dan Australia (Paparan Sahul). Kawasan biogeografi yang menjadi zona transisi di antara kedua paparan ini disebut Wallacea.[143] Selain itu, garis Weber dan garis Lydekker juga digunakan untuk menetapkan batas biogeografi Indonesia.[144]
Indonesia memiliki sekitar 10% dari seluruh spesies tumbuhan berbunga di Bumi (sebanyak 25.000 spesies, 55% di antaranya endemik di Indonesia). Negara ini juga memiliki sekitar 12% spesies mamalia di Bumi (515 spesies) sehingga menempati peringkat kedua pada keanekaragaman mamalia setelah Brasil. Indonesia menempati peringkat keempat pada keanekaragaman spesies reptil (781 spesies) dan primata (35 spesies), peringkat kelima pada keanekaragaman spesies burung (1.592 spesies), serta peringkat keenam pada keanekaragaman spesies amfibi (270 spesies).[145]
Meskipun demikian, populasi penduduk Indonesia yang besar dan terus meningkat serta industrialisasi yang pesat memunculkan masalah lingkungan hidup yang serius, di antaranya perusakan lahan gambut, deforestasi ilegal berskala besar (yang mengakibatkan kabut asap di beberapa bagian Asia Tenggara), eksploitasi sumber daya laut yang berlebihan, polusi udara, pengelolaan sampah, hingga penyediaan air dan sanitasi yang memadai.[146] Isu-isu tersebut berkontribusi pada rendahnya peringkat Indonesia (nomor 116 dari 180 negara) dalam Indeks Kinerja Lingkungan 2020. Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa kinerja Indonesia secara umum di bawah rata-rata, baik dalam konteks regional maupun global.[147]
Pada tahun 2018, sekitar 49,7% dari luas daratan Indonesia ditutupi oleh hutan,[148] turun dari angka 87% yang dihitung pada tahun 1950.[149] Sejak dasawarsa 1970-an hingga saat ini, produksi kayu bulat serta berbagai tanaman perkebunan dan pertanian bertanggung jawab atas sebagian besar deforestasi di Indonesia.[149] Belakangan ini, deforestasi didorong oleh industri kelapa sawit. Meskipun dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, industri ini dapat merusak ekosistem dan menimbulkan masalah sosial.[150] Situasi ini menjadikan Indonesia sebagai penghasil emisi gas rumah kaca berbasis hutan terbesar di dunia,[151] serta mengancam kelangsungan hidup spesies asli dan endemik. Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) mengidentifikasi sejumlah spesies yang terancam kritis, termasuk jalak bali,[152] orang utan sumatra,[153] dan badak jawa.[154]
Politik dan pemerintahan
Sistem pemerintahan
Indonesia merupakan negara kesatuan yang menjalankan pemerintahan republik presidensial multipartai yang demokratis. Konstitusi Indonesia adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang pada era reformasi mengalami empat kali amendemen sehingga membawa perubahan besar pada kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.[155] Salah satu perubahan utama adalah pendelegasian kekuasaan dan wewenang kepada berbagai entitas regional sambil tetap menjadi negara kesatuan.[156][157]
Kekuasaan eksekutif dipegang oleh presiden yang dibantu oleh wakil presiden dan kabinet. Presiden Indonesia merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan, sekaligus panglima tertinggi Tentara Nasional Indonesia. Presiden dan wakil presiden dapat menjabat selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan.[158] Joko Widodo dan Ma'ruf Amin adalah pasangan presiden dan wakil presiden yang terpilih untuk masa jabatan 2019–2024. Mereka memimpin Kabinet Indonesia Maju yang terdiri atas 34 menteri dan sejumlah pejabat setingkat menteri.[159]
Lembaga perwakilan tertinggi yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang berwenang mengubah dan menetapkan konstitusi, serta melantik dan memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden.[160] Lembaga ini berbentuk bikameral yang terdiri dari 575 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berasal dari partai politik, ditambah dengan 136 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan wakil provinsi dari jalur independen.[161] Anggota DPR dan DPD dipilih melalui pemilihan umum dengan masa jabatan lima tahun. Fungsi yang dijalankan oleh DPR yaitu legislasi (membentuk undang-undang), anggaran (membahas dan menyetujui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), dan pengawasan (mengawasi kinerja pemerintah),[162][163] sedangkan DPD merupakan lembaga legislatif yang lebih dikhususkan pada pengelolaan daerah.[164][165] Saat ini, MPR diketuai oleh Bambang Soesatyo,[166] DPR diketuai oleh Puan Maharani,[167] sedangkan DPD diketuai oleh La Nyalla Mattalitti.[168]
Kekuasaan kehakiman dijalankan oleh Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).[169] Sementara itu, Komisi Yudisial mengawasi kinerja para hakim.[170]
Hubungan luar negeri
Indonesia memiliki 132 perwakilan diplomatik di luar negeri, termasuk 95 kedutaan.[172] Negara ini memiliki kebijakan politik luar negeri "bebas dan aktif", yang berarti bahwa Indonesia tidak berpihak pada blok-blok kekuatan dan persekutuan militer di dunia, sekaligus bersikap aktif dalam menjaga ketertiban dunia, sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945.[173]
Berlawanan dengan Sukarno yang anti-Imperialisme, antipati terhadap kekuatan barat, dan bersitegang dengan Malaysia, hubungan luar negeri sejak "Orde baru"-nya Suharto didasarkan pada ekonomi dan kerja sama politik dengan negara-negara barat.[174] Indonesia menjaga hubungan baik dengan tetangga-tetangganya di Asia, dan Indonesia adalah pendiri ASEAN dan East Asia Summit.
Indonesia menjalin hubungan kembali dengan Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1990, padahal sebelumnya melakukan pembekuan hubungan sehubungan dengan gejolak anti-komunis di awal kepemerintahan Suharto. Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-bangsa sejak tahun 1950,[175] dan pendiri Gerakan Non Blok dan Organisasi Kelompok Islam yang sekarang telah menjadi Organisasi Kerjasama Islam. Indonesia telah menandatangani perjanjian ASEAN Free Trade Area, Cairns Group, dan World Trade Organization, dan pernah menjadi anggota OPEC, meskipun Indonesia menarik diri pada tahun 2008 sehubungan Indonesia bukan lagi pengekspor minyak mentah bersih. Indonesia telah menerima bantuan kemanusiaan dan pembangunan sejak tahun 1966, terutama dari Amerika Serikat, negara-negara Eropa Barat, Australia, dan Jepang.
Pemerintah Indonesia telah bekerja sama dengan dunia internasional sehubungan dengan pengeboman yang dilakukan oleh militan Islam dan Al-Qaeda.[176] Pemboman besar menimbulkan korban 202 orang tewas (termasuk 164 turis mancanegara) di Kuta, Bali pada tahun 2012.[177] Serangan tersebut dan peringatan perjalanan (travel warnings) yang dikeluarkan oleh negara-negara lain, menimbulkan dampak yang berat bagi industri jasa perjalanan/turis dan juga prospek investasi asing.[178] Tetapi beruntung ekonomi Indonesia secara keseluruhan tidak terlalu dipengaruhi oleh hal-hal tersebut di atas, karena Indonesia adalah negara yang ekonomi domestiknya cukup kuat dan dominan.[butuh rujukan]
Militer
Tentara Nasional Indonesia terdiri dari TNI–AD, TNI-AL (termasuk Marinir) dan TNI-AU.[179] Berkekuatan 400.000 prajurit aktif, memiliki anggaran 4% dari GDP pada tahun 2006, tetapi terdapat kontroversi bahwa ada sumber-sumber dana dari kepentingan-kepentingan komersial dan yayasan-yayasan yang dilindungi oleh militer.[180] Satu hal baik dari reformasi sejalan dengan mundurnya Suharto adalah mundurnya TNI dari parlemen setelah bubarnya Dwi Fungsi ABRI, walaupun pengaruh militer dalam bernegara masih tetap kuat.[181] Gerakan separatis di sebagian daerah Aceh dan Papua telah menimbulkan konflik bersenjata, dan terjadi pelanggaran HAM serta kebrutalan yang dilakukan oleh kedua belah pihak.[182][183] Setelah 30 tahun perseteruan sporadis antara Gerakan Aceh Merdeka dan militer Indonesia, maka persetujuan gencatan senjata terjadi pada tahun 2005.[184] Di Papua, telah terjadi kemajuan yang mencolok, walaupun masih terjadi kekurangan-kekurangan, dengan diterapkannya otonomi, dengan akibat berkurangnya pelanggaran HAM.[185]
Pembagian administratif
Saat ini, Indonesia terdiri atas 38 provinsi,[186] 416 kabupaten dan 98 kota, 7.024 daerah setingkat kecamatan,[187] atau 81.626 daerah setingkat desa/kelurahan.[188]
Di antara provinsi-provinsi tersebut, sembilan di antaranya memiliki status kekhususan dan/atau keistimewaan. Daerah-daerah tersebut ialah Aceh, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Papua Barat, Papua Barat Daya, Papua, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan.
Tiap provinsi memiliki DPRD Provinsi dan gubernur, tiap kabupaten memiliki DPRD Kabupaten dan bupati, sementara tiap kota memiliki DPRD Kota dan wali kota; semuanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Hal tersebut tidak berlaku pada DKI Jakarta yang terbagi atas kabupaten administrasi atau kota administrasiyang bukanlah daerah otonom, sehingga DPR Kabupaten atau Kota tidak ada di dalam daerah-daerah tersebut, serta bupati dan wali kotanya adalah pegawai negeri yang ditunjuk oleh Gubernur DKI Jakarta.
Indonesia memperbolehkan penamaan lokal/khusus untuk digunakan pada daerah-daerah administratif di bawah tingkat kabupaten/kota, sesuai dengan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Beberapa contoh di antaranya ialah kalurahan, kapanewon, kemantren, gampong, kampung, nagari, pekon, dan distrik.
Berikut ini merupakan provinsi di Indonesia beserta ibu kotanya.
Ibu kota negara
Hingga saat ini, ibu kota negara Republik Indonesia berkedudukan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.[190] Namun sejak tahun 2019, Pemerintah Indonesia melaksanakan proses pemindahan ibu kota Indonesia ke Ibu Kota Nusantara, yang direncanakan akan diresmikan pada tahun 2024.[191]
Semenjak kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, ibu kota negara Indonesia secara de facto berkedudukan di Jakarta. Ibu kota negara sempat dipindahkan ke Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946 ketika pasukan Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA) menduduki Jakarta,[192] kemudian ke Bukittinggi pada tanggal 19 Desember 1948 ketika pemerintah pusat lumpuh karena ditawannya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta oleh pasukan militer Belanda dan tampuk pemerintahan dipegang sementara oleh Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI),[193] lalu kembali lagi ke Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949 setelah kembalinya Soekarno-Hatta dari penawanan. Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS), ibu kota Negara Bagian Republik Indonesia berkedudukan di Yogyakarta sementara ibu kota federal RIS berada di Jakarta. Setelah kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950, ibu kota negara kembali berkedudukan di Jakarta. Pada tanggal 28 Agustus 1961, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1961 yang mengukuhkan status Jakarta sebagai ibu kota negara.[194]
Pada tahun 2019, Presiden Joko Widodo melalui Pemerintah Pusat membuat kajian rancangan,[195] melakukan pencanangan,[196] dan menentukan letak wilayah dari ibu kota baru, yaitu sebagian dari wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara.[197] Pemerintah bahkan sempat membentuk tim-tim pelaksana pemindahan ibu kota pada bulan Januari 2020,[198][199] yang akan melaksanakan pembangunan pada pertengahan tahun 2020, tetapi harus ditunda akibat pandemi Covid-19.[200] Pada tanggal 18 Januari 2022, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-Undang Ibu Kota Negara, yang berisi pembentukan dan garis besar rencana pembangunan ibu kota baru, yang diberi nama Ibu Kota Nusantara, yang kemudian diundangkan pada tanggal 15 Februari 2022.[201] Upacara simbolis penyatuan tanah ketiga puluh empat provinsi di Indonesia saat itu dilakukan oleh Presiden Jokowi bersama para gubernur dan wakil gubernur se-Indonesia pada tanggal 14 Maret 2022 di Titik Nol Ibu Kota Nusantara.[202]
Ekonomi
Lebih dari Rp100 juta Rp50–100 juta Rp40–50 juta Rp30–40 juta | Rp20–30 juta Rp10–20 juta Rp5–10 juta Kurang dari Rp5 juta |
Sistem ekonomi Indonesia awalnya didukung dengan diluncurkannya Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) pada tanggal 30 Oktober 1946 yang menjadi mata uang pertama Republik Indonesia, yang selanjutnya berganti menjadi Rupiah.
Pada masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia tidak seutuhnya mengadaptasi sistem ekonomi kapitalis, namun juga memadukannya dengan nasionalisme ekonomi. Pemerintah yang belum berpengalaman, masih ikut campur tangan ke dalam beberapa kegiatan produksi yang berpengaruh bagi masyarakat banyak. Hal tersebut, ditambah pula kemelut politik, mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan pada ekonomi negara.[203]
Pemerintahan Orde Baru segera menerapkan disiplin ekonomi yang bertujuan menekan inflasi, menstabilkan mata uang, penjadwalan ulang utang luar negeri, dan berusaha menarik bantuan dan investasi asing.[203] Pada era tahun 1970-an harga minyak bumi yang meningkat menyebabkan melonjaknya nilai ekspor, dan memicu tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata yang tinggi sebesar 7% antara tahun 1968 sampai 1981.[203] Reformasi ekonomi lebih lanjut menjelang akhir tahun 1980-an, antara lain berupa deregulasi sektor keuangan dan pelemahan nilai rupiah yang terkendali,[203] selanjutnya mengalirkan investasi asing ke Indonesia khususnya pada industri-industri berorientasi ekspor pada antara tahun 1989 sampai 1997[204] Ekonomi Indonesia mengalami kemunduran pada akhir tahun 1990-an akibat krisis ekonomi tahun 1997 yang melanda sebagian besar Asia pada saat itu,[205] yang disertai pula berakhirnya masa Orde Baru dengan pengunduran diri Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998.
Saat ini ekonomi Indonesia telah cukup stabil. Pertumbuhan PDB Indonesia tahun 2004 dan 2005 melebihi 5% dan diperkirakan akan terus berlanjut.[206] Namun, dampak pertumbuhan itu belum cukup besar dalam memengaruhi tingkat pengangguran, yaitu sebesar 9,75%.[207][208] Perkiraan tahun 2006, sebanyak 17,8% masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan, dan terdapat 49,0% masyarakat yang hidup dengan penghasilan kurang dari AS$ 2 per hari.[209]
Indonesia mempunyai sumber daya alam yang besar di luar Jawa, termasuk minyak mentah, gas alam, timah, tembaga, dan emas. Indonesia pengekspor gas alam terbesar kelima[210] di dunia, meski akhir-akhir ini ia telah mulai menjadi pengimpor bersih minyak mentah. Hasil pertanian yang utama termasuk beras, teh, kopi, rempah-rempah, dan karet.[211] Zulkifli Hasan, Menteri Perdagangan, menyebutkan bahwa Peraturan Presiden №125/2022 berisi tentang cadangan pangan pemerintah yang menjadi prioritas dalam perekonomian negara.[212]
Sektor jasa adalah penyumbang terbesar PDB, yang mencapai 45,3% untuk PDB 2005. Sedangkan sektor industri menyumbang 40,7%, dan sektor pertanian menyumbang 14,0%.[213] Meskipun demikian, sektor pertanian mempekerjakan lebih banyak orang daripada sektor-sektor lainnya, yaitu 44,3% dari 95 juta orang tenaga kerja. Sektor jasa mempekerjakan 36,9%, dan sisanya sektor industri sebesar 18,8%.[214]
Rekan perdagangan terbesar Indonesia adalah Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara jirannya yaitu Malaysia, Singapura dan Australia.
Meski kaya akan sumber daya alam dan manusia, Indonesia masih menghadapi masalah besar dalam bidang kemiskinan yang sebagian besar disebabkan oleh korupsi yang merajalela dalam pemerintahan. Lembaga Transparency International menempatkan Indonesia sebagai peringkat ke-143 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi, yang dikeluarkannya pada tahun 2007.[215]
Peringkat internasional
Organisasi | Nama Survei | Peringkat |
---|---|---|
Heritage Foundation/The Wall Street Journal | Indeks Kebebasan Ekonomi | 69 dari 180[216] |
The Economist | Indeks Kualitas Hidup | 71 dari 111[217] |
Reporters Without Borders | Indeks Kebebasan Pers | 103 dari 168[218] |
Transparency International | Indeks Persepsi Korupsi | 98 dari 180[219] |
United Nations Development Programme | Indeks Pembangunan Manusia | 111 dari 189[220] |
Forum Ekonomi Dunia | Laporan Daya Saing Global | 45 dari 140[221] |
Central Connecticut State University | Peringkat Literasi Membaca | 60 dari 61[222] |
Demografi
Kependudukan
10.001 ke atas 1.001 ke 10.000 101 ke 1.000 11 ke 100 1 ke 10 |
Menurut sensus 2020, jumlah penduduk Indonesia yaitu 270,20 juta jiwa, yang menjadikannya negara berpenduduk terbanyak keempat di dunia,[223] dengan kepadatan penduduk sebanyak 141 jiwa per km2 dan rerata laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,25%.[224] Sebanyak 56,1% penduduk (151,59 juta jiwa) tinggal di Pulau Jawa yang merupakan pulau berpenduduk terbanyak di dunia.[225] Pada tahun 1961, sensus pertama setelah Indonesia merdeka mencatat 97 juta penduduk.[226] Populasi diperkirakan mungkin tumbuh menjadi sekitar 295 juta pada tahun 2030 dan 321 juta pada tahun 2050.[227] Indonesia diperkirakan memiliki usia median 31,1 tahun,[228] dan mulai mengalami bonus demografi, yaitu masa ketika jumlah penduduk usia produktif jauh melebihi penduduk usia nonproduktif.[229]
Sebaran penduduk Indonesia tidak merata, dengan tingkat perkembangan yang bervariasi, mulai dari megakota Jakarta hingga suku-suku tak terjamah di Papua.[230] Pada 2017, sekitar 54,7% populasi tinggal di kawasan perkotaan.[231] Sekitar 8 juta orang Indonesia tinggal di luar negeri; sebagian besar dari mereka menetap di Malaysia, Belanda, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Hong Kong, Singapura, Amerika Serikat, dan Australia.[232]
Secara legal, status kewarganegaraan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006. Warga Negara Indonesia (WNI) diberikan kartu identitas berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang mendaftarkan seseorang di suatu wilayah administratif tertentu. Status kewarganegaraan Indonesia dapat diperoleh malalui kelahiran, adopsi, perkawinan, atau pewarganegaraan.[233]
Kota | Provinsi | Populasi | Kota | Provinsi | Populasi | |||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1 | Jakarta | Daerah Khusus Ibukota Jakarta | 11.135.191 | Indonesia |
7 | Makassar | Sulawesi Selatan | 1.477.861 | ||
2 | Surabaya | Jawa Timur | 3.017.382 | 8 | Batam | Kepulauan Riau | 1.294.548 | |||
3 | Bandung | Jawa Barat | 2.579.837 | 9 | Pekanbaru | Riau | 1.138.530 | |||
4 | Medan | Sumatera Utara | 2.539.829 | 10 | Bandar Lampung | Lampung | 1.073.451 | |||
5 | Palembang | Sumatera Selatan | 1.781.672 | 11 | Padang | Sumatera Barat | 939.851 | |||
6 | Semarang | Jawa Tengah | 1.699.585 | 12 | Malang | Jawa Timur | 885.271 | |||
Sumber: Data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (per 30 Juni 2024). Catatan: Tidak termasuk kota satelit. |
Suku bangsa
Indonesia merupakan negara yang kaya akan kelompok etnik, dengan sekitar 1.340 suku bangsa.[234] Sebagian besar penduduk Indonesia merupakan keturunan Bangsa Austronesia,[235] dan terdapat juga kelompok-kelompok suku Melanesia, serta kemungkinan Polinesia dan Mikronesia, terutama di Indonesia bagian timur.[236] Kelompok suku menurut bahasa dan asal daerah, misalnya Suku Melayu, Minangkabau, Jawa, Sunda, Batak, Madura, dan lainnya.[237] Menurut sensus 2010, sekitar 40-42% penduduk merupakan suku Jawa yang menghuni hampir seluruh wilayah Indonesia sebagai akibat program transmigrasi.[238] Meskipun demikian, rasa kebangsaan Indonesia dipegang oleh warga negara Indonesia bersama dengan identitas regional yang kuat.[239]
Istilah bumiputra dan pribumi pernah digunakan untuk menyebut kelompok orang yang berbagi warisan sosial budaya yang sama dan dianggap sebagai penduduk asli Indonesia.[240] Pada tahun 1998, Presiden B.J. Habibie menginstruksikan untuk menghentikan penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi dalam kehidupan bernegara.[241][242] Sejumlah etnis Asia daratan, seperti etnis Tionghoa, Arab, dan India, sudah lama datang ke Nusantara dan kemudian menetap dan berasimilasi menjadi bagian dari Nusantara. Sensus 2010 mencatat ada sekitar 5 juta WNI yang dikelompokkan sebagai etnis Tionghoa yang tersebar merata di hampir seluruh wilayah di Indonesia (terutama perkotaan) dan 3 juta jiwa dikelompokkan sebagai etnis Arab yang khususnya berada di Pulau Jawa, Sumatera, sebagian Kalimantan, dan sebagian Sulawesi. Sedangkan untuk orang keturunan India populasinya hanya sekitar ratusan ribu saja yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia seperti Medan, Jakarta, Pekanbaru, dan Banda Aceh. Beberapa tempat khususnya di Kota Medan, terdapat wilayah dengan orang etnis/keturunan India yang cukup signifikan yakni di Little India dan Kampung Madhras. [243]
Bahasa
Indonesia memiliki lebih dari 700 bahasa daerah,[244][245] yang secara umum dipertuturkan oleh mayoritas penduduk Indonesia sebagai bahasa ibu dan bahasa sehari-hari.[246] Sebagian besar bahasa daerah tersebut termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia, dan di samping itu, ada lebih dari 270 bahasa Papua yang digunakan di Indonesia bagian timur.[247] Menurut jumlah penuturnya, bahasa daerah yang paling banyak digunakan sehari-hari secara berturut-turut adalah Melayu, Jawa, Sunda, Madura, Batak, Minangkabau, Bugis, Betawi, dan Banjar.[248]
Bahasa resmi negara ini adalah bahasa Indonesia, yang merupakan salah satu dari banyak varietas bahasa Melayu.[249] Bahasa Indonesia diajukan sebagai bahasa persatuan sejak masa pergerakan kemerdekaan Indonesia melalui Sumpah Pemuda dan ditetapkan oleh konstitusi pada 1945.[250] Campur tangan negara terhadap bahasa nasional diselenggarakan melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.[251]
Beberapa bahasa asing diajarkan dalam pendidikan formal. Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional telah diperkenalkan kepada para pelajar mulai jenjang pendidikan dasar.[252] Bahasa asing lainnya, seperti bahasa Jerman, Prancis, dan Jepang, diajarkan di sejumlah sekolah sebagai pelengkap pada jenjang sekolah menengah atas.[253] Bagi penganut agama Islam yang menjadi kaum mayoritas di Indonesia,[74] bahasa Arab adalah bahasa asing yang memiliki kedudukan khusus karena harus dipraktikkan dalam ibadah harian tertentu, misalnya salat,[254] dan diajarkan di madrasah ibtidaiah dan jenjang selanjutnya.[255] Meskipun demikian, bahasa Arab tidak menjadi bahasa pergaulan umum sejak periode awal keberadaannya di Indonesia.[256]
Agama
Meskipun menjamin kebebasan beragama dalam konstitusi,[257] pemerintah hanya mengakui enam agama resmi: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu: sementara itu, penganut agama tradisional ataupun agama-agama lainnya hanya mendapatkan pengakuan terbatas sebagai "penghayat kepercayaan".[258][259] Dengan 231 juta penganut pada tahun 2018, Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia. Sebanyak sekitar hampir 30 juta penduduk Indonesia atau lebih tepatnya 28,6 juta jiwa menganut agama Kristen, di mana 20,2 juta penduduk merupakan penganut aliran Kristen Protestan sedangkan 8,3 juta penganut Kristen Katolik, 4,7 juta penganut Hindu, 2 juta penganut Buddha, 81 ribu penganut Konghucu, dan 108 ribu penganut aliran kepercayaan lainnya (terutama agama tradisional/lokal).[74] Agama Islam dipeluk oleh hampir seluruh warga Indonesia (sekitar 86,70%), Agama Kristen (Protestan & Katolik) kebanyakkan dipeluk oleh beberapa suku, yakni: Batak, Toraja, Dayak, Nias, Minahasa, Ambon, dan lainnya. Kebanyakan pemeluk Hindu adalah Suku Bali dan Orang keturunan India di Indonesia[260] serta kebanyakan pemeluk Buddha dan Konghucu adalah orang Tionghoa-Indonesia.[261]
Penduduk asli Indonesia pada awalnya mempraktikkan animisme, paganisme dan dinamisme lokal, yang merupakan kepercayaan umum bangsa Austronesia. Mereka menyembah roh leluhur dan percaya bahwa roh gaib (hyang) mungkin menghuni tempat-tempat tertentu, seperti pohon besar, batu, hutan, gunung, atau tempat keramat.[262] Contoh kepercayaan asli Indonesia di antaranya Sunda Wiwitan, Kaharingan, dan Kejawen. Mereka memberikan dampak yang signifikan pada penerapan agama-agama lain, seperti abangan Jawa, Hindu Bali, dan Kristen Dayak, yang dipraktikkan sebagai bentuk agama yang kurang ortodoks dan sinkretis.[263][264]
Pengaruh agama Hindu mencapai Nusantara pada awal abad pertama Masehi.[265] Kerajaan Salakanagara di Jawa Barat sekitar tahun 130 merupakan kerajaan terkait India Raya pertama yang tercatat dalam sejarah Nusantara.[266] Agama Buddha tiba sekitar abad ke-6,[267] dan sejarahnya di Indonesia berhubungan erat dengan agama Hindu karena kedua agama ini dianut oleh beberapa kerajaan pada periode yang sama. Nusantara mengalami kebangkitan dan kejatuhan kerajaan Hindu dan Buddha yang kuat dan berpengaruh, seperti Majapahit, Sailendra, Sriwijaya, dan Medang. Meski tidak lagi menjadi mayoritas, agama Hindu dan Buddha tetap memiliki pengaruh besar pada budaya Indonesia.[268][269]
Agama Islam diperkenalkan oleh para pedagang Suni dari mazhab Syafi'i serta para pedagang Sufi dari anak benua India dan Arab Selatan pada awal abad ke-8 M.[270][76] Pada sebagian besar perkembangannya, Islam mengalami pencampuran dan saling memengaruhi budaya yang ada sehingga menghasilkan bentuk Islam dengan ciri tersendiri, seperti adanya pesantren.[271][272] Perdagangan dan aktivitas dakwah seperti yang dilakukan oleh Wali Songo dan penjelajah Tiongkok Cheng Ho, serta kampanye militer oleh beberapa kesultanan membantu mempercepat penyebaran Islam.[76][273]
Agama Katolik dibawa oleh para pedagang dan misionaris Portugis seperti Yesuit Fransiskus Xaverius, yang mengunjungi dan membaptis beberapa ribu penduduk setempat.[274][275] Penyebarannya menghadapi kesulitan karena kebijakan Perusahaan Hindia Timur Belanda yang melarang agama dan permusuhan oleh Belanda sebagai akibat dari Perang Delapan Puluh Tahun melawan pemerintahan Katolik Spanyol. Protestantisme, sebagian besar, merupakan hasil dari upaya misionaris Calvinis dan Lutheran selama era kolonial Belanda.[276][277][278] Meskipun keduanya merupakan cabang Kekristenan yang paling umum, ada banyak denominasi lain di negara ini.[279]
Jumlah penganut agama Yahudi cukup besar di Nusantara setidaknya sampai tahun 1945, yang kebanyakan merupakan orang Belanda dan orang Yahudi Baghdadi. Sebagian besar di antara mereka meninggalkan Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan dan agama Yahudi tidak pernah mendapatkan status resmi. Saat ini hanya sejumlah kecil orang Yahudi di Indonesia, yang kebanyakan berada di Jakarta dan Surabaya.[280]
Pada tingkat nasional dan regional, kepemimpinan dalam politik dan kelompok masyarakat sipil di Indonesia telah memainkan peran penting dalam hubungan antaragama, baik secara positif maupun negatif. Sila pertama Pancasila yang merupakan landasan filosofis Indonesia, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, sering menjadi pengingat toleransi beragama,[281] meskipun kasus-kasus intoleransi juga telah terjadi.[282] Sebagian besar orang Indonesia menganggap agama sebagai hal yang esensial dan bagian integral dari kehidupan.[283][284]
Pendidikan dan kesehatan
Sesuai dengan konstitusi yang berlaku,[285] serta Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pemerintah Indonesia baik pusat maupun daerah wajib mengalokasikan anggaran untuk pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD di luar gaji pendidik dan biaya kedinasan. Semua penduduk wajib mengikuti program wajib belajar sembilan tahun, yang meliputi enam tahun di sekolah dasar dan tiga tahun di sekolah menengah pertama.[286] Pada 2018, tingkat partisipasi penduduk sebesar 93% untuk pendidikan dasar, 79% untuk pendidikan menengah, dan 36% untuk pendidikan tinggi, sementara tingkat melek huruf adalah 96%.[53] Pemerintah menghabiskan sekitar 3,6% dari PDB atau 20,5% dari anggaran negara (2015) untuk pendidikan.[53] Pada tahun 2018, terdapat lebih dari 4.500 perguruan tinggi di Indonesia,[287] dengan universitas terkemuka (seperti Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, dan lainnya) berlokasi di Pulau Jawa.[288]
Anggaran pemerintah untuk sektor kesehatan adalah sekitar 3,3% dari PDB pada tahun 2016.[289] Sebagai bagian dari upaya mencapai cakupan kesehatan semesta, pemerintah meluncurkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada tahun 2014.[290] Meskipun ada peningkatan yang luar biasa dalam beberapa dekade terakhir seperti meningkatnya angka harapan hidup (dari 62,3 tahun pada tahun 1990 menjadi 71,7 tahun pada tahun 2019)[291] dan penurunan kematian anak (dari 84 kematian per 1.000 kelahiran pada tahun 1990 menjadi 25,4 kematian pada tahun 2017),[292] Indonesia terus-menerus menghadapi berbagai tantangan, seperti kesehatan ibu dan anak, kualitas udara yang rendah, kurang gizi, tingginya tingkat merokok, dan penyakit menular.[293]
Indeks Pembangunan Manusia
Menurut UNDP, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia mencapai angka 0,707[220] pada Laporan Pembangunan Manusia 2019 untuk perkiraan IPM tahun 2018 dan menempati status tinggi, sedangkan menurut Badan Pusat Statistik (BPS), IPM Indonesia tahun 2020 telah mencapai angka 71,94 (0,719)[294] dan menempati status tinggi pada tahun 2016.
Perbedaan IPM yang dilaporkan UNDP melalui Human Development Report (HDR) dengan BPS terletak pada besarnya angka IPM dan perincian. Selama ini, memang perbedaan angka IPM sudah dianggap lazim. Namun, sejak sekitar tahun 2011, perbedaan angka IPM UNDP dan BPS meningkat secara signifikan. Dalam perihal perincian, karena UNDP melaporkan dalam tingkat internasional, laporan IPM Indonesia tidak dilaporkan hingga tingkat yang lebih rendah. Sebaliknya, karena BPS hanya melaporkan di tingkat nasional, BPS lebih memerinci, bahkan hingga IPM di tingkat kota/kabupaten dalam laporan beberapa tahun (laporan IPM hingga tingkat kota/kabupaten jarang). Namun, yang selalu dilaporkan di bawah tingkat nasional tentunya adalah laporan IPM di tingkat provinsi/daerah.
Berikut ini adalah daftar provinsi Indonesia menurut IPM tahun 2020 dibandingkan tahun 2019 menurut BPS.[294]
Peringkat | Provinsi | IPM | Perubahan (%) |
---|---|---|---|
Pembangunan Manusia Sangat Tinggi | |||
1 | Daerah Khusus Ibukota Jakarta | 80,77 (0,808) | 0,01 (0,01%) |
Pembangunan Manusia Tinggi | |||
2 | Daerah Istimewa Yogyakarta | 79,97 (0,800) | -0,02 (-0,03%) |
3 | Kalimantan Timur | 76,24 (0,762) | -0,37 (-0,48%) |
4 | Kepulauan Riau | 75,59 (0,756) | 0,11 (0,15%) |
5 | Bali | 75,5 (0,755) | 0,12 (0,16%) |
6 (1) | Sulawesi Utara | 72,93 (0,729) | -0,06 (-0,08%) |
7 (1) | Riau | 72,71 (0,727) | -0,29 (-0,40%) |
8 | Banten | 72,45 (0,725) | 0,01 (0,01%) |
9 | Sumatera Barat | 72,38 (0,724) | -0,01 (-0,01%) |
10 | Jawa Barat | 72,09 (0,721) | 0,06 (0,08%) |
11 | Aceh | 71,99 (0,720) | 0,09 (0,13%) |
Indonesia | 71,94 (0,719) | 0,02 (0,03%) | |
12 (2) | Sulawesi Selatan | 71,93 (0,719) | 0,27 (0,38%) |
13 | Jawa Tengah | 71,87 (0,719) | 0,14 (0,20%) |
14 (2) | Sumatera Utara | 71,77 (0,718) | 0,03 (0,04%) |
15 | Jawa Timur | 71,71 (0,717) | 0,21 (0,29%) |
16 | Kepulauan Bangka Belitung | 71,47 (0,715) | 0,17 (0,24%) |
17 (2) | Sulawesi Tenggara | 71,45 (0,715) | 0,25 (0,35%) |
18 | Bengkulu | 71,4 (0,714) | 0,19 (0,27%) |
19 (2) | Jambi | 71,29 (0,713) | 0,03 (0,04%) |
20 (1) | Kalimantan Tengah | 71,05 (0,711) | 0,14 (0,20%) |
21 (1) | Kalimantan Selatan | 70,91 (0,709) | 0,19 (0,27%) |
22 (2) | Kalimantan Utara | 70,63 (0,706) | -0,52 (-0,73%) |
23 | Sumatera Selatan | 70,01 (0,700) | -0,01 (-0,01%) |
Pembangunan Manusia Sedang | |||
24 | Lampung | 69,69 (0,697) | 0,12 (0,17%) |
25 | Sulawesi Tengah | 69,55 (0,696) | 0,05 (0,07%) |
26 | Maluku | 69,49 (0,695) | 0,04 (0,06%) |
27 (1) | Gorontalo | 68,68 (0,687) | 0,19 (0,28%) |
28 (1) | Maluku Utara | 68,49 (0,685) | -0,21 (-0,31%) |
29 | Nusa Tenggara Barat | 68,25 (0,683) | 0,11 (0,16%) |
30 | Kalimantan Barat | 67,66 (0,677) | 0,01 (0,01%) |
31 | Sulawesi Barat | 66,11 (0,661) | 0,38 (0,58%) |
32 | Nusa Tenggara Timur | 65,19 (0,652) | -0,04 (-0,06%) |
33 | Papua Barat | 65,09 (0,651) | 0,39 (0,60%) |
34 | Papua | 60,44 (0,604) | -0,40 (-0,66%) |
Budaya
Pertunjukan
Indonesia memiliki sekitar 300 kelompok etnis, tiap etnis memiliki warisan budaya yang berkembang selama berabad-abad, dipengaruhi oleh kebudayaan India, Arab, Tiongkok, Eropa, dan termasuk kebudayaan sendiri yaitu Melayu. Contohnya tarian Jawa dan Bali tradisional memiliki aspek budaya dan mitologi Hindu, seperti Wayang Kulit yang menampilkan kisah-kisah tentang kejadian mitologis Hindu Ramayana dan Baratayuda. Banyak juga seni tari yang berisikan nilai-nilai Islam. Beberapa di antaranya dapat ditemukan di daerah Sumatra seperti tari Ratéb Meuseukat, Tari Saman, dan tari Seudati dari Aceh.
Seni pantun, gurindam, dan sebagainya dari pelbagai daerah seperti pantun Melayu, dan pantun-pantun lainnya acapkali dipergunakan dalam acara-acara tertentu yaitu perhelatan, pentas seni, dan lain-lain.
Busana
Di bidang busana warisan budaya yang terkenal di seluruh dunia adalah kerajinan Batik. Beberapa daerah yang terkenal akan industri Batik meliputi Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, Pandeglang, Garut, Tasikmalaya dan juga Pekalongan. Kerajinan Batik ini pun diklaim oleh negara lain dengan industri Batiknya.[295] Busana asli Indonesia dari Sabang sampai Merauke lainnya dapat dikenali dari ciri-cirinya yang dikenakan di setiap daerah antara lain baju Kurung dengan Songketnya dari Sumatra Barat (Minangkabau), kain Ulos dari Sumatra Utara (Batak), busana Kebaya, busana khas Dayak di Kalimantan, baju Bodo dari Sulawesi Selatan, busana Koteka dari Papua dan sebagainya.
Arsitektur
Arsitektur Indonesia mencerminkan keanekaragaman budaya, sejarah, dan geografi yang membentuk Indonesia seutuhnya. Kaum penyerang, penjajah, penyebar agama, pedagang, dan saudagar membawa perubahan budaya dengan memberi dampak pada gaya dan teknik bangunan. Tradisionalnya, pengaruh arsitektur asing yang paling kuat adalah dari India. Tetapi, Tiongkok, Arab, dan sejak abad ke-19 pengaruh Eropa menjadi cukup dominan.
Ciri khas arsitektur Indonesia kuno masih dapat dilihat melalui rumah-rumah adat dan/atau istana-istana kerajaan dari tiap-tiap provinsi. Taman Mini Indonesia Indah, salah satu objek wisata di Jakarta yang menjadi miniatur Indonesia, menampilkan keanekaragaman arsitektur Indonesia itu. Beberapa bangunan khas Indonesia misalnya Rumah Gadang, Monumen Nasional, dan Bangunan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan di Institut Teknologi Bandung.
Olahraga
Olahraga yang paling populer di Indonesia adalah sepak bola dan bulu tangkis.[butuh rujukan] BRI Liga 1 adalah liga klub sepak bola utama di Indonesia.[butuh rujukan] Olahraga tradisional Indonesia termasuk sepak takraw dan karapan sapi. Di wilayah dengan sejarah perang antar suku, kontes pertarungan diadakan, seperti caci di Flores, dan pasola di Sumba. Pencak silat adalah seni bela diri yang unik yang berasal dari wilayah Indonesia. Seni bela diri ini kadang-kadang ditampilkan pada acara-acara pertunjukkan yang biasanya diikuti dengan musik tradisional Indonesia berupa Gamelan dan seni musik tradisional lainnya sesuai dengan daerah asalnya. Olahraga di Indonesia biasanya berorientasi pada pria dan olahraga spektator sering berhubungan dengan judi yang ilegal di Indonesia.[296]
Di ajang kompetisi multi cabang, prestasi atlet-atlet Indonesia tidak terlalu mengesankan. Di Olimpiade, prestasi terbaik Indonesia diraih pada saat Olimpiade 1992, di mana Indonesia menduduki peringkat 24 dengan meraih 2 emas 2 perak dan 1 perunggu, kelima medali tersebut diraih melalui cabang bulu tangkis. Pada era 1960 hingga 2000, Indonesia merajai bulu tangkis. Atlet-atlet putra Indonesia seperti Rudi Hartono, Liem Swie King, Icuk Sugiarto, Alan Budikusuma, Ricky Subagja, dan Rexy Mainaky merajai kejuaraan-kejuaraan dunia. Rudi Hartono yang dianggap sebagai maestro bulu tangkis dunia, menjadi juara All England terbanyak sepanjang sejarah perbulu tangkisan Indonesia. Ia meraih 8 gelar juara, dengan 7 gelar diraihnya secara berturut-turut. Selain bulu tangkis, atlet-atlet tinju Indonesia juga mampu meraih gelar juara dunia, seperti Elyas Pical, Nico Thomas,[297] dan Chris John.[298] dalam ajang sepak bola internasional, Timnas Indonesia (Hindia Belanda) adalah tim Asia pertama yang berpartisipasi di Piala Dunia pada tahun 1938 di Prancis.[299]
Seni musik
Seni musik di Indonesia, baik tradisional maupun modern sangat banyak terbentang dari Sabang hingga Merauke. Setiap provinsi di Indonesia memiliki musik tradisional dengan ciri khasnya tersendiri. Musik tradisional termasuk juga Keroncong yang berasal dari keturunan Portugis di daerah Tugu, Jakarta,[300] yang dikenal oleh semua rakyat Indonesia bahkan hingga ke mancanegara. Ada juga musik yang merakyat di Indonesia yang dikenal dengan nama dangdut yaitu musik beraliran Melayu modern yang dipengaruhi oleh musik India sehingga musik dangdut ini sangat berbeda dengan musik tradisional Melayu yang sebenarnya, seperti musik Melayu Deli, Melayu Riau, dan sebagainya.
Alat musik tradisional yang merupakan alat musik khas Indonesia memiliki banyak ragam dari pelbagai daerah di Indonesia, namun banyak pula alat musik tradisional Indonesia yang diklaim oleh negara lain[301] untuk kepentingan penambahan budaya dan seni musiknya sendiri dengan mematenkan hak cipta seni dan warisan budaya Indonesia ke lembaga Internasional UNESCO. Alat musik tradisional Indonesia antara lain meliputi:
|
|
Kuliner
Masakan Indonesia bervariasi bergantung pada wilayahnya.[302] Nasi adalah makanan pokok dan dihidangkan dengan lauk daging dan sayur. Bumbu (terutama cabai), santan, ikan, dan ayam adalah bahan yang penting.[303]
Sepanjang sejarah, Indonesia telah menjadi tempat perdagangan antara dua benua. Ini menyebabkan terbawanya banyak bumbu, bahan makanan dan teknik memasak dari bangsa Melayu sendiri, India, Timur tengah, Tionghoa, dan Eropa. Semua ini bercampur dengan ciri khas makanan Indonesia tradisional, menghasilkan banyak keanekaragaman yang tidak ditemukan di daerah lain. Bahkan bangsa Spanyol dan Portugis, telah mendahului bangsa Belanda dengan membawa banyak produk dari dunia baru ke Indonesia.[butuh rujukan]
Sambal, sate, bakso, soto, dan nasi goreng adalah beberapa contoh makanan yang biasa dimakan masyarakat Indonesia setiap hari.[304] Selain disajikan di warung atau restoran, terdapat pula aneka makanan khas Indonesia yang dijual oleh para pedagang keliling menggunakan gerobak atau pikulan. Pedagang ini menyajikan bubur ayam, mie ayam, mi bakso, mi goreng, nasi goreng, aneka macam soto, siomay, sate, nasi uduk, dan lain-lain.
Rumah makan Padang yang menyajikan nasi Padang, yaitu nasi disajikan bersama aneka lauk-pauk Masakan Padang, mudah ditemui di berbagai kota di Indonesia.[butuh rujukan] Selain itu Warung Tegal yang menyajikan masakan Jawa khas Tegal dengan harga yang terjangkau juga tersebar luas.[butuh rujukan] Nasi rames atau nasi campur yang berisi nasi beserta lauk atau sayur pilihan dijual di warung nasi di tempat-tempat umum, seperti stasiun kereta api, pasar, dan terminal bus. Di Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya dikenal nasi kucing sebagai nasi rames yang berukuran kecil dengan harga murah, nasi kucing sering dijual di atas angkringan, sejenis warung kaki lima. Penganan kecil semisal kue-kue banyak dijual di pasar tradisional. Kue-kue tersebut biasanya berbahan dasar beras, ketan, ubi kayu, ubi jalar, terigu, atau sagu.
Perfilman
Film pertama yang diproduksi pertama kalinya di nusantara adalah film bisu tahun 1926 yang berjudul Loetoeng Kasaroeng dan dibuat oleh sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp pada zaman Hindia Belanda.[butuh rujukan] Film ini dibuat dengan aktor lokal oleh Perusahaan Film Jawa NV di Bandung dan muncul pertama kalinya pada tanggal 31 Desember, 1926 di teater Elite and Majestic, Bandung. Setelah itu, lebih dari 2.200 film diproduksi. Pada masa awal kemerdekaan, sineas-sineas Indonesia belum banyak bermunculan. Di antara sineas yang ada, Usmar Ismail adalah salah satu sutradara paling produktif, dengan film pertamanya Harta Karun (1949).[butuh rujukan] Namun kemudian film pertama yang secara resmi diakui sebagai film pertama Indonesia sebagai negara berkedaulatan adalah film Darah dan Doa (1950) yang disutradarai Usmar Ismail. Dekade 1970 hingga 2000-an, Arizal muncul sebagai sutradara film paling produktif. Tak kurang dari 52 buah film dan 8 judul sinetron dengan 1.196 episode telah dihasilkannya.[butuh rujukan]
Popularitas industri film Indonesia memuncak pada tahun 1980-an dan mendominasi bioskop di Indonesia,[305] meskipun kepopulerannya berkurang pada awal tahun 1990-an. Antara tahun 2000 hingga 2005, jumlah film Indonesia yang dirilis setiap tahun meningkat.[305] Film Laskar Pelangi (2008) yang diangkat dari novel karya Andrea Hirata menjadi film terlaris Indonesia dengan jumlah penonton terbanyak sepanjang sejarah perfilman Indonesia hingga tahun 2016.[306]
Kesusastraan
Bukti tulisan tertua di Indonesia adalah berbagai prasasti berbahasa Sanskerta pada abad ke-5 Masehi.[307] Figur penting dalam sastra modern Indonesia termasuk: pengarang Belanda Multatuli yang mengkritik perlakuan Belanda terhadap Indonesia selama zaman penjajahan Belanda; Muhammad Yamin dan Hamka yang merupakan penulis dan politikus pra-kemerdekaan;[308] dan Pramoedya Ananta Toer, pembuat novel Indonesia yang paling terkenal.[309] Selain novel, sastra tulis Indonesia juga berupa puisi, pantun, dan sajak. Chairil Anwar adalah penulis puisi Indonesia yang paling ternama. Banyak orang Indonesia memiliki tradisi lisan yang kuat, yang membantu mendefinisikan dan memelihara identitas budaya mereka.[310]
Kebebasan pers dan media publik
Kebebasan pers di Indonesia meningkat setelah berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto. Jaringan televisi publik TVRI bersaing dengan jaringan televisi swasta nasional dan stasiun daerah; begitu pula dengan jaringan radio publik RRI yang bersaing dengan jaringan radio swasta yang menyiarkan berita dan hiburan.
Internet
Pada tahun 2007, dilaporkan bahwa 20 juta penduduk Indonesia menjadi pengguna internet.[311] Kemudian pada tahun 2014, jumlah pengguna internet bertambah pesat menjadi 83,7 juta orang atau terbanyak keenam di dunia.[312] Pada tahun 2019, yaitu tahun sebelum pandemi Covid-19 berlangsung, diperkirakan jumlah pengguna internet di Indonesia adalah 175 juta jiwa. Sementara pada tahun 2022, pengguna internet di Indonesia telah menyentuh angka 210 juta jiwa, yaitu sekitar 77% dari jumlah penduduk Indonesia.[313]
Lihat pula
Referensi
- ^ Simons, Gary F.; Fennig, Charles D. "Ethnologue: Languages of the World, Twenty-first edition" (dalam bahasa Inggris). SIL International. Diakses tanggal 20 September 2018.
- ^ Na'im, Akhsan; Syaputra, Hendry (Agustus 2010). "Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia" (PDF). Badan Pusat Statistik (BPS). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 23 September 2015. Diakses tanggal 23 September 2015.
- ^ "Mengulik Data Suku di Indonesia". Badan Pusat Statistik. 18 November 2015. Diakses tanggal 1 Januari 2021.
- ^ "Statistik Umat Menurut Agama di Indonesia 2022". Kementerian Agama Republik Indonesia. 15 Mei 2022. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 September 2020. Diakses tanggal 26 Juli 2024.
- ^ "Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut Indonesia". BPS. 15 Mei 2010. Diakses tanggal 29 September 2020.
- ^ "UN Statistics" (PDF) (dalam bahasa Inggris). Perserikatan Bangsa-Bangsa. 2005. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 31 Oktober 2007. Diakses tanggal 31 Oktober 2007.
- ^ "Indonesian Population June 2023". Ministry of Home Affairs (Indonesia). Diakses tanggal 28 October 2023.
- ^ "Jumlah Penduduk Hasil SP menurut Wilayah dan Jenis Kelamin, Indonesia 2020". Badan Pusat Statistik. Diakses tanggal 31 Mei 2022.
- ^ a b c d "Report for Selected Countries and Subjects". International Monetary Fund. Diakses tanggal 21 Agustus 2024.
- ^ "GINI index (World Bank estimate) - Indonesia" (dalam bahasa Inggris). Bank Dunia. 2021. Diakses tanggal 4 Mei 2022.
- ^ Human Development Report 2023-2024: Breaking the gridlock: Reimagining cooperation in a polarized world (PDF) (dalam bahasa Inggris). Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa. 13 Maret 2024. hlm. 274-277. Diakses tanggal 13 Maret 2024.
- ^ "Demographic Yearbook 72nd Issue" (PDF). United Nations - Department of Economic and Social Affairs. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-01-30. Diakses tanggal 30 Januari 2023.
- ^ "Which Countries Have The Most Islands?". World Atlas (dalam bahasa Inggris). 5 Oktober 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-24. Diakses tanggal 23 April 2022.
- ^ a b c Justus M. van der Kroef (1951). "The Term Indonesia: Its Origin and Usage". Journal of the American Oriental Society. 71 (3): 166–171. doi:10.2307/595186. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 April 2020. Diakses tanggal 2 Agustus 2008.
- ^ "Indonesian Population 2022". Ministry of Home Affairs (Indonesia). Diakses tanggal 12 April 2023.
- ^ "Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut". Jakarta: Badan Pusat Statistik. 15 Mei 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 Desember 2017. Diakses tanggal 28 Februari 2019.
- ^ Ricklefs 2001, hlm. 379.
- ^ "Portal Jurnal Elektronik Universitas Negeri Malang". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-01. Diakses tanggal 27 Februari 2022.
- ^ Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Satu Naskah Diarsipkan 2022-08-13 di Wayback Machine..
- ^ "RUU Ibu Kota Negara Sah Jadi Undang-Undang". Republika. 18 Januari 2022. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-13. Diakses tanggal 18 Januari 2022.
- ^ Leo Suryadinata, Evi Nurvidya Arifin, Aris Ananta; Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape; Institute of Southeast Asian Studies, 2003
- ^ Tomascik, T.; Mah, A.J. (1997). The Ecology of the Indonesian Seas–Part One. Hong Kong: Periplus Editions Ltd. ISBN 962-593-078-7. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-20. Diakses tanggal 2021-08-10.
- ^ a b Anshory, Irfan (16 Agustus 2004). "Asal Usul Nama Indonesia". Pikiran Rakyat. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2006. Diakses tanggal 5 Oktober 2006.
- ^ Earl, George S.W. (1850). "On The Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations". Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA): 119.
- ^ Logan, James Richardson (1850). "The Ethnology of the Indian Archipelago: Embracing Enquiries into the Continental Relations of the Indo-Pacific Islanders". Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA): 4, 252–347.
- ^ Earl, George S.W. (1850). "On The Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations". Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA): 254, 277–278.
- ^ Pope (1988). "Recent advances in far eastern paleoanthropology". Annual Review of Anthropology. 17: 43–77. doi:10.1146/annurev.an.17.100188.000355. cited in Whitten, T (1996). The Ecology of Java and Bali. Hong Kong: Periplus Editions Ltd. hlm. 309–312. ; Pope, G (15 Agustus, 1983). "Evidence on the Age of the Asian Hominidae". Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America. 80 (16): 4,988–4992. doi:10.1073/pnas.80.16.4988. PMID 6410399. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-11-21. cited in Whitten, T (1996). The Ecology of Java and Bali. Hong Kong: Periplus Editions Ltd. hlm. 309. ; de Vos, J.P. (9 Desember 1994). "Dating hominid sites in Indonesia" (PDF). Science Magazine. 266 (16): 4, 988–4992. doi:10.1126/science.7992059. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2009-09-29. cited in Whitten, T (1996). The Ecology of Java and Bali. Hong Kong: Periplus Editions Ltd. hlm. 309.
- ^ Heaney, Lawrence R. (1984). "Mammalian Species Richness on Islands on the Sunda Shelf, Southeast Asia". Oecologia. 61 (1): 11–17. Bibcode:1984Oecol..61...11H. CiteSeerX 10.1.1.476.4669 . doi:10.1007/BF00379083. JSTOR 4217198. PMID 28311380.
- ^ Hanebuth, Till; Stattegger, Karl; Grootes, Pieter M. (2000). "Rapid Flooding of the Sunda Shelf: A Late-Glacial Sea-Level Record". Science. 288 (5468): 1033–1035. Bibcode:2000Sci...288.1033H. doi:10.1126/science.288.5468.1033. JSTOR 3075104.
- ^ (Inggris) Chesner, C.A.; Westgate, J.A.; Rose, W.I.; Drake, R.; Deino, A. (March 1991). "Eruptive history of Earth's largest Quaternary caldera (Toba, Indonesia) clarified" (PDF). Geology. Michigan Technological University. 19 (3): 200–203. Bibcode:1991Geo....19..200C. doi:10.1130/0091-7613(1991)019<0200:EHOESL>2.3.CO;2. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2012-02-26. Diakses tanggal 2018-06-20.
- ^ a b Thamrin, Mahandis Yoanata (2019-06-06). "Migrasi Manusia dan Perjalanan Sejarah Melanesia di Indonesia". National Geographic. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-08-21. Diakses tanggal 2022-08-21.
- ^ Taylor (2003), pp. 5–7
- ^ Avisena, M Ilham Ramadhan (2021-08-17). "Tiga Teori Asal Usul Nenek Moyang Indonesia". Media Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-08-21. Diakses tanggal 2022-08-21.
- ^ Taylor (2003), pp. 8-9
- ^ a b Hariansah, Erik (19 March 2019). "Kandis dan Salakanagara adalah Kerajaan Tertua di Nusantara?". Attoriolong. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-13. Diakses tanggal 26 November 2020.
- ^ Vogel, J. Ph. (1918). "The Yupa Inscription of King Mulawarman, from Koetei (East Borneo)". BKI. 74.
- ^ Aris Munandar, Agus (2011). Indonesia Dalam Arus Sejarah 2: Kerajaan Hindu - Buddha. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. hlm. 60.
- ^ Cœdès, George (1930). "Les inscriptions malaises de Çrivijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient (BEFEO). 30 (1-2): 29–80. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-08. Diakses tanggal 2022-09-13.
- ^ Taylor (2003), pp. 22–26; Ricklefs (1991), pp. 3
- ^ Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. ISBN 981-4155-67-5.
- ^ Anonim. 1822. Malayan Miscellanies, Vol II: The Geneology of Rajah of Pulo Percha. Printed And Published at Sumatra Mission Press. Bencoolen
- ^ George Coedes. 1934. On the origins of the Sailendras of Indonesia. Journal of the Greater India Society I: 61–70.
- ^ a b Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
- ^ Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS
- ^ a b c Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara.
- ^ a b Sita W. Dewi (9 April 2013). "Tracing the glory of Majapahit". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-11. Diakses tanggal 5 February 2015.
- ^ Basri, Hasan (Ed). 2006. Pangeran Jagapati, Wong Agung Wilis dan Sayu Wiwit. 3 Pejuang Dari Blambangan. Banyuwangi: Penerbit Pemda Kabupaten Banyuwangi
- ^ Suadnyana, I Wayan Sui (2019-03-10). "TRIBUN WIKI - Inilah 9 Puri di Bali yang Masih Ada Hingga Kini". Tribunnews.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-20. Diakses tanggal 2022-09-16.
- ^ "7 Kerajaan Islam Tertua di Indonesia". indonesiabaik.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-14. Diakses tanggal 2020-08-26.
- ^ *Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho, Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara. Diarsipkan 2008-12-07 di Wayback Machine. Penyunting: HM. Hembing Wijayakusuma. Pustaka Populer Obor, Oktober 2000, xliv + 299 halaman
- ^ "Aceh Daerah Pertama di Indonesia Menerima Islam". acehprov.go.id. Pemerintah Aceh. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-20. Diakses tanggal 2022-09-14.
- ^ Kusniah, Siti Turmini (2018). Kiaiku, Guruku, Jaringan Ulama. Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. ISBN 978-602-1289-85-3.
- ^ a b c "3 Kerajaan Islam Berpengaruh di Aceh". Republika Online. 2016-08-29. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-12. Diakses tanggal 2020-06-12.
- ^ Peter Lewis (1982). "The next great empire". Futures. 14 (1): 47–61. doi:10.1016/0016-3287(82)90071-4.
- ^ "Kesultanan Cirebon Jadi Satu dari Empat Kerajaan Islam Pertama di Pulau Jawa". Ayo Cirebon. 2022-05-19. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-20. Diakses tanggal 2022-09-16.
- ^ Ratriani, Virdita (2022-07-28). Ratriani, Virdita, ed. "Kerajaan Islam Pertama di Pulau Jawa adalah Kerajaan Demak: Pendiri dan Masa Jayanya". Kontan.co.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-20. Diakses tanggal 2022-09-16.
- ^ "Lumajang Ternyata Kerajaan Islam Tertua di Tanah Jawa". Suara Surabaya. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-20. Diakses tanggal 2022-09-16.
- ^ a b c Ricklefs 2001.
- ^ Jamil Al-Sufri, Tarsilah Brunei: The Early History of Brunei up to 1432 AD (Bandar Seri Begawan: Brunei History Centre, 2000)
- ^ (Indonesia) Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto (1992). Sejarah nasional Indonesia: Jaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. PT Balai Pustaka. hlm. 85. ISBN 9794074098.[pranala nonaktif permanen]ISBN 978-979-407-409-1
- ^ Setyaningrum, Puspasari, ed. (2022-07-21). "Sejarah Perang Banjar: Tokoh, Penyebab, Kronologi, dan Dampak". Kompas.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-20. Diakses tanggal 2022-09-17.
- ^ Prabowo, Gama (2020-11-05). Gischa, Serafica, ed. "Kerajaan Islam di Sulawesi". Kompas.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-20. Diakses tanggal 2022-09-19.
- ^ M. Adnan Amal, "Maluku Utara, Perjalanan Sejarah 1250 - 1800 Jilid I dan II", Universitas Khairun Ternate 2002.
- ^ Willard A. Hanna & Des Alwi, "Ternate dan Tidore, Masa Lalu Penuh Gejolak", Pustaka Sinar Harapan Jakarta 1996.
- ^ Jaime Koh; Stephanie Ho Ph.D. (22 Juni 2009). Culture and Customs of Singapore and Malaysia. ABC-CLIO. hlm. 9. ISBN 978-0-313-35116-7.
- ^ Hari, Agustinus (2019-10-13). "Mengenal Siau, Kerajaan Kristen di Sulawesi Utara Abad 16". Barta1.com. Diakses tanggal 2023-05-03.
- ^ Ahmad, I. (2014). "Agama Sebagai Perubahan Sosial: Kristenisasi di Tobelo 1866-1942". Lembaran Sejarah. 11 (1): 83–98. ISSN 2620-5882.
- ^ Karel Steenbrink, Catholics in Indonesia, 1808-1942: a documented history. Leiden:KITLV Press ISBN 90-6718-141-2
- ^ Pradjoko, Didik (2008). Modul I Sejarah Indonesia. Depok: Universitas Indonesia Press. hlm. 5.
- ^ a b c Suntama, Permadi (2022-08-29). "Sejarah Kedatangan Bangsa Portugis ke Indonesia: Proses & Rute". Tirto. Diakses tanggal 2022-09-23.
- ^ Winstedt, Richard (1962). A History of Malaya. Marican.
- ^ a b Kristina (2021-08-18). "Sejarah Mendaratnya Portugis di Indonesia, Pendatang Pertama dari Eropa". DetikEdu. Diakses tanggal 2022-09-22.
- ^ Efendi, Ahmad. "Tujuan Kedatangan Bangsa Spanyol ke Indonesia dan Latar Belakangnya". tirto.id. Diakses tanggal 2023-03-03.
- ^ a b c d e f Ahsan, Ivan Aulia. "Keruwetan Perang Ternate-Portugis vs Tidore-Spanyol". tirto.id. Diakses tanggal 2023-03-03. Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama ":0" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ Masselman, George (1963). The Cradle of Colonialism. New Haven & London: Yale University Press.
- ^ a b c d Prinada, Yuda. "Apa itu Pengertian VOC, Sejarah Kapan Didirikan, dan Tujuannya?". tirto.id. Diakses tanggal 2023-03-11. Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama ":1" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia Since c.1300, 2nd Edition. London: MacMillan. hlm. 29. ISBN 0-333-57689-6.
- ^ Miller, George, ed. (1996). To The Spice Islands and Beyond: Travels in Eastern Indonesia. New York: Oxford University Press. xvi. ISBN 967-65-3099-9.
- ^ Dagh-register gehouden int Casteel Batavia vant passerende daer ter plaetse als over geheel Nederlandts-India anno 1624–1629 [The official register at Castle Batavia, of the census of the Dutch East Indies]. VOC. 1624.
- ^ "170 tahun kepahlawanan minangkabau". Majalah Tempo Online (dalam bahasa indonesian). 31 July 1982. Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 March 2012. Diakses tanggal 11 March 2012.
- ^ Romain Bertrand, L‘Histoire à parts égales. Récits d'une rencontre Orient-Occident (XVIe-XVIIe siècles), Paris, Seuil, 2011, bab 15, hlm. 420-436.
- ^ Media, Kompas Cyber (2022-06-18). "Perang Makassar, Pertempuran Sultan Hasanuddin Melawan VOC Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-05-05.
- ^ Ricklefs, M. C., A History of Modern Indonesia since c. 1200, Palgrave MacMillan, New York, 2008 (terbitan ke-4), ISBN 978-0-230-54686-8
- ^ Dharmowijono, W.W. (2009) (dalam bahasa Belanda). Van koelies, klontongs en kapiteins: het beeld van de Chinezen in Indisch-Nederlands literair proza 1880–1950 [Of Coolies, Klontong, and Captains: The Image of the Chinese in Indonesian-Dutch Literary Prose 1880–1950] (Tesis Doctorate in Humanities). Universiteit van Amsterdaam. http://dare.uva.nl/document/147345. Diakses pada 1 December 2011.
- ^ Frederick & Worden 1993, The Dutch on Java, 1619–1755: "Perang berlangsung hingga tahun 1755, ketika Perjanjian Giyanti disahkan, mengakui Pakubuwana III (memerintah 1749–55) sebagai penguasa Surakarta dan Mangkubumi (yang mengambil gelar sultan dan nama Hamengkubuwana) sebagai penguasa Yogyakarta."
- ^ J.K.J. de Jonge, De Opkomst Van Het Nederlansch Gesag Over Java-XI, ML van Deventer, 1883
- ^ de Vries, Jan; van der Woude, Ad (1997). The First Modern Economy: Success, Failure, and Perseverance of the Dutch Economy, 1500-1815. Cambridge University Press. hlm. 449–455. ISBN 0-521-57061-1.
- ^ TANAP, The end of the VOC
- ^ Jonathan Israel, The Dutch Republic: Its Rise, Greatness, and Fall 1477-1806. Oxford: Oxford University Press 1995, 1128.
- ^ Asvi Warman Adam. "The French and the British in Java, 1806–15". Britannica.
- ^ H. L. Wesseling (23 October 2015). The European Colonial Empires 1815-1919 (dalam bahasa English). Taylor & Francis. hlm. 104. ISBN 9781317895077. Diakses tanggal 2 September 2022.
- ^ Pramoedya sheds light on dark side of Daendels' highway. The Jakarta Post 8 January 2006.
- ^ Ekspedisi Anjer-Panaroekan, Laporan Jurnalistik Kompas. Penerbit Buku Kompas, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta Indonesia. November 2008. hlm. 1–2. ISBN 978-979-709-391-4.
- ^ anonim (16 Januari 2012). "Mengenal Sejarah Tanah Perdikan Madiun". Madiun Info. Diakses tanggal 19 September 2015.
- ^ Van Uythoven, Geert (2013). "Lieutenant General Jan Willem Janssens". The Napoleon Series. Diakses tanggal 30 July 2016.
- ^ Fregosi, Paul (1989). Dreams of Empire: Napoleon and the First World War 1792-1815. Hutchinson. ISBN 0-09-173926-8.
- ^ Media, Kompas Cyber (2021-08-16). "Kapitulasi Tuntang: Latar Belakang, Isi Perjanjian, dan Dampaknya Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-05-02.
- ^ "Menyimak Kisah Sejarah Penjajahan Inggris di Indonesia". kumparan. Diakses tanggal 2023-05-02.
- ^ Sir Thomas Stamford Raffles (1830). The History of Java. J. Murray. hlm. xxiii. Diakses tanggal 12 August 2022.
- ^ Media, Kompas Cyber (2022-02-09). "Masa Penjajahan Inggris di Indonesia Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-05-02.
- ^ Indonesia, C. N. N. "Inggris Pernah Menjajah Indonesia, Bagaimana Sejarahnya? - Halaman 2". internasional. Diakses tanggal 2023-05-02.
- ^ Miksic, John (1990). Borobudur: Golden Tales of the Buddhas.
- ^ Carey, Peter, The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855, 2008
- ^ Campbell, Donald Maclaine, 1869-1913; Wheeler, G. C. "Java: past & present, a description of the most beautiful country in the world, its ancient history, people, antiquities, and products". London : W. Heinemann. hlm. 404. Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 December 2008. Diakses tanggal 24 August 2021.
- ^ Borschberg, Peter (2019). "Dutch objections to British Singapore, 1819–1824: law, politics, commerce and a diplomatic misstep". Journal of Southeast Asian Studies. 50 (4): 540–561. doi:10.1017/S0022463420000053.
- ^ ZWEERS, L. (1995). Agressi II: Operatie Kraai. De vergeten beelden van de tweede politionele actie. Den Haag: SDU uitgevers.
- ^ van der Bijl, Nick. Confrontation, The War with Indonesia 1962–1966, (London, 2007) ISBN 978-1-84415-595-8
- ^ Wibowo, Sigit, Sjarifuddin. Ekonomi Indonesia Gagal karena Mafia Berkeley Diarsipkan 2008-06-16 di Wayback Machine., Harian Umum Sore Sinar Harapan. Copyright © Sinar Harapan 2003. Diakses: Selasa, 6 Agustus 2008.
- ^ "The Carter Center 2004 Indonesia Election Report" (PDF) (Siaran pers). Laporan dari Carter Center. 2004. hlm. 30. Diakses tanggal 29 Juli 2008. Diarsipkan 2007-06-14 di Wayback Machine.
- ^ Morgan, Sally (2007). Indonesia. London: Wayland. ISBN 978-0-7502-4747-4. OCLC 123798216.
- ^ "PBB Verifikasi 16.056 Nama Pulau Indonesia". Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. 19 Agustus 2017. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 Agustus 2021. Diakses tanggal 10 Agustus 2021.
- ^ a b c "World Economic Outlook Database" (Siaran pers). International Monetary Fund. April 2006. Diarsipkan dari Estimate versi asli Periksa nilai
|url=
(bantuan) tanggal 1 Mei 2018. Diakses tanggal 5 Oktober 2006. Diarsipkan 2018-05-01 di Wayback Machine. - ^ "Indonesia Regions". Indonesia Business Directory. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 Desember 2005. Diakses tanggal 24 April 2007.
- ^ BPS 2021, hlm. 5.
- ^ Frederick, William H.; Worden, Robert L. (1993). Indonesia: A Country Study. Area Handbook Series (dalam bahasa Inggris). 550. Washington, D.C.: Federal Research Division, Library of Congress. hlm. 98. ISBN 9780844407906. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-20. Diakses tanggal 2021-08-10.
- ^ BPS 2020, hlm. 3.
- ^ "Menko Maritim Luncurkan Data Rujukan Wilayah Kelautan Indonesia". Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. 10 Agustus 2018. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-13. Diakses tanggal 10 Agustus 2021.
- ^ Article 55 Diarsipkan 2008-03-16 di Wayback Machine., 1982 UN Convention on the Law of The Sea.
- ^ Hope, G.S.; Peterson, J.A., ed. (1976). The Equatorial Glaciers of New Guinea. Rotterdam: A.A. Balkema. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-03. Diakses tanggal 2021-08-11.
- ^ Foster, Nigel (2021). Heart of Toba: Batak Life Beside the World's Largest Caldera Lake. Amazon Digital Services. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-20. Diakses tanggal 2021-08-11.
- ^ "Geografis". Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-11. Diakses tanggal 11 Agustus 2021.
- ^ Beck, Hylke E.; Zimmermann, Niklaus E.; McVicar, Tim R.; Vergopolan, Noemi; Berg, Alexis; Wood, Eric F. (2018). "Present and future Köppen-Geiger climate classification maps at 1-km resolution". Scientific Data. 5 (1): 180214. doi:10.1038/sdata.2018.214. ISSN 2052-4463. PMC 6207062 . PMID 30375988. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-10. Diakses tanggal 2021-08-10.
- ^ Beck, Hylke E.; Zimmermann, Niklaus E.; McVicar, Tim R.; Vergopolan, Noemi; Berg, Alexis; Wood, Eric F. (2020). "Publisher Correction: Present and future Köppen-Geiger climate classification maps at 1-km resolution". Scientific Data. 7 (1): 274. doi:10.1038/s41597-020-00616-w. ISSN 2052-4463. PMC 7431407 . PMID 32807783. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-10. Diakses tanggal 2021-08-10.
- ^ "Climate of the World: Indonesia". Weather Online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-12. Diakses tanggal 10 Agustus 2021.
- ^ Yananto, Ardila; Sibarani, Rini Mariana (2016). "Analisis Kejadian El Nino dan Pengaruhnya terhadap Intensitas Curah Hujan di Wilayah Jabodetabek (Studi Kasus: Periode Puncak Musim Hujan Tahun 2015/2016)". Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca. 17 (2): 65. doi:10.29122/jstmc.v17i2.541. ISSN 2549-1121. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-10. Diakses tanggal 2021-08-10.
- ^ Wyrtki, Klaus (1961). Physical oceanography of the Southeast Asian waters (PDF). La Jolla, Calif.: Scripps Institution of Oceanography. OCLC 5116526. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-08-10. Diakses tanggal 2021-08-10.
- ^ Aldrian, E.; Karmini, M.; Budiman (2011). Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia (PDF). Jakarta: Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. hlm. 19–21. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-08-11. Diakses tanggal 2021-08-11.
- ^ Aldrian, Edvin; Dwi Susanto, R. (2003). "Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature". International Journal of Climatology. 23 (12): 1435–1452. doi:10.1002/joc.950. ISSN 0899-8418.
- ^ Overland, Indra (2017). Impact of Climate Change on ASEAN International Affairs: Risk and Opportunity Multiplier. Norwegian Institute of International Affairs (NUPI) dan Myanmar Institute of International and Strategic Studies (MISIS). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-07-28. Diakses tanggal 2021-08-10.
- ^ "Climate Impact Map". Climate Impact Lab. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-10. Diakses tanggal 18 November 2018.
- ^ a b c Case, M.; Ardiansyah, F.; Spector, E. (14 November 2007). "Climate Change in Indonesia: Implications for Humans and Nature" (PDF). World Wide Fund for Nature. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 19 Februari 2018. Diakses tanggal 18 November 2018.
- ^ "Report: Flooded Future: Global vulnerability to sea level rise worse than previously understood". Climate Central. 29 Oktober 2019. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 November 2019. Diakses tanggal 5 November 2019.
- ^ Lin, Mayuri Mei; Hidayat, Rafki (13 Agustus 2018). "Jakarta, the fastest-sinking city in the world". BBC. Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 Oktober 2018. Diakses tanggal 19 November 2018.
- ^ "Indonesia: Climate Risk and Adaptation Country Profile" (PDF). World Bank. April 2011. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 6 Desember 2017. Diakses tanggal 18 November 2018.
- ^ a b "Indonesia: Volcano nation". BBC. 5 November 2015. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 November 2017. Diakses tanggal 28 November 2017.
- ^ Witton 2003, hlm. 38.
- ^ Bressan, David (11 Agustus 2017). "Early Humans May Have Lived Through A Supervolcano Eruption". Forbes. Diarsipkan dari versi asli tanggal 11 Agustus 2017. Diakses tanggal 11 Oktober 2017.
- ^ "Tambora". Volcano Discovery. 29 Mei 2016. Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 Desember 2016. Diakses tanggal 20 December 2016.
- ^ Bressan, David (31 Agustus 2016). "The Eruption of Krakatoa Was the First Global Catastrophe". Forbes. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 September 2016. Diakses tanggal 2 September 2017.
- ^ "Analysis of the Sumatra-Andaman Earthquake Reveals Longest Fault Rupture Ever". National Science Foundation. 19 Mei 2005. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-12. Diakses tanggal 15 Desember 2016.
- ^ "The World's 17 Megadiverse Countries". Biodiversity A-Z. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-09-03. Diakses tanggal 11 Agustus 2021.
- ^ Mittermeier, Russell A.; Mittermeier, Cristina Goettsch; Gil, Patricio Robles; Wilson, Edward O. (1997). Megadiversity: earth's biologically wealthiest nations. México, D.F.: CEMEX. ISBN 978-968-6397-50-5. OCLC 38584598. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-15. Diakses tanggal 2021-08-15.
- ^ New, T.R. (2002). "Neuroptera of Wallacea: a transitional fauna between major geographical regions" (PDF). Acta Zoologica Academiae Scientiarum Hungaricae. 48 (2): 217–227. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2012-02-07. Diakses tanggal 2021-08-11.
- ^ Simpson, George Gaylord (1977). "Too Many Lines; The Limits of the Oriental and Australian Zoogeographic Regions". Proceedings of the American Philosophical Society. 21 (2): 107–120. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-13. Diakses tanggal 2021-08-11.
- ^ "Indonesia: Main Details". Convention on Biological Diversity. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-05-12. Diakses tanggal 19 Agustus 2021.
- ^ Miller, Jason R. (14 Agustus 2007). "Deforestation in Indonesia and the Orangutan Population". TED Case Studies. Diarsipkan dari versi asli tanggal 11 Agustus 2007. Diakses tanggal 11 Agustus 2007.
- ^ "2020 Environmental Performance Index" (PDF). Yale University. 2020. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 9 Juni 2020. Diakses tanggal 9 Juni 2020.
- ^ "Forest area (% of land area)–Indoneisa". World Bank. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-13. Diakses tanggal 14 Juni 2021.
- ^ a b Tsujino, Riyou; Yumoto, Takakazu; Kitamura, Shumpei; Djamaluddin, Ibrahim; Darnaedi, Dedy (2016). "History of forest loss and degradation in Indonesia". Land Use Policy. 57: 335–347. doi:10.1016/j.landusepol.2016.05.034. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-12. Diakses tanggal 2021-08-19.
- ^ Colchester, Marcus; Jiwan, Normal; Andiko, Martua Sirait; Firdaus, Asup Y.; Surambo, A.; Pane, Herbert (26 Maret 2012). "Palm Oil and Land Acquisition in Indonesia: Implications for Local Communities and Indigenous People" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 31 Mei 2012. Diakses tanggal 31 Mei 2012.
- ^ Chrysolite, Hanny; Juliane, Reidinar; Chitra, Josefhine; Ge, Mengpin (4 Oktober 2017). "Evaluating Indonesia's Progress on its Climate Commitments". World Resources Institute. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 Oktober 2017. Diakses tanggal 26 Agustus 2018.
- ^ BirdLife International (2018). "Leucopsar rothschildi". The IUCN Red List of Threatened Species 2018. e.T22710912A129874226. doi:10.2305/iucn.uk.2018-2.rlts.t22710912a129874226.en. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-09-21. Diakses tanggal 2021-08-19.
- ^ Singleton, I; Wich, S.A.; Nowak, M.; Usher, G.; Utami-Atmoko, S.S. (2017). "Pongo abelii". The IUCN Red List of Threatened Species 2017. e.T121097935A123797627. doi:10.2305/iucn.uk.2017-3.rlts.t121097935a115575085.en. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-09-19. Diakses tanggal 2021-08-19.
- ^ Elis, S.; Talukdar, B. (2020). "Rhinoceros sondaicus". The IUCN Red List of Threatened Species 2020. e.T19495A18493900. doi:10.2305/iucn.uk.2020-2.rlts.t19495a18493900.en. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-07-22. Diakses tanggal 2021-08-19.
- ^ Harijanti, Susi Dwi; Lindsey, Tim (1 Januari 2006). "Indonesia: General elections test the amended Constitution and the new Constitutional Court". International Journal of Constitutional Law. 4 (1): 138–150. doi:10.1093/icon/moi055. ISSN 1474-2659. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-27. Diakses tanggal 2021-08-23.
- ^ Ardiansyah, F.; Marthen, A.A.; Amalia, N. (2015). Forest and land-use governance in a decentralized Indonesia: A legal and policy review. Center for International Forestry Research (CIFOR). doi:10.17528/cifor/005695. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-06-03. Diakses tanggal 2021-08-23.
- ^ Setyorini, Ika (2019). "Kewenangan Pemerintah Daerah di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945". Literasi Hukum. 3 (1): 26–38. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-23. Diakses tanggal 2021-08-23.
- ^ UUD 1945, Pasal 7.
- ^ "Kabinet Pemerintahan Indonesia". Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-02-19. Diakses tanggal 24 Agustus 2021.
- ^ UUD 1945, Pasal 3.
- ^ Evans, Kevin (2019). "Guide to the 2019 Indonesian Elections" (PDF). Australia-Indonesia Centre. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 17 April 2019. Diakses tanggal 30 Juli 2019.
- ^ UUD 1945, Pasal 20A.
- ^ "Tugas dan Wewenang". Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-09-18. Diakses tanggal 25 Agustus 2021.
- ^ UUD 1945, Pasal 22D.
- ^ "Fungsi, Tugas, dan Wewenang". Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-09-20. Diakses tanggal 25 Agustus 2021.
- ^ "Pimpinan MPR RI". Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-25. Diakses tanggal 25 Agustus 2021.
- ^ "Pimpinan DPR RI". Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-02. Diakses tanggal 25 Agustus 2021.
- ^ "Pimpinan DPD". Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-09-20. Diakses tanggal 25 Agustus 2021.
- ^ UUD 1945, Pasal 24.
- ^ "Wewenang dan Tugas". Komisi Yudisial Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-19. Diakses tanggal 25 Agustus 2021.
- ^ Wong, Kristina (23 July 2009). "abc NEWS Poll: Obama's Popularity Lifts U.S. Global Image". USA: ABC. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-01-13. Diakses tanggal 23 October 2011.
- ^ "Kedutaan/Konsulat". Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-29. Diakses tanggal 29 Agustus 2021.
- ^ Haryanto, Agus (Desember 2014). "Prinsip Bebas Aktif dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia: Perspektif Teori Peran". Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi. IV (II): 17–27. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-29. Diakses tanggal 2021-08-29.
- ^ "Indonesia – Foreign Policy". U.S. Library of Congress. U.S. Library of Congress. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-09-27. Diakses tanggal 5 May 2007.
- ^ Indonesia temporarily withdrew from the UN on 20 January 1965 in response to the fact that Malaysia was elected as a non-permanent member of the Security Council. It announced its intention to "resume full cooperation with the United Nations and to resume participation in its activities" on 19 September 1966, and was invited to re-join the UN on 28 September 1966.
- ^ Chris Wilson (11 October 2001). "Indonesia and Transnational Terrorism". Foreign Affairs, Defense and Trade Group. Parliament of Australia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-11-06. Diakses tanggal 15 October 2006.; Reyko Huang (23 May 2002). "Priority Dilemmas: U.S. – Indonesia Military Relations in the Anti Terror War". Terrorism Project. Center for Defense Information. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-10-12. Diakses tanggal 2015-02-14.
- ^ "Commemoration of 3rd anniversary of bombings". Melbourne: The Age Newspaper. AAP. 10 December 2006. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-04-01. Diakses tanggal 2015-02-14.
- ^ "Travel Warning: Indonesia" (Siaran pers). US Embassy, Jakarta. 10 May 2005. Diarsipkan dari versi asli tanggal 11 November 2006. Diakses tanggal 26 December 2006. Diarsipkan 2006-11-11 di Wayback Machine.
- ^ Chew, Amy (7 July 2002). "Indonesia military regains ground". CNN Asia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-11-14. Diakses tanggal 24 April 2007.
- ^ Witular, Rendi A. (19 May 2005). "Susilo Approves Additional Military Funding". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-11-14. Diakses tanggal 24 April 2007.
- ^ Friend (2003), pp. 473–475, 484
- ^ Friend (2003), pp. 270–273, 477–480
- ^ "Indonesia flashpoints: Aceh". BBC News. BBC. 29 December 2005. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-05-02. Diakses tanggal 20 May 2007.
- ^ "Indonesia agrees Aceh peace deal". BBC News. BBC. 17 July 2005. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-11-14. Diakses tanggal 20 May 2007.; Harvey, Rachel (18 September 2005). "Indonesia starts Aceh withdrawal". BBC News. BBC. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-05-02. Diakses tanggal 20 May 2007.
- ^ Lateline TV Current Affairs (20 April 2006). "Sidney Jones on South East Asian conflicts" (PDF). TV Program transcript, Interview with South East Asia director of the International Crisis Group. Australian Broadcasting Commission (ABC). Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 September 2006.; International Crisis Group (5 September 2006). "Papua: Answer to Frequently Asked Questions" (PDF). Update Briefing. International Crisis Group (53): 1. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 18 September 2006. Diakses tanggal 17 September 2006.
- ^ Media, Kompas Cyber (2022-11-17). "Sah! Indonesia Kini Punya 38 Provinsi, Ini Daftarnya". KOMPAS.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-11-17. Diakses tanggal 2022-11-18.
- ^ "2014BPS". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-11-13. Diakses tanggal 2015-10-04.
- ^ "BPS". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-11-13. Diakses tanggal 2015-10-04.
- ^ "USD". www.usd.ac.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-01-29. Diakses tanggal 26-06-2017.
- ^ "Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia". Undang-Undang No. 29 Tahun 2007. Diarsipkan 2022-09-10 di Wayback Machine.
- ^ "Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara" (PDF). Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2022-01-18. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-01-18. Diakses tanggal 2022-01-18.
- ^ Wiharyanto, A.K. 2009. Sejarah Indonesia Baru II. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma
- ^ Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia Diarsipkan 2015-07-03 di Wayback Machine. Tokohindonesia.com. Diakses 8 September 2013.
- ^ "Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya". Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1961. Diarsipkan 2022-07-06 di Wayback Machine.
- ^ Post, The Jakarta. "Indonesia studies new sites for capital city". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-05-31. Diakses tanggal 2022-08-21.
- ^ Nurita, Dewi (16 Agustus 2019). Persada, Syailendra, ed. "Pidato Kenegaraan, Jokowi Sebut Pindahkan Ibu Kota ke Kalimantan". Tempo.co. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-12. Diakses tanggal 19 Januari 2022.
- ^ Ihsanuddin (26 Agustus 2019). Galih, Bayu, ed. "Jokowi: Ibu Kota Baru di Sebagian Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kaltim". Kompas.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-12-10. Diakses tanggal 19 Januari 2022.
- ^ Andhika Prasetyo (13 Januari 2020). "Putra Mahkota Abu Dhabi Jadi Dewan Pengarah Ibu Kota Baru". Media Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 Januari 2023. Diakses tanggal 19 Januari 2022.
- ^ Hamdani, Trio (7 Februari 2020). "Pemerintah Bentuk Tim Khusus Kebut Pemindahan Ibu Kota". detikcom. Detik Finance. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 Januari 2023. Diakses tanggal 20 Januari 2022.
- ^ "Covid-19, Pemerintah Tunda Pembangunan Ibu Kota Baru". CNN Indonesia. 9 September 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-12. Diakses tanggal 19 Januari 2022.
- ^ "Ibu Kota Negara". Undang-Undang No. 3 Tahun 2022. Diarsipkan 2022-08-28 di Wayback Machine.
- ^ "Tiba di Titik Nol Kilometer IKN, Presiden Satukan Tanah dan Air Nusantara". Presiden Republik Indonesia. 14 Maret 2022. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-12. Diakses tanggal 15 Maret 2022.
- ^ a b c d Schwarz, A. (1994). A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. Westview Press. ISBN 1-86373-635-2, pp. 52–57.
- ^ "Indonesia: Country Brief". Indonesia:Key Development Data & Statistics. Bank Dunia. 2006. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-11-01.
- ^ "Poverty in Indonesia: Always with them". The Economist. 2006-09-14. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-11-28. Diakses tanggal 2006-12-26.
- ^ "Indonesia: Forecast". Country Briefings. The Economist. 2006-10-03. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-08-04.
- ^ "Beberapa Indikator Penting Mengenai Indonesia" (PDF) (Siaran pers) (dalam bahasa Bahasa Indonesia). Badan Pusat Statistik Indonesia. 2008-12-02. Diakses tanggal 2008-03-18. Diarsipkan 2008-04-01 di Wayback Machine.
- ^ Ridwan Max Sijabat (23 Maret 2007). "Unemployment still blighting the Indonesian landscape". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-05-01. Diakses tanggal 2008-08-07.
- ^ "Making the New Indonesia Work for the Poor–Overview" (PDF) (Siaran pers). Bank Dunia. 2006. Diakses tanggal 26 Desember 2006. Diarsipkan 2008-08-17 di Wayback Machine.
- ^ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 22 April 2016. Diakses tanggal 1 Maret 2016.
- ^ "Indonesia (IDN) Exports, Imports, and Trade Partners | OEC". OEC - The Observatory of Economic Complexity (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-19. Diakses tanggal 19 Januari 2022.
- ^ Astuti, Kismi Dwi (31 Oktober 2022). "Kedelai Dunia Turun: Pemda Harus Bantu Subsidi". Pikiran Rakyat. hlm. 5.
- ^ "Official Statistics and its Development in Indonesia" (PDF). Sub Committee on Statistics: First Session 18–20 February, 2004. Economic and Social Commission for Asia & the Pacific. hlm. 19. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2009-09-29. Diakses tanggal 2008-08-07.
- ^ "Indonesia at a Glance" (PDF). Indonesia Development Indicators and Data. Bank Dunia. 2006-08-13. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2009-12-23. Diakses tanggal 2008-08-07.
- ^ "Indeks Persepsi Korupsi". Transparency International. 2007. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-04-28. Diakses tanggal 2007-09-28.
- ^ "Index of Economic Freedom". The Heritage Foundation & The Wall Street Journal. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-12-08. Diakses tanggal 2018-12-08.
- ^ "The Economist Intelligence Unit's Quality-of-Life Index" (PDF). The Economist. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2012-07-23. Diakses tanggal 2007-09-12.
- ^ "Worldwide Press Freedom Index 2006" (PDF). Reporters Without Borders. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2008-06-24. Diakses tanggal 2008-06-31.
- ^ "cpi 2017 table". Transparency International. 2018-02-21. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-12-23. Diakses tanggal 2008-06-31.
- ^ a b "Human Development Reports: Indonesia". United Nations Development Programme. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-07-01. Diakses tanggal 2019-12-09.
- ^ "Global Competitiveness Index rankings 2018" (PDF). World Economic Forum. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-12-08. Diakses tanggal 2018-12-08.
- ^ "Most Literred Nation in the World 2016" (PDF). Central Connecticut State University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-11. Diakses tanggal 2016-01-29.
- ^ "Countries in the world by population (2021)". World-O-Meter. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-26. Diakses tanggal 7 Agustus 2021.
- ^ Badan Pusat Statistik (21 Januari 2021), Hasil Sensus Penduduk 2020 (PDF), Jakarta: Badan Pusat Statistik, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 22 Januari 2021
- ^ Migiro, Geoffrey (6 Mei 2019). "Most Populated Islands in the World". World Atlas (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-13. Diakses tanggal 20 April 2021.
- ^ Badan Pusat Statistik (1962). Sensus Penduduk 1961 Republik Indonesia. Jakarta: Biro Pusat Statistik. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-19. Diakses tanggal 2021-08-08.
- ^ "World Population Prospect: 2017 Revision" (PDF). United Nations Department of Economics and Social Affairs–Population Division. 21 Juni 2017. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 20 Desember 2017. Diakses tanggal 20 Desember 2017.
- ^ "Indonesia - The World Factbook". CIA. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-04-13. Diakses tanggal 8 Agustus 2021.
- ^ Maryati, Sri (2015). "Dinamika Pengangguran Terdidik: Tantangan Menuju Bonus Demografi di Indonesia". economica. 3 (2): 124–136. doi:10.22202/economica.2015.v3.i2.249. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-08. Diakses tanggal 2021-08-08.
- ^ "BBC: First contact with isolated tribes?". Survival International. 25 Januari 2007. Diarsipkan dari versi asli tanggal 30 Juli 2017. Diakses tanggal 30 Juli 2017.
- ^ "Share of people living in urban areas, 2017". Our World in Data. 2017. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-12. Diakses tanggal 5 September 2020.
- ^ Krisetya, Beltsazar (14 September 2016). "Tapping the Indonesian Diaspora Potential". Forum for International Studies. Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 Desember 2017. Diakses tanggal 20 Desember 2017.
- ^ Harijanti, Susi Dwi (Februari 2017). "Report On Citizenship Law: Indonesia" (PDF). Badia Fiesolana: European University Institute. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 15 November 2020. Diakses tanggal 11 Mei 2021.
- ^ Na'im & Syaputra 2010, hlm. 6.
- ^ Tanudirjo, Daud Aris (2017). "Mempertanyakan Austronesia, Meneguhkan Identitas Indonesia". Dalam Harry, Widianto. Jejak Austronesia di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hlm. 11–12. ISBN 978-602-386-158-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-20. Diakses tanggal 2021-08-07.
- ^ Ridgell, Reilly (1995). Pacific Nations and Territories: The Islands of Micronesia, Melanesia, and Polynesia. Pacific Region Educational Laboratory (edisi ke-3, edisi revisi). Honolulu, Hawaii: Bess Press. hlm. 22–25. ISBN 1-57306-001-1. OCLC 33941689. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-20. Diakses tanggal 2021-08-07.
- ^ Ananta, Aris; Arifin, Evi Nurvidya; Hasbullah, M. Sairi; Handayani, Nur Budi; Pramono, Agus (2015). Demography of Indonesia's Ethnicity. SG: Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-981-4519-88-5. OCLC 1011165696. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-20. Diakses tanggal 2021-08-07.
- ^ Na'im & Syaputra 2010, hlm. 5.
- ^ Ricklefs 1991, hlm. 256.
- ^ La Ode, M.D. (2018). Trilogi pribumisme: resolusi konflik pribumi dengan non pribumi di berbagai belahan dunia. Jakarta: Komunitas Ilmu Pertahanan Indonesia. ISBN 978-602-52288-0-3. OCLC 1091891011.
- ^ Pemerintah indonesia (1998). "Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi" (PDF). Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kemenkumham. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-01-06.
- ^ "Dasar Hukum yang Melarang Penggunaan Istilah "Pribumi"". Hukum Online. 17 Oktober 2017. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-08. Diakses tanggal 8 Agustus 2021.
- ^ Na'im & Syaputra 2010, hlm. 28.
- ^ "Bahasa Daerah Di Indonesia". Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-04. Diakses tanggal 8 Agustus 2021.
- ^ "Asian Linguistic Maps: Indonesia & Brunei". Diarsipkan dari versi asli tanggal 30 Desember 2015. Diakses tanggal 23 Desember 2012.
- ^ Na'im & Syaputra 2010, hlm. 11.
- ^ Simons, Gary F.; Fennig, Charles D. "Ethnologue: Languages of the World, Twenty-first edition". SIL International. Diarsipkan dari versi asli tanggal 26 Juni 2019. Diakses tanggal 20 September 2018.
- ^ Na'im & Syaputra 2010, hlm. 47.
- ^ Kridalaksana, H. (1991). "Pengantar tentang Pendekatan Historis dalam Kajian Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia". Dalam Kridalaksana, H. Masa Lampau bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai (PDF). Yogyakarta: Kanisius. ISBN 979-413-476-7. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-08-08. Diakses tanggal 2021-08-08.
- ^ UUD 1945, Pasal 36.
- ^ "Tugas dan Fungsi". Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Diarsipkan dari versi asli tanggal 31 Juli 2020. Diakses tanggal 9 Agustus 2021.
- ^ Jazuly, Ahmad (2016). "Peran Bahasa Inggris pada Anak Usia Dini". Jurnal Pendidikan Dompet Dhuafa. 6 (1): 33–40. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-08. Diakses tanggal 2021-08-08.
- ^ Santoso, Iman (1 April 2014). "Pembelajaran Bahasa Asing di Indonesia: Antara Globalisasi dan Hegemoni". Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra. 14 (1): 1. doi:10.17509/bs_jpbsp.v14i1.696. ISSN 2527-8312. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-08. Diakses tanggal 2021-08-08.
- ^ Eid, Haya Muhammad (2019). Learning My Salah: The Second Pillar. Ahlan Foundation. hlm. 66.
- ^ Muradi, Ahmad (2013). "Tujuan Pembelajaran Bahasa Asing (Arab) di Indonesia". Al-Maqayis. 1 (1): 128–137. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-08. Diakses tanggal 2021-08-08.
- ^ Chaqoqo, S.G.N. (1 Juni 2012). "Pembelajaran Bahasa Arab Sepanjang Sejarah". STAIN Salatiga. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 Maret 2013. Diakses tanggal 2 Januari 2013.
- ^ UUD 1945, Pasal 29 ayat (2).
- ^ Marshall, Paul (2018). "The Ambiguities of Religious Freedom in Indonesia". The Review of Faith & International Affairs. 16 (1): 85–96. doi:10.1080/15570274.2018.1433588. ISSN 1557-0274. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-08. Diakses tanggal 2021-08-08.
- ^ Siregar, Rospita Adelina (2018). "Kebijakan Publik bila Mencantumkan Aliran Kepercayaan dalam Admininistrasi Kependudukan sebagai Bentuk Revitalisasi Pancasila" (PDF). Dalam Dr. Lamhot Naibaho; Demsy Jura. Seminar Nasional "Revitalisasi Indonesia melalui Identitas Kemajemukan Berdasarkan Pancasila", diselenggarakan oleh Pusat Sudi Lintas Agama dan Budaya—Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Kristen Indonesia. Jakarta, 22 November 2018. Jakarta: UKI Press. hlm. 173–177. ISBN 978-979-8148-96-5. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-08-08. Diakses tanggal 2021-08-08.
- ^ Oey, Eric (1995). Bali. Periplus. ISBN 962-593-028-0. OCLC 60286689.
- ^ Suryadinata, Leo, ed. (2008). Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 9789812308351. OCLC 469069147.
- ^ Gin, Ooi Keat, ed. (2004). Southeast Asia: A historical encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor (3 volume set). Santa Barbara, Calif.: ABC-CLIO. hlm. 177. ISBN 978-1-57607-770-2. OCLC 54528945. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-20. Diakses tanggal 2021-08-09.
- ^ Magnis-Suseno, Franz (1997). Javanese Ethics and World-View: The Javanese Idea of the Good Life. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 979-605-406-X. OCLC 38466385.
- ^ "2003 International Religious Freedom Report: Indonesia". U.S. Department of State. 2003. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-09. Diakses tanggal 13 Januari 2012..
- ^ Gonda, Jan (1975). "The Indian Religions in Pre-Islamic Indonesia and their survival in Bali". Handbook of Oriental Studies. Section 3 Southeast Asia, Religions. Brill.
- ^ Darsa, Undang A. 2004. "Kropak 406; Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan", Makalah disampaikan dalam Kegiatan Bedah Naskah Kuna yang diselenggarakan oleh Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga. Bandung-Jatinangor: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran: hlm. 1–23.
- ^ "Buddhism in Indonesia". Buddha Dharma Education Association. 2005. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 Mei 2019. Diakses tanggal 3 Oktober 2006.
- ^ Rahman, Taufiq (2013). "'Indianization' of Indonesia in an Historical Sketch". International Journal of Nusantara Islam. 1 (2): 56–64. doi:10.15575/ijni.v1i2.26. ISSN 2355-651X. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-09. Diakses tanggal 2021-08-09.
- ^ Sedyawati, Edi (19 Desember 2014). "Influence of Hinduism and Buddhism on Indonesian culture". Sanskriti Magazine. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 April 2017. Diakses tanggal 6 Desember 2020.
- ^ Martin, Richard C. (2004). Encyclopedia of Islam and the Muslim World. Vol. 2: M–Z. New York: Macmillan Reference USA. ISBN 0-02-865603-2. OCLC 52178942. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-01-12. Diakses tanggal 2021-08-09.
- ^ Ricklefs 1991, hlm. 12–14.
- ^ "Indonesia–Bhineka Tunggal Ika". Centre Universitaire d'Informatique. Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 September 2006. Diakses tanggal 20 Oktober 2006.
- ^ Tanasaldy, Taufiq (2012). Regime Change and Ethnic Politics in Indonesia: Dayak Politics of West Kalimantan. Leiden: KITLV Press. ISBN 978-90-04-25348-3. OCLC 804847859. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-20. Diakses tanggal 2021-08-09.
- ^ Ricklefs 1991, hlm. 25, 26, 28.
- ^ "About St Francis Xavier". Catholic Archdiocese of Sydney. Diarsipkan dari versi asli tanggal 16 November 2012. Diakses tanggal 5 Juli 2018.
- ^ Ricklefs 1991, hlm. 28, 62.
- ^ Vickers 2005, hlm. 22.
- ^ Goh, Robbie B.H. (2005). Christianity in Southeast Asia. Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 80. ISBN 978-981-230-297-7.
- ^ "Indonesia". Reformed Online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 Desember 2006. Diakses tanggal 5 Desember 2006.
- ^ Klemperer-Markman, Ayala. "The Jewish Community in Indonesia". Beit Hatfutsot. Diterjemahkan oleh Julie Ann Levy. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 Agustus 2019. Diakses tanggal 12 Maret 2020.
- ^ Madjid, Nurcholish (1994). "Islamic Roots of Modern Pluralism: Indonesian Experience". Studia Islamika. 1 (1). doi:10.15408/sdi.v1i1.866. ISSN 2355-6145. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-09. Diakses tanggal 2021-08-09.
- ^ Harsono, Andreas (Mei 2019). Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia. Monash University Publishing. ISBN 978-1-925835-09-0. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-20. Diakses tanggal 2021-08-09.
- ^ "How religious commitment varies by country among people of all ages". Pew Research Center. 13 Juni 2018. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 Agustus 2018. Diakses tanggal 23 November 2018.
- ^ Pearce, Jonathan M.S. (28 Oktober 2018). "Religion in Indonesia: An Insight". Patheos. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 Oktober 2018. Diakses tanggal 23 November 2018.
- ^ UUD 1945, Pasal 31 ayat (4).
- ^ Al-Samarrai, Samer; Cerdan-Infantes, Pedro (9 Maret 2013). "Awakening Indonesia's Golden Generation: Extending Compulsory Education from 9 to 12 Years". The World Bank Blog. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 Oktober 2017. Diakses tanggal 10 Oktober 2017.
- ^ "Is Indonesia Ready for International Branch Campuses?". Inside Higher Ed. 29 Mei 2018. Diarsipkan dari versi asli tanggal 30 Mei 2018. Diakses tanggal 18 November 2018.
- ^ "Indonesia's Unequal Higher Education". Asia Sentinel. 4 Mei 2018. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 September 2020. Diakses tanggal 3 Desember 2020.
- ^ "2018 Health SDG Profile: Indonesia" (PDF). Organisasi Kesehatan Dunia. Juli 2018. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 6 Desember 2018. Diakses tanggal 10 Desember 2018.
- ^ Thabrany, Hasbullah (2 Januari 2014). "Birth of Indonesia's 'Medicare': Fasten your seatbelts". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 Januari 2014. Diakses tanggal 26 Agustus 2018.
- ^ "Life expectancy". Our World in Data. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-13. Diakses tanggal 6 September 2020.
- ^ "Child mortality rate". Our World in Data. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-27. Diakses tanggal 5 September 2020.
- ^ Mboi, Nafsiah; Surbakti, Indra Murty; Trihandini, Indang; Elyazar, Iqbal; Smith, Karen Houston; Bahjuri Ali, Pungkas; Kosen, Soewarta; Flemons, Kristin; Ray, Sarah E. (2018). "On the road to universal health care in Indonesia, 1990–2016: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2016". The Lancet (dalam bahasa Inggris). 392 (10147): 581–591. doi:10.1016/S0140-6736(18)30595-6. PMC 6099123 . PMID 29961639. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-10. Diakses tanggal 2021-08-09.
- ^ a b Badan Pusat Statistik (15 Desember 2020). "Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Tahun 2020". Berita Resmi Statistik (No.97/12/Th.XXIII). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-01-29. Diakses tanggal 2021-01-22.
- ^ "PENGERAJIN BATIK TAK PERLU RESAH". Majalah Hukum & HAM Online. 30 September 2007. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-09-26. Diakses tanggal 14 Agustus 2008.
- ^ Witton, Patrick (2003). Indonesia. Melbourne: Lonely Planet. hlm. 103. ISBN 1-74059-154-2.
- ^ Elyas Pical Dapat Penghargaan[pranala nonaktif permanen]. Surya, 27 Maret 2009. Diakses pada 10 September 2010.
- ^ Afriatni, Ami. Petinju Chris John Sukses Pertahankan Gelar Juara Dunia Diarsipkan 2008-12-10 di Wayback Machine.. Tempo, 19 Agustus 2007. Diakses pada 10 September 2010.
- ^ "Jejak Bersejarah Hindia Belanda di Piala Dunia 1938". CNN Indonesia. 23 April 2018. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-02-16. Diakses tanggal 21 Februari 2020.
- ^ "Kampung Tugu, Menyimpan Kenangan Sejarah". Kompas.com. Rabu, 28 April 2004. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-12-11. Diakses tanggal 14 Agustus 2008.
- ^ Radhar Panca Dahana (Kamis, 6 Desember 2007). "Perspektif: Mencuri Klaim, Itu Biasa". Gatra.Com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-12-08. Diakses tanggal 14 Agustus 2008.
- ^ Witton, Patrick (2002). World Food: Indonesia. Melbourne: Lonely Planet. ISBN 1-74059-009-0.
- ^ Brissendon, Rosemary (2003). South East Asian Food. Melbourne: Hardie Grant Books. ISBN 1-74066-013-7.
- ^ http://www.cnngo.com/explorations/eat/40-foods-indonesians-cant-live-without-327106 Diarsipkan 2011-10-25 di Wayback Machine. 40 of Indonesia's best dishes. Diakses pada 5 Desember 2011.
- ^ a b Kristianto, JB (2 Juli 2005). "Sepuluh Tahun Terakhir Perfilman Indonesia". Kompas.com. Kompas. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-01-13. Diakses tanggal 5 Oktober 2006.
- ^ Pramantie, Caroline (30 Maret 2017). "Menengok 10 Film Indonesia Terlaris Dalam 10 Tahun Terakhir". Kumparan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-16. Diakses tanggal 2022-01-15.
- ^ Literacy and Writing Systems in Asia (dalam bahasa Inggris). Department of Linguistics, University of Illinois at Urbana-Champaign. 2000. hlm. 137.
- ^ Taylor (2003), pp. 299–301
- ^ Vickers (2005) pp. 3-7; Friend (2003), pp. 74, 180
- ^ Czermak, Karen. ""Preserving Intangible Cultural Heritage in Indonesia"" (PDF). SIL International. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2007-07-09. Diakses tanggal 2007-07-04.
- ^ "Internet World Stats". Asia Internet Usage, Population Statistics and Information. Miniwatts Marketing Group. 2006. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-30. Diakses tanggal 2007-08-13.
- ^ Suprapto (November 24, 2014). "Inilah Data Peringkat Negara Pengguna Internet". Tribunnews.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-07-19. Diakses tanggal 2015-08-21.
- ^ Dewi, Intan Rakhmayanti (2022-06-09). "Data Terbaru! Berapa Pengguna Internet Indonesia 2022?". CNBC Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-13. Diakses tanggal 2022-09-13.
Kepustakaan
- Badan Pusat Statistik (2020). Statistik Indonesia 2020. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
- Badan Pusat Statistik (2021). Statistik Indonesia 2021. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 Agustus 2021.
- Frederick, William H.; Worden, Robert L., ed. (2011). Indonesia: A Country Study (dalam bahasa Inggris) (edisi ke-6). Washington, D.C.: Library of Congress, Federal Research Division. ISBN 978-0-8444-0790-6.
- Friend, T. (2003). Indonesian Destinies (dalam bahasa Inggris). Harvard University Press. ISBN 0-674-01137-6.
- Na'im, Akhsan; Syaputra, Hendry (2010). "Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia" (PDF). Badan Pusat Statistik (BPS). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 23 September 2015. Diakses tanggal 23 September 2015.
- Ricklefs, Merle Calvin (2001). A history of modern Indonesia since c. 1200 (dalam bahasa Inggris) (edisi ke-3). Basingstoke; Stanford, CA: Palgrave; Stanford University Press. ISBN 978-0-8047-4480-5.
- Ricklefs, Merle Calvin (2008). A History of Modern Indonesia since c. 1200 (E-Book version) (edisi ke-4). New York: Palgrave Macmillan.
- Pemerintah Indonesia (1945), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Schwarz, A. (1994). A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s (dalam bahasa Inggris). Westview Press. ISBN 1-86373-635-2.
- Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories (dalam bahasa Inggris). New Haven and London: Yale University Press. ISBN 0-300-10518-5.
- Vickers, Adrian (2005). A History of Modern Indonesia (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 0-521-54262-6.
Pranala luar
Cari tahu mengenai Indonesia pada proyek-proyek Wikimedia lainnya: | |
Definisi dan terjemahan dari Wiktionary | |
Gambar dan media dari Commons | |
Berita dari Wikinews | |
Kutipan dari Wikiquote | |
Teks sumber dari Wikisource | |
Buku dari Wikibuku |
- Peta Indonesia di Wikimedia Atlas
- Data geografis Indonesia di OpenStreetMap
- (Indonesia) Situs web resmi pemerintah Republik IndonesiaDiarsipkan 2012-02-03 di Wayback Machine.
- (Indonesia) Pemilu Indonesia Diarsipkan 2016-02-05 di Wayback Machine.
- (Indonesia) Data Kependudukan Resmi Indonesia
- (Inggris) Indonesia di Encyclopædia Britannica
- (Inggris) Indonesia: Country Studies 1993
- (Inggris) Presentasi tentang Indonesia Diarsipkan 2013-01-18 di Wayback Machine.
- Indonesia
- Republik
- Negara di Asia
- Negara di Asia Tenggara
- Negara mayoritas Muslim
- Negara di Melanesia
- Negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam
- Negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
- Negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara
- Negara mantan anggota Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Bumi
- Negara dan wilayah berpenutur bahasa Melayu
- Pendirian tahun 1945 di Indonesia
- Pendirian tahun 1945 di Asia
- Pendirian tahun 1945 di Asia Tenggara
- Negara dan wilayah yang didirikan tahun 1945
- Negara anggota Kelompok D-8 Negara Berkembang
- Negara E7
- Negara G15
- Negara G20
- Negara industri baru
- Negara pulau
- Negara lintas benua
- Negara kepulauan